Selasa, 29 November 2011

Karena Ayah Pengukir Sejarah (Naskah yang gak lolos lomba antologi tentang Ayah)


Air mataku tertahan bila mendengar nama sosok lelaki yang sering kupanggil "Bapak". Ya, gumpalan air mata itu seakan berhenti tersekat menggenangi kelopak mataku ini. Entah mengapa hatiku pun bergetar pilu seiring bayangan Bapak hadir di hadapanku. Dulu, ada tempat untuk mengadu kegamanganku. Tapi kini tempat itu sudah semu bak angin lalu. Hal itu dikarenakan jasad Bapak telah lama meninggalkanku dan terkubur di bumi Madura, 14 tahun yang lalu.
Akan tetapi, jika aku memutar kembali memori kenangan bersama Bapak, pasti aku akan selalu bersemangat untuk terus maju dan merevolusikan darah Bapakku yang mengalir di tubuhku, sehingga menjadi darah pejuang yang tak akan pernah dilupakan oleh waktu.
Dulu saat aku masih dalam pangkuan Bapak, Bapak sempat bercerita padaku tentang sejarah keluarga kami. Mengapa dan bagaimana latar belakang kami bisa hidup di Kota Pahlawan Surabaya, kota yang suasananya jauh berbeda dengan kampung halaman kami di Madura.
Sebenarnya Bapakku pria asli Pulau Madura. Dia berasal dari keluarga sederhana yang terletak di pedalaman desa. Jangankan melihat gedung tinggi perkotaan yang menjulang, jalan beraspal pun rasanya tak pernah ia temui kala itu. Yang ada hanyalah puluhan sawah dan pepohonan besar yang mengelilingi pedesaan terpencilnya. Dan tak ketinggalan pula, ribuan pohon bambu yang sangat lebat berdiri tegak mengelilingi seluruh desa terpencil bernama Desa Bhulang itu. Makanan yang selalu Bapak makan bukanlah nasi putih seperti sekarang, melainkan rebusan ubi dan singkong yang tumbuh liar di sekitar pekarangan desa. Terkadang jika ada beras, terlebih dahulu beras yang akan dimasak tadi dicampur dengan gilingan jagung. Itu pun dimakan tanpa lauk. Benar-benar tidak dapat kubayangkan susahnya perekonomian Bapak saat itu.
Diam-diam Bapakku jenuh dengan kehidupan di desa terpencil tempat kelahirannya. Tempat itu bagi Bapak tak ubahnya sebuah penjara nyata, tidak menjanjikan kehidupan yang lebih layak untuk masa depannya. Bapak mulai bingung harus berbuat apa untuk menghilangkan kejenuhannya tadi, terutama keinginan untuk merubah hidupnya yang serba kekurangan menjadi ke arah yang lebih baik. Bapak terus berpikir dan berpikir mencari jalan keluar terbaik dibalik kegalauan hatinya yang kian hari kian berkecamuk.
Lama berpikir, akhirnya Bapakku bertekad ingin merubah hidupnya dengan cara merantau ke suatu tempat. Ya, ia ingin merantau ke Kota Surabaya. Yang membuat unik lagi, Bapak pergi ke Surabaya bukan dengan cara naik kendaraan bermotor. Melainkan berjalan kaki dan tanpa membawa bekal apapun. Bayangkan saja, di zaman modern seperti sekarang untuk pergi ke Surabaya dengan mengendarai angkutan umum, masih membutuhkan waktu kurang lebih tiga atau empat jam, bagaimana kalau dilalui dengan jalan kaki? Percaya atau tidak, ternyata waktu yang Bapak butuhkan untuk merantau ke Surabaya saat itu bukan hanya sehari dua hari, namun satu pekan lamanya. Oh, aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya kaki Bapak selama meniti jalan menuju kota perantauannya.
Selama perjalanan, jika Bapak merasakan lapar, apapun pasti akan dia makan. Mulai dari dedaunan sampai buah mengkudu yang jatuh dari pohon tepat bersebelahan dengan kotoran sapi pun tetap Bapak makan.
"Apa pun akan bapak makan untuk mengisi perut yang kosong. Walaupun itu hanya sebatas dedaunan saja, nak." Jelas Bapak sambil menerawang kejadian yang dulu pernah ia alami.
Aku yang mendengar penuturan itu hanya bisa mengangguk pelan. Hm... Andai saja aku berada dalam posisi Bapak, pasti aku tidak akan tahan dengan keadaan tersebut, jalan kaki yang begitu jauh, makan seadanya, apalagi hanya dedaunan saja. Pasti ketegaranku hilang sebelum tiba di tempat tujuan, pikirku sambil ikut menerawang.
Sesampainya di Surabaya, Bapakku masih saja dilanda kesengsaraan. Cahaya cinta dan bahagia belum berpihak padanya. Ia pun menggelandang menjadi tukang pembersih sampah yang tergabung dengan anggota pasukan kuning Surabaya. Ya, Bapakku adalah tukang sampah. Hampir semua jalan di Surabaya bagian utara Bapak lalui sambil menarik gerobak sampah. Dan itu semua Bapak lalui dengan dua kata ajaib yang selalu ia bawa berupa "ikhlas" dan "sabar".
Berhari-hari Bapak mengumpulkan upah yang ia terima dari sang mandor untuk dijadikan modal usaha. Namun, untuk mendapatkan modal yang cukup sangatlah terasa sulit. Maka dari itu, Bapak tidak hanya berpatokan pada pekerjaannya memungut sampah saja, akan tetapi dia makin merambah menjadi tukang jual es keliling. Jadi, jika pagi atau sore memungut sampah maka siang hari Bapak keliling kampung membawa termos menjajakan es dagangannya. Kepingan demi kepingan uang logam Bapak kumpulkan dengan bertumpu pada kesabaran yang ia tanam lekat-lekat dalam dada.
Hidup tanpa cobaan, bagai sayur tanpa garam. Terasa tidak lengkap. Mungkin seperti itu kata bijak mengatakan. Sesabar-sabarnya Bapak mengumpulkan modal, pasti dia akan mendapatkan cobaan juga. Ya, menjelang impiannya tercapai, tiba-tiba Bapak terserang penyakit Hernia. Hernia merupakan sebuah penyakit yang disebabkan karena kelemahan otot dinding perut akibat bekerja mengangkat barang-barang yang berat. Dan itu pun harus segera dioperasi. Pelan-pelan Bapak syok dengan keadaannya. Habislah sudah tabungan Bapak yang selama ini telah terkumpul untuk membiayai proses operasi.
Saat itu pula Bapak mulai putus asa dalam menghadapi hidupnya. Hasil perjuangannya dalam perantauan telah habis terkuras hanya dalam waktu sehari saja. Masih beruntung ada orang baik seperti Pak Bardi yang merupakan atasan atau mandor para pekerja sampah. Pak Bardi mengatakan bahwa Bapak tidak perlu khawatir masalah pekerjaan. Bahkan, selama berada di rumah sakit pun keluarga Pak Bardi rela bantu menjaga Bapak yang hanya sebatangkara di Surabaya.
Begitu Bapakku keluar dari rumah sakit, Pak Bardi langsung menempatkan Bapak sebagai mandor seperti dirinya. Hal itu dikarenakan agar Bapak tidak lagi bekerja berat, melainkan hanya duduk memantau pekerjaan bawahannya saja. Seperti itulah awal perjuangan Bapak sehingga akhirnya bisa hidup bahagia seperti sekarang. Sungguh luar biasa dampak dari kata "Sabar" dan "Ikhlas" tadi ya.
Bayangan sejarah Bapak selalu memberikan energi yang berbeda pada diriku. Selepas kepergian Bapak empat belas tahun lalu yang membuatku menjadi anak yatim benar-benar menyiksa batinku. Melakukan apapun terasa tidak lengkap tanpa hadirnya Bapak. Aku kehilangan kasih sayang dari seorang Bapak. Akan tetapi aku harus sadar diri bahwa kehidupan itu adalah sebuah misteri yang harus tetap dilalui.
Lewat sejarah kehidupan ini, aku ingin menitipkan seuntai kata untuk Bapak yang telah tenang di alam sana. Sebuah kata-kata yang mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan Bapak dalam melawan kesengsaraan dan mengubahnya menjadi sebutir kebahagiaan hakiki.
Bapakku, kau adalah sejarah terbaik dalam hidupku. Yang dapat mengajariku akan sebuah keikhlasan, kesabaran, keistiqomahan, ketegaran, dan perjuangan dalam menjalani roda-roda kehidupan ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya kala itu Kau tetap bersimpuh di desa terpencilmu. Mungkin saja kini keluargamu akan tetap berada di garis kesengsaraan, yang hanya mengharapkan makan dari tangan orang. Aku bangga menjadi bagian dari darahmu, dagingmu, dan keluargamu, Bapak! Kenangan masa lalu itu membuatku rindu akan ragamu Bapakku, sekaligus menanamkan sebuah semangat baru bahwa aku ingin menjadi pejuang hidup sepertimu. Ya, sepertimu Bapakku!

***
Tentang Penulis
Aswary Agansya lahir di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1987. Sejak kecil Aswary memang gemar sekali membaca dan menulis. Sekarang dia tengah menempuh pendidikan di Universitas Madura jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah Antologi Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), Antologi E-Love Story #21 (Nulisbuku.com, 2011), Antologi Curhat Cinta Colongan #3 (Nulisbuku.com, 2011), Novel Imagination Of Love (LeutikaPrio, 2011), Novel “Menari di Atas Tangan” (LeutikaPrio, 2011), Antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus, dan Antologi Long Distance Friendship. Insyaallah akan menyusul, karena masih dalam proses penerbitan adalah, Antologi Surat Untuk Jodohku dan antologi Dear Someone. Jika ingin berinteraksi dengan Aswary Agansya, bisa melalui facebook dan email: aswary.agansya@gmail.com atau melalui blog www.aswarysampang.blogspot.com


Sabtu, 01 Oktober 2011

Andai Saja Novel Miniku ini Difilmkan.....

Setelah melihat trailer film MESTAKUNG, aku jadi berandai-andai bagaimana ya seandainya novel miniku ini difilmkan seperti film MESTAKUNG tersebut? wah, betapa senangnya hati ini. Tapi kurasa itu hanyalah sebatas impian saja. Mana mungkin novel mini yang diproduksi penerbit indie ini dilirik produser. Terjual saja udah bersyukur kali ya??? heheheheh, mimpi kali yeeee??? But, lihat saja nih sinopsisnya, sama-sama menginspirasi loh seandainya difilmkan. Kakakakakakaka, mimpi kali loe Aswary,,,,,,,,, ^_^

Sinopsis Novel "Menari di Atas Tangan"
Jamar adalah seorang pemuda bertubuh pendek. Tinggi badannya saja hanya seratus lima puluh sentimeter. Setiap sore, Jamar bekerja sebagai pemungut sampah di kampung tempat tinggalnya. Di kampung Barisan kota Sampang itu, Ibu Jamar merupakan seorang pembatik rumahan yang tak pernah dikenal banyak orang.


Sebelum ujian akhir sekolah, bapak Jamar meninggal dunia. Kematian itu memaksa Jamar harus membantu Ibunya bekerja walau hanya sebagai pembungkus krupuk di rumah tetangga. Tanpa di duga, setelah pemuda itu lulus sekolah menengah atas, ada seorang gadis bernama Zahwa hendak kost di rumah Jamar. Demi menambah penghasilan, akhirnya Jamar dan sang Ibu mau menerima Zahwa tinggal di gubuk tua mereka.


Cemoohan demi cemoohan mulai datang. Tak jarang Jamar dijuluki pemuda sampah oleh para tetangga yang suka mengusilinya. Yang membuat Jamar semakin miris adalah tak ada satu tempat pun yang mau menerima dia untuk dijadikan pekerja. Alasan utama adalah masalah tinggi badan yang kurang memadai.Jamar pun mulai putus asa.


Eit, tunggu dulu. Bagaimana nasib Jamar selanjutnya? Pekerjaan apa yang bisa membawanya menjemput kesuksesan? dan siapa sebenarnya Zahwa Zahariska itu? ini dia Persembahkan Grup UNSA sebuah novel berjudul:

Menari di Atas Tangan
Penulis: Aswary Agansya,
Kategori: Novel
ISBN: 978-602-225-023-4
Terbit: Juli 2011
Tebal: 249 halaman
Harga: Rp. 49.500,-

Deskripsi:

Sebuah novel sederhana namun mampu meramu sebuah citarasa kehidupan remaja secara apik. Nilai persahabatan, menghargai orang lain, serta semangat dalam keterbatasan diri disuguhkan secara lembut tanpa kesan menggurui. Novel ber-setting Madura ini layak dibaca oleh remaja dan siapa pun yang ingin mengerti tentang sebuah perjuangan hidup.

Endorser :

Buku yang inspiratif. Dengan bahasanya yang santun, penulis berhasil membawa pembaca ke titik kepekaan akan hakiki seorang manusia yang banyak memiliki kekurangan. Buku ini membuat kita sadar, bahwa di dunia manusia tidak ada yang terlahir sempurna. Begitu juga bentuk fisik yang telah Allah karuniakan kepada kita. Arif dalam menyikapi kekurangan dan berusaha menggali potensi yang ada adalah salah satu tindakan yang bijak. Buku yang wajib dibaca di tengah krisis jatidiri yang kian mewabah.
-LONYENK, Penulis dan Penyiar Radio.

~*~

Aswari Agansya sebenarnya menyuguhkan karya sederhana, tetapi dalam kesederhanaan itu dia meramu sebuah cita rasa kehidupan remaja secara apik. Nilai persahabatan, menghargai orang lain, serta semangat dalam keterbatasan diri disuguhkan secara lembut tanpa kesan menggurui. Novel bersetting Madura ini layak dibaca oleh remaja dan siapapun yang ingin mengerti tentang sebuah perjuangan hidup.
-JAZIM NAIRA CHAND, Penulis Buku Ibuku Adalah...

~*~

Kegigihan, ketekunan dan keyakinan dalam menjalani hidup untuk menggapai cita dan cinta yang ditunjukan oleh tokoh bernama Jamar dalam novel ini, sememangnya layak untuk dijadikan figur bagi para remaja, tanpa harus minder dengan kekurangan yang dimiliki.
-DANG AJI, Penulis, Akuntan, dan Creator UNSA.

(# 2) Curhat sang Peserta Didik

Hai sahabat seperjuangan. Mohon maaf jika baru sempat posting tulisan ini, lanjutan dari tulisan yang pertama "Seperti Dalam Novel Laskar Pelangi" beberapa hari yang lalu. Inilah kisah sederhana yang kujanjikan itu.

***
"Baiklah. Karena ini masih pertemuan pertama antara saya dengan kalian, maka kita awali saja dengan perkenalan," ucapku sembari meletakkan tas ranselku di kursi.

"Ada yang tahu siapa nama saya?" lanjutku lagi.

Ketiga siswa itu pun diam. Mereka saling pandang satu sama lain. Selanjutnya menggelengkan kepala ke arahku. Aku tersenyum simpul melihat keluguan mereka.

"Baik. Perkenalkan, nama saya Mohammad Aswari. Saya tinggal di Jl. Durian 52 Sampang. Sebenarnya saya masih menjadi mahasiswa di Universitas Madura mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jadi, mohon maaf jika nanti ada sesuatu yang kurang selama kegiatan belajar mengajar kita. Karena sebenarnya saya juga masih belajar sama seperti kalian." Jelasku singkat.

Ketiga siswa yang hadir itu pun mengangguk pelan. Mungkin mereka sedikit mulai paham mendengar penuturanku. Setelah memperkenalkan diri, aku balik bertanya kepada mereka bertiga.

"Kalau begitu, selain digunakan untuk perkenalan, bagaimana kalau pertemuan pertama ini kita pergunakan untuk sharing, berbagi cerita mengenai pendidikan disini sebelumnya." Kataku.

