Rabu, 26 Desember 2012



Telah terbit lagi nih...

Pancaran Hati Bunda
--Cirebon : Goresan Pena Publishing, 2012
109 hlm. ; 13 x 19 cm


Copyright © 2012 by Fiterozero, Aswary Agansya dkk.

Penulis : Fiterozero, Aswary Agansya,
Lian Hadinata, Nanaz Nasrul, dkk.
Editor : Fiterozero
Setting dan Layout : Goresan Pena Publishing
Desain Sampul : Nanaz Nazrul, Fiterozero
Picture Sampul : By google.com
ISBN : 978-927-8863-29-6

harga : 31.000

Sinopsis:


“…Hal yang paling membekas dalam sanubariku, lantunan ayat-ayat yang keluar dari mulutnya, tatkala aku terlelap dalam keheningan malam. Suara itu meraba lubuk hatiku, membuatku bangkit dari tidurku. Ingin rasanya mengikuti langkah beliau, tapi kantuk kembali menyambarku…”
***

Buku ini berisi kumpulan puisi dan curahan hati seorang anak kepada bundanya. Membaca buku ini, pembaca diajak menyelami curahan buah hati kepada wanita bergelar bunda. Rasa sedih, bahagia, bangga bercampur aduk dalam untaian kata-kata yang membentuk sebuah kalimat indah untuk dirasakan ...
***

pesan : Ketik PHB_NAMA_ALAMAT_JUMLAH kirim ke 085 221 422 416

Kamis, 06 Desember 2012

Terbit Lagi Nih....

















Telah terbit......
Buku baruku,
Judul : akhirnya Tulisanku Terbit Juga
Penerbit: Goresan Pena Publishing
Harga: Rp. 30.000



Penulis:

Bahagianya Tulisanku Terbit : Wahyu Ekasari Nugraheni

Dipaksa Membuat Tak Percaya : HF Inna

Dunia Kata : Dedi Ashari

Buku Pertamaku, Motivatorku : Luluk Kristianingsih

Percikan Pelangi : Hilda Amanda Putri

Olala...Olili... : Tomy M Saragih

Timbul Tenggelam : Vita Ayu Kusuma Dewi

Siap Terbit : Syifaul Falasifah

Menulis Itu Sesuatu : Ica Alifah

Three in One : Anggita Nurindah Kusuma

Mimpiku Ada Dalam Genggamanku : Nuraeni

My First Book : Wahda Khadija Salsabiila

Penghargaan pertamaku : Hasan Ar-Rezky

Semua Memang Akan Indah Pada Waktunya : Aswary Agansya

The Hard 1st Short Story : Hannan Izzaturrofa

Buncah Bungah Sabtu Sore : Neli Rosdiana

SEgera pesan di Goresan Pena Publishing atau hubungi Iwan Wungkul....


Senin, 08 Oktober 2012

4 Oktober

4 Oktober,
sebuah tanggal paling bersejarah bagi diriku. Di bulan itu, ada satu angka yang menjadi pertanda bahwa aku diterima menginjakkan kedua kakiku di bumi pertiwiku. Di tanggal itu pula beberapa kepingan senyuman terbentuk melihat tangisan seorang bayi mungil yang terlahir menghiasi realita kehidupan ini. Senyum itu jelas tersungging indah dari wajah kedua orang tuaku beserta kakak-kakakku. Oh, Oktober memang awal sejarah perjalananku menapaki kerasnya lika-liku dunia.

4 Oktober,
Kini, secara perlahan aku kembali bersua dengan angka 4 Oktober. Bagiku, 4 Oktober kali ini memberikan suasana baru dibandingkan Oktober-Oktober yang pernah kutemui tempo lalu. Banyak kejadian lucu yang kulalui. Banyak kejutan-kejutan indah yang menyapaku hari ini. Banyak pula doa-doa berkah yang disemaikan orang-orang tersayang kepadaku. Semua itu menjadi rangkaian peristiwa bersejarah tersendiri di Oktoberku kali ini.

Beberapa hal unik yang perlu aku ingat di 4 Oktober ini adalah bahwa angka usiaku semakin bertambah satu angka. 4 Oktober kali ini memberikan tanda bahwa jangka waktu hidupku di dunia semakin berkurang. Aku berharap, jejak-jejak sejarah hidup yang telah kutorehkan selama ini, bisa bermanfaat bagi orang lain, bagi dunia, bahkan bagi diriku sendiri.amin.

Lewat moment 4 Oktober ini, aku mengucapkan terima kasih kepada keluargaku, sahabat-sahabatku yang telah rela menyemaikan doanya untukku. Baik para sahabat di jejaring sosial facebook, sahabat dan rekan kerjaku sesama guru di SMA ISlam Attaroqqi Tsani, sahabat yang telah meneleponku tadi pagi, para sahabat yang telah mentraktirku makan di MFC Sampang sore tadi, siswa-siswaku, semuanya deh...
thanks ya semua....

Tetap sambung doanya buat aku. Semoga aku masih bisa bersua dengan 4 Oktober mendatang. Amin.
:D

***
Sampang, 4 Oktober 2012



Jumat, 21 September 2012

Curahan Untuk Dinda


Wahai gadis pujaanku, apa kabarmu disana? Apakah kau tengah diselimuti kebahagiaan? Ataukah malah dirundung nestapa? Berikan secuil kabarmu untukku, karena detik ini bayanganmu menari di anganku.

Wahai gadis pujaanku, apakah kau tak menemukan bayanganku dalam benakmu? Apakah kau tak merindukan ragaku? Meski secuilpun itu?

Dinda, dinda. Lima tahun kujaga cinta yang bersemayam indah ini. Dalam kurun waktu yang tak sedikit itu kuhadapi berbagai liku hidup dengan penuh kesabaran. Pun kurasa kau juga mengalami macam rupa liku kehidupan itu. Namun yang membuatku tak mengerti, mengapa malah luka yang kudapat disaat kuyakinkan hatiku tentangmu?

Aku sadar,
aku bukan lelaki yang tangguh, dinda. Bukan lelaki pemberani dalam mengarungi samudera cinta seperti yang kau inginkan itu. Aku hanyalah pengecut yang bisu, yang selalu tidur dalam gubukku.

Aku sadar, aku tak sesempurna pemuda impianmu itu, aku tak setampan pemuda itu, aku juga tak seindah yang kau harapkan. Aku hanyalah aku, yang selalu kau abaikan hatinya.

Tapi satu hal yang perlu kau tau dindaku, aku mencintaimu dengan ketulusanku. Aku menyayangimu dengan kekuranganku. Serta kumengharapkanmu dibalik kesederhanaanku.

Oh dindaku, disini aku tertawan oleh bayanganmu. Aku terlampau lemah menepis lukisan senyumanmu. Apakah ini adil bagi pemuda yang tengah merindukan tulang rusuknya?

Wahai Dinda, kau boleh mengabaikanku seperti ini. Kuterima semua yang telah kau lakukan padaku. Semua itu tak akan membuatku berbalik membencimu, tapi justru makin menyayangimu. Kalau kau masih peduli padaku, kutunggu berita indahmu di dermaga hatiku.
***

#Kamar inspirasiku.
Sampang, 20-09-2012 Menjelang Malam. Tanah Garam, Madura.



Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Sabtu, 15 September 2012

Maaf Dari Pulau Seberang (Tulisanku Yang Gak Lolos Even)


Sisa-sisa malam mulai memudar ditelan terang. Pagi pun menjelang beriringan dengan kicauan burung dan merekahnya sisa embun. Dingin masih terasa menyentuh kulitku, menyapa aliran darahku yang masih segar, dan memberikan energi baru untuk perkembangan semangatku.

Pagi itu aku masih terdiam di bibir tempat tidur. Sejak usai shalat Subuh aku tetap duduk dengan tak mengubah posisiku. Pikiranku sedikit kalut, Ramadhan akan datang beberapa hari lagi namun bebanku belum jua luruh dari hatiku. Ingin rasanya aku segera menuntaskan beban ini. Tapi sampai detik ini aku tidak tahu bagaimana cara menuntaskan semua itu.

Peristiwa tempo lalu telah menyita sebagian pikiranku, menghilangkan semangat dalam dadaku. Nyaliku pun pelan-pelan melemah, bak balon udara yang menciut seketika dan lenyap ditelan ganasnya angkasa.

Aku ingin jujur padanya, sejak peristiwa itu pikiranku terganggu kelu. Peristiwa hari itu tak ubahnya lecutan cambuk yang memaksa hatiku untuk terus mengevaluasi diri dari deretan-deretan kekhilafan yang telah lalu. Dan pikiran itu tertuju pada kesalahan yang telah kuperbuat kepada dia. Memang benar adanya, penyesalan tidak datang pada awal sebuah cerita, melainkan pasti datang di akhir sebuah cerita. Itulah yang tengah kualami saat ini.

Dulu, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia wanita yang telah kuanggap sebagai kakakku sendiri, Mbakyuku yang penuh inspirasi, diam-diam mengajakku pergi ke Yogyakarta untuk menghadiri acara kepenulisan yang diadakan seorang sahabat di Yogyakarta sana. Dia menghubungiku melalui kotak pesan di facebook. Maklum, persahabatan kami memang berawal dari sebuah jejaring sosial bernama facebook. Dia dari kota Surabaya dan aku dari kota kecil pulau seberang, Madura.

"Assalamualaikum. Adek, bener mau ikut ke Jogja? Kalau adek mau, adek bisa bareng mbak. Ada orang yang memberiku kendaraan, nah kalau mau, besok sore adek ke Surabaya ya. Ke kantor mbak saja. Aku ngajak adek karena kakak-kakak disini sibuk semua dan biar adek menemani driver, biar dia nggak sendirian. Nanti aku juga berusaha ngajak temen cewek supaya bisa temenin mbak. Ditunggu ya kabar selanjutnya," pesan singkat itu kubaca tepat sepulang dari kuliah.

