Selasa, 29 Desember 2015

Catatan Perjalanan: Jejak Desember (Part 1)

Liburan. Siapa yang tak senang bila mendengar kata liburan di telinganya? Aku yakin semua orang akan berjingkrak-jingkrak kegirangan untuk menyambutnya. Dengan liburan, akan ada momen spesial yang akan tercipta. Dengan berlibur, otak akan menjadi lebih segar. Mungkin seperti itulah yang kurasakan dalam liburan kali ini.

Kebetulan Desember tahun ini banyak momen spesial yang membuatku bahagia saat menyambutnya. Dan kali ini aku akan mengurai beberapa momen spesial yang kualami selama bulan terakhir di tahun 2015 ini, apa aja? Yuuuukk...

Senin, 21 Desember 2015...
Selain bulan penuh liburan, Desember adalah bulan paling spesial untuk kota kecilku. ~Kok gitu? Ya, tepat bulan Desember 2015 kota Sampang merayakan hari jadinya yang ke 392 tahun. Begitu banyak hiburan yang disuguhkan untuk menyambut kemeriahannya. Mulai dari pawai, lomba-lomba, hingga bazar buku murah pun ada. Inilah yang menjadi salah satu hiburan menarik untuk warga kabupaten Sampang.

Dari kesekian acara yang ada, yang cukup menarik perhatianku adalah pesta buku murah yang diadakan di depan Perpusda Sampang. Hahaha... maklum, rasanya kedua mataku langsung membulat sekaligus terbelalak saat melihat buku murah. Diskon besar-besaran!

Acara pesta buku ini dilaksanakan dari tanggal 19-23 Desember 2015 mulai dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 21.00 WIB. Dan begitu mendengar kabar ada pesta buku murah, tanpa pikir panjang aku langsung tancap sepeda ke lokasi acara.

Sejujurnya, seandainya saat itu aku punya banyak uang, mungkin aku akan borong banyak buku. Bagaimana tidak, aku sampai pusing memilih buku yang mana untuk kubeli. Aku benar-benar ingin membaca semuanya. lebay ah! :D karena memang banyak buku teman-teman penulis yang kukenal.


Sabtu, 26 Desember 2015.
Untuk hari ini, aku hanya jalan-jalan sekitar Kabupaten Sampang aja. Itu pun karena diajak teman dari Surabaya yang ingin mengenal Madura. Jadwal awal sih ke rumah teman, ke pantai camplong, makan siang di rumah makan Asela, gua lebar, dan air terjun Toroan. Namun, karena waktunya tidak cukup, akhirnya hanya ke beberapa trmpat saja.

Pertama, aku mengantar keluarga Januar (temanku yang datang dari Surabaya) ke rumah Nanaz. FYI, Janu datang ke Sampang sebenarnya untuk menjenguk Istri Nanaz yang baru saja melahirkan anak pertama. Jadi sekalian jalan-jalan katanya. Perjalanan yang cukup macet membuat keluarga Januar tiba di Sampang pukul 10.30 wib dan langsung singgah di rumah Nanaz.

Baru pukul 12.00 siang kami keluar dari rumah Nanaz menuju arah timur kota, tepatnya ke Jalan Sejati, Camplong. Rumah makan Asela adalah pilihan utamanya untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Hahaha...

Tahun ini rumah makan Asela memang tengah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Madura, sebab, sejak adanya penambahan tempat makan yang menjorok ke pantai, daya tarik rumah makan ini mampu menarik perhatian. Banyak muda mudi yang makan sambil menikmati senja (ini memang daya tarik utama) sehingga bagi mereka tampak seperti berada di pulau dewata. Semburat warna jingga yang dilukiskan langit mampu menciptakan suasana romantis bagi mereka yang ingin mendapatkan suasana berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Setelah makan, kami lanjut menuju patai Camplong. Hari itu pengunjung yang datang lumayan banyak jika dibabdingkan dengan hari-hari biasanya. Mungkin karena musim liburan kali ya. Adik Januar tampak senang ketika kakinya menapak air pantai yang sedang pasang. Mereka berdua mandi dan bermain air tanpa menghiraukan cuaca yang masih terik. Aku hanya bisa tersenyum menemani mereka dari bibir pantai.

Ketiga, sekitar pukul 16.00 wib kami balik lagi ke arah timur Camplong untuk menuju desa Tanjung, tepatnya ke pasar tradisional desa Tanjung. Sore hari memang waktu tersibuk bagi warga desa Tanjung karena saat itu banyak warga yang menjual ikan segar hasil dari melautnya. Mayoritas warga desa Tanjung memang bekerja sebagai nelayan. Tak sedikit warga yang tengah melewati jalan Tanjung akan singgah untuk membeli ikan segar untuk dibawa pulang.

Itulah pengalamanku menikmati liburan Desember ini. Masih ada beberapa tempat lagi yang belum aku tulis, dan rencananya akan aku posting nanti di edisi selanjutnya...

Tanah Garam, 29 Desember 2015.
Tengah Malam

***

 (Salah satu sudut di rumah makan Asela)



 (Foto bareng keluarga Januar)

Rabu, 16 Desember 2015

Info Untuk Keluarga Kampus Fiksi 13


Hai gaeeess....!

Apa kabar...??? Masih sibuk mikirin mantan? Huahahahaha...!!!
Keluarga KF13 mau ngadain event menarik nih (khusus anggota KF13 aja loh ya, ingat!) Yaitu kita bakalan buat antologi cerpen nih. Penasaran? Simak ketentuan-ketentuannya yaa....