Ketiga pemuda yang kuketahui bernama Marsum, Wasiul dan Ainul Yakin itu diam. Mereka sama-sama tertunduk walau sesekali melirik ke arahku. Entah apa yang mereka pikirkan kala itu, yang jelas aku menangkap sebuah kecemasan di balik tatapan wajah mereka. Terutama di wajah si Marsum.

Oh iya, kalau boleh dibilang, kelas tempatku mengajar ini sangatlah tidak layak disebut sebagai ruang kelas. Bagiku lebih cocok dijadikan sebagai (maaf) kos-kosan satu orang saja. Bagaimana tidak, luas ruang kelas disini jauh lebih kecil dari ruang kuliahku. Jelasnya hanya berukuran tiga kali empat meter saja. Ya, hanya seperempat dari ruang kuliahku di kampus. Dinding-dindingnya pun sudah tidak bersih lagi alias kotor oleh aneka coretan. Benar-benar tidak nyaman untuk belajar. Aku hanya bisa mengelus dada dengan keadaan itu.

"Pak, disini tidak ada yang bakat dalam kesenian pak!" Seru pemuda bernama Marsum. Aku tersenyum menatap pemuda yang hanya membawa dua buah buku tulis itu.

"Tenang saja. Kesenian yang kau maksud itu dibidang apa? Kesenian itu sangatlah luas. Ada seni rupa, seni sastra, seni tari, seni teater, seni musik dan seni kerajinan tangan. Saya yakin kalian bisa di salah satu bidang seni tersebut. Memangnya sebelum saya, yang ngajar kesenian disini siapa?"

Marsum diam. Teman-temannya pun ikut diam. Aku memang harus lebih sabar dengan keadaan ini. Ini masih belum seberapa, pikirku. Aku pun terpagut menatap siswa itu satu persatu seolah-olah menunggu sesuatu.

"Dulu saat kalian kelas sepuluh, apa yang diajarkan dalam mata pelajaran ini?" tanyaku lagi lebih sabar.

"Hm, seingat saya, pelajaran kesenian ini tidak ada gurunya kak. Kalaupun ada, itu hanya sekali selama setahun dan diisi dengan bercerita saja,"

"Jadi, selama setahun kalian tidak ada yang membuat sesuatu? Misalnya menggambar atau membuat kerajinan?"

"Nggak ada kak," sahut Marsum sambil menggeleng pelan.

"Terus, apa yang kalian lakukan selama ini?"

"Hm, diam saja kak menunggu guru,"

"Lho, menunggu guru bagaimana maksudnya?"

Mula-mula mereka sama-sama tunduk terdiam. Akan tetapi setelah aku paksa, akhirnya Marsum berani angkat bicara lagi.

"Sebenarnya disini sudah biasa Pak dengan keadaan seperti itu. Disini kami seakan terkucilkan daripada sekolah lain. Kalau ada guru yang datang ya kami belajar, kalau pun nggak ada ya diam saja. Maka dari itu teman-teman banyak yang nggak semangat untuk sekolah. Bagi mereka daripada bengong menunggu guru dari sekolah induk yang belum tentu datang, mendingan mereka ke sawah saja membantu orang tua."

"Kok bisa begitu ya? Berarti selama ini disini kekurangan guru?"

"Ya begitulah Pak. Maklum, sekolah ini bukan sekolah negeri yang serba maju. Sekolah ini baru dirintis selama kurang lebih dua tahun. Jadi masih terbelakang dan belum dikenal orang."

"Oh, jadi itu alasan teman-teman kalian malas masuk sekolah?"

"Sebenarnya nggak malas sih Pak, tapi karena sering nggak ada guru, mending mereka ke sawah aja membantu orang tua."

"Ya. Ya saya mengerti. Kalau begitu bilang sama teman-teman kamu yang lain bahwa mulai hari ini, sekolah ini banyak guru baru. Mulai dari pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Geografi, Sosiologi, saya sendiri guru kesenian dan masih banyak lagi guru yang lain. Mulai hari ini kalian harus semangat lagi dalam belajar. Karena dengan belajar, kalian dapat merubah dunia." Kataku pada mereka bertiga.

Setelah mengetahui beberapa alasan yang sempat membuatku penasaran, aku pun mencoba memberikan semangat pada tiga pemuda itu dengan berkisah tentang kegagalan dibalik sebuah kesuksesan. Diantaranya adalah kisah seorang Thomas Alva Edison dan Alexander Graham Bell.

"Ingatlah adek-adek, seorang David J Scwarthz yang menyatakan bahwa Think Big If You Want To The Big. Berpikirlah besar jika kau ingin menjadi orang besar..."

Kulihat mereka sangat antusias mendengar kisahku. Jujur, dalam hati aku berjanji akan membantu adik-adik di sekolah ini supaya lebih baik dari hari kemarin. Aku dan teman-teman sesama guru baru bertekad membantu sekolah ini supaya dikenal lagi oleh masyarakat sekitar. Memberikan sebuah perubahan walau hanya satu langkah saja. Kami ingin menanamkan bahwa pendidikan itu sangatlah penting bagi siapa saja. Mohon doanya semoga kami mampu mewujudkan semua itu. Amin ya robb.
***
he, mungkin itulah kisah yang dapat kubagi buat teman-teman semua saat pertama kali mengajar di SMA Attaroqqi Tsani. Sekali lagi aku katakan bahwa kisah ini bukanlah kisah rekaan.

Minggu, 18 September 2011

(#1) Seperti Dalam Novel Laskar Pelangi (Kisah Nyata)


Wahai sahabat seperjuangan. Lama tidak membuat tulisan rasanya sangat membosankan ya. Hampir 2 bulan aku vakum dalam dunia tulis menulis. Nah, mungkin ini sebagai semangat baru yang akan kubangun kembali setelah istirahat panjang. Insyaallah. Dibaca ya pengalamanku ini.
***

Subahanallah, mungkin ini yang dimaksudkan Ibu padaku tempo hari. Aku baru ingat kata-kata Ibu yang sempat kuabaikan beberapa hari terakhir ini.

"Nak, kamu harus sabar dalam mengajar. Menjadi guru itu tidaklah mudah. Jangan sampai kamu memarahi anak orang, apalagi sampai memukulnya. Sama sekali jangan. Tahan emosi dan kesabaranmu. Itulah cobaan seorang guru kala menghadapi murid-muridnya," tutur Ibu.

Jujur, saat Ibu menyampaikan petuah itu, aku ogah mau mempedulikannya. Justru dengan santainya kumasukkan kata-kata itu dari telinga kanan dan tanpa kuendapkan dalam pikiran langsung kukeluarkan melalui telinga kiri. Hal itu semata-mata bukan tanpa alasan. Petuah Ibu kuabaikan karena kupikir aku belum mengalaminya (baca: menjadi guru). Ah sudahlah, apa kata nanti saja, pikirku kala itu.

Akan tetapi, kata-kata Ibu tadi mulai berlaku pada hari ini. Ya! Pada hari kamis 15 September 2011 ini, ketika hari pertama aku mengajar di sebuah SMA pedesaan. Menurut jadwal yang aku terima dari pihak sekolah, aku harus mengajar mulai pukul 07.30 WIB. Sejak semalam dadaku bergoncang gugup memikirkan apa yang akan terjadi di hari pertamaku menjadi guru. Apalagi ini bukan lagi praktek atau tugas dari kampus, melainkan benar-benar terjun ke dunia pendidikan yang sebenarnya.

Walaupun di SMA Attaroqqi Tsani ini aku mengajar kesenian yang jelas-jelas di luar jurusan yang aku tempuh di Universitas Madura, aku tetap merasa gugup kelas atas. Malah semakin terasa gugup karena selama ini aku mendalami ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia, bukan kesenian. Tapi apa boleh buat, inilah tantangan menarik yang harus aku hadapi untuk saat ini.

Tepat pukul 07.15 WIB aku tiba di sekolah. Sambil berdiri di pintu ruang guru, kuperhatikan daerah sekitar. Banyak sekali siswa SMP yang berlalu lalang, maklum di sekolah ini siswa SMP dan SMA berada dalam satu halaman saja. Akan tetapi saat aku perhatikan, kok siswa SMA hanya segelintir saja yang berkeliaran? Apa mungkin yang lain telah masuk dalam kelas? Pikiranku pun kembali penasaran.

"Teng! Teng! Teng!" Suara bel membahana di halaman sekolah. Dadaku kembali bergetar. Gugup. Bisakah aku mengajar kesenian? Mampukah aku menghadapi siswa? Oh Tuhan, berikanlah kekuatan pada hambamu ini, gumamku dalam hati.

Setelah melihat jam dinding, aku bergegas menuju kelas XI dimana tempatku mengawali pelajaran. Jarak antara kantor dan ruang kelas XI tak begitu jauh. Kira-kira hanya 50 meter saja. Akan tetapi degup jantungku seakan bergetar hebat bak telah berlarian puluhan kilometer. Tak tahu apa yang akan kulakukan pertama kali di ruang kelas nanti.

"Assalamualaikum," ucapku sambil berdiri di pintu kelas XI.

"Waalaikumsalam..." suara balasan terdengar dari dalam kelas.

DEGG!
Tiba-tiba saja jantungku seakan berhenti sejenak dari aktivitasnya. Perasaan gugup yang tadi menghantuiku luntur secara tiba-tiba. Pemandangan di hadapankulah yang membuat perasaan gugup itu hilang. Aku heran sekaligus tak percaya dengan apa yang kuhadapi. Jangan-jangan aku salah masuk kelas! Pikirku dalam hati. Akhirnya, untuk memastikan sebuah kebenaran, aku coba bertanya kembali,

"Apakah betul ini kelas XI?" suaraku agak sedikit ragu.

"Betul Pak," sahut seisi kelas, kompak.

Wah, aku tidak salah kelas rupanya, pikirku lagi sambil melangkah masuk dalam ruangan itu. Jujur, aku tidak pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Tahukah mengapa aku berkata seperti itu? Bayangkan saja, dari daftar absen yang kupegang, jumlah siswa kelas XI sebenarnya berada kurang lebih 15 orang. Akan tetapi pada hari ini, hari kamis, 15 September 2011 tepat pertama kali aku mengajar, siswa yang datang hanya segelintir saja. Jelasnya hanya 3 orang saja.

Ditambah lagi, ketiga siswa tersebut tidak ada yang memakai sepatu. Jangankan meja guru, papan tulis pun belum tersedia di kelas tersebut. Bagaimana aku tidak kaget melihat keadaan seperti itu? Hatiku menjadi miris.

"Kemana meja guru dan papan tulisnya?!" tanyaku sambil menatap ketiga siswa tersebut.

Mereka hanya tertunduk. Entah merasa takut atau malu, yang jelas sesekali di antara mereka ada yang pelan-pelan berani menatapku.

"Anu Pak, selama bulan puasa khan pondok kami libur. Nah, ruangan ini tidak ada yang mengurusnya. Mungkin saja papan tulisnya masih berada di kelas sebelah." Jelas salah satu siswa bernama Marsum.

"Lantas kemana teman-teman kamu? Kok yang datang hari ini hanya tiga orang saja?"

"Hm, anu. Teman-teman banyak yang bekerja di sawah, membantu orang tua mereka Pak. Mungkin sebentar lagi ada yang datang Pak." Jelas Marsum lagi.

Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kegugupanku berubah jadi simpati mendengar penuturan salah satu siswa itu. Sambil menanyakan nama siswa, aku menunggu kedatangan siswa-siswa yang lain. Dalam hati aku berharap ada yang datang namun tak satu pun dari siswa tersebut yang menunjukkan batang hidungnya. Aku jadi teringat akan kisah yang ditulis Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi. Mungkin beginilah rasanya Ibu Muslimah yang menjadi tokoh guru dalam cerita tersebut saat menunggu kedatangan siswa-siswanya. Sedih, miris dan penuh harap.

Dalam diam pula aku sempat berpikir bahwa di zaman yang semodern ini, masih saja ada sekolah yang belum maju seperti tempat kerjaku. Rupanya pendidikan di negara yang kaya nan permai ini masih belum juga merata. Masih saja ada anak bangsa yang belum menyadari bahwa pendidikan itu sebenarnya dibutuhkan dalam kehidupan. Betapa mirisnya negeri ini ya Tuhan.
***

Eit, pengen tau kisah selanjutnya? Bagaimana aku mengajar di hari pertama dengan dihadiri hanya 3 orang siswa? Tunggu aja kisah selanjutnya. Dan harap diingat, ini bukanlah kisah rekaan. Akan tetapi kisah nyata yang kualami sendiri. Mohon doanya ya....

Rabu, 07 September 2011

Ya, Itu Aku! (Curahan Hati Sang Perindu)

Oleh: Aswary Agansya

Itu aku,
Pemuda yang malam Minggu lalu menemuimu dengan penuh rindu. Ya, terpaksa menemuimu di kala hati tak mau lagi menunggu karena tak sabar ingin segera bersua denganmu. Harap kau maklumi itu karena benar kita telah lama tak bertemu.

Itu aku,
Pemuda yang tanpa malu menerobos pagar rumahmu yang terbuat dari besi perunggu. Jujur aku tidak tahu lagi bagaimana cara melewati pagar besi raksasa itu selain menerobosnya tanpa ragu. Maklumilah, di istanaku tak ada pagar sebagus itu.

Itu aku,
Pemuda yang meniti halamanmu sambil menuntun sepeda butut. Ya! Sepeda yang selama ini setia menemaniku. Yang apabila kukayuh, mengeluarkan suara menderu. Wahai kekasih, aku telah lupa bahwa tak pantas sepeda bututku melewati pagar besimu. Pun aku telah lupa betapa sandal jepitku tak layak meniti marmermu. Aku juga telah lupa bahwa mutiara tidak boleh bersatu dengan debu. Sungguh aku telah lupa akan semua itu!

Itu aku,
Pemuda lugu yang tak tahu adat menyerukan kata "Rindu" di balik damainya istanamu. Yang kutahu, aku hanya ingin mengobati rinduku padamu. Dan satu-satunya jalan adalah menemuimu. Walau itu hanya sebatas melihat pesonamu dari celah-celah lubang pintu.

Ya! Itu aku, wahai kekasihku!
Pemuda yang hidupnya terpaut jauh dari hidupmu. Pemuda yang hanya tahu bahwa hatinya telah lama rindu padamu. Kalau begitu, kutitipkan saja rindu ini pada angin yang berhembus, berharap bisa menembus pagar-pagar istanamu, tembok-tembok altar kamarmu hingga menyapa hatimu.

Aku telah merindukanmu kekasihku...!

Sampang, Tanah Garam. 11 Agustus 2011
***
Tulisan sederhana ini kupersembahkan untuk sahabat dan kawan yang pernah berbagi inspirasi denganku. Termasuk kamu.

Selasa, 26 Juli 2011

Gadis Manis Itu Bernama Winda

Kehilangan seorang sahabat memang terasa sangat menyedihkan. Berpisah dengan seorang sahabat benar-benar memilukan hati. Apalagi jika perpisahan itu dalam jangka waktu yang cukup lama alias tidak mungkin bertemu lagi, uh, pasti tak henti-hentinya hati ini menangis. Ya, itulah yang tengah aku dan teman-teman alami saat ini. Kami kehilangan seorang sahabat yang sudah lama kami kenal.

Dia, yang meninggalkan kami adalah seorang gadis bernama Winda. Setahu kami, Winda adalah seorang gadis manis yang murah senyum. Walau kulit Winda sawo matang agak gelap, namun ia tetap percaya diri. Tidak memoles kulitnya dengan berbagai kosmetik seperti para gadis belia pada umumnya. Winda tampil apa adanya sesuai tipikal kepribadiannya yang agak pendiam. Winda oh Winda, setiap tutur katanya selalu sopan dan tidak pernah blak-blakan apalagi menyinggung perasaan seseorang. Jangankan berbicara panjang lebar, lewat depan rumah saja Winda selalu menundukkan kepala sambil menyungging senyum di bibirnya yang manis. Pemuda manapun termasuk aku, pasti tertarik melihat gadis cantik seperti Winda.