Aku merasa senang bukan kepalang setelah membaca pesan itu. Aku tidak menyangka bisa diajak oleh orang yang selama ini kujadikan inspirasiku dari dunia maya. Apalagi diajak ke kota Yogyakarta, kota yang menyimpan banyak keajaiban dan kentalnya kebudayaan, wah makin riang saja hati ini karena selama aku bernapas, aku belum pernah menapakkan kaki berkunjung ke kota pelajar itu. Inilah kesempatanku untuk mengenal Jogja lebih dekat, pikirku.

Kuiyakan saja ajakan Mbakyuku itu tanpa memikirkan apapun. Maklum, mungkin aku terlanjur bahagia.

"Wah, mendadak ya Mbak? Oh iya, boleh ngajak temen nggak Mbak? Hehehe, aku bersedia ikut deh Mbak." Balasku.

"Kalau ngajak temen lagi kurasa nggak bisa dek. Takut mobilnya nggak cukup. Maaf ya." Balas Mbakyuku dengan cepat.

"Oke deh. Insyaallah ya Mbak," kataku padanya sambil tersenyum bahagia.

“Baik dek. Mbak tunggu. ^_^”

"Oh iya mbak, berarti aku nanti sore harus sudah stanby di Surabaya ya? Ke Jogjanya berangkat jam berapa sih Mbak?"

"Iya sore sudah standby disini. Berangkatnya jam enam ba'da shalat Maghrib. Bisa kan?"

"Oke kalau begitu, mbak."

"Sipp!!"

Aku mulai membayangkan bagaimana serunya perjalananku nanti jika di Jogjakarta. Yang terlintas dalam benakku adalah candi-candi khas Yogyakarta seperti candi Prambanan, Mendut, candi Borobudur dan candi-candi eksotik lainnya. Tak lupa kemeriahan Jalan Malioboro dan panorama Gunung Merapi juga ikut serta dalam kepingan bayang-bayangku itu. Aku juga semakin penasaran bagaimana sebenarnya suasana kota Jogja yang selama ini sering kulihat dari layar kaca. Apakah atmosfer disana berbeda dengan kotaku di Madura? Atau mungkin sama saja. Ah, angan-anganku pun melambung tinggi hingga tiba kota ke Yogyakarta meski secara raga masih berada di Madura.

Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan kelopak mata. Mata dan otakku terlalu sibuk menerawang belahan bumi pulau Jawa yang akan segera kupijak. Pukul dua belas malam aku baru bisa tidur tanpa bayang-bayang Yogjakarta.

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke Surabaya, kusempatkan dulu pagi harinya untuk kuliah. Namun, sesampainya di kampus, dosenku memberikanku tugas mendadak yang harus kuselesaikan dalam jangka waktu sehari. Dan yang membuatku sedikit geram adalah tugas tersebut harus dipresentasikan lusa. Aku pun kelabakan.

Memang tak terduga. Sebaik-baiknya manusia berencana, tetap saja Allah Azza Wa Jalla-lah yang menentukan semuanya. Ini semua benar-benar diluar dugaanku. Sore hari aku baru pulang dari kampus. Alhasil, aku tidak bisa ikut Mbakyuku ke Yogyakarta.

Hatiku kecewa. Dengan perasaan sedih kukirim pesan singkat yang berisikan kata maaf pada perempuan itu. Aku berharap dia mau memaklumiku, coba mengerti posisiku sebagai seorang pelajar. Namun smsku failed. Kucoba hubungi telepon genggamnya tapi tak bisa tersambung karena nomor handphonenya ternyata nonaktif.

Seusai Maghrib aku baru ingat bahwa aku memiliki akun facebook. Bergegas kukayuh sepedaku menuju warnet berharap bisa meminta maaf walau jam segitu Mbakyu telah berangkat ke Yogyakarta. Saat hendak mengirim pesan, tiba-tiba Mbakyuku meng-up date sebuah status di wall akun facebook miliknya. Tanpa sengaja, aku membaca kata-kata itu,

"Hari ini aku belajar adab dari orang yang tak memiliki adab. Belajar tersenyum dari orang yang tak pernah tersenyum."

DEGG...!! Jantungku berhenti berdegup.

Aku tersadar dari kepanikanku. Walau aku belum tentu tulisan itu ditujukan untukku, tapi rasanya aku telah dicambuk hebat dengan kalimat singkat itu. Buru-buru aku meminta maaf pada Mbakyuku. Pesan maafku tidak langsung di balas olehnya.

"Iya nggak apa-apa. Mbak nggak apa-apa kok." Balas Mbakyu beberapa hari kemudian.

Dari rangkaian kata-kata elektronik itu, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Jauh sisi hatiku berkata bahwa dia belum bisa secara ikhlas memberikan maafnya untukku. Dan mungkin dia tidak akan pernah mau lagi memaafkanku. Itu terbukti acapkali aku mencoba akrab dengan dia, dia malah menanggapiku dingin. Ya, pelan-pelan dia berubah. Mbakyuku tak lagi seakrab dulu padaku. Tak seceria dulu padaku. Satu pun apa yang kulakukan di facebook, tak akan pernah mampu menarik perhatiannya. Jangankan berkomentar, memberi tanda "Like" pun tak ada. Aku juga pernah mencoba menghubungi telepon genggamnya, tetap saja tak ada tanggapan dari Mbakyuku itu. Aku benar-benar bingung.

Peristiwa itu satu-satunya peristiwa yang membuat silaturrahmi kami pelan-pelan terputus. Benar-benar terputus! Seperti segelas air yang airnya tumpah ruah akibat sang gelas penampung pecah berantakan. Aku bingung harus bagaimana lagi menghadapi dia karena berbagai cara telah kulakukan untuk mencoba menyambung silaturahmi kami. Sebagai manusia biasa aku pun mulai lelah. Kata maaf darinya mungkin akan menjadi khayalan saja.

Ramadhan tinggal menghitung hari, kuingin angin mampu menyampaikan salamku pada Mbakku di Surabaya sana, sebuah kata maaf dari pulau seberang.

Oh, Mbakyuku. Segitu burukkah aku sampai-sampai tak ada lagi pintu maafmu untukku? Segitu hinakah aku sampai-sampai kau tak mau lagi bersahabat denganku? Kalau semua itu benar adanya, sungguh kasihan sekali aku ini.  Aku pasti sedih karena kehilangan sahabat sepertimu wahai Mbakyuku. Tidakkah kau tahu wahai Mbakyu, Allah saja mau memaafkan hamba-hambanya yang telah tobat dari kekhilafannya. Pasti Mbakyu tahu akan hal itu.

Aduh Mbakyu, aku sungguh takut. Takut kau tak memaafkanku. Aku takut Allah mengazabku hanya gara-gara putusnya silaturahmi kita ini. Tidakkah Mbakyu merasa takut sepertiku? Ku yakin Mbak juga takut kan?

Maka dari itu marilah kita buang saja kesalahan masa lalu yang pernah terjadi di antara kita. Gantilah kenangan buruk itu dengan keceriaan yang baru, apalagi menjelang Ramadhan kali ini. Yakinlah bahwa tak ada yang lebih indah dari perdamaian dan persahabatan Mbakyu.

Mbakyu, dengarlah suara dari hatiku ini. Hati yang hampa dan penuh harap akan sebuah satu kata saja. Ya! Hanya satu kata saja, yaitu "DIMAAFKAN". Tidak hanya dibibir, tapi tulus dari hati Mbakyu.

Mbakyu, aku pernah mendengar sebuah kata bijak yang benar-benar mantap menurutku,

"Meminta maaf tidak menjadikan seseorang lebih tinggi atau rendah. Dan orang yang memberi maaf dengan ikhlas itu pasti berhati mulia."

Nah, hati Mbakyu mulia kan?


*Sampang, Tanah Garam Madura. 15 Juli 2012 menjelang siang.
***

Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Minggu, 02 September 2012

Oleh-Oleh Cerita dari Tanah Rasulullah

(Rabu, 29 Agustus 2012)


Siang itu, sekitar pukul 10:30 WIB aku dan dua sahabatku tengah berjuang mengayuh sepeda melewati lorong-lorong gang Jl. Rajawali II kota Sampang. Siang yang suhu panasnya mencapai derajat tertinggi itu, kami mencari sebuah rumah sahabat yang sedang melangsungkan pernikahan. Maklum, aku belum pernah berkunjung ke rumah gadis itu sebelumnya, walau sebenarnya dulu sewaktu SMA kami sudah saling kenal. Kota Sampang bukanlah kota besar seperti Surabaya yang memiliki jalan bercabang. Sampang adalah salah satu kota kecil yang ada di Madura (tapi kok kami bisa nyasar ya? Ya gitu deh. Takdir. Hehehe). Setelah lima belas menit berputar-putar dan sempat tersasar, akhirnya kami bisa bernapas lega. Kami menemukan juga rumah sang pemilik acara yang kebetulan rekan kerja sesama guru di sekolah yang menaungiku. Alunan musik dangdut modern menyambut kedatangan kami, pun tak lupa sang mempelai ikut serta melemparkan senyuman terindahnya begitu melihat kaki kami memasuki pelataran rumah mereka.

Aku menangkap rona bahagia di wajah pengantin muda itu, ya, rona bahagia yang menyiratkan kelegaan karena prosesi akad nikah mereka yang berjalan dengan lancar tanpa ada halangan. Kami berjabat tangan. Aku dan kedua sahabatku pun dipersilahkan duduk. Aku benar-benar diselimuti wajah-wajah bahagia, pikirku saat itu.

Tak begitu lama, tiba-tiba suatu hal membuatku terkejut. Pundak kananku ditepuk seseorang tanpa sepengetahuanku.

"Subahanallah...!!!" seruku tepat saat mengetahui siapa yang melayangkan tepukan ke pundakku. Dialah pemuda sekaligus sahabat yang baru saja pulang umroh di tanah suci Mekah. Pemuda itu bernama Fitroh.

"Waduh, ketemu disini rupanya," seru Fitroh padaku sembari tersenyum.