1. Event ini HANYA dan WAJIB untuk seluruh anggota KF13. :D
 

2. Tema cerpen: CINTA ( cinta secara universal ya. Boleh nyastra, pop atau apalah-apalah, yang penting harus ikutan :D)
 

3. Panjang cerpen 5-12 halaman dengan ketentuan kertas A4 1,5 spasi, font TNR 12 margin standar.
 

4. Sertakan biodata singkat di akhir cerpenmu secara narasi, maksimal 1 paragraf saja.
 

5. Kirim cerpenmu selambat-lambatnya 31 Desember 2015 ke email: kampusfiksi13@gmail.com dengan subjek: EventKF13_judul cerpen_nama penulis contoh: EventKF13_Love Mantan_Aswary Agansya
 

6. Jangan lupa, cerpen harus baru dan belum pernah diterbitkan di media manapun.
 

7. Berhubung buku ini nantinya diterbitkan secara indie, jadi tenang aja nggak ada yang namanya penolakan naskah, dan yang terpenting gratis pula. Huahahahaha... (masalah desain cover dan layout sudah ditanggung cowok kece sekelas KF13, Bang Gin Ginanjar).

So, silakan siapkan cerpenmu ya gaes. Jangan sia-siakan kesempatan keren ini ya...!
Yakin nih nggak mau sebuku sama keluarga KF13

copas dari blog Kampus Fiksi 13

Selasa, 06 Oktober 2015

Sumenep, Kota Yang Eksotik (Episode 2)


Hai Guys, apa kabar? Semoga kalian baik-baik saja ya, ha ha... Amiinn... :D
Sorry ya baru sempat nulis lanjutan catatan perjalanan ke Sumenep yang sempat tersendat. Kemarin selama seminggu lebih aku sibuk sama undangan nikahan temen. Tau nih, banyak banget yang nikahan bulan ini. Hihihi, yang ini abaikan aja. :D

Oke, aku mau lanjutin ya. Sebelumnya, bagi yang belum baca episode 1, silakan klik disini.

Setiap perjalanan memang akan menorehkan kenangannya sendiri-sendiri. Begitulah yang kualami saat berkunjung ke destinasi selanjutnya, yaitu Museum Keraton Sumenep.

Sebelum berangkat menuju Museum Keraton Sumenep, aku memang sempat ragu sekaligus khawatir. Sebab, menurut informasi dari supir bis, Museum Keraton akan tutup setelah adzan Ashar berkumandang, sementara pada pukul 13.30 WIB rombongan kami masih berada di Pantai Lombang. Mengingat perjalanan dari pantai Lombang menuju Museum cukup jauh, jujur saja aku khawatir jika setibanya nanti ke Museum, pintu akan ditutup untuk pengunjung. Sia-sia dong kalau sampai gagal ke Keraton? Well, selama perjalanan aku sibuk memikirkan rencana cadangan jika hal itu benar-benar terjadi pada rombongan kami. Aku harus bisa mencari destinasi wisata yang mampu dijangkau oleh kendaraan kami, dan agar siswa kami tidak ada yang kecewa.

Akan tetapi, entah mengapa, tiba-tiba aku teringat sesuatu hal. Aku langsung membuka ponsel dan browsing masalah jadwal buka tutup museum Keraton Sumenep. Dan kupikir satu keajaiban berpihak kepada kami siang itu. Aku baru tahu kalau ternyata Museum Keraton akan tutup pukul 16.00 WIB, yang artinya, kami masih punya kesempatan mengunjungi tempat itu tanpa sibuk memikirkan rencana B yang tidak tau harus bagaimana. :D

Tepat adzan Ashar rombongan kami tiba di pelataran parkir depan museum Keraton Sumenep. Cuaca masih cukup terik saat kaki kami menginjak kawasan bersejarah yang katanya sudah dibangun sejak tahun 1780 M. Tanpa membuang waktu aku dan beberapa guru bergegas menuju loket karcis yang berada di sebelah bangunan keraton.

Karcis masuk Museum Keraton Sumenep masih tergolong sangat murah, hanya dua ribu rupiah saja per orang. Belum lagi rombongan kami masih mendapat diskon karena sore itu yang berkunjung ke keraton lebih banyak pelajar alias siswa-siswi SMA. Yang membuat kami merasa beruntung adalah salah satu penjaga tiket rela menjadi guide untuk rombongan kami. Hanya saja, aku lupa tidak menanyakan siapa nama beliau, karena terlalu sibuk mengatur siswa yang menjauhi rombongan. :P



Perjalanan pertama dimulai dari gedung museum yang terletak tepat di depan Keraton, tepatnya paling barat bersebelahan dengan loket karcis. Di sana, ada satu kereta kencana yang pernah dipakai raja Sumenep dalam menjalankan tugas sebagai abdi kerajaan, dan satu lagi kereta kencana pemberian ratu Inggris yang katanya sampai saat ini sering digunakan untuk arak-arakan setiap perayaan ulang tahun kota Sumenep. Ada juga kitab Al-Qur'an raksasa yang ditulis tangan oleh Raja Sumenep (Sultan Abdurrahman) dalam jangka waktu semalam saja. Dan tak lupa dalam ruangan itu juga ada beberapa foto raja-raja Sumenep yang pernah berkuasa di masanya, guci keramik buatan Cina, hingga kursi keraton yang sudah berusia cukup tua dari usia kami semua. He he he...

Next, lokasi kedua yang kami kunjungi setelah bangunan depan keraton adalah bangunan peninggalan Portugis yang ada di pelataran keraton sebelah utara. Katanya bangunan itu sempat dijadikan kantor oleh pihak keraton serta kediaman beberapa abdi dalem raja Sumenep. Dalam ruangan itu berisi alat-alat rumah tangga keraton, seperti piring, sendok, gelas, alat peracik jamu tradisional sampai kaca berukuran sekitar dua meter yang dipajang di depan gedung. Ada juga sisa pakaian raja beserta alat-alat perangnya. Di belakang bangunan itu terdapat beberapa arca dewa (Agama Hindu) yang diperkirakan berusia ratusan tahun, dan ditemukan di beberapa desa atas pergolakan warga Sumenep dengan kerajaan Bali kala itu.



Yang menarik perhatianku adalah rumah Panyepen. Katanya, di sana adalah tempat Bindara Saod menyepi. Bindara Saod sendiri memiliki keunikan sejak berada dalam kandungan ibunya, yaitu ia bisa menjawab salam seseorang walau masih berada dalam kandungan. Dalam bangunan itu ada beberapa peninggalan seperti kasur raja beserta kursi tamunya yang khas dan berusia cukup tua. Ada pula tempat tidur pemandian jenazah beserta Nangghele & Kaleles yang digunakan untuk acara karaban sapi warga Sumenep. Sebelum keluar gedung bergaya Belanda itu, kami pun mengabadikan foto bersama untuk kenang-kenangan.