Namun, beberapa bulan lalu tersebar kabar bahwa Winda hamil di luar nikah. Tidak tanggung-tanggung, kabar burung itu mengatakan bahwa yang menghamili Winda adalah ayahnya sendiri. Astaghfirullah..! Aku tidak percaya kabar itu. Benar-benar tidak percaya. Mana mungkin gadis selugu itu melakukan hal yang dilarang agama. Ah, rasanya tidak mungkin deh, pikiranku bimbang.

Memang, beberapa bulan terakhir, Winda hanya tinggal berdua dengan sang ayah yang bekerja sebagai penjual nasi goreng dikarenakan ibunya pulang kampung ke Pulau Jawa tepatnya di Krian. Makin hari perut Winda makin membesar sedangkan tubuhnya malah semakin mengurus bagai kulit yang hanya membungkus tulang. Hembusan bisik-bisik tetangga pun semakin kencang seiring gadis pendiam itu jarang keluar rumah. Ya, pelan-pelan Winda menghilang dari keramaian. Ia jarang kuliah, tidak pernah membantu sang ayah yang tengah berjualan nasi goreng bahkan jarang melintasi depan rumahku lagi. Ia memilih berbaring saja di atas tempat tidurnya yang hangat. Bukan apa-apa, kata sang ayah, Winda tidak bisa keluar rumah karena sedang tidak enak badan.

Aku dan teman-teman yang lain hanya bisa diam saja. Kami tidak mendapatkan kesempatan melihat wajah seorang Winda karena memang hal itu tidak dibolehkan. Hingga akhirnya, kemarin (11 Juli 2011)kumendengar sebuah kabar yang memilukan. Ternyata Winda telah pulang ke Rahmatullah meninggalkan kami. Innalillahi Wainnailaihirojiun... Aku tersentak kaget sekaligus tak percaya.

Aku dan teman-temanku coba menemui keluarga Winda di tempat tinggalnya. Kebetulan jenazah gadis manis itu akan dimasukkan ke dalam ambulans untuk dimakamkan di kampung halamannya di daerah Krian. Saat kumelihat jenazah yang terbujur kaku, sempat tidak percaya bahwa itu adalah tubuh orang yang selama ini kukenal. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, mau tidak mau kuharus mengakui bahwa itu jenazah seorang Winda.

Pelan tapi pasti, air mataku pun mengalir membasahi pipi. Kami berharap semoga Allah menerima Winda disisiNYA. Dan Allah mengampuni dosa-dosa Winda selama hidup di dunia. Terakhir, orang tua Winda coba memberikan penjelasan pada kami bahwa ternyata dugaan masyarakat selama ini tentang Winda itu salah besar. Perut Winda membuncit bukan karena hamil, apalagi dihamili ayahnya sendiri. Namun, buncitnya perut Winda disebabkan sebuah penyakit liver yang sudah akut. Sebab itulah walau perut buncit, tubuh Winda malah semakin kurus seakan hanya terbungkus kulit saja. Hm... Tak selamanya bisik-bisik tetangga itu benar ya.


Sampang, Tanah Garam. 19 Juli 2011.
***

Rabu, 06 Juli 2011

Alhamdulillah, ini novel terbaruku yang wajib dibaca. hehehe,,,,

Telah Terbit !!

Dipersembahkan oleh UNSA

Menari di Atas Tangan
Penulis: Aswary Agansya,
Kategori: Novel
ISBN: 978-602-225-023-4
Terbit: Juli 2011
Tebal: 249 halaman
Harga: Rp. 49.500,-

Deskripsi:

Sebuah novel sederhana namun mampu meramu sebuah citarasa kehidupan remaja secara apik. Nilai persahabatan, menghargai orang lain, serta semangat dalam keterbatasan diri disuguhkan secara lembut tanpa kesan menggurui. Novel ber-setting Madura ini layak dibaca oleh remaja dan siapa pun yang ingin mengerti tentang sebuah perjuangan hidup.

Endorser :

Buku yang inspiratif. Dengan bahasanya yang santun, penulis berhasil membawa pembaca ke titik kepekaan akan hakiki seorang manusia yang banyak memiliki kekurangan. Buku ini membuat kita sadar, bahwa di dunia manusia tidak ada yang terlahir sempurna. Begitu juga bentuk fisik yang telah Allah karuniakan kepada kita. Arif dalam menyikapi kekurangan dan berusaha menggali potensi yang ada adalah salah satu tindakan yang bijak. Buku yang wajib dibaca di tengah krisis jatidiri yang kian mewabah.
-LONYENK, Penulis dan Penyiar Radio.

~*~

Aswari Agansya sebenarnya menyuguhkan karya sederhana, tetapi dalam kesederhanaan itu dia meramu sebuah cita rasa kehidupan remaja secara apik. Nilai persahabatan, menghargai orang lain, serta semangat dalam keterbatasan diri disuguhkan secara lembut tanpa kesan menggurui. Novel bersetting Madura ini layak dibaca oleh remaja dan siapapun yang ingin mengerti tentang sebuah perjuangan hidup.
-JAZIM NAIRA CHAND, Penulis Buku Ibuku Adalah...

~*~

Kegigihan, ketekunan dan keyakinan dalam menjalani hidup untuk menggapai cita dan cinta yang ditunjukan oleh tokoh bernama Jamar dalam novel ini, sememangnya layak untuk dijadikan figur bagi para remaja, tanpa harus minder dengan kekurangan yang dimiliki.
-DANG AJI, Penulis, Akuntan, dan Creator UNSA.



Untuk Pemesanan, hubungi
www.leutikaprio.com

Rabu, 22 Juni 2011

Tak Ada Alasan Untuk Meraih Mimpi (Curhatku)

Wah, lama juga ya aku tidak menulis sesuatu di notes FB dan Blog. Rasanya kangeeeen banget..! Hm, boleh kan, kali aku berbagi uneg-uneg pada kalian?

Siapa pun pasti memiliki mimpi, walau mimpi itu sekecil biji pasir. Karena dengan adanya mimpi tersebut, semangat hidup seseorang akan terus terpacu untuk berusaha meraih mimpi mereka dan mencapai tangga kesuksesan yang diinginkan. Tapi ada satu hal yang perlu diingat, kesuksesan tidak akan pernah datang pada orang yang malas. Sebaliknya, kesuksesan akan menghampiri seseorang yang giat berusaha melawan waktu. Karena waktu tak akan pernah kembali ke belakang hanya untuk mengulang sebuah kesempatan. Tidak akan pernah datang.

Berbicara masalah waktu, setiap manusia di bumi ini memiliki kesempatan yang sama. Ya, setiap manusia yang satu dan manusia yang lain memiliki kesempatan waktu yang sama yaitu 24 jam. Mulai dari orang yang sukses, sesukses Jonru Ginting, Helvi Tiana Rosa, Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia dan penulis lainnya, sampai pada pengangguran sekalipun memiliki jangka waktu yang sama, hanya 24 jam saja sehari. Yang membedakan adalah bagaimana orang itu memanfaatkan waktu yang ia miliki untuk melakukan hal yang berguna atau malah tidak dimanfaatkan sama sekali.

Aku pernah mendengar berbagai alasan para sahabat, baik di dunia maya maupun di dunia nyata yang beranggapan begini,

"Aku pengen banget menjadi penulis, tapi aku sibuk banget. Nggak punya waktu untuk menulis,"

"Aku memang ingin menulis sesuatu, tapi bagaimana bisa aku menulis? Laptopnya saja aku tidak punya" dan lain sebagainya.

Wah, mendengar kata-kata itu, aku jadi teringat dengan artikel yang pernah ditulis seorang artis dunia maya bernama Jonru Ginting yang mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk meraih sebuah mimpi. Karena kita semua sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari untuk memanfaatkannya meraih mimpi kita.

Duhai sahabat, jika mendengar kata-kata itu, jujur, kalian hampir sama dengan apa yang kualami untuk saat ini. Kau pikir aku memiliki komputer jinjing seperti para penulis lain? Kau pikir aku memiliki waktu lebih dari waktumu yang 24 jam itu? Oh, tidak sobat, aku sama sekali tidak memiliki dua hal tersebut. Aku sama sepertimu, memiliki waktu hanya 24 jam sehari dan tidak memiliki komputer jinjing seperti yang kau maksud tadi.

"Loh, nggak punya komputer kok bisa nulis novel?"

Nah, itu dia. Jujur saja, selama aku menulis, aku memang nyaris tidak pernah mengetik memakai keyboard komputer. Aku ketik setiap tulisanku melalui handphone. Ya, handphone jadul yang kubeli dua tahun silam. Memang jari-jariku terasa lelah dan sakit, terutama ibu jari. Namun, rasa sakit itu tidak akan pernah mematahkan semangatku untuk putus menulis. Kutuangkan saja kata demi kata yang mengganjal di otakku walau hanya satu paragraf saja sehari. Atau ketika ada waktu luang, pasti kutuangkan ideku dalam catatan handphone jadulku itu.

Jika aku merasa tulisanku sudah pas, tulisan yang berbentuk catatan itu kutransfer melalui bluetooth di warung internet dekat rumah. Dan mengcopypastenya ke microsoft word. Terakhir, menyimpan file itu dalam flasdisc. Ribet banget kan? Hm, memang. Tapi, atas kesabaran itu, aku bisa bernapas dengan lega. Alhamdulilah aku dapat menyelesaikan 3 buah novel. Yang pertama, "Imagination Of Love". Kedua "Menari Di Atas Tangan" dan judul yang ketiga masih dirahasiakan (hehehe, bilang aja belum buat judulnya. Kuharap teman-teman tetap doain yah...). Nah, intinya, janganlah patah semangat buat para sahabat yang ingin meraih mimpi. Gunakan waktu sebaik-baiknya dan bersabarlah walau dalam perjalanan menuju mimpi banyak kerikil tajam yang mendera. Percayalah pada kebahagiaan yang akan kau dapat setelah melewati berbagai rintangan tadi.

Mohon maaf sebelumnya, aku membuat tulisan ini bukan bermaksud apa-apa, hanya sekedar ingin memotivasi diri saja. Semoga curhatku ini bermanfaat..!

Sampang, 20 Juni 2011

***
link posting awal :
http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=10150218035004235

Senin, 23 Mei 2011

Lomba Dunia Maya - Don't Judge The Book By Cover Ya!

Oleh : Aswary Agansya

Menjalin persahabatan itu sangatlah indah. Apalagi saat hati sedang goyah, banyak masalah dan butuh akan sebuah sandaran. Tak ada yang bisa kita lakukan selain mencari sahabat yang rela menjadi wadah untuk segala keluh dan kesah yang kita hadapi. Pasti sahabat yang baik akan memberikan solusi sebagai obat dan pereda masalah yang tengah kita hadapi. Ya, itulah hakikat dalam sebuah persahabatan.

Namun, bagaimana jika dalam persahabatan itu tidak pernah ada tatap muka antara keduanya? Akankah persahabatan itu dapat terjadi sesuai hakikat tadi? (Nah lho...) Seperti itulah yang aku alami selama kurang lebih setahun terakhir ini. Jangankan berjabat tangan, melihat wajahnya saja, aku belum pernah. Tapi bagaimana persahabatan kami bisa terjalin dengan indah? Ah, itulah yang dinamakan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa.

Aku mengenal dia dari dunia maya. Dia seorang gadis bernama Eros Rosita. Aku tidak ingat betul, bagaimana pertama kali kita berkenalan. Yang jelas, kami dipertemukan di sebuah ruang maya bernama jejaring sosial facebook. Ya, di facebook-lah awal persahabatanku dengan Rose terbentuk.

Yang kutahu, Eros Rosita adalah seorang gadis penulis berdomisili di Madiun. Usianya terpaut dua tahun lebih muda dari usiaku. Pekerjaan yang ia tekuni adalah sebagai penjaga warung internet di kota tempat tinggalnya. Sering kulihat, berbagai karya Rose yang berbentuk tulisan terpampang di beberapa situs termasuk facebook dan blog pribadi miliknya. Bahkan aku memiliki buku antologi yang berisi salah satu dari tulisannya. Hm... Kalau dilihat dari karya yang ditulis Rose, aku menarik kesimpulan bahwa gadis itu berhati lembut, suka yang syahdu-syahdu, melankolis, dan yang paling pasti, dia gadis pemalu. Hehehe, bagaimana tidak, acapkali aku membaca tulisan Rose, aku merasakan apa yang ia rasakan. Tulisannya benar-benar syahdu dan mendayu-dayu. Menurutku rangkaian kata-kata itu keluar dari hati Rose yang melankolis.

Akhirnya, melalui dunia maya, kami pun saling bertukar pikiran dan saran. Tak jarang pula aku dan Rose saling memberi dukungan dan semangat saat keputusasaan mendera. Madiun dan Sampang, Madura, terasa lebih dekat saja berkat dunia maya. Namun, satu hal yang aneh pada diri kami. Selama bersahabat, aku belum pernah melihat wajah Rose. Sedangkan Rose mengenali wajahku. Hal itu dikarenakan, Eros Rosita tidak pernah memajang foto pribadinya di dunia maya. Alhasil, aku pun penasaran ingin segera mengetahui bagaimana sesosok gadis yang melankolis itu.

Rasanya sulit bisa bertemu dengan Rose. Setidaknya itu yang sempat terselip di benakku. Akan tetapi, pertengahan bulan Maret lalu, ada seorang teman yang mengajakku untuk menghadiri peluncuran buku di salah satu restoran di Surabaya. Kupikir-pikir, daripada liburan berdiam diri di rumah, mendingan kuikuti saja ajakan temanku tadi. Ya, selain untuk menambah pengalaman, di acara itu aku juga berharap dapat menambah teman.

Pagi-pagi sekali aku berangkat dari Madura menuju kota Surabaya. Sesampainya di Surabaya, temanku menyambutku dengan suka cita. Aku bahagia bisa menghadiri acara peluncuran buku itu. Dan yang paling membahagiakan lagi, ada seorang gadis berperawakan tomboy tengah duduk di kursi paling pojok. Tampaknya gadis itu menatapku erat dan sesekali berbisik pada teman gadis yang duduk di sampingnya. Aku sempat melirik gadis itu, tapi tiba-tiba ia memalingkan mukanya dariku.

Aku berbincang-bincang dengan temanku. Pelan-pelan, aku pun berkenalan dengan beberapa orang yang hadir termasuk pada gadis tomboy yang memandangku tadi. Begitu bersalaman dan menyebutkan nama, aku pun berubah shock karena kaget sekaligus tak percaya. Bagaimana tidak, gadis itu menyodorkan tangan sambil berkata,

"Hai, aku Eros Rosita."

Deg!!
Jantungku seakan berhenti seketika. Aku masih tidak percaya gadis di hadapanku itu adalah Eros Rosita, gadis yang kukenal di dunia maya. Jujur, aku shock bukan karena kecewa. Tapi aku shock karena apa yang kusimpulkan selama ini, ternyata jauh dari angan-angan yang ada.

Penampilan Eros Rosita ternyata tomboy. Ia memiliki rambut pendek yang trendy. Pakaian yang ia kenakan pun menunjukkan bahwa ia adalah orang yang simpel dan cuek. Dahsyatnya lagi, ternyata gadis itu gemar menyaksikan tayangan sepak bola yang kebanyakan disaksikan kaum pria.Wah, benar-benar jauh dari perkiraanku.

"Hahaha, kau kaget kan?" tanya Rose padaku.

"Wah, bukan hanya kaget. Tapi aku tak percaya kau ini adalah Rose yang kukenal di dunia maya. Kok tulisan dan wujud berbeda ya?" aku tersenyum dengan rasa heran.

"Hahaha, makanya, don't judge the book by cover ya..." sahut Rose lugu.