"Loh, kapan kau datang?" kataku balik bertanya.

"Aku datang malam Minggu. Kamu kemana kok tidak menyambut kedatanganku? Di rumah rame loh..."

"Apa? Malam Minggu? Kebetulan malam Minggu kemarin aku sakit Fit. Jadi nggak bisa keluar rumah."

"Waduh, ternyata di Sampang musim orang sakit ya,"

"Benar Fit, akibat cuaca yang tak menentu kali ya. Eh, kayaknya aku sekarang harus panggil pak haji deh," seruku sambil tertawa. Fitroh pun ikut tertawa mendengar ucapanku.

Pelan-pelan, kutatap wajah pemuda itu. Ada sesuatu yang berbeda yang membuat kedua mataku terus terpesona. Ya, kulit Fitroh tampak lebih putih, bersih dan halus. Wajahnya pun tampak bercahaya. Apa ya rahasianya? (hahaha, kayak iklan aja nih yeee...)

"Wajahmu bersinar Fit. Pasti kamu bahagia di sana. Cerita dong..."

"Ah, kapan-kapan kamu ke rumahku saja. Nanti kuceritakan semua. Di sini bukan tempat yang tepat." Timpal Fitroh membuatku penasaran.

"Baik. Hari Senin aku ada jadwal mengajar. Nanti aku mampir ke rumahmu ya."

***

(Jumat, 31 Agustus 2012)


Jika harus menunggu hari Senin tiba, aku rasa masih terlampau jauh untuk menyimpan lagi kepenasaranku. Sedangkan hatiku telah lama diselimuti rasa super penasaran ingin segera mendengar rangkaian cerita perjalanan religi seorang Fitroh di tanah Rasulullah. Tanpa ba bi bu lagi, kuputuskan saja Jumat pagi segera bersilaturahmi ke rumah Fitroh. Tak tanggung-tanggung, aku berangkat pukul tujuh pagi dan tak lupa pula kuajak kedua sahabatku, Lian serta Anas ikut berkunjung ke rumah Fitroh yang terletak di desa Pangelen, Sampang. Kami bertiga mengendarai angkutan umum dan benar-benar menikmati perjalanan kami. Pemandangan alam selama perjalanan berlangsung sangat indah menyejukkan mata. Kanan kiri jalan dikelilingi hijaunya persawahan.

Rasa penasaran yang memenuhi batinku tentang Baitullah telah membawaku hingga ke rumah sederhana kediaman Fitroh. Aku terlampau egois ingin mengetahui segala sesuatu yang belum pernah kuketahui, termasuk suasana di tanah suci sana.

"Aku tidak tahu harus cerita darimana, yang jelas menurutku kehidupan disana tidak bisa diukur dengan pikiran. Semua tergantung amal perbuatan kita di Indonesia," tutur Fitroh memandang kami bertiga.

"Kok kamu bisa bilang begitu?" tanyaku.

"Iya. Aku merasa Allah melindungiku selama aku berada disana. Pernah aku berangan-angan ingin makan ayam, eh ternyata ada seseorang yang mengetuk pintu apartemenku dan menyodorkan beberapa potong ayam goreng padaku. Pernah juga aku berangan-angan ingin mencicipi nasi bukhari, tiba-tiba ada seseorang yang memberiku sepiring nasi bukhari. Allah benar-benar mengetahui apa yang ada di benak hamba-hambaNya,"

"Ada satu hal yang membuatku semakin yakin bahwa Allah benar-benar Maha memberi," kata Fitroh dengan pandangan mata tampak menerawang. Aku, Lian, dan Anas masih terdiam tepat dihadapan pemuda bersarung dan berpeci itu.

"Kalian tahu sendiri kan kondisi keberangkatanku. Saat itu aku hanya membawa uang saku sebesar empat ratus riyal. Tapi subahanallah, aku benar-benar terharu,"

"Terharu kenapa? Kamu kecopetan?" celetukku.

"Bukan. Bukan itu. Saat aku sholat di Masjidil Haram, tiba-tiba ada orang asing menyelipkan beberapa lembar uang kesakuku. Tepat sekali di saat aku tengah melaksanakan sholat. Setelah kuketahui, ternyata uang itu berjumlah seratus riyal."

"Subahanallah... Kamu tau siapa orang itu Fit?" Lian tertegun. Fitroh pun menggelengkan kepalanya pertanda tidak mengetahui siapa orang pemberi uang itu.

"Aku benar-benar tidak tahu siapa orang asing itu..."

Belum sempat Fitroh melanjutkan ceritanya, tiba-tiba muncullah bibi Fitroh dari balik pintu yang tengah membawa nampan berisi dua piring penuh kurma dan tiga gelas air zamzam.

"Ini, silahkan diminum. Ini air zamzam asli. Aku sendiri yang mengambilnya spesial untuk sahabat-sahabatku."

Aku merogoh gelas itu, kuamati sekilas kemudian kuteguk isinya. Aku bersyukur bisa meminum air bersejarah itu. Menurut informasi yang pernah kubaca, air zam-zam merupakan air mineral terbaik di seantero celah dunia. Dan yang membuatku tersita sekaligus tercengang, meski sejak zaman Rasulullah hingga sekarang banyak masyarakat di dunia yang mengambil air zamzam tersebut, namun sumur zamzam tidak pernah merasakan kata "kekeringan". Inilah salah satu kebesaran Allah.

Fitroh kembali melanjutkan pengalamannya ketika berada di tanah suci sana, ketika ada rekan dari Sampang tiba-tiba bisa berlari setibanya di tanah suci, padahal sebelumnya jika berjalan harus memakai bantuan kursi roda. Cerita Fitroh semakin meluas mulai dari tawaf, mencium hajar aswad, berkunjung ke monumen pertemuan Adam dan Hawa, melihat jam tertinggi dan terbesar di dunia hingga pengalaman menitikkan air mata ketika hendak bertolak ke Indonesia. Bahkan Fitroh juga menunjukkan koleksi foto selama di tanah suci di komputer jinjing miliknya.

Sontak ada kecemburuan yang tiba-tiba muncul di hatiku. Kapan aku bisa berkunjung ke tanah Rasulullah? Tanah impian semua umat Islam di dunia? Ingin sekali aku mencium aroma kedamaian hati disana. Di tanah suci kelahiran para Nabi.

"Kudoakan semoga kalian bisa berkunjung ke Baitullah, merasakan bahagia seperti yang aku rasakan... Amin..." Kata pemuda itu mengakhiri ceritanya.

*Kamarku. Sampang, 31 Agustus 2012.
Tengah Malam.
Tanah Garam, Madura.


***



Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Antara Dingin dan Gelap Malam


Kian lama malamku kian larut. Senandung angin merebak dan meluas menyelimuti seluruh kota. Aroma tengah malam yang menyeruak dari balik kegelapan pelan-pelan menajam menyapaku. Hanya diamlah yang mampu kusemaikan dalam diriku.

Malam itu, saat semua merasa bahagia dengan ratusan kembang api menghiasi langit malam, aku masih saja duduk termenung diantara dingin dan gelap malamku. Anganku pun melayang tak tentu arah, merindukan sesuatu yang kini tak kurengkuh. Bagaimana bisa bahagia jika separuh hatiku tak ada disampingku??

Aku merasa dunia tak lagi berpihak padaku. Aku pun merasa indahnya malam itu bukan teruntuk diriku. Semua benar-benar tak peduli dengan keadaanku. Keadaan yang tak pernah kupikirkan sebelumnya di malam-malam lalu. Aku meringkuk di atas ubinku yang mulai mendingin itu.

Peristiwa sore telah membawaku pada dimensi ini, kesepian. Sore itu telah membuka dan menyadarkan batinku bahwa asmara yang selama ini kujaga tiba-tiba menusuk relungku. Pun merusak hidupku.

***
(catatan kesendirian) Kamarku, Sampang, 00:30 WIB, 25082012. Tanah Garam.



Tentang PenulisAswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Jumat, 15 Juni 2012

Karma Guruku ??

"Siapa yang menanam, pasti dia yang akan menuai hasilnya" begitulah kata pepatah yang sering aku dengar. Aku sangat paham dengan kalimat itu, tapi entah mengapa aku mengabaikan makna yang tersirat di dalamnya. Aku sering melakukan hal-hal yang kuinginkan tanpa memikirkan dulu manfaat dan akibatnya. Hm, mungkin karena darah mudaku masih bergelora kala itu, sampai-sampai aku tak peduli pada siapa pun yang coba menghalangi rasa ingin tahuku.

Terus terang saja, saat aku masih SMA, aku bukanlah tergolong siswa yang nakal dan juga bukan tergolong siswa pendiam. Bisa dibilang aku siswa yang biasa-biasa saja, yang tidak mudah dikenal para guru karena tidak terlalu aktif di kelas. Maklum masih pemalu. Namun begitu, sebagai seorang peserta didik, tentunya aku memiliki sifat yang hampir sama seperti teman-temanku yang lain dalam mengapresiasi seorang guru. Kalau memang guru itu asik dalam mengajar, ya pasti kami menyayanginya. Begitu pula sebaliknya, kalau dalam menjalani kegiatan belajar mengajar guru tersebut memakai sistem super ketat dan membosankan, tentunya kami merasa sebal pada guru yang bersangkutan.

Oke, aku sadar bahwa seorang guru itu merupakan sesosok manusia yang patut digugu dan ditiru, guru apa pun itu. Hal tersebut dikarenakan guru adalah orang tua kedua setelah ayah dan ibu kandung kita di rumah. Jasa seorang guru memang begitu besar dalam dunia pendidikan, karena gurulah yang mencetak siswa-siswa berprestasi di nusantara ini.

Kalau mengingat-ingat jasa seorang guru, aku tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata. Bagiku seorang guru bukanlah seseorang yang hanya mengajar di kelas, akan tetapi guru bagaikan orang tuaku sendiri. Seperti sosok Bu Bandiyah yang menganggapku seperti anaknya sendiri. Dialah guruku, yang tak hanya cerdas tapi juga teliti dalam segala hal. Ada satu kejadian yang paling aku ingat sampai saat ini. Kejadian itu membuatku tersadar akan karma seorang guru. Ya, balasan yang kualami saat ini dalam profesiku sebagai seorang guru pula.