Langkah kami berlanjut ke ruang utama keraton Raja Sumenep. Di sana ada beberapa kamar raja dan putrinya yang tidak bisa dimasuki oleh pengunjung. Dari jendela aku bisa menangkap apa saja yang ada dalam kamar itu. Seperti kamar tidur (Ranjang) yang disetiap sisi dipenuhi ukiran khas kota Sumenep, di sana juga ada kasur dan lemari pakaian yang sama-sama ada unsur ukiran di tiap sudutnya. Yang menjadikan kamar itu terlihat spesial adalah ukiran ranjang yang bercat warna emas serta tirai merah maroonnya. Terlihat begitu mewah dan anggun dipandang dari balik jendela keraton yang sedikit terbuka (Sayangnya aku tidak bisa mengabadikan kondisi dalam kamar itu, karena kameraku kehabisan daya baterai).

Terakhir, kami melanjutkan ke sudut ruangan selanjutnya, yaitu kolam renang Potre Koneng yang katanya memiliki khasiat bisa membuat awet muda bila si pengunjung mencuci mukanya di kolam tersebut. Keseluruhan, keraton Sumenep memang cukup unik dan perlu dilestarikan supaya menjadi destinasi wisata edukasi untuk generasi muda selanjutnya. Bukankah pak Sukarno pernah bilang, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya," Aku tak habis pikir dulu kabupaten paling timur pulau Madura itu ternyata pernah memiliki masa kejayaannya sendiri.

Gitu aja deh ceritanya, makasih loh sudah meluangkan waktu untuk membaca catatan sederhananku ini. Semoga kamu diberi kemudahan oleh Allah dalam menyelesaikan masalah. Amin...

Akhirul kalam, Wassalamualaikum wr.wb

Tanah Garam Madura,
5 Oktober 2015,
Tengah Malam.
***
 
 (Bapak yang menjadi Guide)
 
 (Keluarga SMA Islam Attaroqqi Tsani di depan rumah Panyepen)
 
 Pelataran Keraton

 
 (Salah satu bangunan Belanda yang dijadikan kantor)

 
 (Salaha satu pintu pemandian Potre Koneng)


 
 (halaman pemandian Potre Koneng)




Minggu, 27 September 2015

Sumenep, Kota Yang Eksotik (Episode 1)

Siapa sih yang nggak suka jalan-jalan? Aku yakin semua orang suka dengan kegiatan yang satu ini. Selain dijadikan sebagai satu pengalaman yang menyenangkan, jalan-jalan juga bisa diagendakan sebagai cara merefreshkan otak dari kepenatan. Yup, itulah yang kurasakan kemarin, Rabu, 23 September 2015. Kali ini aku berkunjung ke kabupaten paling timur Madura, tepatnya ke beberapa tempat eksotik di kabupaten Sumenep.

Perjalanan kali ini sebenarnya rencana dadakan yang dicetuskan oleh siswa kelas XII yang akan memasuki liburan Idul Adha, dan hanya tercetus dalam dua hari sebelumnya. Kata mereka, selain untuk refreshing, kegiatan ini sekaligus untuk pemotretan album kenangan (kebetulan di sekolahku setiap tahun ada pembagian album kenangan untuk siswa yang lulus SMA, yang mana album itu berisi foto-foto mereka selama 3 tahun belajar di jenjang SMA). Setelah browsing dan berpikir matang-matang, akhirnya kami sepakat mengunjungi dua tempat saja, supaya tidak terburu-buru dan puas menikmati destinasi yang akan kami kunjungi nantinya.

Well, rombongan kami berangkat pukul 06.00 WIB dari Kabupaten Sampang. Kebetulan hari itu ada dua bus mini yang masing-masing membawa siswa laki-laki dan siswa perempuan secara terpisah. Sebenarnya perjalanan dari Sampang menuju Sumenep kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 2 jam, namun, karena hari itu adalah hari rabu (hari terakhir sebelum perayaan hari raya Idul Adha) maka ada beberapa celah jalan yang menimbulkan kemacetan. Terutama di beberapa pasar yang letaknya berada tepat di pinggir jalan. Alhasil, perjalanan kami semakin panjang sampai mencapai 3 jam. Aaggghhh...! Itulah yang menyebabkan waktu perjalanan semakin lama dan terhambat, walau sebenarnya sejauh ini, kami tetap menikmatinya sebagai kenangan yang terindah.






Tepat pukul 10.20 WIB rombongan kami tiba di pantai Lombang. Lombang adalah destinasi pertama yang akan menorehkan kenangan untuk kami. Baru menginjakkan kaki di halaman parkir yang dikelilingi pohon cemara, aku merasa ada yang berdesir di rongga dada. Ya, memori otakku menayangkan sebuah peristiwa yang sudah lama berselang, kurang lebih beberapa tahun silam ketika aku pertama kali berkunjung ke pantai ini bersama teman-teman.

Seperti yang kukatakan tadi, ini kali kedua aku berkunjung ke pantai Lombang, setelah 10 tahun yang lalu (tahun 2005), saat aku masih duduk di bangku SMA kelas X-4. Aku masih ingat betul bagaimana dulu berfoto ria bersama teman-teman alayku, aku bahkan masih ingat warna pakaian yang kupakai saat itu, kaos warna orange yang dibalut dengan kemeja warna coklat, serta bawahan celana jeans standar. Ah, kenangan itu.... :'( Sepuluh tahun yang lalu aku datang dalam status siswa, kali ini aku kembali datang dengan status sebagai guru siswa. Dunia memang mengajarkan sebuah perputaran yang tidak ada hentinya.