Aku tesenyum.
Aku bahagia, karena tak menyangka akan bertemu sahabat maya yang selama ini hanya kulihat tulisannya saja. Tidak rugi aku jauh-jauh datang dari Madura dalam acara peluncuran itu.

Ternyata, benar kata pepatah. Dalamnya lautan masih bisa diukur, namun dalamnya hati seseorang tak akan pernah ada yang mengetahuinya. Aku percaya dibalik penampilan tomboy dan sporty itu, ada sebuah kelembutan yang tersimpan. Yang bisa menyejukkan hati seseorang, yaitu hatiku. Terima kasih kau telah menjadi sahabatku Rose.

***

Diikutkan dalam lomba Lomba Cerita Nyata "Dunia Maya" yang diadakan mbak Aulia Zahro.
INFO LOMBA :
- http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/05/14/lomba-menulis-kisah-nyata-dunia-maya/
- http://liya715.blogspot.com/2011/05/lomba-menulis-kisah-nyata-dunia-maya.html
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150190287595982

Pengalaman Pertamaku Menjadi Guru

"Pak, kok soal-soalnya nggak jelas sih? Jelasin dong pak, yang nomor dua belas..!" Celetuk salah satu siswa yang duduk di depanku.

Aku tertegun sekaligus tak percaya dengan apa yang dikatakan siswa laki-laki itu. Wow, benarkah aku dipanggil bapak? Tidakkah aku salah mendengarnya? Masih muda begini kok malah dipanggil bapak sih? Apa tampangku sudah seperti bapak-bapak ya? Wah wah wah, harus segera diperbaiki nih. Pikirku penuh tanya. Tapi kata-kata siswa tadi juga membuatku geli sendiri. Aku malah tersenyum simpul sambil menatap siswa itu.

"Wah, jangan panggil bapak dong dek. Panggil saja kak Arik. Kan saya masih muda, apalagi belum berkeluarga. Lebih enak di dengar kan?" sahutku kemudian dengan senyuman masih mengembang. Aku pun menghampiri siswa itu dan mengamati apa yang ia tanyakan.

Jujur, rasanya baru kemarin sore aku menjadi siswa seperti mereka. Duduk di bangku dan menatap papan tulis serta menyimak penjelasan guru pembimbing. Kupikir, sikap kekanak-kanakan yang melekat pada diriku masih belum juga sempat kubuang jauh-jauh. Bahkan, cara bicaraku pun seakan masih belum menunjukkan bahwa aku adalah calon guru yang akan dijadikan panutan para peserta didik. Tapi sadar atau tidak, hari ini aku justru berdiri di depan kelas sebagai seorang guru. Ya, sebagai guru yang mengemban tanggung jawab untuk membimbing, membina dan memotivasi peserta didiknya agar menjadi generasi yang lebih baik. Oh, aku benar-benar tak percaya akan kejadian hari ini.

Rupanya menjadi seorang guru itu tidaklah mudah. Harus benar-benar memiliki kesabaran yang kuat dalam menghadapi peserta didik yang dibimbing. Buktinya saja aku, baru hari pertama masuk ruangan saja, seisi kelas riuh tak terkendalikan. Bayangkan saja, para peserta didik itu tak henti-hentinya mengolokku dengan gaya bahasa remaja mereka.

"Kak, kakak itu berasal dari Jepang yang tiba-tiba nyasar ke Madura ya?"

"Duh kak, suara kakak nggak jelas banget. Kakak bicaranya pakai bahasa Jepang ya?"

"Kak, karena saya tidak ingat nomor induk, maka di kolom nomor induk ini diganti nomor hape ya kak. Atau nomor rumah dan sepatu. Kakak pilih yang mana?"

Begitulah kata-kata yang dilontarkan sebagian siswa padaku dan teman-temanku. Bahkan ketika aku menyodorkan lembar hadir siswa yang harus ditandatangani, seorang gadis bertubuh subur berkata,

"Kak, kalau mau minta tanda tangan jangan begini dong caranya. Langsung aja bilang sama saya. Pasti saya kasih kok. Hehehe..." katanya sambil nyengir kuda seakan tak memiliki dosa.

Huuuftt...
Aku mencoba sabar menerima celoteh-celoteh mereka. Pikirku, wajar kalau mereka memiliki sikap seperti itu. Kelas yang kubimbing adalah kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jelas saja mereka clometan. Lain halnya saat aku memasuki kelas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), suasana riuh seakan tak pernah ada. Mereka diam dan tertib sebagaimana para siswa yang berpendidikan. Jadi aku menarik kesimpulan bahwa seorang guru harus lebih sabar lagi untuk menghadapi peserta didik yang beraneka ragam sifat. Karena dengan kesabaran dan kasih sayang yang tulus itulah, insyaallah ilmu yang disampaikan terealisasikan sesuai harapan.

Meski sedikit kesal, aku harus tetap sabar. Jangan sampai amarahku meluap akibat lisan peserta didik yang clometan. Toh, aku hanya melaksanakan tugas dari kampus saja. Bukan guru tetap mereka. Jadi, aku harus tetap melatih kesabaran buat dijadikan bekal kalau aku benar-benar menjadi guru kelak.

Tapi, kuingin mengucapkan terima kasih kepada adik-adik yang kudatangi kemarin. Adik-adik kelas X-2, XI IPS 1, dan XI IPA 2 Madrasah Aliyah Negeri 1 Pamekasan. Kalian telah memberikan warna baru bagi sejarah hidupku. Benar-benar seru dan lucu.

Sampang, 24 Mei 2011.
***

Senin, 02 Mei 2011

Cerpen: Anugerah Yang Hilang (Juara 3 Di Lomba Cipta Cerpen UNIRA 2011)

Oleh: Aswary Agansya

Aku tak menyangka dunia begitu cepat berputar. Padahal aku masih merasa baru kemarin hujan itu reda dalam kehidupanku. Belum sempat juga aku melupakan deru angin yang memporakporandakan kehidupan ini, eh malah pelangi itu muncul menyeringai ke arahku. Jujur, aku tak menyesal dengan perubahanku saat ini. Malah aku bangga dan bersyukur atas semua hal yang kudapatkan hari ini. Hanya saja, ada sedikit kekecewaan yang menyelinap karena orang yang juga ikut andil dalam perubahanku malah pergi dari sisiku. Dia yang rela mendorong semangatku untuk segera bangkit dari keterpurukan dunia.

Dia adalah Mutia, gadis jelita bermata indah. Raut wajah Mutia memang seindah dan sebanding dengan nama lengkap yang digelarnya. Ya, nama lengkap gadis itu tak lain dan tak bukan adalah Mutiara Nindita. Sungguh aku kecewa karena untuk saat ini, dipuncak kesuksesan ini, aku tak dapat berbagi kebahagiaan dengan Mutia.

Aku ingat betul saat pertama kali Mutia menyuntikkan kata semangat dalam hatiku. Dia yang membuatku bangkit dari keterpurukan dan memperkenalkan aku dengan roda kesuksesan. Saat itu, Mutia tengah memergokiku sedang berpesta narkoba bersama teman-teman sekampusku.

"Subhanallah..! Apa yang kau lakukan ini, Yusuf?!" teriak Mutia saat mendapatiku terkulai lemas di atas lantai. Aku tak menjawab pertanyaan Mutia. Menurutku, pertanyaan itu tidaklah penting bagiku. Daripada menjawab, mendingan kunikmati saja apa yang tengah kuperbuat.

Mutia terbelalak saat melihat serbuk putih di tangan kiriku. Sontak, gadis itu menarik tanganku dan menyeretku secara paksa keluar dari ruangan panas tersebut. Dengan susah payah Mutia dan seorang teman laki-lakinya membopongku masuk ke dalam mobil Avanza warna silver yang terparkir depan rumah.

"Hei gadis kuper..! Kau mau membawaku kemana hah..!" tanyaku ditengah-tengah ketidaksadaran. Aku ingin sekali memberontak, tapi aku tak kuasa karena tubuhku terasa melayang ringan.

"Kuharap kamu diam. Jangan banyak bicara..!" bentak Mutia tanpa menatapku.

Mobil pun melaju menjauhi lokasi pesta itu. Entah ke arah mana aku tak tahu. Ternyata, setelah menyusuri beberapa belokan dan lampu merah, Mutia menghentikan mobil silvernya di sebuah gedung rehabilitasi. Saat itu pun aku tak sadarkan diri.

***

Selang beberapa jam kemudian, aku bangun dari ketidaksadaran itu. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba berada di sebuah kamar yang mirip sekali dengan rumah sakit. Belum sempat semua pertanyaan dalam benakku terjawab, muncullah seorang gadis yang wajahnya sudah tak asing lagi dari balik pintu. Ya, sambil membawa nampan berisi segelas air dan sepiring nasi, Mutia menghampiriku. Senyumnya yang manis terus tersungging ke arahku.

"Mutia, tempat apaan ini?" tanyaku dengan suara sedikit parau.

"Ini adalah tempat rehabilitasi. Nih, makan dulu nasinya. Pasti kamu sudah lapar," jawab Mutia seraya duduk di bibir tempat tidur.

"Hah! Rehabilitasi?! Buat apa kau bawa aku kesini? Ah, lebih baik aku mau pulang saja."

"Yusuf, aku yakin kau butuh tempat ini. Ayo, dimakan dulu nasinya." Ujar Mutia sambil menyodorkan piring putih itu ke arahku.

Tanpa menerima sodorannya, aku malah beranjak dari tempat tidur. Dan tanpa sengaja, aku menyenggol piring yang dipegang Mutia sehingga jatuh ke atas lantai.

Praanngggg!!!

Mutia kaget.

"Yusuf..!! Mau kemana kau..!"

"Aku nggak suka dengan caramu ini Mutia..! Buat apa aku berada di tempat yang sama sekali nggak kusukai ini. Jangan kau urusi aku lagi. Ngertii?!"

"Heh Suf..! Berapa kali aku harus menjelaskan ini untuk menyadarkanmu? Berapa kali aku harus sabar melihat kelakuan burukmu ini? Berapa kali Suf?!!" kata Mutia mencegahku keluar dari ruangan itu. Mutia menghadangku dengan berdiri membelakangi pintu.

"Kamu nggak perlu melakukan apa-apa, tolol. Aku nggak butuh semua perhatianmu karena semua itu nggak akan pernah penting bagiku. Sudah, sana pergi, aku mau keluar dari tempat ini..!"

"Ingatlah Suf, semua hal yang kau perbuat saat ini telah menyakiti ibumu sendiri. Kuharap sekarang kau buka kedua matamu. Lihatlah ibumu Suf, lihatlah..!"

"Hei, kita ini nggak ada hubungan apa-apa loh ya. Jadi jangan campuri urusanku. Karena aku bener-bener nggat suka!!"

"Aku memang bukan siapa-siapamu Suf. Tapi aku masih punya hati melihat ibumu tersakiti. Ingatlah, semenjak kematian ayahmu, ibumu mulai sakit-sakitan. Dan itu semua gara-gara kamu. Kamu yang telah membuat ibu terbaring sakit Suf. Kamu!!" kali ini Mutia terbelalak membentakku. Aku kaget melihat raut wajah itu. Sejauh aku mengenal Mutia, rasa-rasanya baru detik itu aku melihat wajah jelita Mutia tegang. Aku memilih diam.

"Kau ini sudah dewasa Suf. Kau sudah nggak pantas lagi berkelakuan seperti para remaja. Bagaimana tidak? Ibu yang telah melahirkanmu sedang merintih kesakitan, membutuhkan belaian tangan putra semata wayangnya. Tegakah kamu meninggalkan dia sementara kamu sendiri bersenang-senang dengan berpesta narkoba? Tidakkah kau punya hati, Suf? Ingatlah satu hal, Yusuf. Kau ini anak laki-laki. Kau harus tunjukkan bahwa kau mampu menjadi ksatria yang gagah bagi ibumu. Jadi pelipur lara bagi kesedihan ibumu. Dan jadi sandaran bagi kehampaan hati ibumu."

Aku tetap diam. Pelan-pelan hatiku tersentuh mendengar penjelasan Mutia. Kutatap erat wajah jelita Mutia yang tengah diselimuti amarah.

"Dengan susah payah ibu membiayai kuliahmu. Dengan susah payah pula ibu berjuang membanting tulang berharap nanti kau akan menjadi laki-laki sukses dan berilmu. Apakah kau tak memikirkan jerih payah ibumu itu? Ayolah Yusuf, berubah. Berubahlah demi ibu dan masa depanmu. Aku yakin kau bisa melakukannya,"

"Nggak. Aku nggak akan bisa, Muti. Nggak akan..!"

"Asal kau mau berubah dan berusaha, insyaallah semua itu akan bisa Yusuf.."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan...? Mendengar penjelasanmu tadi, aku merasa tak pantas untuk hidup bersama ibu. Lebih baik aku mati saja, Muti," lirihku kelu sambil merembeskan air mata.

"Hush..! Jangan berkata seperti itu. Mati bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan sebuah masalah. Justru itu adalah perbuatan seorang pengecut. Apalagi bagi lelaki sepertimu"

"Tapi sampai kapan aku bisa merubah hidupku?" lirihku lagi.

"Jangan kau pikirkan dulu kapan kau bisa sukses keluar dari kesalahan ini. Yang jelas, kau harus meninggalkan barang haram itu mulai dari sekarang. Ya, sekaranglah waktu yang tepat mengakhiri keburukanmu ini, kawan." Kata Mutia dengan antusias. Aku pun pasrah di atas tempat tidur berspraikan putih itu. Merembeskan air mata penyesalan yang telah lama beku dalam benakku.

***

Sejak hari itu, aku tinggal di kamar rehabilitasi. Disana, selain mengikuti serangkaian terapi penyembuhan, aku juga diberikan keterampilan membuat lukisan. Sungguh luar biasa, aku baru sadar bahwa hidup normal itu ternyata lebih menyenangkan.

Begitu keluar dari tempat rehabilitasi, aku kembali melanjutkan kuliahku yang sempat terbengkalai. Bahkan, sebagai pekerjaan sampingan, aku selalu meluangkan waktu untuk membuat berbagai macam lukisan. Melukis adalah media terbaik untuk menuangkan isi hatiku. Itulah yang kulakukan demi membuang waktu luangku. Dan alhasil, aku sukses menggelar pameran lukisan tepat sepekan dari hari kelulusanku.

Yang sangat mencengangkan lagi, lukisan wajah jelita sang Mutia yang sempat kupajang di ruangan khusus, ada seorang pembeli yang ingin melelang lukisan itu. Kagetku pun tak terbendung. Ternyata lukisan sederhana raut jelita Mutiara Nindita laku terjual hingga ratusan juta. Hati siapa yang tak bahagia mendapatkan keuntungan sebesar itu?

Tapi kini, saat bisnis yang kurintis telah mencapai level tertinggi, malah sang penyemangat itu pergi dari sisiku. Dan tak pernah muncul di celah-celah kehidupanku. Andai saja ia tahu bahwa kesuksesan ini sebagian dari semangat yang ia suntikkan pada jiwaku dulu. Pasti gadis itu akan tersenyum bahagia seperti diriku.

Pernah kucoba mencari Mutia seorang diri. Tapi usahaku itu tak pernah membuahkan hasil sedikitpun. Di tempat rehabilitasi ia tiada, di kampusnya pun tak ada, bahkan setiap hari kudatangi rumah kontrakan gadis itu pun katanya sudah pindah. Oh, setahun sudah aku melakukan pencarian ini tanpa membuahkan hasil sedikitpun. Aku sungguh tak mengerti mengapa Mutia menghilang begitu saja dalam kehidupanku. Kehadiran dan kepergian gadis jelita itu benar-benar tak dapat kuprediksi.