Lima tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, ada seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Beliau sepertinya guru paling tua dan paling senior di sekolah faforitku. Bayangkan saja, walau pun usianya sudah mendekati senja, Bu guru yang sering disebut Bu Bandiyah itu memiliki semangat mengajar layaknya para pemuda di medan perang. Penuh semangat. Ya, Bu Bandiyah merupakan guru paling disiplin di kelasku, jangankan telat masuk kelas, lupa mengerjakan tugas rumah pun diberi sanksi yang setimpal. Berdiri satu kaki adalah hukuman paling ringan yang akan kami dapatkan jika tidak mengerjakan tugas-tugas dari beliau.

Siang itu Bu Bandiyah datang masuk kelas tepat setelah bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Kebetulan pelajaran Bahasa Indonesia berada pada jam terakhir, hal itu membuat para penghuni kelas alias teman-teman sekelasku merasa jenuh. Apalagi setelah mengetahui materi yang akan diajarkan Bu Bandiyah siang itu adalah berpidato, kami pun mendengus semakin merasa bosan. Andai saja aku punya sayap, pasti aku sudah terbang meninggalkan kelas siang itu. Dan kuyakin teman-temanku merasakan hal yang sama sepertiku.

"Assalamualaikum," ucapan salam mulai terdengar dari balik pintu masuk. Kami para peserta didik termasuk aku terkesiap setelah mendengar salam tersebut,

"Waalaikumsaaalaaaaaam," sahut kami serempak.

Bu Bandiyah duduk di kursinya. Selanjutnya ia mengabsen kami satu per satu. Dan tanpa basa-basi, Bu Bandiyah langsung berdiri menuju papan tulis.

"Buka halaman enam puluh satu, perhatikan materi tentang pidato!" Perintah Bu Bandiyah sambil menuliskan sesuatu di papan tulis.

Salah satu temanku yang kebetulan duduk di samping kanan tiba-tiba mencubit lenganku.

"Aw...!! Sakit tau!" bisikku seraya mengerutkan dahi ke arah pemuda di sampingku.

"Eh, coba deh kamu perhatikan sepatu Bu Bandiyah," katanya.

"Kenapa?" tanyaku lalu beralih memandang sepatu bu guru yang tengah menulis di papan tulis membelakangi kami.

"Tuh, mentang-mentang sepatu baru. Sampe-sampe capnya belum sempat dilepas. Hahaha..." temanku pun tertawa. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

Setelah puas tertawa, kemudian pemuda bertubuh kurus itu mengeluarkan telepon genggam miliknya. Ia arahkan mata kamera ke arah Bu Bandiyah.

"Eh iseng banget sih! Dosa tau," kataku mencoba mencegah pemuda di sampingku.

"Hahaha, buat seru-seruan aja kok. Nanti kita sebarin ke anak-anak lewat bluetooth. Hahaha..." dia malah makin terbahak.

Dan benar, setelah memotret, pemuda itu menyebarkan foto Bu Bandiyah pada teman-teman yang lain. Sontak seluruh kelas tertawa dengan ulah pemuda bandel tersebut. Kuakui walau aku tidak begitu suka dengan perbuatan dia, tapi entah mengapa aku juga malah ikut tertawa.

Kembali aku teringat kata pepatah "Siapa yang menanam, pasti dia yang akan menuai hasilnya". Sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan di dunia ini pasti ada balasannya, karena itu sudah sunnatullah dari Sang Pencipta. Kini, setelah lima tahun yang lalu aku menertawai guru mata pelajaran Bahasa Indonesiaku, aku mendapatkan balasan dari apa yang telah kuperbuat dulu. Aku yang telah menjadi guru pun harus mau merasakan ujian seperti Bu Bandiyah dalam menghadapi peserta didikku. Ya, beberapa bulan yang lalu, ketika aku sedang mengajar di depan kelas, tiba-tiba seorang murid memotretku. Tentu saja tanpa sepengetahuanku. Aku pun mengetahui peristiwa itu ketika siswa-siswa yang lain berebut handphone berisi gambarku. Aku hanya tersenyum menghadapi peristiwa itu. Sempat terlintas di benakku "Inikah balasan untukku??"


Sampang, Tanah Garam, 13 Juni 2012 kala senja.
***

Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Bakar Ikan di Malam Perpisahan (Catatan Akhir KKN-ku di Desa Kramat)

Seusai shalat Maghrib, aku duduk di bibir tangga musholla depan balai desa. Sejenak aku termenung menikmati sisa-sisa senja yang indah merona. Langit yang mulai meredup itu seakan memberikan energi berbeda dihatiku, didadaku. Kutatap saja lukisan malam Tuhan sambil diiringi suara indah anak-anak mengaji di dalam Musholla. Sejuk, damai dan tentram, itulah yang kurasakan kala lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an menyapa telinga dan hatiku.

"Ayo cepat ngumpul..! Siapkan batu-bata untuk tempat panggang ikan, takut Pak Zaini keburu pulang" seru salah seorang teman yang sudah berada di balai desa.

Aku terkesiap mendengar panggilan itu. Tanpa pikir panjang kupakai sepatu dan beranjak mendekati teman-temanku. Ya, malam itu adalah malam perpisahan program KKN-ku di desa Kramat, Tlanakan Pamekasan. Setelah hampir sebulan aku berkutat dengan berbagai program yang telah direncanakan mulai dari berkumpul dengan aneka sapi, datang ke rumah warga dengan jalan kaki, hingga mengajar ke sekolah-sekolah swasta di sekitar desa pun telah kami lalui. Kini semua kegiatan itu sudah berakhir, berada di ujung sebuah perpisahan. Berbagai kenangan indah telah tergores dan tersimpan dalam sejarah hidup kami, terutama di perjalanan hidupku.

Salah satu peristiwa yang paling kuingat adalah saat melakukan program inti yaitu suntik sehat sapi. Kebetulan hari itu kegiatannya dilakukan secara door to door, kami datang menuju kandang satu ke kandang lainnya dengan membawa suntikan dan langkah penuh ceria. Saat kami berkunjung ke rumah pertama, ternyata sang pemilik rumah harus dengan susah payah mengeluarkan sapinya dari dalam kandang karena ternyata sang sapi tengah ketakutan. Sekuat tenaga wanita setengah baya itu menarik dan membujuk si sapi (hehehe, kayak bayi aja ya pake dibujuk segala).

Nah, setelah dengan susah payah perempuan setengah baya yang mengaku bernama "Suimah" (Hmm, namanya mirip Soimah si artis papan atas yang katanya pemilik acara menggelora dan membahana itu loh. Hahaha, ups!! Lanjut aja ya), dia pun mengikat tali di sebuah pohon dekat rumah kayu miliknya. Selanjutnya Suimah mengelus sapinya dengan lembut. Tapi tiba-tiba bulu sapi itu beterbangan ke arah kami. Sontak kami menghindar. Menurut informasi yang kami dapat, apabila bulu-bulu halus itu kena hidung, akan menimbulkan sesuatu yang sedikit berbahaya. Jadi, untuk lebih waspada, dengan lihai kami langsung menghindar. Jujur saja, selama aku hidup di Sampang, baru siang itu aku melihat bulu sapi bisa rontok gara-gara gugup. (Hahahaha... Gugup karena liat cowok-cowok ganteng kali ya,,)


Oh iya, saking gugupnya si sapi tersebut, saat teman kami memegang ekor hendak mengarahkan jarum suntik, malah hewan berkulit coklat itu mengeluarkan kotorannya tanpa permisi. Kotorannya pun encer (hiiii jijay buanget!!)

"Bu, sapi ini ternyata diare," kata temanku.

"Oh ya?" tanggapan Bu Suimah singkat sambil menganggukkan kepalanya.

"Nah, kalau bisa Ibu ambil beberapa helai daun jambu dicampur sedikit kunyit, lalu berikan pada sapi ini supaya diarenya cepat sembuh," jelas temanku dengan raut muka serius.

"Ya, ya, biar nanti saya beri seperti yang anda katakan, terima kasih informasinya,"

"Terus, jika si sapi nggak mau dikasi ramuan tadi, ganti saja dengan teh." kata temanku lagi. Bu Suimah pun kembali mengangguk. Karena geram, tiba-tiba aku pun nyeletuk,

"Hm, kalau masih nggak mau dikasi teh, biar praktis mending kasi diapet aja bu. Diare mampet, aktivitas pun lancar!"

semua teman-temanku pun tertawa termasuk Bu Suimah. Aku juga tertawa sambil memegang perut penuh geli. Canda tawa penghilang lelah senantiasa menghiasi langkah kami dari rumah satu ke rumah yang lain.

Itulah salah satu peristiwa lucu di tempat KKN_ku. Masih banyak cerita lain yang lebih ceria dan lucu namun tidak bisa kuceritakan satu per satu. Yang jelas, memang benar kata teman-temanku bahwa KKN adalah salah satu kegiatan yang tak dapat dilupakan dimasa-masa kuliah.

Akhirnya, di malam perpisahan itu, aku dan teman-temanku sibuk menyiapkan arang untuk memanggang ikan dan makan bersama beralaskan daun pisang. Apalagi dinaungi langit malam yang ditaburi ribuan bintang gemintang. Oh, benar-benar tak terlupakan.

Sampang, 21052012
Menjelang Senja
***

Jumat, 27 April 2012

Cerpen komedi: Kepincut Idola (Naskah yang gak lolos lomba)



Hai saudara-saudara sekalian, apa kabar? Kali ini aku punya cerita nih. Ceritanya begini, pada hari minggu aku ikut ayah ke kota. Naik delman istimewa, dan ku duduk di muka. Ku duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja mengendali kuda supaya baik jalannya. Eit, kok lama-lama seperti lagu anak-anak ya? Hm, sorry deh sorry, masa kanak-kanakku kayaknya kurang bahagia kali ya. Oke deh cerita yang lain aja ya, kamu mau tahu nggak? Lucu loh... Bener? Bener nih mau tahu?