Setelah sepuluh tahun tak berkunjung ke Pantai Lombang, ternyata tak sedikit ada perubahan di sana. Secara panorama, pantai Lombang masih tetap sama seperti pertama kali menapakkan kaki dulu. Indah dan mengagumkan. Hanya ada beberapa tambahan sarana yang dibangun demi kenyamanan para wisatawan, seperti makin banyaknya tempat duduk, adanya tempat bilas, serta musholla. Oh iya, untuk masuk ke kawasan ini, tiket masuknya cukup murah. Sekitar Rp.2000 - Rp.3000an saja per kepala.

Jika kamu pikir pantai Lombang sama seperti pantai-pantai lainnya yang ada di Indonesia, ternyata pikiranmu salah besar. Seperti yang kita ketahui selama ini, setiap pantai identik sekali dengan pohon kelapa, maka di pantai Lombang sangatlah berbeda. Di sini, nyaris sekali tidak ada pohon kelapa sama sekali, melainkan ada ratusan pohon cemara udang sebagai ciri khas utamanya. Sudah kebayang kan bagaimana sejuknya berada di bawa pohon cemara udang, sambil menikmati keindahan pantai yang berombak sederhana? Luar biasa indah!

Selain berpagarkan pohon cemara udang, pantai Lombang dilengkapi oleh beberapa ekor kuda yang disewakan kepada pengunjung. Jadi, untuk pengunjung yang ingin menyusuri pantai dengan cara yang berbeda, bisa menyewa hewan ini sebagai teman menjelajahi celah-celah pantai Lombang. Sayangnya, aku belum bisa mencoba naik kuda, sebab, ada satu tugas yang harus kuselesaikan selama di Lombang, yaitu memotret setiap siswa untuk pembuatan album kenangan. Ah....

Pasir pantai Lombang itu berwarna putih kecoklatan. Halus. Untuk kebersihan pantai, aku harus acungi jempol. Kebersihan sepanjang pantai memang benar-benar bersih. Akan tetapi, beda sekali dengan kawasan pohon cemara udang, masih ada beberapa sampah plastik yang berserakan. Sampai siswa kami harus merapikan sampah itu sebelum melakukan pemotretan yang akan memakan waktu kurang lebih selama 2 jam.

Saat proses pemotretan selesai, aku mencoba beristirahat di sekitar pantai. Ah, meski cuaca siang itu begitu terik, aku masih bisa tersenyum menikmati segarnya angin pantai. Terlebih dengan ditemani sebuah minuman kelapa muda yang dicampur dengan satu sachet susu kental manis. Kalau sudah begitu, rasanya aku tidak ingin beranjak dari pantai. Mataku masih ingin dimanjakan suasana pantai yang tenang.

Namun, waktu terus berputar. Aku harus melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 13.20 WIB rombongan kami beranjak dari kawasan pantai Lombang menuju ke arah kota Sumenep, tepatnya menuju destinasi pemotretan selanjutnya. Kali ini kami memilih Keraton Sumenep sebagai lokasi kunjungan kedua.

Bagaimana kisah kunjungan kami ke Keraton Sumenep? Nanti ya, kutulis di bagian kedua. Simpan dulu rasa penasarannya...
Hahahaha...

Sampang, 25 September 2015
Menjelang senja
***

(ini sih gurunya pengen eksis. :D :D )



Rabu, 16 September 2015

Lelah Itu Pengalaman

Jika ditanya, kegiatan apa yang paling melelahkan selama pertengahan September 2015? Aku akan menjawab, proses pengakreditasian sekolah. Ya, persiapan menghadapi akreditasi benar-benar melelahkan gaeeess, melelahkan...!!! :D

Selama aku mengajar di SMA Islam Attaroqqi Tsani, ini pengalaman pertama mengikuti program Akreditasi sekolah. Bukan hanya aku dan para guru yang merasakan pengalaman pertama, namun sekolah tempatku mengajar pun mengalaminya, tentu saja pengalaman untuk mengejar sebuah pengakuan melalui jalan pengakreditasian.

Awal Juli 2015, kepala sekolah menugasiku sebagai salah satu tim yang termasuk 8 standar pendidikan yang akan dinilai. Mulai dari (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan terakhir (8) Standar Penilaian. Kebetulan aku kebagian Standar Lulusan, yang mana harus mengumpulkan berkas-berkas berupa kegiatan penting seperti upacara hari kenegaran, prestasi dalam lomba, pentas seni, sosialisasi masyarakat, serta hal-hal yang berkaitan dengan standar kelulusan. Mendengar kabar bahwa masuk tim 8 standar, aku sedikit shock. Benar-benar shock. Tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.

Ketakutan akan ketidakmampuan menjalankan tugas selalu muncul di kepala. Begitulah yang kurasakan saat menerima kertas berisi puluhan pertanyaan yang harus kujawab dan kupertanggungjawabkan. Aku bahkan sempat merasa down ketika melihat sekilas halaman pembuktian yang akan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan di halaman paling depan. Terlebih data-data yang harus dikumpulkan harus sesuai dengan syarat yang sudah ditentukan, yaitu selama 3 tahun terakhir. Mampus nih, berkas tiga tahun yang lalu udah nggak jelas ada di mana, pikirku risau seraya mengamati deretan pertanyaan yang tertera. Namun, setelah beberapa waktu berselang, pelan-pelan aku bisa melewatinya dengan lancar.

Standart Llusan itu berisi sekitar 35 pertanyaan, yang berkaitan dengan kelulusan dalam kegiatan belajar mengajar. Ada beberapa hal yang ditanyakan, namun lebih banyak mengarah pada kegiatan-kegiatan sosial siswa, seperti bagaimana cara siswa mendapatkan informasi selain melalui buku dan media massa? Bagimana prestasi yang diraih siswa dalam bidang olah raga, seni dan budaya? Serta, apa saja keahlian yang bisa dikembangkan setelah siswa lulus sekolah nantinya? Kurang lebih seperti itulah data-data yang harus kukumpulkan.

Dan kemarin, tepatnya pada hari Kamis, 10 September 2015, aku harus mempertanggungjawabkan apa yang menjadi tugasku kepada para assesor yang bertugas berkunjung ke sekolah.

