Jumat, 15 Juni 2012

Karma Guruku ??

"Siapa yang menanam, pasti dia yang akan menuai hasilnya" begitulah kata pepatah yang sering aku dengar. Aku sangat paham dengan kalimat itu, tapi entah mengapa aku mengabaikan makna yang tersirat di dalamnya. Aku sering melakukan hal-hal yang kuinginkan tanpa memikirkan dulu manfaat dan akibatnya. Hm, mungkin karena darah mudaku masih bergelora kala itu, sampai-sampai aku tak peduli pada siapa pun yang coba menghalangi rasa ingin tahuku.

Terus terang saja, saat aku masih SMA, aku bukanlah tergolong siswa yang nakal dan juga bukan tergolong siswa pendiam. Bisa dibilang aku siswa yang biasa-biasa saja, yang tidak mudah dikenal para guru karena tidak terlalu aktif di kelas. Maklum masih pemalu. Namun begitu, sebagai seorang peserta didik, tentunya aku memiliki sifat yang hampir sama seperti teman-temanku yang lain dalam mengapresiasi seorang guru. Kalau memang guru itu asik dalam mengajar, ya pasti kami menyayanginya. Begitu pula sebaliknya, kalau dalam menjalani kegiatan belajar mengajar guru tersebut memakai sistem super ketat dan membosankan, tentunya kami merasa sebal pada guru yang bersangkutan.

Oke, aku sadar bahwa seorang guru itu merupakan sesosok manusia yang patut digugu dan ditiru, guru apa pun itu. Hal tersebut dikarenakan guru adalah orang tua kedua setelah ayah dan ibu kandung kita di rumah. Jasa seorang guru memang begitu besar dalam dunia pendidikan, karena gurulah yang mencetak siswa-siswa berprestasi di nusantara ini.

Kalau mengingat-ingat jasa seorang guru, aku tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata. Bagiku seorang guru bukanlah seseorang yang hanya mengajar di kelas, akan tetapi guru bagaikan orang tuaku sendiri. Seperti sosok Bu Bandiyah yang menganggapku seperti anaknya sendiri. Dialah guruku, yang tak hanya cerdas tapi juga teliti dalam segala hal. Ada satu kejadian yang paling aku ingat sampai saat ini. Kejadian itu membuatku tersadar akan karma seorang guru. Ya, balasan yang kualami saat ini dalam profesiku sebagai seorang guru pula.

Lima tahun yang lalu, ketika aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, ada seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Beliau sepertinya guru paling tua dan paling senior di sekolah faforitku. Bayangkan saja, walau pun usianya sudah mendekati senja, Bu guru yang sering disebut Bu Bandiyah itu memiliki semangat mengajar layaknya para pemuda di medan perang. Penuh semangat. Ya, Bu Bandiyah merupakan guru paling disiplin di kelasku, jangankan telat masuk kelas, lupa mengerjakan tugas rumah pun diberi sanksi yang setimpal. Berdiri satu kaki adalah hukuman paling ringan yang akan kami dapatkan jika tidak mengerjakan tugas-tugas dari beliau.

Siang itu Bu Bandiyah datang masuk kelas tepat setelah bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Kebetulan pelajaran Bahasa Indonesia berada pada jam terakhir, hal itu membuat para penghuni kelas alias teman-teman sekelasku merasa jenuh. Apalagi setelah mengetahui materi yang akan diajarkan Bu Bandiyah siang itu adalah berpidato, kami pun mendengus semakin merasa bosan. Andai saja aku punya sayap, pasti aku sudah terbang meninggalkan kelas siang itu. Dan kuyakin teman-temanku merasakan hal yang sama sepertiku.

"Assalamualaikum," ucapan salam mulai terdengar dari balik pintu masuk. Kami para peserta didik termasuk aku terkesiap setelah mendengar salam tersebut,

"Waalaikumsaaalaaaaaam," sahut kami serempak.