Sepenggal kata yang pantas kusemaikan padamu wahai Mutiaku,

"Bertemu dirimu adalah indah. Mengenalmu adalah anugerah. Dan bersamamu adalah berkah. Terima kasih karena kau telah mengangkatku dari keterpurukan. Terima kasih, Mutiara."
***


Data Penulis

Aswary Agansya adalah nama pena dari Mohammad Aswari. Ia lahir di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1987. Sejak kecil Aswary memang gemar sekali membaca dan menulis. Sekarang dia tengah menempuh pendidikan di Universitas Madura jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah Antologi Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), Antologi E-Love Story 21 (Nulisbuku.com, 2011), Antologi Curhat Cinta Colongan #3 (Nulisbuku.com, 2011) dan Novel Imagination Of Love (LeutikaPrio, 2011). Insyaallah akan menyusul, karena masih dalam proses penerbitan adalah Antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus, Antologi Surat Untuk Jodohku dan Antologi Long Distance Friendship. Aswary juga tengah menggarap novel keduanya yang berjudul “Menari Di Atas Tangan”. Jika ingin berinteraksi dengan Aswary Agansya, bisa melalui facebook dan email: aswary_coolboy410@yahoo.co.id atau melalui blog :
www.aswarysampang.blogspot.com



















Data Penulis

Aswary Agansya adalah nama pena dari Mohammad Aswari. Ia lahir di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1987. Sejak kecil Aswary memang gemar sekali membaca dan menulis. Sekarang dia tengah menempuh pendidikan di Universitas Madura jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah Antologi Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), Antologi E-Love Story 21 (Nulisbuku.com, 2011), Antologi Curhat Cinta Colongan #3 (Nulisbuku.com, 2011) dan Novel Imagination Of Love (LeutikaPrio, 2011). Insyaallah akan menyusul, karena masih dalam proses penerbitan adalah Antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus, Antologi Surat Untuk Jodohku dan Antologi Long Distance Friendship. Aswary juga tengah menggarap novel keduanya yang berjudul “Menari Di Atas Tangan”. Jika ingin berinteraksi dengan Aswary Agansya, bisa melalui facebook dan email: aswary_coolboy410@yahoo.co.id atau melalui blog :
www.aswarysampang.blogspot.com


Nama Asli : Mohammad Aswari
Nama Pena : Aswary Agansya
Alamat: Jl. Durian 52 Sampang-Madura
No. HP : 087866116936
Kampus: Universitas Madura Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia semester VI

Jumat, 29 April 2011

Selaksa Makna Ramadhan (Antologiku lagi)



Telah terbit di LeutikaPrio!!!

Judul : Selaksa Makna Ramadhan
Penulis : Dang Aji, Tridju Pranowo, dkk
Tebal : iv + 291 hlm
Harga : Rp 56.400,-

Sinopsis:
Begitu beragam inspirasi yang bisa dimaknai dalam bulan suci Ramadhan. Sebuah bulan mulia yang sengaja Allah turunkan bagi keberkahan seluruh umat islamdi atas bumi. Inspirasi-inspirasi itu coba dibagi oleh para penulis dalam buku sederhana ini.Buku ini berisi 200 kisah sarat makna dari 425 naskah yang masuk dalam even Lomba Menulis yang didukung oleh Group Untuk Sahabat dan Blog Cerpen Tiga Tujuh.Selain itu, terdapat pula 11 cerita komedi pilihan yang dirangkum dari kisah seputar Hari Raya Qurban.Cerita menarik yang diracik dengan apik dalammenyampaikan pesan religius melalui seekor kambing qurban.Kisah-kisah inspiratif dalam buku ini dapat menjadi pilihan bacaan yang segar dalam memaknai hadirnya setiap momen spiritualyang kian melengkapi hidup kita menuju indahnya jalan Illahi.

Ini dia ke 200 penulis yang mengisi ceritanya di buku dahsyat ini...

MENAMPILKAN 200 CERPEN BERTEMA RAMADHAN



Chapter 1


1. TAKJIL DAN ISTANA DI AKHIRAT

Nur Punama Wati


2. RAMADHAN TERAKHIR

Nur Jama’atun Rohmah


3. AYAT TERAKHIR

Julian Khairul


4. MAAFKAN AKU

Shabrina Ws


5. RAMADHAN PERTAMA

Tia Marty.


6. RAMADHAN BULAN SYAHIDKU

Adi Wijaya


7. BAJU BARU UNTUK ANAKKU

Winny


8. INSOMNIA SETENGAH MATANG

Haji Miskin


9. RAMADHAN TERAKHIR

Dewi Eyen


10. APA KARENA RAMADHAN?

Dyah Pasti Sukses


11. ANAK GEROBAK ITU

Gita Asapuri


12. BERKAH RAMADHAN

Novi Arini


13. COPET

Afin Yulia


14. KESEMPATAN RAMADHAN UNTUKKU

Ade Anita


15. SEBUTIR KURMA

Sugiarti Flp Riau


16. NEGERI YANG MENANGIS

Fathi Nadya



17. DI HAMPARAN SAJADAH KITA BERTEMU

Diah Maharani


18. LEMARI

Akhi Dirman Al-Amin


19. CURHAT

Yudith Fabiola


20. BERKAH BULAN RAMADHAN

Nia Wasif

Chapter Bonus

KAMBING TOKCER

Dang Aji




Chapter 2


21. EMENDASI

Susanto Ariwibowo


22. MENANTI SHAFF TERDEPAN

Sari Yulianti


23. KAMUPUN SEMPET MENEMUKANNYA

Nurul Mianya Wawa


24. KECOPETAN

Ahmad Ijazi


25. KITAB TERHEBAT SEPANJANG MASA

Eva Nadzia



26. KALAH !

Ariza

27. SATRIA BERKARAT

Nin Dit



28. MENGENYAHKAN INGIN

Hairi Yanti



29. BERHARAP SYAWAL SEGERA TIBA

Ali Irfan



30. SAHUR BERSAMA AYAH

Muhammad Nur



31. HADIAH DARI-NYA DIBALIK SAKIT ITU

Evi Andriani



32. FITNAH

Essica Edi Daryanto



33. DAN KERINDUAN RAMADHAN ITU

Dyama Khazim Setyadi



34. MIE AYAM

Khrisma Awaloka



35. BONUS 4 JAM

Rida Arfah



36. SANDAL MALAM RAMADHAN-

Prima Hawari Rasulillaah



37. IMAM

Haya Nazma



38. SAAT KULUPA

Iis Rachma Mj



39. ABAH

Hilal Ahmad



40. AKSI RAMADHAN

Nurul Asmayani



Chapter Bonus

KAMBING SILUMAN

Mas Adi





Chapter 3



41. BELAJAR DARI ADIK

Santri BellaPertiwi



42. MOTOR BEBEK MERAH

Susan Nr



43. ANUGRAH TERINDAH

Dalasari Pera

44. MEMISKINKAN DIRI

Anne Adzkia



45. DETIK AKHIR SUCI

Arsyi Nurani



46. MISI GAGAL BERBUAH AMAL

Lucky Andrean Sanusi



47. DOA DUA RATUS KATA

Iman Safri Lukman



48. PAK TUA ITU

Enya Rima Rahman



49. RAMADHANMU KINI

Susan Quraisy



50. AKU, KAMU DAN RAMADHAN

Dian Phopon



51. BALADA BAHASA ARAB

Arif Rezpector



52. KETUKAN HATI

Retno Potter



53. MAKNA

Angkasa Yudistira



54. WANITA TUA BERJILBAB LUSUH

Anita Sari



55. DERMAWAN DADAKAN

Olie Lave



56. NGAJAR NGAJI

Sartika Pratiwi



57. MERIAM BAMBU

Retno Adjie



58. MENANGIS

Lukman Hadi



59. YAKINKAN AKU RAMADHAN

Brian Ardianto



60. MALAM KEENAM DI HARI KETUJUH BELAS

Candra Yusgianto.



Chapter Bonus

KAMBING JANGAN KAU PERGI

Robin Wijaya



Chapter 4



61. TIGA RAMADHAN

Kianinara Kei



62. JILBAB PUTIH

Anita Triana



63. TERNYATA DIA SEORANG MUSLIM

Nyla Setya



64. AKU, KAMU DAN RAMADHAN

Faika Rizky Damayanti



65. RAMADHAN ONLINE

Yugo Fandita



66. RAMADHAN MEMBAWA SYUKUR

Zaenal Abidin



67. NASEHAT KIAI SULHAN

Khaswandi





68. PRASANGKA

Saila Muti Rezcan



69. NAMAKU ANTO

Alga Biru



70. MENDADAK ALIM

Vindy Putri



71. IBU

Titis Pramesti



72. BAPAK TUA PENGANGKUT SAMPAH

Hindrawari Enggar



73. DI UJUNG SENJA RAMADHAN

Aulia Akhmad



74. AKU HANYA INGIN KAU TAHU…

Tyus Akira Kuuga



75. AJARI AKU PUASA YANG BENAR YA...

Ratna Mutia



76. HUJAN KARI

Zita elross



77. YANG DATANG SETAHUN SEKALI

Aryo budi P



78. ADZAN PALSU

Sri Rahayu Setiawati



79. AKU DAN RAMADANNYA

Juwanna



80. KEADILAN ALLAH

Imam Efendi



Chapter Bonus

KAMBING BALAP

Muhimah Azka



Chapter 5



81.TA’JILAN KAJIAN



82. SENYUM

Nabila Zavitri



83. SAPAAN MALAM

Eryl Zahra



84. KEJUTAN BULAN RAMADHAN

Yathi Hasta



85. BATAL BUBAR

Prita HW



86. GULALI

Ana Hamano Baena



87. NGABUBURIT

Novi Pratiwi



88. SEMAKIN MENCINTAIMU

Linda Astuti



89. HUFH, SIALKU TERLALU BERTUBI

Aqarisa Pink-200kata



90. LAILATUL QADAR

Aira Kim



91. PULANG

Karina Anggara



92. MIMPI DI UJUNG RAMADHAN

Maya Rinaluziaty



93. “KARMA” SEMUT

Sinta



94. AKU (TAK LAGI) BENCI RAMADHAN !!!

Neng Nunung



95. GUDEG RAMADHAN

Zulfikar Ulya



96. IJINKAN AKU BERJILBAB, IBU !

Triana Dewi



97. KEMBALI

Ria Maniez



98.BUKA PUASA

Shabrina Afrah



99. UPDATE

Chiharu Kyo



100. KISAH SEPOTONG ROTI

Mimin Ha Way



Chapter Bonus

THANKS GOD I’M A GOAT

Evatya Luna



Chapter 6

101. NIAT BAIK TIDAK SELALU DITERIMA DENGAN BAIK

Fitriana Cahyaningrum



102. RAMADHAN TERAKHIR

Sylvia L’Namira



103. RAMADHAN TERAKHIR BERSAMA AYAH

Ifat Fatimah Wahban



104. BANGUN TIDUR

- Annisa ‘icha’ Anastasia



105. RAMADHAN KE-13

Irr Aulia





107. RAMADHANKU DULU DAN KINI

Prito Windiarto



108. DIALOG SUNYI

Indriani Indree



109. KETIKA AKU SADAR

Kemas Ferri Rahman



110. PERMATA UNGU RAMADHAN

Zein El arham



111. KEMENANGAN KECIL DI PALESTINA

Mohamad Teguh



112. JERUK RAMADHAN

Indrawan Susanto



113. ALL IZ WELL

Imam Muslimin



114. GAMIS DAN TANK TOP

Eka Natassa sumantri



115. TUJUH MENIT TERAKHIR

Perpustakaan Abatasa



116. "TIDAKKAH SANDAL YANG HILANG MENGAJARIMU SESUATU?”

Eko Aditya Rifai



117.USAI TARAWIH

Rihan Alveo



118. RAMADHAN JANI

Hanna Llina



119. BERKAH RAMADHAN

Kembang Tawon



120. ARTI KELUARGA, SAHABAT, DAN RAMADHAN

Jesika Sartika



Chapter Bonus

MENGEJAR WEDHUS GEMBEL

Lin Lanisa Jingga



Chapter 7



121. BUKAN SETAN TERIKAT

Bunda Zakyzahra Tuga



122. PUASA BERJOGET

Yuli



123. SANDAL JEPIT

Lilik F aneka Dewi



124. NIGHTMARE

Arieska Arief



125. MENUNGGU ADZAN

Fiyan Arjun



126. ALLOH, RAMADHANKAN HATIKU DENGAN JILBABKU

Nuri Chudori



127. PUASA 16 JAM

Istikuma yati

128. AKU, KAMU DAN HARI LAHIRKU

Voe Wannabea Bee



129. RAMADHAN TAHUN INI

Chiqguitita Belista



130.TRAGEDI 3 TAHUN LALU

Amanda Ratih Pratiwi



131. TEROMPA RAMADHAN

Seroja White.



132. ADA TAKBIR DI HATIKU

Rusmin Nuryadin



133. SEPERANGKAT ALAT SHOLAT

Pik Parwati



134. SEPAKAT

Faricha Hasan



135. SENJA JELANG RAMADHAN

Riana Setianingsih



136. SAMBAL GORENG HATI SPESIAL

Ida Fitrie



137. BERKHIDMAT PADA RAMADHAN ?

Asmalinda



138. TETANGGAKU UCOK

Riri



139. RHOMADHON KU TANPA RHAMADHAN

Ady Azzumar



140. RAMADHAN di BULAN RAMADHAN

Chitra Herdian Putri

Chapter Bonus

HARGA DIRI

-Novyarini-



Chapter 8



141. RAMADHAN di RUMAH PUTIH

Naqqiyah syam



142. PHOBIA PARAH

Widya Arum



143. MUNGKIN ADA MASANYA

Shona Vitrillia



144. MONOLOG PENGHUJUNG SYA’BAN

Mashdar Zainal



145. MENYESAL

Bayu Insani



146. AFTER TWENTY YEARS

Riya wati



147. KUCING DI BULAN RAMADHAN

Arinaldo Rafa



148. RAMADHAN TANPA CINTAMU

Iir Harun



149. HARI PERTAMA RAMADHAN DI BUMI SRIWIJAYA

Risa Mutia



150. HARI PERTAMA PUASA

Nanaz Nazrul



151. HADIAH

Umi Hasfa

152. AKU DAN WANITA ITU

Eros Rosita



153. DEFINISI DAN HARAPAN

Fani Yunata



154. KAMU BANYAK ALASAN

Jazimah al Muhyi



155. SURPRISE RAMADHAN

Irena Puspawardani



156. TONG – TONG PREK

Adi Toha Jalaindra



157. RAMADHAN TERAKHIR

Rihanu Alifa





158. BAKWAN ITU....

Qonita Musa





159. KEMBALI TANPA KEMBALI

Ridwan Young



160. RAMADHAN DAN CINTA

Binta al - MamBa



Chapter Bonus

OH, TIDAAK !!

Lia Herliana



Chapter 9

161. AKU DAN PARA RAJA DI BULAN PUASA

Murti Yuliastuti



162. NIKMAT DI BULAN RAMADHAN

Nora Apriyani Rahmaniar





163. WAKTU YANG TAK TERGANTIKAN

Muhammad Rasyid Ridho.





164. GARA-GARA ADA TAMU

Erny Binti Sanusi



165. RITUAL BARU KELUARGA BABEH

Dwi Endah Septiyani



166. AKU PINTAR KAN...?

Gesang Sari Mawarni



167. KARENA ALLAH

Siti Mulia al-mufarid





168. WONG CILIK

Oci Aja



169. PETASAN

Wisnu Wissanggeni Aditya



170. PENASARAN

Deni Kurniawan



171. SELAKSA ASA PADA RAMADHAN PERTAMAKU

Endang Ssn.