Pukul 07.00 WIB, sebuah mobil warna putih masuk ke pelataran sekolahku. Keluarlah dua orang pria bertubuh kurus dari mobil itu. Satu memakai kemeja bermotif batik warna biru, yang akhirnya kukenal dengan nama Pak Nurali. Dan seorang lelaki dengan tinggi badan lebih tinggi dari Pak Nurali dengan memakai kemeja warna abu-abu dengan motif garis warna putih. Namanya Pak Abdullah Sidiq Notonegoro.

Pak Nurali berprofesi sebagai pengawas SMA di Bojonegoro, sedangkan Pak Sidiq sebagai dosen di salah satu universitas di kota Gresik. Keduanya pun menanyakan kepada kami, para guru yang bertugas menunjukkan bukti fisik sesuai tugas masing-masing, selama beberapa jam ke depan. Tak lupa, para assessor mengecek kendisi sekolah mulai dari ruang kelas, ruang guru, laboratorium, sampai kantin dan kamar mandi.

Aku bersyukur ketika Pak Sidiq mengangguk-angguk begitu melihat beberapa bukti fisik yang kusediakan. Aku juga bersyukut tatkala senyum sumringah muncul begitu aku selesai mempertanggungjwabkan semua pertanyaan. Beliau memberikan beberapa tips untuk melengkapi kekurangan tugasku dalam standar lulusan yang masih dianggap kurang, sebelum akhirnya aku tersenyum bahagia setelah beberapa pertanyaan terjawab lancar.

Inilah satu babak baru yang dialami sekolah tempatku mengajar. Semoga hasil dari visitasi kemarin, akan membawa kami ke perubahan yang lebih baik lagi. Tak lupa aku berdoa kepada Tuhan, semoga SMA Islam Attaroqqi Tsani menelurkan generasi-generasi muda yang kreatif. Yang selalu bermanfaat untuk pembangunan Indonesia. Bahkan untuk perkembangan agama, sosial dan budaya. Amin Ya robbal Alamin...

Kamar Inspirasiku,
12 September 2015
Tanah Garam, Madura,
Pukul 21.41 WIB

***
 Penandatanganan Berita Acara bersama Pak Nurali

 Kelas XII IPS


 Kelas XI IPS


 Kelas X



Hakikat Seorang Perempuan Bergelar Ibu

Setiap sore, kurang lebih sekitar pukul 16.30 WIB, sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga besarku untuk berkumpul di halaman rumah. Sepertinya bukan hanya keluargaku saja yang melakukan kegiatan itu, namun ada beberapa keluarga lainnya yang melakukan hal serupa di halaman rumah mereka. Bagiku kebiasaan ini cukup efektif mempererat hubungan komunikasi antar anggota keluarga. Selain menikmati suasana sore yang tenang, kegiatan rutin ini kami lakukan untuk bersenda gurau bersama sanak saudara atau sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja. Topik bahasannya pun bermacam-macam, yang penting ringan dan bisa dimengerti semua kalangan. Serta harus ada tawa untuk meregangkan otot-otot kami yang lelah setelah beraktifitas.

Di tengah obrolan, tiba-tiba mbakku datang dari acara pengajian dengan senyum penuh sumringah. Senyumnya semakin merekah saat mendapati putri bungsunya datang menghampiri. Dengan penuh telaten, Mbak Hanifa (nama samaran) membuka bungkus bherkat (istilah untuk makanan yang dibawa pulang setelah dari acara syukuran, pengajian, atau slametan) yang ia dapatkan dari pengajian, dan menyodorkannya kepada Tita, putri bungsunya.

"Mak, ini nasi rames ya?" tanya ponakanku yang masih berusia sepuluh tahun itu, membuat Mbak Hanifa mengangguk.

"Kenapa nggak dimakan di sana? Kenapa kok dibawa pulang, Mak?" tanya gadis itu lagi, sembari mencicipi sambal goreng kentang yang ada di atas nasi.

Mbak Hanifa tersenyum mendengar pertanyaan itu, "Nggak. Mamak nggak laper. Lagian Mamak nggak suka sama makanan itu," sahutnya enteng lalu duduk di kursi kayu bergabung bersama kami.

Ponakan perempuanku tersenyum sumringah, tampaknya ia senang melihat mamaknya membawa menu favoritnya, "Asik. Buat aku ya Mak!" serunya sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah mengambil piring dan sendok lalu melahapnya.

"Makanlah. Mamak sengaja membawanya pulang buat kamu, Ta."
***
Sejujurnya, peristiwa di atas membuatku tersenyum. Ya, benar-benar tersenyum sembari membayangkan wajah masa kecilku dan mbak Hanifa dulu. Sejak kapan mbakku nggak suka nasi rames? Padahal dulu, sewaktu dia masih remaja, dan aku duduk di bangku SD, Ibu sering memarahi Mbak Hanifa karena berebut nasi rames bersama adik-adiknya. Kenapa sekarang setelah memiliki putri malah mengaku nggak suka? Bukankah itu benar-benar aneh? Pikirku.

Ya, aku tahu betul bagaimana karakter mbak Hanifa selama ini. Bahkan sejak kami sama-sama masih kecil. Usia kami yang terpaut cukup jauh, membuat mbak Hanifa sering menjadikanku bulan-bulanannya. Itulah sebabnya mengapa aku sempat merasa curiga sore itu, tentang perubahan yang terjadi pada makanan favoritenya.

Sebenarnya, peristiwa yang dialami Tita pernah kualami sendiri saat masih duduk di bangku SMP, tepatnya saat ibuku baru datang membawa makanan dari acara pernikahan tetangga sebelah rumah. Sebagai seorang remaja, aku hanya menganggap hal itu biasa. Namun belakangan, saat aku mulai dewasa, aku paham betul mengapa Ibuku dan mbak Hanifa melakukan kebohongan yang sama kepada anak-anak mereka. Alasan utamanya semata-mata karena mereka memiliki gelar yang sama, sebagai Ibu bagi anak mereka.

