Sabtu, 01 Oktober 2011

Andai Saja Novel Miniku ini Difilmkan.....

Setelah melihat trailer film MESTAKUNG, aku jadi berandai-andai bagaimana ya seandainya novel miniku ini difilmkan seperti film MESTAKUNG tersebut? wah, betapa senangnya hati ini. Tapi kurasa itu hanyalah sebatas impian saja. Mana mungkin novel mini yang diproduksi penerbit indie ini dilirik produser. Terjual saja udah bersyukur kali ya??? heheheheh, mimpi kali yeeee??? But, lihat saja nih sinopsisnya, sama-sama menginspirasi loh seandainya difilmkan. Kakakakakakaka, mimpi kali loe Aswary,,,,,,,,, ^_^

Sinopsis Novel "Menari di Atas Tangan"
Jamar adalah seorang pemuda bertubuh pendek. Tinggi badannya saja hanya seratus lima puluh sentimeter. Setiap sore, Jamar bekerja sebagai pemungut sampah di kampung tempat tinggalnya. Di kampung Barisan kota Sampang itu, Ibu Jamar merupakan seorang pembatik rumahan yang tak pernah dikenal banyak orang.


Sebelum ujian akhir sekolah, bapak Jamar meninggal dunia. Kematian itu memaksa Jamar harus membantu Ibunya bekerja walau hanya sebagai pembungkus krupuk di rumah tetangga. Tanpa di duga, setelah pemuda itu lulus sekolah menengah atas, ada seorang gadis bernama Zahwa hendak kost di rumah Jamar. Demi menambah penghasilan, akhirnya Jamar dan sang Ibu mau menerima Zahwa tinggal di gubuk tua mereka.


Cemoohan demi cemoohan mulai datang. Tak jarang Jamar dijuluki pemuda sampah oleh para tetangga yang suka mengusilinya. Yang membuat Jamar semakin miris adalah tak ada satu tempat pun yang mau menerima dia untuk dijadikan pekerja. Alasan utama adalah masalah tinggi badan yang kurang memadai.Jamar pun mulai putus asa.


Eit, tunggu dulu. Bagaimana nasib Jamar selanjutnya? Pekerjaan apa yang bisa membawanya menjemput kesuksesan? dan siapa sebenarnya Zahwa Zahariska itu? ini dia Persembahkan Grup UNSA sebuah novel berjudul:

Menari di Atas Tangan
Penulis: Aswary Agansya,
Kategori: Novel
ISBN: 978-602-225-023-4
Terbit: Juli 2011
Tebal: 249 halaman
Harga: Rp. 49.500,-

Deskripsi:

Sebuah novel sederhana namun mampu meramu sebuah citarasa kehidupan remaja secara apik. Nilai persahabatan, menghargai orang lain, serta semangat dalam keterbatasan diri disuguhkan secara lembut tanpa kesan menggurui. Novel ber-setting Madura ini layak dibaca oleh remaja dan siapa pun yang ingin mengerti tentang sebuah perjuangan hidup.

Endorser :

Buku yang inspiratif. Dengan bahasanya yang santun, penulis berhasil membawa pembaca ke titik kepekaan akan hakiki seorang manusia yang banyak memiliki kekurangan. Buku ini membuat kita sadar, bahwa di dunia manusia tidak ada yang terlahir sempurna. Begitu juga bentuk fisik yang telah Allah karuniakan kepada kita. Arif dalam menyikapi kekurangan dan berusaha menggali potensi yang ada adalah salah satu tindakan yang bijak. Buku yang wajib dibaca di tengah krisis jatidiri yang kian mewabah.
-LONYENK, Penulis dan Penyiar Radio.