Bu Bandiyah duduk di kursinya. Selanjutnya ia mengabsen kami satu per satu. Dan tanpa basa-basi, Bu Bandiyah langsung berdiri menuju papan tulis.

"Buka halaman enam puluh satu, perhatikan materi tentang pidato!" Perintah Bu Bandiyah sambil menuliskan sesuatu di papan tulis.

Salah satu temanku yang kebetulan duduk di samping kanan tiba-tiba mencubit lenganku.

"Aw...!! Sakit tau!" bisikku seraya mengerutkan dahi ke arah pemuda di sampingku.

"Eh, coba deh kamu perhatikan sepatu Bu Bandiyah," katanya.

"Kenapa?" tanyaku lalu beralih memandang sepatu bu guru yang tengah menulis di papan tulis membelakangi kami.

"Tuh, mentang-mentang sepatu baru. Sampe-sampe capnya belum sempat dilepas. Hahaha..." temanku pun tertawa. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.

Setelah puas tertawa, kemudian pemuda bertubuh kurus itu mengeluarkan telepon genggam miliknya. Ia arahkan mata kamera ke arah Bu Bandiyah.

"Eh iseng banget sih! Dosa tau," kataku mencoba mencegah pemuda di sampingku.

"Hahaha, buat seru-seruan aja kok. Nanti kita sebarin ke anak-anak lewat bluetooth. Hahaha..." dia malah makin terbahak.

Dan benar, setelah memotret, pemuda itu menyebarkan foto Bu Bandiyah pada teman-teman yang lain. Sontak seluruh kelas tertawa dengan ulah pemuda bandel tersebut. Kuakui walau aku tidak begitu suka dengan perbuatan dia, tapi entah mengapa aku juga malah ikut tertawa.

Kembali aku teringat kata pepatah "Siapa yang menanam, pasti dia yang akan menuai hasilnya". Sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan di dunia ini pasti ada balasannya, karena itu sudah sunnatullah dari Sang Pencipta. Kini, setelah lima tahun yang lalu aku menertawai guru mata pelajaran Bahasa Indonesiaku, aku mendapatkan balasan dari apa yang telah kuperbuat dulu. Aku yang telah menjadi guru pun harus mau merasakan ujian seperti Bu Bandiyah dalam menghadapi peserta didikku. Ya, beberapa bulan yang lalu, ketika aku sedang mengajar di depan kelas, tiba-tiba seorang murid memotretku. Tentu saja tanpa sepengetahuanku. Aku pun mengetahui peristiwa itu ketika siswa-siswa yang lain berebut handphone berisi gambarku. Aku hanya tersenyum menghadapi peristiwa itu. Sempat terlintas di benakku "Inikah balasan untukku??"


Sampang, Tanah Garam, 13 Juni 2012 kala senja.
***

Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Bakar Ikan di Malam Perpisahan (Catatan Akhir KKN-ku di Desa Kramat)

Seusai shalat Maghrib, aku duduk di bibir tangga musholla depan balai desa. Sejenak aku termenung menikmati sisa-sisa senja yang indah merona. Langit yang mulai meredup itu seakan memberikan energi berbeda dihatiku, didadaku. Kutatap saja lukisan malam Tuhan sambil diiringi suara indah anak-anak mengaji di dalam Musholla. Sejuk, damai dan tentram, itulah yang kurasakan kala lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an menyapa telinga dan hatiku.

"Ayo cepat ngumpul..! Siapkan batu-bata untuk tempat panggang ikan, takut Pak Zaini keburu pulang" seru salah seorang teman yang sudah berada di balai desa.

Aku terkesiap mendengar panggilan itu. Tanpa pikir panjang kupakai sepatu dan beranjak mendekati teman-temanku. Ya, malam itu adalah malam perpisahan program KKN-ku di desa Kramat, Tlanakan Pamekasan. Setelah hampir sebulan aku berkutat dengan berbagai program yang telah direncanakan mulai dari berkumpul dengan aneka sapi, datang ke rumah warga dengan jalan kaki, hingga mengajar ke sekolah-sekolah swasta di sekitar desa pun telah kami lalui. Kini semua kegiatan itu sudah berakhir, berada di ujung sebuah perpisahan. Berbagai kenangan indah telah tergores dan tersimpan dalam sejarah hidup kami, terutama di perjalanan hidupku.