Setelah peristiwa sore itu, aku memang sempat bertanya sama mbak Hanifa, kenapa dia jadi berubah tentang makanan kesukaannya. Cukup lama Mbak Hanifa terdiam untuk menjawab pertanyaanku. Akan tetapi, begitu mendengar jawaban Mbak Hanifa, aku merasa ditampar cukup keras. Pengakuannya membuatku bungkam seribu bahasa. Ya, bungkam sampai tidak bisa menyanggah dan berkata apa-apa.

"Aku bukan gadis remaja lagi, Dik. Aku sudah menjadi seorang ibu. Entahlah, semenjak kepergian kakak iparmu, setiap menghadiri acara selamatan atau pengajian, aku selalu kepikiran tentang Tita. Wajahnya begitu jelas berkelebat. Aku merasa nggak enak hati jika makan makanan enak, sementara anakku sendiri makan dengan lauk-pauk seadanya. Jadi, selama bherkat bisa dibawa ke rumah, lebih baik jatahku dibawa pulang saja. Biar bisa dimakan Tita dan kakaknya. Kalau aku sih makan pakai lauk seadanya nggak masalah, yang penting anakku makan enak!" jelasnya.

Aku sadar bahwa kalimat itu benar-benar tulus keluar dari bibir seorang ibu. Seorang ibu yang menyayangi anaknya dengan tulus. Sebagai seorang lelaki, aku telah melupakan satu poin penting itu, tentang tajamnya kasih sayang ibu kepada putra-putrinya.

Kata orang, pekerjaan seorang laki-laki lebih berat daripada pekerjaan perempuan. Jika ayah kerja di luar rumah untuk mencari nafkah, maka pekerjaan ibu hanya mengurusi rumah dan anak-anak saja. Sejujurnya, aku tidak setuju dengan anggapan seperti itu. Aku justru merasakan hal yang sebaliknya, bahwa pekerjaan laki-laki sedikit lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan perempuan. Mengapa begitu? Beginilah alasanku:

Menjadi seorang ibu itu tidaklah mudah. Pekerjaannya lebih banyak dari pekerjaan seorang ayah. Sejak bangun pagi, ia sudah disibukkan dengan kegiatan rumah tangganya. Mulai memasak untuk sarapan, ke pasar membeli bahan makanan yang akan digunakan untuk makan siang dan malam, sampai mengurus keperluan anak yang masih bersekolah. Terlebih jika sang anak masih dalam usia balita, semakin terlihat berat saja pekerjaannya.

Hakikat menjadi seorang ibu memanglah harus seperti itu. Harus berjuang menciptakan senyum di bibir putra-putrinya, meski ia sendiri rapuh dan nyaris jatuh. Bagi seorang ibu, kebahagiaannya adalah senyum di bibir anak-anak. Tak ada seorang ibu manapun yang rela melihat anaknya menangis, terlebih menangisi sesuatu yang tidak bisa ibu penuhi. Begitu pula sebaliknya, jika seorang ibu menangis, ia sama sekali tidak akan tega menunjukkan air matanya untuk anak dan suami. Ibu pasti akan selalu menjaga supaya putra putrinya tak menitikkan air mata sepertinya. Ia ingin anaknya selalu merasa bahagia.

“Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” itulah pepatah lama yang benar-benar berlaku sampai kapanpun. Berbahagialah bagi kita yang masih memiliki seorang ibu, sebab, selama beliau masih hidup, satu-satunya kasih sayang paling tulus adalah kasih sayang ibu kita. Bahagiakan mereka selama kita mampu membahagiakannya. Sesungguhnya, apa yang kita berikan kepada ibu, tidak akan pernah sebanding dengan jerih payahnya selama ini. Ibuku, adalah malaikatku!

Menjelang senja,
Tanah Garam,
16 September 2015.

***

Tulisan ini dibuat untuk berpartisipasi dalam tantangan Alumni Kampus Fiksi, dengan tema #MenulisIbu.

Kamis, 10 September 2015

Berbagi Itu Indah



Hakikat berbagi bukan hanya sekedar ikhlas memberi. Ada satu hal yang jauh lebih berarti dari ini, yaitu mengajarkan kita menjadi pribadi yang dipenuhi oleh kerendahan hati.

Semua ini berawal dari sebuah keisenganku mengikuti kuis di media sosial facebook. Ya, sebuah kuis sederhana (menurutku), yang diadakan oleh salah satu komunitas menulis di Surabaya bernama UNSA, kependekan dari Untuk Sahabat. Meski terdengar iseng, namun bukan berarti aku asal-asalan mengikutinya. Aku tumpahkan semua hal sesuai dengan kenyataan, apa adanya.

Kala itu, kalau tidak salah, tanggal 5 Juni 2015, aku tergelitik untuk ikut memberikan komentar di sebuah status facebook milik grup UNSA. Di sana, terdapat sebuah pertanyaan yang cukup menarik perhatian, "Mengapa Anda ingin membaca buku ini?" begitulah kira-kira kalimat yang terpampang pada sebuah gambar cover depan sebuah buku berwarna biru muda. Judulnya "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" yang ditulis oleh Ken Hanggara.

Usut punya usut, bagi 10 komentar terpilih, akan mendapatkan satu buku gratis yang terpampang di status yang kami komentari. Siapa pun pasti akan tertarik jika mendapatkan buku gratis, terlebih dengan cara yang mudah, hanya berdasarkan komentar jawaban yang tertera. Akhirnya, tanpa pikir panjang, aku pun mengikutinya, sampai suatu ketika, komentarku menjadi salah satu dari 10 pemenang. Yeeeeeyyyyy...!!!!

Dapat buku gratis? Seneng doong...! Begitulah yang kualami kala mendapat informasi sebagai salah satu penerima hadiah buku.

Memang sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali memiliki buku baru, aku selalu membawanya ke sekolah, tentu saja setelah kubaca terlebih dahulu. Aku sering membawa buku koleksiku untuk ditawarkan kepada siswa-siswi di sekolah, siapa tahu ada yang tertarik untuk membaca buku yang kubawa. Aku rela meminjamkannya dengan syarat "harus dibaca". Kalau tidak dibaca, lebih baik tidak usah pinjam karena masih banyak siswa lain yang mengantri untuk membaca. Dan sistem itu akan berlaku juga pada buku hasil menjadi pemenang kuis komentar di status facebook.