172. KISAH KAKEKKU

Galuh Chrysanti



173. NASI GORENG CINTA

Koko Nata



174. 8 VS 20

Endang Sri Sulistya



175. KULKAS ALA BAPAK

Ema Rachmaniawaty



176. RASA SESALKU

Rahmat Zuhud



177. SMS PERTENGAHAN RAMADHAN

Aswary Agansya



178. NASI TEMPE

Nuha Ibnu Rusyd



179. RAMADHANKU ULANG TAHUNKU

Aura Aurora



180. TRADISI MUDIK

Herw Chokichim



Chapter Bonus

TERTANGKAP BASAH

Ikha Ismawatie



Chapter 10



181. DO’A CINTA

Denis Almuharam Yahya



182. CATATAN AKHIR SEORANG TEMAN

Prihadi Kurniawan



183. RAMADHAN SEMAKIN SENJA

Sya Nisa



184. SELNA

Jupexmgl



185. UKHUWAH DI SEBUNGKUS KURMA NABI

Yuliza Sachira



186. KENANGAN MASA KECIL

Azkiya Sastra



187. NOL

Daniel DH



188. PIKNIK TARAWIH

Visya Blue



189. KEMATIANKU SAAT RAMADHAN

Chosi’in



190. BUNGA JANTUNG PISANG

Phoenix Wibowo



191. NAPAK TILAS RAMADHAN

Vyga Afisatiarini



192. PRASANGKA

sofi Bramasta



193. ATAS DOA’A IBU, ALLAH GENAPKAN PUASAKU

Elis Tating Bardiah


194. AKU DAN NIKMATNYA LAILATUL QADAR

Dang Aji



195. HADIAH TERINDAH DARI TUHAN

Doni Febriando



196. RAMADHAN KITA, RAMA...

Ratna Wulandari



197. AKU TERSENYUM

Amerul Rizki



198. SEPASANG PAHA AYAM (MENJELANG BERBUKA)

Itok Kurniawan



199. LELAKI DI NGIANG SHALAWAT

Taufan E. Prast



200. KEDUA

Tridju Pranowo



Chapter Bonus

JUAL BELI PALING MENGUNTUNGKAN

Endang Sri Sulistiya

HANYA KAMBING BIASA

Etik Widya



Ps : Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website www.leutikaprio.com, inbox Fb dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0821 38 388 988. Untuk pembelian minimal Rp 90.000,- GRATIS ONGKIR seluruh Indonesia. Met Order,all!!

Senin, 11 April 2011

Antologi Curhat Cinta Colongan



HOREEE !! Bukuku udah ada yang terbit Lagi neh....
Buku ini berisi tentang curahan hati seorang penulis tentang cinta mereka. Dalam buku ini juga berisi luapan hati yang sudah lama menghiasi hati para penulisnya. lewat persembahan ini, maka curahan hati itu bisa tersampaikan. so, buruan beli...

Curhat Cinta Colongan #3
harga buku : RP 45.000
PEMESANAN AKAN DIBERITAHUKAN SELANJUTNYA

JUDUL CERITA:

18 AGUSTUS 2006
CURHATAN GALAU
SAAT KAU TAK DI SINI
SLOW DOWN, BABY!
SURAT PENYEMANGAT UNTUK DIRIKU
CUES TO STOP
AKU.CINTA.INDAH
BEBEK KECIL
KETIKA KITA HARUS MEMILIH
I’M PROUD
LOGIKA CINTA
A LETTER FROM YOUR DAUGHTER
AKU DAN KAMU
LOOK, MR.GHOST...
BIARKAN AKU MEMILIH CINTA
28
ANTARA AKU DAN ABANG
DEAR MY MATE
CINTA (YANG MUNGKIN SALAH)
ONLY YOU! NO OTHER!
OPPAREUL SARANGHAE
SEBUAH KEJUJURAN
CINTA LAMA BERLALU KEMBALI
SAAT SEMUA BELUM DIUNGKAPKAN
SAHABAT (?)
NADIR – NADIR MENGOYAK BATAS RUANG MASA KECIL
IS IT OKAY?
NAMANYA VIDI
CERITAKU
SAKSI BISU
DIARY BIDADARI
CINTAKU BERAWAL DARI KEISENGAN
KAMULAH NUANSAKU
EVERLASTING LOVE
TANTE PANDA
KISAH JIN, JON, & RADIT

Nama penulis:

Illa Purnama Sari
Ririn Tagalu
Lusia Dayu
Ninien Irnawati
Rizma Adlia Syakurah
Rahmi Aulina
Nicky Maulani
Radika Juan
Mytha Pramuningtyas
Grace Yunita Sari
Halida Hanum
Galuh Puspitaningsih
Dheril Sofia Nanda
Petrus Eric
Dian Ratnasari
Citra Mardiati
Widya A
Ratna Fitria Utami
Dista Aristy
Angela Rosa
Aswary Agansya
Za Faizha
Lakuning Banyu
Eizan 'EZ' Higayashima
Muhammad Ardiansyah
Spaz
Haryo Nurtiar
Nyokinyoki
Handayani
Ratih Indah Lestari
Olivia Novina Damayanti
Yuriz Afrizal
Rosaria Liman
Shanty Adhytya


Untuk Pemesanan, hubungi http://yukwangi.blogspot.com/

Jumat, 04 Maret 2011

Novelet : Pahatan Cinta Nabila...!

Oleh : Ksatria Bulan

Siang itu cuaca sangat cerah sekali. Matahari bersinar dengan terik, menjilati kulit siapa pun yang berada dibawahnya. Hanya panas dan gerah yang terasa. Terlihat pohon-pohon pinggir jalan tak berkutik sedikit pun, mungkin mereka juga merasakan panasnya sengatan matahari itu. Orang-orang yang kebetulan berjalan dan beraktifitas di pinggir jalan itu juga tak kuasa menyerahkan kulitnya yang mulus ditampari sinar ultraviolet yang ganas tersebut. Kebanyakan dari mereka malah memakai payung atau berjaket demi melindungi jaringan kulit-kulitnya. Benar-benar cuaca yang sangat menyebalkan.

Aku termenung dalam angkutan umum yang melaju pelan menyusuri jalan. Kupandangi kegiatan sekitar dari balik jendela angkutan yang kunaiki. Meski dua mataku memandang keluar jendela, namun tak dapat kupungkiri bahwa pikiranku ini tak searah dengan apa yang kulihat. Entah mengapa otak ini terus mengingat kata-kata pemilik kios yang kudatangi tadi pagi.

"Maaf, lain kali saja ya Mas. Kami masih belum membutuhkan patung-patung milik Mas," seru salah satu pria pemilih kios patung.

Sebenarnya bukan pertama kalinya aku mendengar kalimat penolakan itu. Sampai hari ini saja aku sudah mendengar kalimat itu hampir ke seratus kalinya. Tak ada yang berubah. Tapi entah mengapa justu kalimat ke seratus inilah yang membuatku kepikiran sepanjang perjalanan pulang. Mungkin saja telingaku mulai jenuh dan lelah mendengar kalimat yang sama setiap hari.

Oh iya, perkenalkan, namaku Arman, lengkapnya Arman Al Hafsi. Tak ada yang istimewa pada diriku. Bisa dibilang, aku hanyalah seorang mahasiswa yang kerjanya hanya memahat patung. Karena hal itulah sebenarnya hobiku selama ini. Senang rasanya jika menuangkan apa yang ada dalam pikiranku ke dalam sesosok patung. Bagiku, pahat-memahat pada patung merupakan kreatifitas yang jarang dan bahkan mungkin tak pernah diminati bagi beberapa pemuda seumuranku. Aku senang dengan pekerjaan ini. Patung adalah gambaran isi hatiku yang tak dapat dipungkiri meski diriku sendiri. Dialah suasana hatiku yang berwujud sebuah patung.

"Kampung Barisan... Barisan... Barisan..." tiba-tiba saja suara kenek menyadarkanku dari lamunan. Kagetnya lagi, patung katak yang kupegang terjatuh dari genggaman tanganku. Untung saja tidak ada yang patah. Patung itu salah satu dari sekian karya-karyaku yang kubawa dan kutawarkan pada para pemilik kios di galeri yang kudatangi. Aku menghela napas lega.

Selanjutnya, aku terkesiap dan mulai mengamati daerah sekitar. Rupanya sudah saatnya aku turun dari angkutan berwarna biru itu. Akhirnya dengan tergesa-gesa aku turun. Kupijakkan kedua kaki ini di atas jalan beraspal yang panas dan berdebu serta berpolusi itu. Lalu berjalan menuju gang rumahku yang berjarak tak jauh dari tempatku berdiri. Jam menunjukkan pukul sebelas siang lewat lima belas menit. Begitu tiba dirumah, kulemparkan patung katak di atas tempat tidur. Begitu juga dengan tubuh ini, langsung menghambur bantal dan guling yang tergeletak di atas kasur bersprei warna coklat tua itu.

***

Sore itu aku terbangun karena telepon selulerku berdering sekeras-kerasnya di dekat telinga kananku. Tapi ketika kuamati layar seluler itu, tiba-tiba saja deringannya berhenti. Ternyata, kerjaan sahabatku yang memang kegemarannya menggangguku di kala aku sedang tidur. Aku mengucek kedua mataku, ternyata tidur tidak membuat kepalaku tenang, malah semakin membuat tak karuan. Pikiran terasa penat. Kepala pusing, pening tujuh keliling bak bola api yang hampir saja meledak. Darah mengalir deras dan bergemuruh hebat. Nafas seakan tergesa-gesa keluar masuk dari kedua lubang hidung yang melekat erat diwajahku. Rasanya ingin marah! Ingin berteriak! Bahkan ingin meronta sekeras-kerasnya! Itulah yang sedang aku alami sore itu. Padahal cuaca sangat dingin, tapi entah mengapa suhu tubuh ini terasa amat sangat panas membara, sehingga keringat yang awalnya malas keluar, terpaksa keluar menerobos pori-pori kulit dan mengalir membasahi tubuh ini. Aku tak mengerti dengan cuaca akhir-akhir ini. Tadi siang panas bak di neraka, kini malah mendung dan dingin bak di surga. Oh, bumi memang sudah tua.

Sesekali aku membolak-balikkan tubuh di atas kasur yang beralaskan sprei warna coklat tua itu. Tak cukup satu menit, kutarik tubuhku hingga posisi duduk. Keadaan kamar yang begitu usang dan berantakan membuat kepalaku semakin pusing dan terasa berat saja. Buku-buku berserakan di mana-mana, di kasur, di meja, bahkan ada pula di lantai. Baju-baju dan selimutku pun begitu, bertumpukan tak tentu arah. Kipas angin juga tak mau kalah, terus berputar sesukanya.

Masih saja terasa pusing meski dengan posisi duduk, aku pun berdiri dan menggerakkan kedua kaki ini kesana kemari. Aku melihat beberapa ekor kunang-kunang di atas kepalaku, mereka bersorak sorai mengelilingi batok kepala ini. Tampaknya mereka bahagia dan bangga dengan kondisiku. Mereka senantiasa berdendang bak para penari balet yang beraksi di atas panggung sandiwara. Sepertinya kedua tanganku merasa gatal dan gerah ingin sekali menampari kunang-kunang itu satu persatu. Ingin pula rasanya memusnahkan kebahagiaan mereka di atas penderitaan rasa pusing yang tengah kualami ini. Pokoknya sore itu keadaanku semakin parah saja.

Beberapa menit kemudian, kupegang kepala ini dengan jemariku. Kupejamkan pula kedua kelopak mata ini. Otakku benar-benar berada pada suhu tinggi. Mungkin saja bisa mencapai seratus derajat celcius, atau bahkan lebih dari itu.

Kuremas, kutekan-tekan pelan kulit kepalaku, lalu dengan sepenuh tenaga, kurebahkan kembali tubuhku ke atas kasur. Kulemparkan pandangan ke arah langit-langit kamar. Menerawang peristiwa-peristiwa beberapa hari yang lalu.
Entah mengapa bayangan itu semakin membuatku geram.

“Tidak! Tidak! Tidak…!!” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku seiring mata tertutup dan tangan meremas kuat alas tempat tidur.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di balik daun pintu kamar. Diiringi suara lembut panggilan namaku. Awalnya aku tak menghiraukan ketukan itu, karena aku merasa malas bangun dari posisi telentangku. Semakin lama ketukan itu terasa semakin kencang saja. Dengan berat hati, akhirnya kucoba beranjak dan tertatih-tatih menuju ke arah pintu.

“Arman! Kau baik-baik saja?!” suara seorang gadis bernama Nabila langsung menyambarku tatkala pintu kamar mulai terbuka. Alih-alih mau menjawab pertanyaannya, untuk menggerakkan bibirku saja aku merasa malas.

Aku pun tak merespon pertanyaan Nabila, dengan segera aku membalikkan tubuh ini melangkah ke tempat tidur. Nabila yang membuntutiku tercengang melihat keadaan kamar tidurku. Kedua bola matanya seakan menyorot ke seantero celah. Bahkan tak satu pun celah terlewatkan oleh pandangannya. Dia kaget. Sejenak gadis itu menggelengkan kepalanya seraya berkata,

“Mengapa buku-buku dan selimutmu berserakan bak tumpukan sampah Arman? Sebenarnya apa yang terjadi di kamar ini?”

Sekali lagi aku tak menghiraukan pertanyaan Nabila. Aku hanya diam, duduk di bibir tempat tidur sembari memegang kepalaku. Nabila memungut beberapa buku yang tergeletak di lantai dan meletakkannya di atas meja. Lalu gadis berwajah imut dengan bibir manis itu melangkah duduk disampingku,

“Cobalah kau bagi ceritamu padaku wahai sahabat. Masalah apa gerangan yang tengah kau hadapi ini? Tak biasanya kau seperti ini. Coba kau ceritakan padaku semua hal yang membuatmu berubah begini, Arman.” ucap Nabila pelan sambil merapatkan tangan kanannya di pundakku. Suaranya begitu lembut dan terdengar sangat perhatian padaku.

“Aku sudah gila, Nab! Gila!!” pekikku seraya menepis tangan Nabila dan berdiri membelakanginya.

“Gila? Gila bagaimana maksudmu Arman? Sungguh aku tak mengerti perkataanmu itu,”
“Memang kau tak akan pernah mengerti pikiranku. Aku benar-benar sudah gila! Gila! Gila!!” teriakku sekuat urat syarafku.

Sepertinya Nabila semakin tak mengerti maksud perkataanku. Terlihat jelas dari kerutan di dahinya. Seketika itu pula pandanganku mulai kabur, kepalaku semakin pening, kunang-kunang itu bersorai sambil bertepuk tangan kegirangan.
Tiba-tiba . . .

BRUUUK!!! Tubuhku jatuh tersungur ke lantai. Pingsan.
Nabila gemetar, panik melihat keadaanku. Hal tersebut jelas tergambar dari nafas dan keringat yang keluar dari tubuhnya. Mengalir bercucuran tanpa permisi dari pori-pori kulitnya.

***

Selang tiga jam berlalu, aku belum juga siuman dari ketidaksadaran itu. Rasa-rasanya tubuh ini menikmati betul ketenangan alam bawah sadarku. Akhirnya setelah tiga setengah jam kemudian aku terbuai dalam ketidaksadaran itu, secara tak sengaja kedua mata ini mulai terbuka, berkedip seiring berjalannya waktu. Aku menangkap sesosok bayangan gadis sedang duduk di sebelahku. Semakin tampak jelas saja wajah gadis yang menjadi sahabatku itu. Dialah Nabila yang ternyata masih setia menjagaku selama aku pingsan.

“Na...Nabila...?“ kataku pelan.

Nabila tersenyum melihat aku mulai sadar. Senyuman itu begitu teduh dan sejuk dipandang mata. Dia membantuku duduk bersandarkan bantal. Betapa herannya diriku setelah melihat keadaan kamar yang awalnya kotor dengan tumpukan-tumpukan buku dan selimut, kini menjadi bersih, rapi bahkan terasa wangi aroma terapi. Setelah puas melihat keadaan kamarku, kedua mataku pun beralih memandang sesosok gadis berbaju hijau di hadapanku.