Cekidot please...

Sore itu tepat hari kamis, seusai gerimis menyapa kota Surabaya, aku dan Sarimin baru saja pulang dari nonton bioskop yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Dengan santai kedua tangan kami melenggang kangkung seperti penari profesional turun dari angkutan umum sambil senyam-senyum. Senyuman kami pun mengembang penuh ceria bagai orang gila di tengah jalan. Semua itu refleks kami lakukan sebagai ungkapan puas atas film yang kami tonton.

Film yang telah kami tonton tak lain dan tak bukan adalah film Indonesia bergenre horor yang tengah meledak di pasaran, yang membuat film itu spesial adalah pemeran utamanya diperankan seorang artis cantik bernama Dewi Berisik. Eh salah, maksudku Dewi Perssik (hehehe sorry deh, lidahku keseleo gara-gara keenakan makan lolipop nih. Hemm nyamiiiy).

Hm, tahu nggak siiiiihhh????? kenapa aku dan Sarimin ngebet banget nonton film horor yang serem tadi? Hayo pasti anda saudara-saudara sekalian nggak ada yang tahu, atau malah heran bin penasaran alasannya kenapa. Iya kan? Ngaku aja deh, aku nggak akan marah kok (Kikikikikiki...).

Kalau boleh aku bagi-bagi rahasia, aku akan bagi rahasia tentang sahabatku yang bernama Sarimin itu. Hm, diam-diam Sarimin ngefans banget loh sama si pemeran utama film "Tali Pocong Perawan" tersebut. Maka dari itu, si Sarimin rela mati-matian mentraktirku makan mie ayam dan bayarin tiket nonton sang idola. Bukan hanya itu, Sarimin juga rela jalan kaki dan berangkat lebih awal dari jam penayangan demi artis idolanya. Benar-benar sebuah pengorbanan besar untuk sang idola.

"Kemana... kemana.... kemana...." kata Sarimin coba menirukan Ayu Ting Ting menyanyikan lagu dangdut berjudul "Alamat Palsu".

Aha! Telingaku mulai mekar nih.

"Kesana kemari membawa alamat. Tetapi mereka bilang tidak tau. Sayaaaaang mungkin diriku telah tertipuuu...."

Telingaku kembali mekar. Bahkan semakin mekar saja. Bukan berarti terpesona dengan suara Sarimin, malah telingaku mekar lantaran gerah mendengar suara itu, jelas sekali suara Sarimin sangat jauh berbeda, nggak sama persis seperti suara si neng Ayu Ting Ting. Yang ada, menurut komentator ajang pencarian bakat di televisi yang sering kulihat sih suara Sarimin penuh dengan vibra kambing, benar-benar menyebalkan! Nggak pantas sedikitpun untuk menjadi penyanyi dangdut! (hihihihihihi).

"Parmin, tahukah kau perasaanku sekarang?" tanya Sarimin ketika menghentikan nyanyiannya dan berjalan memasuki sebuah gang.

Eit, tunggu dulu. Sebelum melanjutkan ceritaku, rasa-rasanya aku sampai lupa memperkenalkan siapa diriku. Kalau begitu perkenalkan, namaku Parmin, lengkapnya Suparmin, lebih lengkapnya lagi Suparmin Aja Gitcu loh, Sedangkan sahabatku bernama Sarimin, lengkapnya Sarimin Bin Suhaimin. Hampir mirip kan nama kami berdua? (Ha ha ha, kayak Upin Ipin saja ya pake mirip-miripan segala. Hufftt...).

Entahlah. Kalau boleh curhat sedikit sih, aku nggak tau sejarah pemberian namaku itu. Padahal, jujur saja, aku nggak begitu suka dan nggak akan pernah bangga memiliki nama Parmin. Nggak gaul sih...!

Seandainya saja Ibu dulu memberiku nama Lee. Ya kayak Lee personel "Hits" boyband Indonesia itu tuh... Lumayan kan banyak cewek-cewek yang mengejarku. Buka baju aja udah diteriakin cewek-cewek, apalagi senyum dan nyamperin mereka, pasti semua cewek klepek-klepek melihat tampangku yang aduhai cucok ini. Dan tentunya aku juga nggak akan menyendiri seperti saat ini kali ya (Hi hi hi, ngarep banget).

"Hei! Kau mendengar kata-kataku nggak sih, Parmin?!" teriak Sarimin mengagetkanku. Saking kagetnya, sampai-sampai permen yang kumakan tertelan begitu saja, membuatku batuk bak orang tua yang mendekati uzurnya.

"Huk! Uhuk! Uhuk! Ahak!"

"Min, Parmin. Kenapa kau batuk-batuk?" tanya Sarimin sambil mengelus-elus punggungku.

Aku tak sempat menjawab pertanyaan Sarimin. Boro-boro mau menjawab, bau ketek Sarimin mulai beraksi menusuk hidungku, sehingga mulutku mendadak batuk-batuk tak karuan. Aku heran, kenapa sih Sarimin memelihara bau ketek yang super duper menyebalkan itu? Mendingan memelihara ayam atau kambing seperti bapakku, kan lumayan tuh daripada bau tak sedap di kedua keteknya. Kalau memelihara ayam bisa panen telurnya, atau kalau memelihara kambing bisa laku keras saat musim Qurban tiba. Tapi kalau memelihara bau ketek bisa panen apa? Panen bau busuk kali ya. Hiiii... Jijay markijay bo!!

Sumpah! Bau ketek Sarimin memang sangat menusuk hidungku. Kalau menyengat dengan aroma terapi sih nggak jadi masalah, tapi ini, huh! Ada asem, kecut dan busuk. (Permen kali ya rasanya campur-campur). Eh, tapi bener loh, kalau band Indonesia ada yang menyanyikan lagu 'Cinta ini membunuhku' kali ini malah ketek Sarimin yang hampir membunuhku.

Daripada mati berdiri, mending aku istirahat saja dulu di sebuah warung, guna membeli sebuah minuman untuk mendorong permen yang sempat nyangkut di tenggorokanku. Selain itu, ya siapa tahu ketek Sarimin juga bisa dikeringkan sejenak dari genangan keringat kotornya, sehingga bau bangkai busuk yang menempel pun hilang. Hiiii... Uwekk!

"Duh Parmin, kenapa kau mampir ke warung ini sih? Rumah kita kan udah deket banget." Kata Sarimin ketika batukku sudah sedikit reda.

"Loh, gimana kau ini Saaarr, Sar! Kalau aku minum di rumah, bisa-bisa aku mati berdiri tau," sahutku sambil melirik Sarimin.

"Oyeah? Kenapa bisa mati berdiri? Ibumu mau membunuhmu? Wah gawat tuh, siap-siap lapor polisi, kawan!"

"Aduh, kamu ini dodol banget ya Sar. Mana mungkin seorang ibu akan membunuh anaknya sendiri? Ya nggak mungkinlah... Apalagi anak seimut aku."

"Hah, imut dari mana? Yang sebenarnya imut tuh aku, seperti pantun mengatakan, Ada Gula Ada Semut, gila gue imut."

"Ya kamu memang imut kayak marmut."

"Huuuuu..... Terus kenapa dong?" tanya Sarimin sok lugu.

"Eh cumi, aku tuh minum di sini untuk meredakan batuk akibat makan permen. Kalau harus menunggu minum di rumah, bisa-bisa aku mati berdiri disini. Begitu, dodol..."

"Ah, cuma batuk biasa aja bisa mati. Payah kau ini. Lebay" kata Sarimin enteng seakan-akan tak berdosa.

"Lebay apanya? Kamu tuh yang lebay,"

"Yaiyalah. Mana ada orang tiba-tiba mati berdiri akibat makan permen. Nggak ada sejarahnya tuh! Itu yang kumaksud lebay."

"Ya bisalah, selain tertelan permen, aku juga mual gara-gara... Ah sudahlah, ayo kita pulang. Aku mau mandi. Gerah!" kataku mengalihkan pembicaraan.

Padahal, aku ingin sekali mengatakan bahwa aku mual gara-gara bau bangkai busuk yang berasal dari kedua keteknya. Tapi kuurungkan demi menjaga perasaan Sarimin. Maklum, dia adalah satu-satunya sahabat yang masih setia bersamaku dan mendampingiku. Jadi aku harus mempedulikan perasaannya walaupun sebenarnya aku tengah emosi mendengar kata-katanya.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Sarimin terperanjat dengan pandangan mata tertuju ke bawah. Kali ini aku yang keheranan melihat gerak-gerik sahabatku itu. Mata Sarimin terbelalak hebat, seakan-akan bertemu setan yang menakutkan. Secepat kilat Sarimin memungut sebuah kain panjang berwarna putih kecoklatan. Ya kira-kira ukurannya empat puluh sentimeter gitu deh. Pemuda itu pun loncat-loncat kegirangan seperti anak-anak balita yang mendapatkan mainan.

Sebenarnya gerak-gerik Sarimin lebay dan condong berlebihan deh. Bagaimana tidak, barang jelek, kusut, bau yang ditemukan itu malah dipeluk dan dicium-cium seperti menemukan harta karun. Andai ada orang yang melihat Sarimin, pasti aku akan merasa malu besar memiliki teman lebay seperti dia. Untung saja tak ada satu orang pun yang melihat pemuda itu lompat-lompat.

"Apa-apaan sih kau ini, Sar. Kain jelek itu kok malah dicium-cium gitu, nggak jijik apa?" kataku.

"Tau nggak Parmin. Aku yakin kain ini adalah tali pocong perawan yang terjatuh," jawab Sarimin dengan entengnya.

Aku terkejut bercampur geli. Sontak mulutku tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Sarimin.