Waktu berlalu, belakangan ini, sekitar pertengahan bulan Agustus 2015, rupa-rupanya aku dikagetkan oleh sebuah pesan di kotak masuk media sosialku. Sebuah pesan singkat dari Mas Dang Aji Sidik, sang pendiri grup Untuk Sahabat. Di sana, aku mendapat pertanyaan tentang buku yang kudapat dari kuis beberapa bulan lalu. Bagaimana bukunya? Cocok nggak dibaca siswa siswi di sekilah? Kurang lebih seperti itu pertanyaan Mas Dang Aji. Kujawab saja apa adanya, bahwa buku itu cukup bagus dijadikan bahan bacaan para siswa-siswiku di sekolah. Tampaknya Mas Dang Aji senang membaca jawabanku, sehingga akhirnya ia pun mau menyumbang beberapa buku untuk dibagikan kepada siswa-siswi di sekolahku.

Senyum sumringah tergambar jelas dari wajah mereka, para pelajar di SMA Islam Attaroqqi Tsani Sampang, setelah mengetahui bahwa mereka mendapatkan buku baru. Terlebih setelah mengetahui bahwa buku-buku itu diberi dengan gratis. Saking girangnya, sampai-sampai mereka ingin mengabadikan momen itu bersama teman-teman dan para guru mereka. Terima kasih kuucapkan kepada Mas Dang Aji Sidik beserta keluarga UNSA lainnya. Semoga amal kalian semakin bertambah setelah membagikan ilmu melalui berbagi buku. Aku sadar bahwa tulisan ini cukup sederhana, namun aku berharap tulisan ini mampu menggerakkan hati para pembaca dan orang lain untuk lebih peka terhadap sesama. Berbagi itu indah kan teman-teman?

Kamar Inspirasi,
Sampang, Tanah Garam,
7 September 2015.
***




Rabu, 02 September 2015

Secuil Kenangan di Kampus Fiksi 13



"Punya teman seribu orang masih kurang, punya satu musuh sudah terlalu banyak."

Kalimat itu menyihirku, benar-benar menyihirku. Sebagai seorang pemuda yang lebih bahagia memiliki banyak teman, tak henti-hentinya aku berkelana. Ya, berkelana mencari teman, sekaligus mencari pengalaman. Termasuk pengalaman mengikuti acara Kampus Fiksi di kota Yogyakarta.

Bagi teman-teman yang belum tahu apa itu Kampus Fiksi, silakan searching di mbah Google ya, karena di sana sudah cukup banyak penjelasan tentang Kampus Fiksi. Intinya, Kampus Fiksi adalah pelatihan menulis yang diadakan oleh penerbit Diva Press yanng dilaksanakan selama 2 hari per 2 bulan sekali. :D

Tepat tanggal 28 Agustus 2015 kisahku pun dimulai mengikuti kegiatan keren ini. Sejak berangkat dari Sampang Madura saja aku sudah diajari tentang pentingnya perjuangan. Sebab, untuk bisa tiba di Yogyakarta, pagi-pagi sekali aku harus bisa berjuang menunggu kedatangan bis Patas yang akan mengantarku ke Surabaya.

Dua kali sudah aku berkunjung ke Yogyakarta. Dan dua-duanya pun berangkat malam hari dengan mengendarai bis ekonomi. Bedanya, untuk ketiga kalinya, aku memilih berangkat siang hari. FYI, perjalanan siang hari ternyata lebih panjang dan lebih melelahkan daripada perjalanan malam. Kalau malam membutuhkan waktu 6-7 jam perjalanan, maka kalau siang harus menempuh 9-10 jam dari kota Surabaya. Tepos juga nih pantat gara-gara duduk di bis kelamaan. #eh :P

Rasa lelahku pun terbayar ketika tiba di Stasiun Giwangan. Mas Kiki selaku tim penjemput langsung mengangkut kami menuju asrama. Di asrama, ternyata sudah ada beberapa teman yang sudah tiba lebih siang. Sambutan mereka membuatku semangat, malah tidur larut malam karena sibuk berceloteh ke mana-mana. #NggakAdaKerjaanBangetKan :P
oke fix!

Sabtu Pagi, kata mimin @KampusFiksi, kami keluarga #KampusFiksi13 cukup menuai rekor. Sebab, pagi-pagi sekali kami sudah siap di meja dengan kondisi badan wangi sekaligus bersih. Ini rekor karena biasanya para peserta angkatan lain masih mengantre sampai matahari beranjak tinggi. :D Semoga si mimin juga rajin mandi kayak peserta #KampusFiksi13 ya! (Kalimat terakhir abaikan saja! :D :D )
Materi pertama diisi oleh Mbak Rina dengan perkenalan, dan memberikan clue untuk praktek nulis 3 Jam. Selanjutnya diisi olek Pak Edi Akhiles, tentang Brainstorming. Kata Pak Edi, penulis itu pengetahuannya di atas rata-rata, bisa jadi seorang penafsir dan bisa juga mempengaruhi orang lain, terakhir bisa ngetop plus dapat income. Mantap banget nih penjelasannya. Yang paling aku ingat kata-kata beliau, sastra fiksi itu butuh dua pilar, pertama teknik / penyajian, kedua Imajinasi. Dan yang paling penting, penulis harus punya state of mind yang baik. :D

Sesi paling mendebarkan di hari pertama itu tak lain dan tak bukan adalah sesi menulis 3 jam. Bayangkan saja, kami harus bisa menyelesaikan satu cerpen dengan tema #SettingFavorite dalam waktu semepet itu. Harus sudah editing pula. Benar-benar pengalaman yang mendebarkan. Tapi alhamdulillah aku bisa menyelesaikan tantangan itu meski akhirnya cerpenku cukup hancur saat pengadilan naskah. Xixixixixi :D