Salah satu peristiwa yang paling kuingat adalah saat melakukan program inti yaitu suntik sehat sapi. Kebetulan hari itu kegiatannya dilakukan secara door to door, kami datang menuju kandang satu ke kandang lainnya dengan membawa suntikan dan langkah penuh ceria. Saat kami berkunjung ke rumah pertama, ternyata sang pemilik rumah harus dengan susah payah mengeluarkan sapinya dari dalam kandang karena ternyata sang sapi tengah ketakutan. Sekuat tenaga wanita setengah baya itu menarik dan membujuk si sapi (hehehe, kayak bayi aja ya pake dibujuk segala).

Nah, setelah dengan susah payah perempuan setengah baya yang mengaku bernama "Suimah" (Hmm, namanya mirip Soimah si artis papan atas yang katanya pemilik acara menggelora dan membahana itu loh. Hahaha, ups!! Lanjut aja ya), dia pun mengikat tali di sebuah pohon dekat rumah kayu miliknya. Selanjutnya Suimah mengelus sapinya dengan lembut. Tapi tiba-tiba bulu sapi itu beterbangan ke arah kami. Sontak kami menghindar. Menurut informasi yang kami dapat, apabila bulu-bulu halus itu kena hidung, akan menimbulkan sesuatu yang sedikit berbahaya. Jadi, untuk lebih waspada, dengan lihai kami langsung menghindar. Jujur saja, selama aku hidup di Sampang, baru siang itu aku melihat bulu sapi bisa rontok gara-gara gugup. (Hahahaha... Gugup karena liat cowok-cowok ganteng kali ya,,)


Oh iya, saking gugupnya si sapi tersebut, saat teman kami memegang ekor hendak mengarahkan jarum suntik, malah hewan berkulit coklat itu mengeluarkan kotorannya tanpa permisi. Kotorannya pun encer (hiiii jijay buanget!!)

"Bu, sapi ini ternyata diare," kata temanku.

"Oh ya?" tanggapan Bu Suimah singkat sambil menganggukkan kepalanya.

"Nah, kalau bisa Ibu ambil beberapa helai daun jambu dicampur sedikit kunyit, lalu berikan pada sapi ini supaya diarenya cepat sembuh," jelas temanku dengan raut muka serius.

"Ya, ya, biar nanti saya beri seperti yang anda katakan, terima kasih informasinya,"

"Terus, jika si sapi nggak mau dikasi ramuan tadi, ganti saja dengan teh." kata temanku lagi. Bu Suimah pun kembali mengangguk. Karena geram, tiba-tiba aku pun nyeletuk,

"Hm, kalau masih nggak mau dikasi teh, biar praktis mending kasi diapet aja bu. Diare mampet, aktivitas pun lancar!"

semua teman-temanku pun tertawa termasuk Bu Suimah. Aku juga tertawa sambil memegang perut penuh geli. Canda tawa penghilang lelah senantiasa menghiasi langkah kami dari rumah satu ke rumah yang lain.

Itulah salah satu peristiwa lucu di tempat KKN_ku. Masih banyak cerita lain yang lebih ceria dan lucu namun tidak bisa kuceritakan satu per satu. Yang jelas, memang benar kata teman-temanku bahwa KKN adalah salah satu kegiatan yang tak dapat dilupakan dimasa-masa kuliah.

Akhirnya, di malam perpisahan itu, aku dan teman-temanku sibuk menyiapkan arang untuk memanggang ikan dan makan bersama beralaskan daun pisang. Apalagi dinaungi langit malam yang ditaburi ribuan bintang gemintang. Oh, benar-benar tak terlupakan.

Sampang, 21052012
Menjelang Senja
***