~*~

Aswari Agansya sebenarnya menyuguhkan karya sederhana, tetapi dalam kesederhanaan itu dia meramu sebuah cita rasa kehidupan remaja secara apik. Nilai persahabatan, menghargai orang lain, serta semangat dalam keterbatasan diri disuguhkan secara lembut tanpa kesan menggurui. Novel bersetting Madura ini layak dibaca oleh remaja dan siapapun yang ingin mengerti tentang sebuah perjuangan hidup.
-JAZIM NAIRA CHAND, Penulis Buku Ibuku Adalah...

~*~

Kegigihan, ketekunan dan keyakinan dalam menjalani hidup untuk menggapai cita dan cinta yang ditunjukan oleh tokoh bernama Jamar dalam novel ini, sememangnya layak untuk dijadikan figur bagi para remaja, tanpa harus minder dengan kekurangan yang dimiliki.
-DANG AJI, Penulis, Akuntan, dan Creator UNSA.

(# 2) Curhat sang Peserta Didik

Hai sahabat seperjuangan. Mohon maaf jika baru sempat posting tulisan ini, lanjutan dari tulisan yang pertama "Seperti Dalam Novel Laskar Pelangi" beberapa hari yang lalu. Inilah kisah sederhana yang kujanjikan itu.

***
"Baiklah. Karena ini masih pertemuan pertama antara saya dengan kalian, maka kita awali saja dengan perkenalan," ucapku sembari meletakkan tas ranselku di kursi.

"Ada yang tahu siapa nama saya?" lanjutku lagi.

Ketiga siswa itu pun diam. Mereka saling pandang satu sama lain. Selanjutnya menggelengkan kepala ke arahku. Aku tersenyum simpul melihat keluguan mereka.

"Baik. Perkenalkan, nama saya Mohammad Aswari. Saya tinggal di Jl. Durian 52 Sampang. Sebenarnya saya masih menjadi mahasiswa di Universitas Madura mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jadi, mohon maaf jika nanti ada sesuatu yang kurang selama kegiatan belajar mengajar kita. Karena sebenarnya saya juga masih belajar sama seperti kalian." Jelasku singkat.

Ketiga siswa yang hadir itu pun mengangguk pelan. Mungkin mereka sedikit mulai paham mendengar penuturanku. Setelah memperkenalkan diri, aku balik bertanya kepada mereka bertiga.

"Kalau begitu, selain digunakan untuk perkenalan, bagaimana kalau pertemuan pertama ini kita pergunakan untuk sharing, berbagi cerita mengenai pendidikan disini sebelumnya." Kataku.

Ketiga pemuda yang kuketahui bernama Marsum, Wasiul dan Ainul Yakin itu diam. Mereka sama-sama tertunduk walau sesekali melirik ke arahku. Entah apa yang mereka pikirkan kala itu, yang jelas aku menangkap sebuah kecemasan di balik tatapan wajah mereka. Terutama di wajah si Marsum.

Oh iya, kalau boleh dibilang, kelas tempatku mengajar ini sangatlah tidak layak disebut sebagai ruang kelas. Bagiku lebih cocok dijadikan sebagai (maaf) kos-kosan satu orang saja. Bagaimana tidak, luas ruang kelas disini jauh lebih kecil dari ruang kuliahku. Jelasnya hanya berukuran tiga kali empat meter saja. Ya, hanya seperempat dari ruang kuliahku di kampus. Dinding-dindingnya pun sudah tidak bersih lagi alias kotor oleh aneka coretan. Benar-benar tidak nyaman untuk belajar. Aku hanya bisa mengelus dada dengan keadaan itu.

"Pak, disini tidak ada yang bakat dalam kesenian pak!" Seru pemuda bernama Marsum. Aku tersenyum menatap pemuda yang hanya membawa dua buah buku tulis itu.

"Tenang saja. Kesenian yang kau maksud itu dibidang apa? Kesenian itu sangatlah luas. Ada seni rupa, seni sastra, seni tari, seni teater, seni musik dan seni kerajinan tangan. Saya yakin kalian bisa di salah satu bidang seni tersebut. Memangnya sebelum saya, yang ngajar kesenian disini siapa?"