“Si...siapa yang merapikan kamar ini?” tanyaku dengan suara sedikit terbata-bata karena rasa pening yang kualami masih tersisa.
Nabila pun kembali tersenyum.

“Aku benar-benar heran dengan keadaanmu, Man. Sepertinya sudah seminggu kamar ini tak kau bersihkan ya? Mengapa hal ini bisa terjadi padamu sobat? Padahal tak biasanya kau mengalami kejadian seperti ini,”

“Jadi kau yang merapikan semuanya?” tanyaku memastikan. Nabila mengangguk pelan. Betapa anggunnya gadis itu sehingga rasanya hati ini merasa tenang berada disampingnya.

“Aku rasa itulah tugasku sebagai sahabatmu, harus saling membantu.” tambah gadis itu seraya mengambilkan segelas air putih di atas meja.

"Coba kau minum air ini dulu, supaya kau bisa lebih segar" lanjut Nabila seraya menyodorkan gelas itu ke bibirku.

“Thanks ya Nabila atas semuanya, dengan keadaan kamarku yang seperti ini setidaknya lumayan membuat otakku terasa lebih tenang,”

“Sebenarnya apa yang sedang kau alami Man?” pertanyaan Nabila kali ini membuatku kembali teringat akan masalah-masalahku.

“Nggak, nggak ada kok Nabila,” elakku.

“Sudahlah Arman, aku sudah mengenalmu sejak lama. Aku juga tahu bila kondisimu dalam keadaan bahagia ataupun sedang banyak masalah. Kuharap jangan kau pungkiri lagi citra persahabatan kita. Lagi pula jika kau menceritakan masalahmu padaku, siapa tahu aku bisa membantu menyelesaikannya, bahkan siapa tahu pula pikiranmu jadi lebih tenang setelahnya.”

Aku terdiam mencoba mencerna kata-kata Nabila. Persahabatan kami memang sudah cukup lama. Dengan begitu, susah senang harus ditanggung bersama. Apalagi dalam sebuah persahabatan itu harus ada kejujuran. Kudongakkan kepalaku memandang Nabila yang sejak tadi tak melepaskan pandangannya padaku. Sepertinya gadis berhidung mancung itu berharap penuh aku segera menceritakan masalahku.

“Kepalaku pusing, pening memikirkan patung-patungku,” ucapku mengawali cerita.

“Aku sekarang sudah gila Nabila. Rasa-rasanya aku tak sanggup lagi menghadapi semua ini” lanjutku.

“Apa hubungannya patung-patungmu dengan semua kegilaan itu?” tanya Nabila lagi seraya menajamkan pandangannya. Aku tertunduk lesu mencoba menahan rasa pening di kepala. Kuhirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.

“Aku sungguh tak mengerti di mana letak kekuangan patung yang kubuat, sehingga para penjual banyak yang menolaknya! Padahal patung itu kubuat dengan penuh rasa semangat yang menggebu-gebu. Kupahat dengan gairah yang membara. Dan kuukir dengan rasa suka yang tiada tara. Tapi, dari sekian banyak patung yang kutawarkan, tak satu pun yang bisa menembus kios impian di lorong-lorong itu. Aku hampir gila memikirkan semua ini, Nabila” ceritaku dengan suara sedikit serak.
Nabila diam, tak begitu lama gadis itu tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya benar-benar terdengar membahana di telingaku. Aku merasa geram, kesal dan ingin menamparnya saja, tapi kuurungkan niat itu.

“Hmm…!! Teman lagi kesusahan, malah ditimpali dengan tawa!” gumamku dalam hati.
Sekali lagi Nabila menertawaiku tanpa henti. Aku semakin geram. Kutundukkan kepalaku dengan muka masam. Akhirnya gadis di hadapanku itu menyadari kegeramanku, ia pun langsung menghentikan tawanya.

“He... sorry bro, terus bagaimana?” tanyanya kemudian seolah-olah tak bersalah. Aku memilih diam,

“Jadi kau kesal memikirkan patung-patungmu sampai merasa gila seperti ini?” lanjut Nabila. Aku tetap diam. Kesal.

“Ngomong-ngomong berapa kali karyamu ditolak mereka?” tanya Nabila lagi. Aku semakin kesal dengan deretan pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan kesal pula aku menjawab,

“Lebih dari seratus kali. Biarlah aku berhenti saja jadi pematung! Sepertinya aku tak berbakat dalam bidang ini,” gerutuku.

Nabila kembali tertawa setelah mendengar jawaban dariku. Kali ini tawanya membuatku kesal. Aku pun mulai naik pitam.

“Kalau kau datang kesini hanya untuk menertawaiku, lebih baik kau pulang saja jangan semakin memperkeruh suasana hatiku. Karena ini bukan sebuah lelucon Nabila!” bentakku pada gadis itu.

Sontak Nabila diam, sepertinya ia menyadari betul letak kesalahannya.

“Maafkan aku Arman, bukan maksudku begitu,” sahutnya kemudian.

“Lalu apa maksudmu menertawaiku?!!”

“Ku harap kau jangan marah, begini loh maksudku,” kata Nabila lagi. Dia terdiam sejenak. Gadis berbibir manis itu sedang memikirkan sesuatu. Kemudian ia pun berkata,

“Aku rasa perjuanganmu masih belum seberapa jika dibandingkan dengan seorang Thomas Alva Edison dan Alexander Graham Bell, Arman. Bukan aku bermaksud menciutkan semangatmu, tapi bukankah kamu tahu bahwa Thomas Alva Edison melakukan eksperimennya sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali, tapi semuanya gagal total. Meskipun semuanya gagal, namun dia tetap terus bersemangat menekuni eksperimen demi eksperimen sehingga pada eksperimen yang keseribu kalinya, dia mampu menyelesaikan dengan penuh keberhasilan. Bahkan keberhasilan itu masih terasa hingga sekarang, bumi kita ini terang benderang dengan cahaya lampu di waktu malam, kita bisa bermain musik bahkan bisa menonton televisi kapan saja,”

“Selain itu, tak jauh berbeda dengan Thomas, seorang Alexander Graham Bell juga mengalami hal yang sama. Dia terus memperjuangkan penemuannya meskipun banyak kalangan yang mencemooh hasil penemunnya itu. Dengan kesabaran yang teguh dan semangat yang tinggi pula, akhirnya sang Alexander Graham Bell mampu mewujudkan mimpi-mimpinya itu. Hasilnya juga masih terasa hingga sekarang loh, Man. Dia kan penemu kinerja telepon yang bisa digunakan berkomunikasi jarak jauh itu. Seperti ini, handphone kita. Jadi, aku rasa, kau masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka.” jelas Nabila dengan mata menatapku tajam. Aku diam seribu bahasa, mulutku seakan bungkam dan terkunci rapat mendengar penjelasan gadis berambut lurus sebahu itu.

“Ingatlah Arman, sahabatku. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Jika kau ingin merasakan kesuksesan, mau tidak mau kau harus merasakan yang namanya kegagalan. Bukankah seorang bayi tidak bisa langsung berjalan? Melainkan masih memasuki proses merangkak. Insyaallah suatu saat nanti kau pasti bisa berjalan, bisa menghadapi kesuksesan. Asal saja, kau terus berusaha dan berdoa kepadaNya. Ingat satu hal Arman, Allah tidak suka dengan orang yang mudah berputus asa. Dengan begitu, janganlah kau terpuruk begini wahai sahabatku, bangkitlah dan terus berkarya.” lanjut gadis itu menepuk pundakku beberapa kali.

Kembali aku mencerna kata-kata Nabila. Beberapa menit berlalu, aku pun menatap raut wajah sahabatku yang teduh itu. Wajahku terasa segar kembali, aku pun kembali sumringah di hadapan Nabila. Rasa pening di kepalaku sedikit mulai berkurang. Aku merasa mempunyai pencerahan melalui kata-katanya. Kata-kata semangat dari bibir Nabila yang diam-diam kukagumi.

“Nah....semangat dong... Jangan takut menghadapi kegagalan. Oke?” tambah Nabila menyunggingkan sebuah senyuman manisnya padaku. Kuterima senyuman itu dengan dada bergetar.

***

Perempuan itu, selalu saja bisa membuatku bangkit kembali, meski aku telah jatuh ke dasar samudra sekali pun. Nabila. Sahabat yang kukenal secara tak sengaja ketika hendak menawarkan hasil karyaku. Ketika itu, dia sedang mengantar sepupunya yang datang dari Serang membeli cendera mata untuk oleh-oleh. Dia yang melihatku tengah memegang patung, mengira aku sebagai pemilik toko. Panjang lebar dia bercerita tentang sepupunya yang menginginkan kesenian yang unik sebagai buah tangan untuk keluarganya di Serang, tak memberi kesempatan sedikit pun padaku untuk menyelanya. Penjaga toko itu sendiri, hanya diam mematung melihat tingkah Nabila yang seronok itu, memanggapku pemilik toko, padahal aku pun baru kali itu mampir di toko tersebut. Dasar! Ada-ada saja.

Setelah lama menceracau, akhirnya Nabila berhenti bicara juga, kehabisan kata.

“Maaf Mba, saya bukan pemilik toko ini. Saya sama-sama pengunjung kok. Itu pemilik tokonya.” tuturku sembari menunjuk sopan pada pemilik toko yang sejak tadi memperhatikan kami.

Lucu sekali jika ingat mimik wajah Nabila saat itu. Tersentak dan langsung memerah seperti kepiting rebus. Demi etika, kutahan sekuat tenaga tawa yang membuncah di dada. Padahal, jika dia telah benar-benar menjadi sahabatku, aku akan meledeknya habis-habisan, tertawa terbahak tiada henti.

Sejak itulah kami berkenalan. Dan secara kebetulan, ternyata ibuku adalah teman pengajian ibu Nabila. Dengan banyak sekali kebetulan-kebetulan lain, akhirnya aku menjadi sedekat sekarang dengan Nabila. Atau mungkin, ini semua memang takdir. Jalan Tuhan untuk mempertemukan kami, bukan hanya sekedar kebetulan. Mungkin saja.

Aku tersenyum ketika memoriku dengan Nabila tiba-tiba berderai begitu nyata dalam benakku, seperti menonton film, hanya saja, filmnya tak tampak oleh kedua mataku, tapi nampak oleh mata hatiku. Tuhan, mungkinkah dia jodohku? Semoga saja.

Nabila itu sempurna. Dia pintar. Dia ramah. Dan yang terpenting, dia cantik, baik secara fisik maupun kepribadian, yahh meski harus kuakui dia terkadang juga menyebalkan. Tak heran jika berlama-lama ada di dekatnya. Aku merasa, cinta mulai bersemi di hatiku. Dia mampu meretaskan dinding-dinding keangkuhan yang selama ini begitu kokoh terbentuk di hatiku. Memang cinta terkadang sulit dimengerti.

Tapi sejauh ini, Nabila tak mengetahui soal perasaan yang kupendam ini, bahkan mungkin dia tak terbayang sama sekali, bahwa seorang pematung buluk sepertiku, berani mencintai wanita sesempurna dirinya. Bisa menjadi sahabat pun sudah hebat. Entahlah, aku terlalu takut menyatakan perasaan ini pada Nabila, aku takut dia menolak cintaku.

“Arman…”

Sebuah suara yang sangat kukenal tiba-tiba berdengung di telingaku. Membuyarkan semua lamunanku. Kulihat Nabila berdiri di depan pintu yang terbuka. Masih dengan senyum jailnya, dia menghampiriku.

“Ngelamun apaan sih siang bolong begini? Serius amat! Lagi jatuh cinta ya?” goda Nabila sembari terkekeh.

“Jatuh cinta sama kingkong!” jawabku keki diledek seperti itu oleh Nabila. Andai Nabila tahu bahwa dialah satu-satunya perempuan yang telah merampas semua cinta yang kupunya saat ini.

“Ciee… Arman lagi falling in love nih, sama kingkong lagi. Hehehe…” Nabila terus meledekku, membuatku jengah.

Akhirnya ku putuskan untuk mengajaknya pergi, sebenarnya sih hanya berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku takut Nabila bertanya terlalu jauh tentang siapa gadis yang kucintai itu.

***

Hari beranjak senja. Sepanjang siang tadi, aku dan Nabila menghabiskan waktu dengan berkeliling Bandung. Mencari kios-kios cendramata untuk menawarkan patungku. Siapa tahu ada yang berminat. Ya, bisa dibilang sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sambil usaha memasarkan patung, aku juga kencan dengan Nabila. Meski patungku tetap tak terjual satu pun, tapi menyenangkan sekali bisa menghabiskan banyak waktu dengannya.

Sore itu, kami sepakat untuk menyusuri sebuah jalan layang dengan berjalan kaki. Nabila yang mengajakku. Awalnya aku enggan, untuk apa juga menyusuri jalan layang yang jelas-jelas bukan untuk pejalan kaki, tapi kupikir, ada baiknya juga, agar aku tak segera berpisah dengan Nabila. Aku menyetujuinya.

Jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 17.20. Sudah sore sekali.

“Man, di situ yuk?” tiba-tiba Nabila mengajakku menepi di salah satu sisi jembatan layang.

“Ada apa sih?” tanyaku heran.

Tanpa menjawab pertanyaanku, Nabila menarik paksa tangan kananku, membuatku harus mengikutinya. Lalu dia berhenti beberapa meter dari tempat kami berhenti tadi. Dia menyuruhku mengahadap ke barat. Meski aku bingung, ku ikuti saja kemauannya.

Astaga! Ternyata ini yang ingin diperlihatkan Nabila kepadaku. Pemandangan yang sangat indah tak terperi. Di hadapanku, terbentang langit jingga yang mempesona. Terkadang kawanan burung berlalu membelah langit, sembari bersenandung merdu melodi cinta. Matahari ku lihat jelas di ufuk barat menyampaikan salam perpisahan. Perlahan semakin rendah tenggelam menyelusup di antara deretan rumah kumuh di ujung pandang mata.

Kami terdiam menikmati matahari terbenam. Kulihat sekilas wajah cantiknya yang berhias senyum penuh kedamaian. Rambutnya sedikit berantakan terhempas angin yang semilir. Sungguh menakjubkan sore ini.

“Arman… maafkan aku ya, kalo selama ini aku banyak banget salah sama kamu, gak bisa jadi sahabat yang baik buat kamu. Kalo nanti aku gak ada, kamu gak usah cari aku. Karena sebenernya aku selalu ada di hati kamu.” tiba-tiba Nabila membuka suara, namun apa yang dibicarakannya, sungguh membuatku terkesiap. Apa maksudnya?

Aku menerka-nerka makna pembicaraan Nabila. Mungkinkah dia memiliki suatu penyakit dan usianya tak lama lagi? Itu tidak mungkin, karena selama ini Nabila justru sangat menjaga kesehatannya.

“Apa maksud kamu, Nab?” tanyaku dengan alis bertaut dan kening yang berkerut.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Nabila hanya tersenyum penuh arti. Senyuman yang tak dapat ku terjemahkan. Lalu, dia melenggang meninggalkanku yang terpaku bingung di tempatku.

***

Sudah seminggu berlalu sejak hari itu, hari di mana aku menikmati senja berdua bersama Nabila. Nabila tak pernah lagi datang ke rumahku, tak juga menghubungiku. Dia hilang seperti ditelan bumi.

Beberapa kali aku mencoba menghubungi ponselnya, tapi selalu tidak aktif. Aku juga berusaha berkunjung ke rumahnya, tapi rumah itu selalu tertutup rapat seolah tak bertuan. Tak hanya itu, aku juga kerap kali bertanya pada ibuku soal ibu Nabila, tapi kata mama, ibu Nabila sudah lama tak mengikuti pengajian rutin. Kemana Nabila?

Aku bingung setengah mati memikirkan perginya Nabila yang tanpa pamit itu. Apakah ini yang dimaksud Nabila dengan kata-katanya sore itu? Tapi kemana Nabila sebenarnya? Kenapa dia tak berpamitan kepadaku?