"Hahaha! Mana mungkin ada tali pocong di perkotaan seperti ini? Kau terkontaminasi film tadi ya? Janganlah mengada-ada kau Sarimin. Huahahaha,"

"Duh, percayalah Parmin. Percayalah padaku. Aku yakin dengan tali pocong ini aku dapat menemukan belahan jiwaku. Gadis cantik seperti Dewi Persik yang selama ini aku impikan. Percayalah kawan," tegas Sarimin percaya diri. Bukannya yakin, malah aku semakin geli mendengar kata-kata pemuda kurus itu. Sok puitis. Sok Narsis. Ah, sudahlah! Kami pun pulang.

***

Malam harinya, aku mengajak Sarimin tidur di rumahku. Sesampainya di rumah dari nonton bioskop, ternyata Ibu dan Bapakku mendadak pergi ke Malang karena ada saudara yang sakit keras. Jadi di rumah tinggal aku sendiri deh. Dan malam itu Sarimin kuajak tidur di kamarku. Aduh tahukah anda saudara-saudara, malam itu aku tak bisa tidur dengan tenang. Ada suara-suara aneh yang terus menghantui telingaku sehingga ketenangan malamku terus terusik.

Dari manakah suara itu berasal? Bisakah saudara-saudara sekalian menebaknya? Ting tung ting tung duaaarrr!!! Yup, benar! Suara aneh itu berasal dari mulut si Sarimin yang tidur di sampingku. Pemuda itu ngorok bagai babi ngepet yang lama tidak diberi makan majikannya. Suaranya membahana ke seantero celah kamar. Mana mulut Sarimin juga bau. Uh Sumpah! Lengkap banget ya penderitaan si Sarimin. Ketek bau, mulutnya pun begitu. Ahay, kagak nahan baaaang...

"De.... Dewi. Aku suka kamu Dew. Jadikanlah aku kekasihmu, oohh..." igau Sarimin, tiba-tiba, membuatku terperanjat kaget. Kutatap lekat-lekat wajah pemuda di sampingku itu. Rupanya Sarimin tengah memimpikan sang idola. Buset dah, secara tidak langsung Sarimin telah menyiksaku. Menyiksa malam yang seharusnya tenang dan damai untuk beristirahat.

Ya ampiiuuun, sampai subuh pun mulut Sarimin belum juga berhenti berdering alias ngorok. Dan Sarimin tidak menyadari perbuatannya sedikit pun. Benar-benar mengecewakan. Terpaksa aku beranjak bangun dan sholat subuh. Tepat pukul enam pagi, Sarimin bangun dari tidurnya. Aku memang sengaja tidak membangunkannya karena aku mau tidur di sofa ruang tamu seusai sholat subuh. Eh, belum genap satu jam memejamkan mata, tiba-tiba saja Sarimin datang membangunkanku.

"Hei ayo bangun! Jangan tidur melulu. Daripada tidur, mendingan dengerin nih cerita tentang mimpiku tadi malem. Ayo bangun Parmin, bangun!" Seru Sarimin menggoyang-goyangkan tubuhku. Aduh, aku benar-benar kesal dengan kelakuan Sarimin! Aku tersiksa di rumahku sendiri.

"Aduh Sar! Aku baru tidur jam lima pagi tau! Jangan ganggu aku ah,"

"Bangun dulu. Udah pagi nih. Coba kau dengarkan dulu ceritaku. Tadi malem aku mimpi bertemu sama Dewi Persik. Sumpah, dia cantik banget, Parmin." jelas Sarimin tak menghiraukan kekesalanku. Aku hanya diam menanggapi kata-katanya. Mataku seakan tak bisa dibuka lagi.

"Aku yakin tali pocong yang kutemukan kemarin sore itu akan memberikan kejutan sehingga mempertemukan aku dengan si Dewi," lanjut Sarimin lagi.

"Wah Sar, jodoh itu ada di tangan Tuhan. Bukan dari kain jelek yang kau pegang itu! Pagi-pagi jangan ngelantur ah." sergahku dengan mata setengah tertutup. Belum sempat Sarimin menjawab, tiba-tiba saja ada suara gaduh di depan rumahku. Pelan-pelan kuperhatikan, sepertinya ada beberapa tetangga yang sedang ribut deh. Karena rasa penasaran mulai muncul dan merasuki otakku, kami berdua pun keluar untuk memperjelas apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.

Seorang wanita setengah baya memarahi ibu tetangga depan rumah.

"Mana kain putih yang dicuri anakmu! Kembalikan padaku. Itu sangat penting buat anakku si Dewi. Ayo mana kembalikan bu," gertak perempuan setengah baya itu.

"Kain putih apa ya bu? Anak saya nggak merasa mengambilnya, bentuk kainnya saja kami nggak tau tuh bu," bela ibu depan rumah.

Mendengar kata kain putih, aku jadi teringat sesuatu. Otakku langsung tersambung dengan kain yang ditemukan Sarimin kemarin sore. Secepat kilat aku merampas kain kotor yang dipegang Sarimin. Lalu aku bergegas menemui segerombolan wanita yang tengah ribut tadi.

"Tunggu, tunggu, maaf mengganggu. Apa yang kalian maksud kain ini?" tanyaku seolah-olah pahlawan yang membawa kedamaian di pagi buta. Ya! Pahlawan tanpa tanda jasa.

"Oh jadi kamu yang mengambil kain itu, Parmin?" kata wanita itu menatapku garang dan terbelalak.

Aku kaget.

Sarimin tergopoh-gopoh datang menghampiriku.

"Buu, bukan. Kemarin Sarimin yang menemukan kain ini di depan warung bu Salma, memangnya buat apa kain busuk ini, bu?" kataku mencoba menjelaskan.

"Ini kain kesayangan anakku tau. Kain ini digunakan untuk menutup mulut Dewi kalau sariawan. Sini kembalikan,"
Gleeegggg!!!

Mendengar penjelasan wanita itu, sontak aku tertawa lepas ke arah Sarimin. Sarimin yang tadinya girang berubah salah tingkah, mukanya mulai pucat. Hahaha, rupanya kain yang dianggap tali pocong perawan oleh Sarimin itu salah besar. Malah kain itu penutup bibir anak wanita tadi, si Dewi Berisik. Maklum, gigi sang Dewi Berisik maju melewati batas bibir atasnya. Jadi kain busuk itu sebagai penutup mulut Dewi Berisik saat sariawan.

Ha ha ha, pantesan kemarin baunya busuk sekali, jadi itu dikarenakan bercampur ludah Dewi Berisik? Hiii...Sarimin pun memerah dan pulang tanpa kata. Malu.
***

Kamis, 05 April 2012

Peristiwa 100 Hari Yang Lalu



Seratus hari yang lalu, jika aku mengingat peristiwa di hari itu, pasti akan menjadikan hatiku kembali sembilu. Mimpi, harapan dan gairah meniti kehidupan seakan terhenti sejak seratus hari yang lalu. Tak ada canda dan tawa yang menemaniku. Tak ada lagi tempat kuberbagi cerita bahagia, dan tak akan ada lagi keunikan yang selama ini selalu kulihat setiap waktu. Semua itu terhenti sejak seratus hari yang lalu.

Ya! Seratus hari yang lalu air mataku mengaliri pipi dan kemejaku. Aku tak akan pernah melupakan hari yang menyedihkan itu, hari kematian sahabat terbaikku, Agung Wisnu Saputra. Sebuah nama yang sempat terselip di nama penaku (AGANSYA - AGung, liAN, alfianSYA). Sejujurnya aku masih tak percaya bahwa pemuda itu telah pergi. Hal tersebut dikarenakan aku belum sempat melihat wajah terakhirnya, terutama pusara tempat ia bersemayam untuk selamanya. Aku benar-benar belum sempat melihat batu nisan itu dengan mata kepalaku sendiri, sama sekali belum pernah!

Memang benar kata sebuah pepatah, sebaik-baik manusia berencana masih ada Allah yang akan menentukan segalanya. Andai saja Agung masih hidup, aku akan menunjukkan novel yang kutulis beberapa tahun lalu, novel yang terinspirasi akan dirinya, akan keunikannya, dan akan kesabarannya menghadapi susahnya kehidupan. Kuingin memberikan seberkas buku cerita itu pada Agung. Namun, sepekan sebelum pertemuanku dengannya, malah dia pergi untuk selamanya. Bahkan dia pergi tanpa menemuiku terlebih dahulu. Hanya kabar kematianlah yang kudengar jauh dari kota Kediri itu.

Aku tak menyangkal bahwa setiap rencana Tuhan pasti terselip hikmah yang dapat kupelajari. Namun, hingga kini kepergian seorang Agung menyisakan sejumput pertanyaan yang terus menghiasi pikiranku, secepat itukah Allah memanggil Agung? Disaat semua yang kurencanakan belum bisa kutunaikan?

Mungkin aku harus terima tentang perjalanan hidup ini. Seratus hari yang lalu aku merindukan sahabatku, dan sampai detik ini pun rasa itu masih menghiasi relung hatiku. Puluhan gambar Agunglah tempatku mengenang sahabat terbaikku. Untaian do'a-lah penghubungku dengan pemuda itu. Banyak orang menganggap kepergian Agung dengan cara tragis. Tapi aku yakin Agung telah tenang di alam sana. Aku harus pasrah akan kepergiannya dari hidupku, dari hidup kami semua. Semoga kau tenang di alam sana wahai saudaraku! Amin.

Sampang, 31 Maret 2012
Menjelang Pagi
***


Kamis, 15 Maret 2012

Sajak Tak Terduga: Lelaki Perindu


Lelaki Perindu
Oleh: Aswary Agansya

Lelaki perindu itu adalah aku. Ya, aku yang selama ini diam-diam menyimpan perasaan kepadamu wahai gadis. Memang tidak ada yang tahu sejak kapan perasaan bertajuk "Cinta" itu tersemat di hatiku, kecuali hanya aku dan Tuhanku.