Marsum diam. Teman-temannya pun ikut diam. Aku memang harus lebih sabar dengan keadaan ini. Ini masih belum seberapa, pikirku. Aku pun terpagut menatap siswa itu satu persatu seolah-olah menunggu sesuatu.

"Dulu saat kalian kelas sepuluh, apa yang diajarkan dalam mata pelajaran ini?" tanyaku lagi lebih sabar.

"Hm, seingat saya, pelajaran kesenian ini tidak ada gurunya kak. Kalaupun ada, itu hanya sekali selama setahun dan diisi dengan bercerita saja,"

"Jadi, selama setahun kalian tidak ada yang membuat sesuatu? Misalnya menggambar atau membuat kerajinan?"

"Nggak ada kak," sahut Marsum sambil menggeleng pelan.

"Terus, apa yang kalian lakukan selama ini?"

"Hm, diam saja kak menunggu guru,"

"Lho, menunggu guru bagaimana maksudnya?"

Mula-mula mereka sama-sama tunduk terdiam. Akan tetapi setelah aku paksa, akhirnya Marsum berani angkat bicara lagi.

"Sebenarnya disini sudah biasa Pak dengan keadaan seperti itu. Disini kami seakan terkucilkan daripada sekolah lain. Kalau ada guru yang datang ya kami belajar, kalau pun nggak ada ya diam saja. Maka dari itu teman-teman banyak yang nggak semangat untuk sekolah. Bagi mereka daripada bengong menunggu guru dari sekolah induk yang belum tentu datang, mendingan mereka ke sawah saja membantu orang tua."

"Kok bisa begitu ya? Berarti selama ini disini kekurangan guru?"

"Ya begitulah Pak. Maklum, sekolah ini bukan sekolah negeri yang serba maju. Sekolah ini baru dirintis selama kurang lebih dua tahun. Jadi masih terbelakang dan belum dikenal orang."

"Oh, jadi itu alasan teman-teman kalian malas masuk sekolah?"

"Sebenarnya nggak malas sih Pak, tapi karena sering nggak ada guru, mending mereka ke sawah aja membantu orang tua."

"Ya. Ya saya mengerti. Kalau begitu bilang sama teman-teman kamu yang lain bahwa mulai hari ini, sekolah ini banyak guru baru. Mulai dari pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Geografi, Sosiologi, saya sendiri guru kesenian dan masih banyak lagi guru yang lain. Mulai hari ini kalian harus semangat lagi dalam belajar. Karena dengan belajar, kalian dapat merubah dunia." Kataku pada mereka bertiga.

Setelah mengetahui beberapa alasan yang sempat membuatku penasaran, aku pun mencoba memberikan semangat pada tiga pemuda itu dengan berkisah tentang kegagalan dibalik sebuah kesuksesan. Diantaranya adalah kisah seorang Thomas Alva Edison dan Alexander Graham Bell.

"Ingatlah adek-adek, seorang David J Scwarthz yang menyatakan bahwa Think Big If You Want To The Big. Berpikirlah besar jika kau ingin menjadi orang besar..."

Kulihat mereka sangat antusias mendengar kisahku. Jujur, dalam hati aku berjanji akan membantu adik-adik di sekolah ini supaya lebih baik dari hari kemarin. Aku dan teman-teman sesama guru baru bertekad membantu sekolah ini supaya dikenal lagi oleh masyarakat sekitar. Memberikan sebuah perubahan walau hanya satu langkah saja. Kami ingin menanamkan bahwa pendidikan itu sangatlah penting bagi siapa saja. Mohon doanya semoga kami mampu mewujudkan semua itu. Amin ya robb.
***
he, mungkin itulah kisah yang dapat kubagi buat teman-teman semua saat pertama kali mengajar di SMA Attaroqqi Tsani. Sekali lagi aku katakan bahwa kisah ini bukanlah kisah rekaan.