Selasa, 03 September 2013

My Story in Bromo

Dulu, saat aku masih remaja, tak sedikitpun aku mengetahui kawasan wisata itu. Jangankan mengetahui, mendengar namanya saja aku belum pernah. Bagiku semuanya masih sangat asing ditelinga. Akan tetapi, saat telingaku mendengar namanya untuk pertama kalinya, sebuah keinginan langsung terpatri dalam hati, bahwa aku juga ingin menginjakkan kaki di tempat itu. Salah satu tempat terindah di negeriku. Gunung Bromo.

31 Agustus 2013...
Perbekalan telah kami persiapkan dengan matang. Dari pakaian dingin, syal, beberapa camilan dan obat-obatan, juga kaos kaki beserta sepatunya pun telah aku masukkan dalam ransel warna hitam. Sabtu sore kami berangkat dari Madura menuju kota pahlawan Surabaya. Sebenarnya niat hati ingin beristirahat sejenak di rumah teman, namun mata dan keadaan tak lagi sepaham. Kami tidak bisa tidur semudah itu. Akhirnya, untuk mempertahankan mata supaya tetap terang kami sengaja menyeduh kopi ginseng hampir sebanyak dua gelas.

Tepat pukul 22.00 WIB, kami dan rombongan bertolak dari Surabaya menuju Probolinggo. Angin malam adalah salah satu teman kami selama dalam perjalanan. Aku sempat membayangkan bagaimana panorama yang akan disuguhkan alam kepadaku. Apakah Bromo seindah yang kulihat di media cetak? Ataukah seeksotis seperti cerita orang yang pernah kesana? Entahlah. Yang jelas motor matik yang kutumpangi terus melaju cepat membelah jalan dan melintasi malam.

Sempat ada beberapa peristiwa yang menguji kesabaran rombongan kami, mulai dari bocornya ban, jatuhnya handphone teman di tengah jalan hingga kehabisan bahan bakar bensin juga kami rasakan. Kami menganggap semuanya sebagai rintangan dalam perjalanan. Dan beberapa rintangan itu bisa kami lewati dengan penuh keikhlasan. Bukankan pepatah mengatakan bahwa kesabaran dan keikhlasan itu akan berbuah surga? Semoga.

Nongkojajar adalah salah satu tempat yang kami lewati saat menuju Bromo. Sungguh diluar dugaan,ternyata perjalanan menuju gunung Bromo benar-benar penuh dengan rintangan dan kejutan. Jalan yang berkelok cukup curam menjadi sajian wajib untuk kami hadapi. Jurang yang mengerikan pun tak luput dari berbagai hal yang harus dilalui. Ada satu hal yang membuatku terkesan saat melintasi sepanjang jalan terjal itu. Di tengah malam gelap aku merasa seperti berada di angkasa luar. Dekat sekali dengan bulan, juga dengan ribuan bintang. Lampu rumah yang berada di sekitar jurang memang tampak nyata seperti kedipan bintang-bintang. Sangat sempurna ketika bintang-bintang di langit malam juga ikut berkilauan. Sungguh pengalaman unik yang tak akan pernah terlupakan.

Minggu, 1 September 2013 Pukul 04.00 WIB kami tiba di kawasan puncak. Aku baru sadar ternyata ratusan wisatawan asing dan wisatawan lokal juga telah memadati kawasan itu, mempersiapkan diri mencari tempat yang paling pas untuk menyambut matahari di awal pagi, sama seperti niat kami.

Kepadatan wisatawan yang berlalu-lalang membuatku harus berjalan kaki sejauh tiga ratus meter ke arah puncak. Aku harus melewati puluhan jeep, motor, dan para pendaki lain. Hawa dingin terus menusuk ke dalam kulit, menembus baju dinginku pagi itu. Rasanya aku perlu mempertebal pakaian dinginku. Dan tepat pukul 05.00 pagi aku tiba di lokasi yang tepat untuk menyapa kemunculan matahari di 1 Septemberku.

"Subhanallah...." kalimat itu yang muncul dibibirku saat garis serangkaian warna muncul di antara batas cakrawala sebelah timur. Sebuah perpaduan warna alam yang nyata menakjubkan. Hebatnya, lukisan alam itu tak hanya menghipnotis hati dan pandanganku, akan tetapi juga menghipnotis semua mata wisatawan yang hadir di lokasi itu.

"Selamat datang matahari satu september," teriak sahabatku sembari tersenyum. Ribuan mata kamera mengarah ke titik timur, mengabadikan momen penting di awal pagi itu. Begitu pula dengan kameraku, langsung mengambil gambar sesuka hatiku.

Saat matahari muncul, sebuah kejutan kembali menyapaku. Ternyata di sebelah kananku juga memiliki pemandangan yang luar biasa indah. Beberapa gunung tampak berdiri disana, ada gunung Bromo, juga gunung Semeru. Hamparan kabut putih seolah-olah menyelimuti gunung itu. Apalagi ada salah satu titik dimana sebuah kawah mengeluarkan asap putih, membuat lukisan pagi semakin terlihat lebih cantik nan eksotik. Meski tubuh dalam keadaan dingin, aku tetap terpesona memandang semuanya. Mensyukuri diri bisa menjadi bagian dari para penikmat ciptaan Tuhan di hari itu.

Tepat pukul 07.00 WIB kami turun dari atas bukit. Perjalanan kami lanjutkan menuju lereng gunung Bromo yang berpasir. Cuaca panas mulai menyapa seantero celah, namun suhu sekitar tetap tidak berubah. Masih terasa dingin menusuk ke sumsum tulang. Kurang lebih empat puluh lima menit yang kami butuhkan untuk tiba di bawah bukit itu.

Hamparan pasir siap menyambut kedatangan kami. Angin yang berhembus menerbangkan butir-butir pasir hingga menerpa wajah dan masuk ke bibirku. Lautan pasir halus itu pun juga membuat laju motor kami tak berjalan dengan mulus. Kami harus mendorong kendaran kami masing-masing. Lelah itu pasti, tapi aku menganggapnya sebagai pengalaman unik yang jarang terjadi di perjalanan hidupku. Alhasil, kami menikmatinya dengan canda tawa lepas. Canda tawa dalam persahabatan.

Namun, sayang sungguh sayang. Kami semua tidak bisa mendaki ke bibir kawah karena membludaknya antrian pengunjung di atas sana. Dengan rela kami harus mengurungkan keinginan menghirup aroma belerang. Kami harus tetap bahagia karena bisa menikmati semuanya. Dan saat pulang, tak lupa kami membawa sebuah kenang-kenangan yang ada di sekitar kawasan Gunung Bromo. Cindera mata itu berupa seikat bunga abadi yang sering kita kenal dengan nama latin Edelweis.

Terima kasih kuucapkan kepada teman-teman yang telah rela mengenalkanku dengan kecantikan Bromo. Aku tak akan pernah melupakan sepenggal kisah ini sepanjang hidupku. Bahkan mungkin sampai beranak cucu. The happiest moment in my life is when i'm with you, guys. :)

Sampang, 02 September 2013
***