Lelaki perindu itu adalah aku. Ya, aku yang sejak dulu tidak pernah berani mengungkapkan perasaanku padamu wahai gadis. Jangankan mengungkapkan perasaan itu, menatap matamu saja aku benar-benar tidak pernah sanggup. Entahlah! Aku amat sangat tidak mengerti dengan perasaanku yang satu ini.

Lelaki perindu itu adalah aku. Ya, akulah pemuda itu. Yang secara duniawi tidak pantas mencintaimu. Yang secara duniawi melanggar etika untuk menyayangimu. Sekali lagi aku tak tahu mengapa Tuhan menyematkan perasaan itu padaku yang jelas-jelas tidak pernah pantas bersanding denganmu wahai gadis bersuara merdu.

Lelaki perindu itu adalah aku. Ya, hanya aku yang memiliki rindu sebesar ini padamu. Kusadari tak hanya aku pemuda yang merindukanmu, masih banyak pemuda lain di luar sana yang memiliki perasaan serupa denganku. Tapi perlu kau ingat, tak akan pernah ada yang mengalahkan rasa rinduku padamu. Aku juga sadar tak hanya aku pemuda yang mengharapkanmu, masih banyak pemuda di luar sana yang berlomba-lomba merebut hatimu. Tapi perlu kau ingat, hanya akulah pemuda yang tetap setia mengharapkan hatimu walau kau tak pernah peduli padaku.

Oh sungguh! Lelaki Perindu benar-benar sayang padamu.

***
Sampang, 15 Maret 2012
Menjelang senja

Minggu, 05 Februari 2012

Cerita 2: Jejak Kaki Petualang di Mojokerto (Lanjutan petualangan setelah menghadiri ultah UNSA)



Seharian penuh aku dan para sahabatku melakukan kegiatan di kota Surabaya, mulai dari narsis-narsisan di Jembatan Suramadu, terjebak macet, menghadiri acara ultah UNSA di Kampoeng Ilmu hingga mengenal dan mempelajari tentang budaya Jepang di BG Junction. Semua kami lalui sambil tersenyum.

Pada pukul 16.30 WIB kami berlima keluar dari pelataran parkir BG Junction, Surabaya. Sebenarnya kami hendak langsung berangkat melanjutkan perjalanan menuju kota Mojokerto, akan tetapi salah satu diantara kami ada yang memerlukan beberapa buku untuk dijadikan bahan referensi kuliah, terpaksa kami berlima memutuskan mampir dulu ke Togamas (toko buku yang berlokasi dekat tempat wisata kebun binatang Surabaya). Kurang lebih satu jam kami menatap tumpukan buku di toko buku tersebut, dan aku sempat tersenyum simpul saat menatap buku-buku di rak dekat pintu. Senyum itu mengalir renyah karena diantara ribuan buku yang kulihat, ada nama-nama penulis yang sempat kukenal di dunia maya. Mungkin bukan hanya kukenal, tapi sudah menjadi sahabat dan sering bertukar pikiran tentang dunia kepenulisan. Aku pun sempat berpikir, kapan ya bukuku mejeng di toko buku sebesar ini? Sejajar dengan buku-buku yang sudah kukenal para penulisnya? Hm, semua akan indah pada waktunya kok, tetap semangat! Aku coba menyemangati diriku sendiri.

Lepas dari semua itu, terselip sebuah semangat baru bahwa aku harus lebih belajar lagi dalam mengumpulkan dan merangkai kata-kata menjadi kalimat yang renyah dibaca. Aku masih memiliki mimpi ke arah itu. Hehehe, kok malah berubah mellow ya? Oke deh, aku lanjutkan saja cerita tentang petualanganku. Oh iya, ada kejadian lucu saat aku dan sahabatku yang bernana Anas tengah membaca beberapa buku di rak buku pendidikan, tiba-tiba ada seorang lelaki dewasa bertanya kepada kami berdua,
"Dek, kalau tempat buku tentang pendidikan anak di sebelah mana ya?"

Aku dan Anas sempat saling pandang, mungkin karena kami berdua tengah memakai batik sehingga dianggap penjaga toko buku tersebut. Jelas-jelas aku tidak tahu dimana tempat buku yang dimaksud lelaki itu. Alhasil, sambil nyengir kuda kami menjawab pertanyaan lelaki bertubuh gempal itu,"He, maaf pak, kami kurang tahu. silahkan tanya sama penjaga di sebelah sana" jawab kami serempak dan langsung kabur. Hahaha, aku dan Anas sempat tertawa terpingkal-pingkal, mungkin penampilan kami seperti penjaga toko kali ya???
Hm, setelah satu jam berkutat dengan buku, selanjutnya kami berangkat menuju Mojokerto. Sisa-sisa senja masih terasa olehku, namun sisa-sisa keindahan itu tak dapat kutangkap seutuhnya karena telah ditutupi lampu-lampu perkotaan yang mulai menyala. Yang kudapatkan hanyalah sisa-sisa warna jingga yang hendak memudar. Motor kami pun melaju membelah jalan perkotaan meninggalkan kota Surabaya, seiring senjaku yang pergi meninggalkan malam.

Sungguh, aku sangat tertegun dengan hiruk pikuk jalanan kota Surabaya kala itu. Aku benar-benar tidak mendengar lantunan adzan Maghrib seperti di kampungku, mungkin adzan itu benar-benar ada namun merdunya hilang tertutupi hiruk pikuk suara kendaran yang melintas. Inikah kehidupan kota besar? Pikirku.

Waktu yang kami butuhkan untuk tiba di Mojokerto hanyalah satu setengah jam saja. Malam benar-benar telah menunjukkan kuasanya. Setibanya di Mojokerto, aku tak dapat melihat suasana alam disana, yang ada hanyalah sederetan rumah warga yang memiliki pagar sama persis antara rumah satu dan rumah lainnya. Maklum, malam itu langit tengah diselimuti mendung, alhasil begitu kami duduk istirahat di tempat tujuan hujan pun menyapa dengan derasnya. Kami pun beristirahat merefreskan otot-otot yang mulai tegang.
***
Malam semakin larut. Gerimis mulai mereda. Suara jangkrik senantiasa menemani istirahat malam kami yang terasa sunyi. Pun sayu-sayu kudengar suara angin malam yang tengah berhembus menyelinap ke celah-celah pintu dan jendela.

Tahukah kau para sahabat, siapa sangka di balik gelapnya malam kampung itu, tersimpan anugerah alam yang tak dapat dilukiskan keindahannya.


Begitu pagi menjelang, kami mendapatkan kejutan dari Allah SWT. Ternyata di belakang rumah yang menjadi tempat persinggahan kami memiliki panorama alam yang super sangat indah. Disana, kami dapat melihat megahnya gunung yang menurut masyarakat sekitar disebut Gunung Penanggungan. Bukan hanya itu saja kejutan yang kudapatkan, sekitar desa itu masih ada perkebunan tebu, cabe, tomat dan kacang panjang. Sungguh pemandangan yang tak pernah aku dapatkan selama tinggal di Madura. Kumat deh penyakit kami yang suka narsis foto-foto, hehehe.

Tepat pukul sembilan pagi di hari Minggu itu (29/01/2012), kami melanjutkan perjalanan menuju Pacet. Perjalanan dari tempat menginap menuju Pacet membutuhkan waktu satu jam saja. Untuk tiba di tempat tujuan, motor kami harus melewati jalan menanjak. Bagiku Pacet merupakan salah satu tempat terindah di Indonesia. Pacet yang terletak di lereng gunung itu memiliki cuaca yang lumayan dingin. Apalagi saat tiba di kawasan wisata air terjun. Apabila tangan menyentuh air terjun Cangu, pasti terasa dingin seperti air yang baru dikeluarkan dari lemari es. Dingiiiiin buanget.

Pemandangan di Pacet benar-benar indah. Hamparan pepohonan yang menghijau menutupi pegunungan. Sejuk.  Beratus villa tersebar di seantero celah memperindah pemandangan alam disana. Untuk menghangatkan suasana, kami berlima bernyanyi bersama. Tak peduli orang-orang berkata apa tentang kami. Kami juga sempat membeli pentol bakar untuk menambah keceriaan. Oh iya, sepulang dari menikmati air terjun Cangu di Pacet, kami berlima sempat mengalami 'Lost in Pacet'. Hahaha, tersesat adalah pengalaman yang tak akan pernah absen dalam setiap petualangan kami. Hm, pengalaman yang sangat menyenangkan dan tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Pengen tau foto-foto kami yang lain? Ini dia, cekidot...

***






Jumat, 03 Februari 2012

Cerita 1: 2nd Anniversary UNSA di Surabaya


Setiap acara perjalanan pasti selalu menyimpan aneka kenangan yang berbeda. Selain banyak menyuguhkan kejadian yang menyenangkan, juga dalam perjalanan pasti akan memberikan indahnya melelahkan. Seperti pengalamanku saat berpetualang ke Surabaya dan Mojokerto sabtu lalu. Sebenarnya aku ke kota Surabaya hanya untuk menghadiri ulang tahun grup UNTUK SAHABAT yang ke 2. Yup! sekedar informasi, UNTUK SAHABAT merupakan nama sebuah grup di facebook yang anggotanya terdiri dari ribuan penulis di Indonesia, baik penulis muda maupun yang sudah terkenal pun tergabung disana.

Perjalanan itu kuawali tepat pukul 06.30 WIB. Kami berlima (Aku, Lian, Anas, Fitroh, dan Irawan) berangkat ke kota Surabaya dengan mengendarai motor. Jika melihat jam keberangkatan, sebenarnya masih terlalu pagi bagi kami karena acara yang akan kami hadiri akan dimulai pukul 11 siang. Walau begitu, ternyata kami masih saja datang terlambat (hehehe, maaf ya mas Dang Aji Sidik) maklum, kami masih belum bisa menghilangkan kenarsisan kami selama ini. Setiap menemukan pemandangan indah, kami pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto ria. Seperti halnya saat di Jembatan Suramadu, berpuluh jepretan kami arahkan untuk mengabadikannya (kikikikiki, bilang aja gila foto-foto). Aku tak dapat membohongi diriku sendiri bahwa sebenarnya aku benar-benar gila foto. Itulah caraku mengabadikan kenangan dalam setiap petualanganku. Bagiku petualangan tanpa kamera, akan terasa hambar (hahaha).

