Selasa, 29 November 2011

Karena Ayah Pengukir Sejarah (Naskah yang gak lolos lomba antologi tentang Ayah)


Air mataku tertahan bila mendengar nama sosok lelaki yang sering kupanggil "Bapak". Ya, gumpalan air mata itu seakan berhenti tersekat menggenangi kelopak mataku ini. Entah mengapa hatiku pun bergetar pilu seiring bayangan Bapak hadir di hadapanku. Dulu, ada tempat untuk mengadu kegamanganku. Tapi kini tempat itu sudah semu bak angin lalu. Hal itu dikarenakan jasad Bapak telah lama meninggalkanku dan terkubur di bumi Madura, 14 tahun yang lalu.
Akan tetapi, jika aku memutar kembali memori kenangan bersama Bapak, pasti aku akan selalu bersemangat untuk terus maju dan merevolusikan darah Bapakku yang mengalir di tubuhku, sehingga menjadi darah pejuang yang tak akan pernah dilupakan oleh waktu.
Dulu saat aku masih dalam pangkuan Bapak, Bapak sempat bercerita padaku tentang sejarah keluarga kami. Mengapa dan bagaimana latar belakang kami bisa hidup di Kota Pahlawan Surabaya, kota yang suasananya jauh berbeda dengan kampung halaman kami di Madura.
Sebenarnya Bapakku pria asli Pulau Madura. Dia berasal dari keluarga sederhana yang terletak di pedalaman desa. Jangankan melihat gedung tinggi perkotaan yang menjulang, jalan beraspal pun rasanya tak pernah ia temui kala itu. Yang ada hanyalah puluhan sawah dan pepohonan besar yang mengelilingi pedesaan terpencilnya. Dan tak ketinggalan pula, ribuan pohon bambu yang sangat lebat berdiri tegak mengelilingi seluruh desa terpencil bernama Desa Bhulang itu. Makanan yang selalu Bapak makan bukanlah nasi putih seperti sekarang, melainkan rebusan ubi dan singkong yang tumbuh liar di sekitar pekarangan desa. Terkadang jika ada beras, terlebih dahulu beras yang akan dimasak tadi dicampur dengan gilingan jagung. Itu pun dimakan tanpa lauk. Benar-benar tidak dapat kubayangkan susahnya perekonomian Bapak saat itu.
Diam-diam Bapakku jenuh dengan kehidupan di desa terpencil tempat kelahirannya. Tempat itu bagi Bapak tak ubahnya sebuah penjara nyata, tidak menjanjikan kehidupan yang lebih layak untuk masa depannya. Bapak mulai bingung harus berbuat apa untuk menghilangkan kejenuhannya tadi, terutama keinginan untuk merubah hidupnya yang serba kekurangan menjadi ke arah yang lebih baik. Bapak terus berpikir dan berpikir mencari jalan keluar terbaik dibalik kegalauan hatinya yang kian hari kian berkecamuk.
Lama berpikir, akhirnya Bapakku bertekad ingin merubah hidupnya dengan cara merantau ke suatu tempat. Ya, ia ingin merantau ke Kota Surabaya. Yang membuat unik lagi, Bapak pergi ke Surabaya bukan dengan cara naik kendaraan bermotor. Melainkan berjalan kaki dan tanpa membawa bekal apapun. Bayangkan saja, di zaman modern seperti sekarang untuk pergi ke Surabaya dengan mengendarai angkutan umum, masih membutuhkan waktu kurang lebih tiga atau empat jam, bagaimana kalau dilalui dengan jalan kaki? Percaya atau tidak, ternyata waktu yang Bapak butuhkan untuk merantau ke Surabaya saat itu bukan hanya sehari dua hari, namun satu pekan lamanya. Oh, aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya kaki Bapak selama meniti jalan menuju kota perantauannya.
Selama perjalanan, jika Bapak merasakan lapar, apapun pasti akan dia makan. Mulai dari dedaunan sampai buah mengkudu yang jatuh dari pohon tepat bersebelahan dengan kotoran sapi pun tetap Bapak makan.
"Apa pun akan bapak makan untuk mengisi perut yang kosong. Walaupun itu hanya sebatas dedaunan saja, nak." Jelas Bapak sambil menerawang kejadian yang dulu pernah ia alami.
Aku yang mendengar penuturan itu hanya bisa mengangguk pelan. Hm... Andai saja aku berada dalam posisi Bapak, pasti aku tidak akan tahan dengan keadaan tersebut, jalan kaki yang begitu jauh, makan seadanya, apalagi hanya dedaunan saja. Pasti ketegaranku hilang sebelum tiba di tempat tujuan, pikirku sambil ikut menerawang.
Sesampainya di Surabaya, Bapakku masih saja dilanda kesengsaraan. Cahaya cinta dan bahagia belum berpihak padanya. Ia pun menggelandang menjadi tukang pembersih sampah yang tergabung dengan anggota pasukan kuning Surabaya. Ya, Bapakku adalah tukang sampah. Hampir semua jalan di Surabaya bagian utara Bapak lalui sambil menarik gerobak sampah. Dan itu semua Bapak lalui dengan dua kata ajaib yang selalu ia bawa berupa "ikhlas" dan "sabar".