Hatiku sibuk bertanya-tanya ketika seorang gadis dengan rambut sebahu menubrukku.

“Hei, pelan-pelan dong kalo jalan!” hardikku ketus.

“Maaf, saya buru-buru.” jawabnya sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, lalu berlalu tergesa.

Pikiranku kembali pada Nabila. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Apakah aku harus tetap berusaha untuk menemukannya? Atau tak perlu mencarinya seperti yang dia katakana tempo hari?

Tak terasa aku telah sampai di depan rumah. Padahal aku berjalan cukup jauh. Tapi aku tak merasa lelah sedikit pun. Mungkin karena sejak tadi pikiranku tersita oleh persoalan Nabila.

Ku jejakkan kakiku di teras rumah. Ku ucap salam perlahan kemudian melepas sepatu. Sepertinya di dalam sedang ada tamu.

Benar saja, ketika aku sampai di ruang tamu, mama tengah berbincang akrab dengan seorang perempuan. Perempuan itu! Perempuan yang tadi menabrakku. Ada apa dia di sini?

“Lho, kamu bukannya yang tadi nabrak saya?” cecarku penuh tanya.

“Oh iya, maaf soal yang tadi, Mas. Perkenalkan nama saya Nabila. Nabila Arisa Putri.” tuturnya ramah sekali, nyaris mengganti semua kesanku tentangnya saat pertama kali bertemu tadi. Tapi apa dia bilang? Nabila? Namanya Nabila? Apa maksudnya semua ini?

“Iya, Man. Dia ini murid papamu. Katanya mau minta bimbingan. Tapi sayang dia terlambat, karena papa baru saja pergi.” Mama menjelaskan kepadaku perihal kedatangan orang asing itu. Hmm… maksudku Nabila Arisa Putri.

Bertemu seorang Nabila lagi secara tak sengaja, ketika aku kehilangan Nabilaku yang ku cintai. Mungkinkah semua ini kebetulan saja?

“Ohh…” sahutku pendek, tak mampu menjawab lebih dari itu. Aku melenggang masuk kamar. Tidak sopan sih, tapi biar sajalah, dia juga tadi tidak sopan menabrakku seenaknya.

Aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Sekarang, pikiranku makin runyam dengan datangnya Nabila baru ini. Apa mungkin Tuhan hendak menggantikan perginya Nabila Shafira dengan kedatangan Nabila Arisa Putri?

Nabila Arisa Putri, jelas berbeda dengan sahabatku Nabila. Dia tak secantik Nabila yang selama ini kukenal. Lebih pendek, kulitnya lebih gelap, tapi ada sesuatu yang menarik, dia lebih ramah. Hanya itu yang bisa kuceritakan soal Nabila Arisa Putri, karena aku memang belum terlalu mengenalnya. Dan aku pikir aku tak perlu juga mengenalnya lebih jauh.

Setelah berjalan berkeliling Bandung mencari Nabila seharian ini, aku merasa persendianku serasa mau copot. Lelah sekali. Tak terasa aku pun terlelap.

***

Empat hari lagi Nabila berulang tahun, tapi tak juga ku dengar sedikit pun kabar tentang dirinya. Entah kemana dan kenapa, aku sama sekali tidak tahu. Seharusnya, dalam ulang tahunnya kali ini, aku bisa mengahabiskan waktu berdua dengannya. Memberikan kejutan-kejutan manis yang akan selalu dikenangnya. Tapi nyatanya, sampai detik ini pun, Nabila tak terlihat batang hidungnya.

Lama melamun soal Nabila, tak terasa aku berjalan terlalu jauh. Aku sama sekali tak mengenal wilayah ini. Sepanjang jalan hanya hutan dan pepohonan yang ku lihat. Kenapa aku bisa sampai di sini?

Ya Tuhan, memang ini semua kebodohanku. Aku berjalan tanpa memikirkan arah kakiku, yang ku pikirkan hanya Nabila, Nabila, dan Nabila terus, hingga sekarang aku tersesat di sini. Hendak mencari Nabila, malah terhempas di wilayah tak kuketahui.

Karena lelah aku pun akhirnya beristirahat di bawah sebuah pohon. Beberapa hari ini sepulang kuliah, aku sengaja berjalan kesana kemari, menyusuri jalanan, mencari keberadaan Nabila, tapi hasilnya selalu nihil.

Aku memandang berkeliling, berusaha menemukan sebuah petunjuk akan keberadaanku. Pandangan mataku berhenti pada sebuah kayu gelondongan yang cukup besar, tergeletak begitu saja di tanah. Ku dekati dan ku perhatikan sejenak. Tiba-tiba, di benakku muncul sebuah ide, ide yang hebat. Dilihat dari keadaan kayunya, nampaknya kayu itu tak ada yang memiliki. Maka aku memutuskan akan membuat sebuah maha karya dengan kayu itu. aku akan membuat sebuah patung untuk kado ulang tahun Nabila.

Aku tersenyum puas dengan pemikiranku. Sayangnya, kayu ini terlalu sulit kalau harus kubawa ke rumah. Tapi itu bukan akhir segalanya, kalau kayu itu memang tidak bisa dibawa ke rumah, maka aku yang akan datang ke sini. Ya, aku akan membuat patung ini di sini. Toh suasana di sini sangat nyaman, sepi dan tentram, hanya beberapa kendaraan berlalu di jalan raya yang membelah hutan tersebut.

Rasanya aku sudah tak sabar mewujudkan anganku itu. Bergegas aku kembali ke tepi jalan. Tadi aku datang dari arah barat, berarti aku harus kembali menyusuri jalan tersebut.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku menemukan kehidupan kota. Aku memberhentikan sebuah angkutan umum dan pulang ke rumah.

Ternyata di rumahku ada Abil. Abil itu adalah panggilanku untuk Nabila Arisa Putri, agar tak tertukar dengan Nabila sahabatku. Abil seperti biasanya tengah berbincang dengan papa dan mama dengan tumpukan kertas di tangan. Belakangan ini, Abil memang sering datang ke rumahku, kudengar dari papa sih katanya dia hendak meminta bimbingan pada papaku untuk menyusun skripsinya. Aku juga tak mengerti mengapa bimbingannya harus dilakukan di rumah, padahal sudah ada kampus.

Aku menyapanya ramah. Banyaknya intensitas pertemuan di antara kami, akhirnya membuat kami semakin dekat. Abil itu seusia denganku, tapi dia bisa lebih dulu menyusun skripsi, sedangkan aku, ada beberapa mata kuliah yang harus kuulang karena mendapat nilai D.

“Aku ke kamar dulu ya.” ujarku mohon undur diri seraya mengulas senyum pada Abil. Dia menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.

***

Segala sesuatu sudah kupersiapkan mulai dari alat untuk memahat, hampelas, dan lain sebagainya. Semuanya ku masukan dalam ranselku. Hari ini tidak ada jadwal kuliah, jadi aku bisa pergi dari pagi.

Setelah semuanya siap, aku menyapa mama di ruang makan dan mengambil setangkup roti yang telah disiapkan mama.

“Ma, Arman mau pergi dulu ya. Ada urusan.” Pamitku pada mama.

Ya ampun, perempuan itu! pagi-pagi begini dia sudah bertengger di salah sofa ruang tamuku, menemui papa yang sepertinya baru bangun tidur. Sepenting apa sih urusannya sampai datang sepagi ini? Umpatku dalam hati.

“Pagi Arman…” sapanya bersemangat.

“Mau kemana?” sambungnya.

“Ada urusan, Bil.”

“Oh, kebetulan, aku juga sudah mau pulang. Kita bareng aja.” gumamnya. Padahal aku tidak bilang mau kemana, tiba-tiba dia mengajakku begitu saja. Terserah sajalah. Kemudian kami beranjak meninggalkan rumah setelah berpamitan pada papa.

“Mau kemana, Man?” tanyanya membuka perbincangan.

“Mau ke hutan, Bil.”

“Ke hutan? Tak salah? Mau apa ke hutan?”

Aku pun mulai bercerita tentang Nabila, juga tentang rencanaku hari itu. Lengkap dari A sampai Z. Tak tertinggal sedikit pun. Aku pikir, aku bisa mempercayainya, aku sudah penat menyimpan semua beban ini sendiri.

Kulihat Abil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin tanda mengerti.

“Kalau begitu, aku ikut ya?”

“Hah?” aku melongo dengan tanggapan Abil. Ini respon di luar dugaanku.

“Bolehkan?”

Akhirnya aku pun hanya mengangguk tanda setuju, tak enak kalau menolak, dia sudah mau mendengarkan ceritaku sejak tadi.

Aku sudah hafal betul jalan menuju hutan itu. Jarak dari tempat kami berhenti naik angkutan umum sampai ke tempat tergeletaknya kayu itu cukup jauh. Tapi kulihat tak ada rona lelah sedikit pun di wajah Abil. Dia terlihat sangat ceria dan bersemangat.

Sesampainya di sana, aku langsung mengeluarkan semua peralatanku. Pertama-tama aku memotong kayu itu secukupnya. Sekitar setengah meter panjangnya, itu cukup untuk membuat patung manusia setengah badan. Kemudian aku mulai memahat kayu tersebut perlahan. Mengukirnya hingga membentuk sebuah wajah yang sangat ku kenal.

Proses ini memakan waktu yang cukup lama. 3 jam aku menghabiskan waktu untuk memahatnya, tapi aku belum juga memperoleh bentuk yang ku inginkan. Aku bekerja sepenuh hati, menciptakan lekuk-lekuk wajah yang sempurna. Jujur ini pekerjaan yang sulit. Tapi aku melakukan ini dengan senang hati, dengan penuh cinta, dengan segenap cintaku pada Nabila.

Ku perhatikan selintas Abil yang tengah duduk di salah satu akar pepohonan yang mencuat ke permukaan tanah. Senyumnya tetap melekat anggun di bibirnya. Padahal dia sudah duduk di sana selama beberapa jam, memperhatikanku dengan seksama, tapi dia tak merasa bosan.

“Man, kamu hebat deh. Dari patungnya saja, aku sudah tahu bahwa Nabila sahabat kamu itu pasti cantik.” Puji Abil yang terdengar tulus di telingaku.

Aku hanya tersenyum simpul seraya melanjutkan kembali pekerjaanku. Aku hanya tinggal membuat lekuk pada rambutnya. Setelah itu menghaluskan permukaan kayu dengan hampelas dan terakhir mengecatnya.

***

Usai sudah. Sebuah patung yang mirip sekali dengan wajah Nabila terpampang di hadapanku. Aku tersenyum bangga sekaligus puas bisa menyelesaikan patung itu, bahkan dengan waktu yang terbilang singkat.

Aku tak menyangka sama sekali bahwa patung yang teronggok di atas mejaku itu adalah hasil karyaku. Mungkin ini terkesan narsis, tapi sugguh patung ini indah sekali. Mirip dengan aslinya. Inilah yang patut disebut maha karya.

Mungkin kekuatan cinta yang menggerakkan tanganku ketika memahat patung ini. Rasa rindu yang membuncah yang menjelma pada patung ini. Aku memberi nama hasil karyaku itu “Pahatan Cinta”. Manis sekali kedengarannya. Nab, lihatlah patung ini, untukmu, kado ulangtahunmu.

Hari ini, aku hendak membawa patung itu pada sebuah galeri yang kebetulan sedang mengadakan pameran seni karya, terutama patung. Aku dibantu Abil, beberapa hari yang lalu menawarkan patung itu. dan tanpa diduga, setelah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali karyaku ditolak mentah-mentah oleh sejumlah galeri, akhirnya galeri itu setuju untuk memasarkan patungku dalam pameran hari ini. Tepat pada ulang tahun Nabila.

***

Pukul sepuluh malam, pameran selesai. Ternyata banyak sekali penikmat seni yang tertarik pada karyaku. Senang sekali rasanya. Terima kasih Nabila, terima kasih karena kau menjadi inspirasiku.

Karena banyaknya peminat, akhirnya terpaksa pihak galeri mengadakan lelang untuk patungku. Ini semua seperti mimpi. Aku nyaris tidak percaya. Patungku, patung penuh cintaku itu, laku dengan nominal lima puluh juta rupiah. Dan uang sebesar itu kini ada di tanganku, dalam sebuah cek. Ahh, Nab, andai kau ada di sini. Tentu kau akan tersenyum melihat semua ini.

Aku berusaha menembus kaca jendela taksi yang ku naiki. Melihat keadaan di luar. Kudengar, kalau malam tempat ini berjejalan para pelacur tak berharga diri yang menjajakan kehormatannya. Benar saja, di sana tercecer perempuan-perempuan dengan busana yang sangat minim dan muka penuh polesan menebar senyum murahan. Berusaha mengajak para pria hidung belang untuk sekedar mampir.

Saat itulah aku tersentak kaget melihat seorang perempuan dengan gaun merah yang sangat menjiplak bentuk badannya tengah menggoda seorang pria paruh baya di sisi jalan. Seketika aku menghentikan taksi dan melonjak keluar. Kuhampiri perempuan itu dengan dada bergemuruh.

Jika ada saatnya manusia boleh tak percaya dengan pandangannya, maka aku menginginkan inilah saatnya. Aku sangat berharap aku salah mengenali orang, karena dalam hati aku mengingkari bahwa itu orang yang kucari selama ini. Perempuan rendah itu, tak mungkin sahabatku.

“Nabila…” aku sungguh berharap perempuan itu bergeming dan tak mempedulikan panggilanku, karena itu berarti dia bukan Nabila. Sayangnya…

“Arman…” sahutnya terkejut seterkejut aku saat melihatnya tadi.

Astaga! Ternyata itu Nabila, benar-benar Nabila, gadis yang kucintai. Aku tergesa menggenggam pergelangan tangannya ketika dia hendak berlalu meninggalkanku. Tanpa terasa, mataku mulai tergenang airmata. Sakit sekali rasanya.

“Nab, kenapa seperti ini? Aku mencarimu kemana-mana, tapi kenapa aku harus menemukanmu di tempat seperti ini?” cecarku meminta penjelasan Nabila.

“Aku sudah bilang, kamu tidak usah mencariku. Ini jalan yang kuambil, Arman. Mohon hargai, karena kamu tak mengerti keadaan yang sebenarnya…” jawab Nabila tertahan seolah memendam derita yang mendalam.

“Kenapa kamu berbuat seperti ini, Nab? Kamu butuh uang? Di tanganku ada cek senilai lima puluh juta, hasil menjual patung wajahmu. Tadinya patung itu memang akan kupersembahkan untukmu hari ini, di hari jadimu, sayangnya kau menghilang begitu saja. Uang ini akan kuberikan padamu, sebagai kado ulang tahun dariku, asalkan kau berhenti dari pekerjaan ini, Nab.” Tuturku panjang lebar.

“Tidak Arman, maaf. Kau bawa saja uangmu itu, simpan baik-baik untuk tabungan masa depanmu. Aku turut senang kalau akhirnya kamu sukses. Maaf Arman, aku tak bisa kembali. Pergilah…”

“Nab…!!”

“Baiklah, biar aku yang pergi. Kau baik-baik Arman…”

“Aku mencintaimu Nabila… Ku mohon jangan pergi…” ujarku lirih ketika Nabila berlalu di hadapanku dan menggandeng seorang pria hidung belang.


***

Novelet ini ditulis berkolaborasi antara Aswary Agansya dan Mutaminah Sang Penulis.

Identitas Penulis :

Nama Pena : Aswary Agansya
Tetala : Surabaya, 4 Oktober 1987
Alamat: Jl. Durian 52 Sampang-Madura
Email : aswary.agansya@gmail.com


Nama : Mutaminah
Tetala : Bandung, 26 April 1992
Alamat :Jl. Sukanegla 26 Bandung
Email : mutaminah.orangbaik@yahoo.com