Karena masih muter-muter keliling Surabaya, akhirnya aku datang terlambat ke acara ultah UNSA. Tepat pukul 11.30 WIB kami berlima tiba di Kampoeng Ilmu Jl. Semarang no.55 Surabaya. Waaah, sesampainya disana, aku disambut oleh seseorang yang sudah lama kukenal di dunia maya namun belum sempat bersua secara nyata. Dialah Rofiq Hasansah, Mbak Nessa Kartika, Mas Tiga Tujuh, Mbak Indriani Indriee, Syamsudin dan masih banyak teman-teman lainnya. Betapa senangnya diriku dapat bertemu mereka secara langsung, maklum selama ini aku mengenal mereka dalam sebatas percakapan tulisan di dunia maya saja.

Acara ulang tahun UNSA memang sederhana, namun bukan berarti tak meriah. Acara dimulai dengan pembacaan basmalah yang dipandu oleh MC kondang dadakan Mbak Indri, dan pembacaan musikalisasi puisi dari perwakilan cendoler Jawa Timur. Benar-benar memukau hati. Seusai pembacaan puisi itu, kami semua mendapat sebuah kejutan dari Mbak Jazim Naira Chand. Mbak Jazim sebagai perwakilan tim dalam buku Segalanya Bagiku membawa kue ulang tahun untuk UNSA (hahaha, ini dia yang kami tunggu-tunggu, pembagian kue ulang tahun. Kikikikikiki kayaknya norak banget ya). Dan acara inti bedah buku Setia Tanpa Jeda, kumpulan fiksi mini "UNGKAP" dan buku Segalanya Bagiku pun telah berjalan dengan sangat lancar. Seluk beluk penerbitan buku pun telah diungkap oleh Mas Tiga Tujuh. Pokoknya keren deh. Acara selesai tepat pukul 15.00 WIB yang ditandai dengan pembagian doorprise dan foto bersama.

Acara ultah UNSA memang telah usai, namun petualanganku hari itu belum juga selesai. Tanpa kuduga, ternyata Mbak Jazim dkk mengajak kami berlima berkunjung ke BG Junction untuk menghadiri acara pameran pernak pernik budaya Jepang. Dan yang membuatku kaget dan merasa unik, aku diberi kesempatan mengenakan Yukata, kostum masyarakat Jepang saat musim panas tiba. Hehehe, kumat lagi deh penyakit gila foto kami. Aku pun menikmati pengalamanku dengan senang hati, sampai-sampai waktu perpisahan pun mulai tiba.

Lewat tulisan sederhana yang kubuat di sela-sela jam istirahat ngajar ini, aku ingin mengucapkan terima kasih pada semua yang telah memberikanku pengalaman dan petualangan indah hari itu. Mas Dang Aji, Mas 37, Mbak Endang SSN, Januar Hand, Mieny Angel, Rofiq Hasansah, Mbak Nessa Kartika, Mbak Indri dan masih banyak lagi sahabat-sahabat yang tidak bisa kusebutkan namanya. Juga terima kasih kuucapkan buat Mbak Ani Amaly yang telah mengajariku tentang budaya Jepang, semoga suatu saat nanti aku bisa berkunjung ke Jepang. Semoga mimpi itu benar-benar nyata. Amin. Arigatou, Sensei. Buat UNSAku, Jayalah selalu...
***

Kamis, 26 Januari 2012

Jodohku??


"Kau sudah punya tunangan?" Tanya salah seorang tetangga ketika aku menunggu angkutan umum hendak ke kampus beberapa hari yang lalu.

Pertanyaan itu membuatku tersentak sekaligus geli. Boro-boro tunangan, gadis kandidatnya aja alias pacar belum punya. Kalau pun punya, dia sudah tidak pantas dijadikan kandidat karena telah menjadi milik orang. Hahaha, aku tersenyum simpul menimpali pertanyaan ibu tersebut.

"Hm, belum bu," jawabku singkat tak mengurangi senyum.

"Iya tuh, temanmu si Haris sudah punya tunangan, padahal belum lulus kuliah. Katanya sih tunangannya dari akademi perawat," tambah ibu itu lagi. Aku kembali tersenyum menimpalinya, tentu tanpa sebuah komentar.

"Kalau kamu sendiri sudah semester berapa?" kembali ibu itu bertanya padaku. Kujawab saja singkat,

"Semester tujuh, bu."

"Hm, biaya pendidikan sekarang sangat mahal. Kuliahlah saja dulu hingga lulus, lalu carilah kerja bahagiakan ibumu dan yang terakhir baru cari pasangan hidup" nasehat ibu itu seiring angkutan umum yang kuharapkan datang.

"Insyaallah. Mari bu," sahutku lalu pergi bersama angkutan umum meninggalkan ibu berdaster batik itu.

Selama dalam angkutan umum, aku memikirkan kata-kata perempuan setengah baya tadi. Memang, kebanyakan teman sebayaku sudah memiliki pasangan hidup. Bahkan tak sedikit di antara mereka ada yang memiliki buah hati. Sudah menjadi kebiasaan atau mungkin sudah menjadi tradisi di Madura bahwa seorang anak yang baru lulus SMA harus segera berkeluarga. Alasan utama adalah lulus SMA berarti sudah dewasa dan harus mulai hidup mandiri. Padahal pekerjaan pun mereka belum punya. Oke, tak dapat aku pungkiri menurut informasi yang kudapat, seseorang justru akan mendapat banyak rezeki dan pekerjaan justru setelah menikah. Tapi apakah baik jika seorang anak yang baru lulus sekolah langsung diberikan beban berkeluarga yang sepertinya begitu rumit? Kemana cita-cita seorang anak dapat diraih?

Kalau masalah itu ditanyakan padaku, untuk saat ini akan kujawab, NO. Bukan berarti aku tidak mau membina keluarga, tapi aku punya alasan sendiri untuk saat ini. Ya, sekali lagi untuk saat ini...!! Sesuatu yang harus aku pikirkan dan raih bukan masalah itu, melainkan bagaimana caranya aku bisa cepat lulus kuliah dan bekerja. Tak kurang dan tak lebih seperti itu. Bagiku, aku harus profesional dalam menghadapi kehidupan. Semua harus berjalan dengan seimbang antara meraih cita-cita dan menghadapi realita kehidupan.

Hm, aku jadi ingat sesuatu, ingat pada tulisan yang pernah kubuat untuk mengikuti sebuah even penulisan yang bertema tentang jodoh.

***

Surat Untuk Jodohku,Oleh : Aswary Agansya


Jodoh...?!
Ha... Ha... Ha... Aku nyaris gila jika terus menerus memikirkanmu. Aku juga nyaris terbuai akan misteri-misterimu yang masih semu. Bagaimana tidak, pekerjaan yang tak pernah lepas dari otakku adalah memikirkanmu, memikirkan siapa yang akan menjadi pendampingku kelak. Bagaimana bentuk fisikmu, raut wajahmu, aroma tubuhmu dan getaran cinta di hatimu. Sungguh aku sibuk membayangkan sesuatu yang belum pasti dalam kehidupanku.

Jodoh...! Kaukah jodohku itu? Kaukah gadis yang selama ini menghiasi mimpi-mimpiku? Kalau kau memang benar jodohku, aku akan bersujud syukur kepada Allah atas semua anugerah yang diberikanNya padaku melalui dirimu. Allah mengirimkanmu untukku, kasih. Jadi, Aku yakin kau gadis terindah yang pantas menjadi pendampingku. Meski aku rindu akan kehadiranmu dan tak pernah bertemu denganmu saat kutulis surat ini, tapi kemampuanku menerawang lewat hati tak dapat terelakkan lagi. Aku yakin dapat memprediksikan betapa indahnya pesonamu wahai kekasih hatiku.

Keyakinanku pun berkata bahwa rambutmu mengandung sutra, raut wajahmu memancar cerah, bentuk tubuhmu menggoda gelora jiwa, sentuhanmu lembut menyisakan romansa, langkahmu melenggang penuh asmara dan sikapmu membawa surga. Kaulah sang primadona dari atmosfer cinta.

Setiap insan yang hidup di dunia ini pasti membutuhkan cinta. Juga membutuhkan luapan kasih sayang. Karena keduanya, baik cinta maupun kasih sayang mampu membawa mereka terbang melintasi angkasa, melewati batas atmosfer yang selama ini menghembuskan udara dalam dada. Begitu pun aku yang membutuhkan cintamu wahai jodohku. Alangkah syahdunya duniaku memiliki cinta sebesar cintamu padaku.

Wahai jodohku yang selalu kudamba. Siapkah kau merajut cinta denganku? Siapkah pula kau hidup bersama pemuda sepertiku? Mampukah kau menjalani roda kehidupan yang tak menentu bersamaku? Sanggupkah kau setia menjaga cinta kita dari godaan-godaan yang akan melanda?

Wahai Jodoh yang kucinta. Kalau kau bersedia dengan semua yang akan terjadi, maka baiklah.
Satu harapan pasti yang ingin kusampaikan padamu. Terimalah aku apa adanya, seperti bumi yang siap menerima terpaan hujan maupun sang badai kapan saja. Jadikanlah aku pelengkap hidupmu meskipun masih tak setara dengan derajatmu. Aku harus mengaku bahwa aku hanyalah pemuda miskin yang tinggal di gubuk sederhana tanpa adanya perabot yang berharga. Tapi aku yakin bisa memberimu limpahan ilmu dan cinta yang tak akan pernah habis dalam dada. Jadikanlah pernikahan kita sebagai lambang suci kebesaran cinta yang kita punya. Dan jadilah cinta kita adalah satu-satunya cinta yang tumbuh di hati kita.

Sampang, 4 Maret 2011

***
Hm, ada-ada saja ya perempuan setengah baya di halte itu. ^_^