Berhari-hari Bapak mengumpulkan upah yang ia terima dari sang mandor untuk dijadikan modal usaha. Namun, untuk mendapatkan modal yang cukup sangatlah terasa sulit. Maka dari itu, Bapak tidak hanya berpatokan pada pekerjaannya memungut sampah saja, akan tetapi dia makin merambah menjadi tukang jual es keliling. Jadi, jika pagi atau sore memungut sampah maka siang hari Bapak keliling kampung membawa termos menjajakan es dagangannya. Kepingan demi kepingan uang logam Bapak kumpulkan dengan bertumpu pada kesabaran yang ia tanam lekat-lekat dalam dada.
Hidup tanpa cobaan, bagai sayur tanpa garam. Terasa tidak lengkap. Mungkin seperti itu kata bijak mengatakan. Sesabar-sabarnya Bapak mengumpulkan modal, pasti dia akan mendapatkan cobaan juga. Ya, menjelang impiannya tercapai, tiba-tiba Bapak terserang penyakit Hernia. Hernia merupakan sebuah penyakit yang disebabkan karena kelemahan otot dinding perut akibat bekerja mengangkat barang-barang yang berat. Dan itu pun harus segera dioperasi. Pelan-pelan Bapak syok dengan keadaannya. Habislah sudah tabungan Bapak yang selama ini telah terkumpul untuk membiayai proses operasi.
Saat itu pula Bapak mulai putus asa dalam menghadapi hidupnya. Hasil perjuangannya dalam perantauan telah habis terkuras hanya dalam waktu sehari saja. Masih beruntung ada orang baik seperti Pak Bardi yang merupakan atasan atau mandor para pekerja sampah. Pak Bardi mengatakan bahwa Bapak tidak perlu khawatir masalah pekerjaan. Bahkan, selama berada di rumah sakit pun keluarga Pak Bardi rela bantu menjaga Bapak yang hanya sebatangkara di Surabaya.
Begitu Bapakku keluar dari rumah sakit, Pak Bardi langsung menempatkan Bapak sebagai mandor seperti dirinya. Hal itu dikarenakan agar Bapak tidak lagi bekerja berat, melainkan hanya duduk memantau pekerjaan bawahannya saja. Seperti itulah awal perjuangan Bapak sehingga akhirnya bisa hidup bahagia seperti sekarang. Sungguh luar biasa dampak dari kata "Sabar" dan "Ikhlas" tadi ya.
Bayangan sejarah Bapak selalu memberikan energi yang berbeda pada diriku. Selepas kepergian Bapak empat belas tahun lalu yang membuatku menjadi anak yatim benar-benar menyiksa batinku. Melakukan apapun terasa tidak lengkap tanpa hadirnya Bapak. Aku kehilangan kasih sayang dari seorang Bapak. Akan tetapi aku harus sadar diri bahwa kehidupan itu adalah sebuah misteri yang harus tetap dilalui.
Lewat sejarah kehidupan ini, aku ingin menitipkan seuntai kata untuk Bapak yang telah tenang di alam sana. Sebuah kata-kata yang mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan perjuangan Bapak dalam melawan kesengsaraan dan mengubahnya menjadi sebutir kebahagiaan hakiki.
Bapakku, kau adalah sejarah terbaik dalam hidupku. Yang dapat mengajariku akan sebuah keikhlasan, kesabaran, keistiqomahan, ketegaran, dan perjuangan dalam menjalani roda-roda kehidupan ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya kala itu Kau tetap bersimpuh di desa terpencilmu. Mungkin saja kini keluargamu akan tetap berada di garis kesengsaraan, yang hanya mengharapkan makan dari tangan orang. Aku bangga menjadi bagian dari darahmu, dagingmu, dan keluargamu, Bapak! Kenangan masa lalu itu membuatku rindu akan ragamu Bapakku, sekaligus menanamkan sebuah semangat baru bahwa aku ingin menjadi pejuang hidup sepertimu. Ya, sepertimu Bapakku!

***
Tentang Penulis
Aswary Agansya lahir di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1987. Sejak kecil Aswary memang gemar sekali membaca dan menulis. Sekarang dia tengah menempuh pendidikan di Universitas Madura jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah Antologi Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), Antologi E-Love Story #21 (Nulisbuku.com, 2011), Antologi Curhat Cinta Colongan #3 (Nulisbuku.com, 2011), Novel Imagination Of Love (LeutikaPrio, 2011), Novel “Menari di Atas Tangan” (LeutikaPrio, 2011), Antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus, dan Antologi Long Distance Friendship. Insyaallah akan menyusul, karena masih dalam proses penerbitan adalah, Antologi Surat Untuk Jodohku dan antologi Dear Someone. Jika ingin berinteraksi dengan Aswary Agansya, bisa melalui facebook dan email: aswary.agansya@gmail.com atau melalui blog www.aswarysampang.blogspot.com