Malam harinya, kami kedatangan alumni kampus fiksi angkatan 1, Kak Syaifullan. Dia memberikan tips dan pengalamannya dalam bidang menulis kepada kami. Orangnya kocak, sampai-sampai semua terbahak melihat kelakuannya. Ujung-ujungnya sih cara penyampaian materi Kak Syaifullan mirip stand up comedy jadinya. Haha, tapi thanks ya Kak, penulis itu emang harus selalu ceria kok, meski nyatanya hati sering nyeri. #eh

Hari kedua, kami pun diberi materi Keredaksian oleh Mbak Munal. Kami bisa tahu bagaimana proses masuknya naskah atau bagaimana perjalanan naskah setelah berada di meja redaksi. Selain itu kami juga mendapat ilmu dari Mas Aconk tentang ilmu marketing. Dan yang tak kalah spesial hadirnya narasumber tamu, Pak Joni Ariadinata sebagai redaktur majalah sastra Horison. Pengalaman beliau dalam menjadi penulis cukup memancing semangat kami untuk terus menulis dan menulis.

Terakhir, yang paling aku tunggu-tunggu, informasi dari Mbak Rina tentang bimbingan novel online. Di sesi itulah aku mulai membayangkan tentang bagaimana nerbitin novel. Hahaha.... Kampus Fiksi keren deh pokoknya.

Di luar kegiatan inti di Kampus Fiksi, aku bersyukur bisa masuk dalam keluarga Kampus Fiksi angkatan 13. Sebab, di sana aku kenal orang-orang baru, terutama peserta yang datang dari beberapa kota di Indonesia. Si Amin Sahri (Yogyakarta), Bening (Cilacap), Mas Danang (Wonogiri), Devy (Yogyakarta), Fareha (Jombang), Garin (Klaten), Bang Ginanjar (Magelang), Riana (Solo), Nunk (Lombok Barat), Iken (Salatiga), Ilham (Mojokerto), Irma (Jakarta), Moly (Banjar Baru, Kalimantan), Munawir (Kediri), Qoida (Wiyoro), Mila (Sumenep), Tika (Yogyakarta), Ovie (Jakarta Timur), Patrio (Tana Toraja), Rialita (Jombang), Riza (Mojokerto), Mita (Malang), Yuni (Bantul).

Kalian semua kereeeennnn deh pokoknyaaaa!!!

Harapanku, semoga kita tetap kompak ya temans, amin.

#KampusFiksi13, BISA!!!

Tengah Malam,
Sampang, 1 September 2015,
Tanah Garam Madura
***


 Oleh-oleh dari Pak Edi Akhiles

 Formasi 13 yang kata mimin Kampus Fiksi njiji'ie... :D

 Para peserta #KampusFiksi13 bersama Pak Edi Akhiles
 Bareng keluarga Kampus Fiksi










Selasa, 25 Agustus 2015

Pudarnya Kepercayaan Andra

Suatu sore, di pertengahan bulan Februari 2014.

"Percayalah, Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk membahagiakan tiap hati hambaNya, dan cara Dia tak akan pernah bisa kita tebak, apalagi kita duga, sama sekali tidak bisa...!"

"Termasuk memberi kesempatan dia masuk dalam kehidupan kita?" tepis Andra meletakkan minuman di atas meja. Lagi-lagi dengan caranya yang kurang sopan. Sedikit kasar.

Bagai sekuntum bunga yang madunya dihirup tak bersisa oleh sang kumbang, begitulah yang ditampakkan perempuan itu pada Andra. Matanya terlihat lelah. Sisa make up yang ia poles tadi pagi, kini terlihat kusam, menambah kelayuan di wajahnya. Pikirannya kacau-balau setelah mendengar kalimat penolakan dari seorang Andra. Ia pun menghela napas panjang-panjang, dan menghembuskannya pelan. Perempuan itu berusaha berdamai dengan gejolak hatinya sendiri.

Dari balik jendela kamar, Andra melempar pandangannya keluar. Ada segumpal sesak di ruang hatinya, sebuah rasa yang akan muncul secara tiba-tiba acapkali bertemu dengan lelaki yang baru saja mengantarkan perempuan di belakangnya. Seorang lelaki tambun dan berkumis tebal. Om Osman.

"Jadi kamu akan tetap tidak menyetujui keputusan ibu?" tanya perempuan itu lagi.

Andra menoleh, "Ibu, cukup!" pekiknya, "sudah cukup aku berdebat dengan Ibu. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah setuju dengan rencana Ibu."

Perempuan itu terkejut. Ia mengangkat muka ke arah Andra. Seberkas raut wajah Andra tertangkap oleh pandangannya. Bola mata itu memerah, seakan menyimpan kekesalan yang kian memuncak. Perempuan itu tahu, bahwa Andra akan selalu marah acapkali melihat lelaki bertubuh tambun itu menginjakkan kaki di depan pintu. Itulah mengapa ia harus lebih bersabar dalam menghadapi pemuda yang masih berdiri di samping jendela kamar bercat putih salju itu.

"Baiklah. Ibu akan kembali mempertimbangkan keputusan ini. Besar harapanku, kau berubah pikiran, Andra," kata perempuan yang mengenakan atasan kemeja warna putih berenda dan bawahan celana bahan dengan warna sedikit lebih gelap.

Pelan tapi pasti, perempuan itu pun berdiri. Tak ubahnya seorang pejuang yang kalah dari peperangan, ia pun melangkah pergi dari kamar Andra. Mengalah bukan berarti kalah, itulah perinsipnya. Jauh dalam hatinya, ia masih berharap Andra akan berubah. Ya, berubah pikiran dan beralih menyetujui rencananya.

***

21 April 2004.

"Happy Birthday, Andraa...!!!" teriak Bu Rizma menyodorkan kue ulang tahun.

Andra pun tersenyum dan meniup lilin yang teronggok di atas kue berangka delapan itu. Senyumnya melebar, dengan tatapan mengarah kepada lelaki yang datang bersama Ibunya. Terlebih ke arah mobil beserta remote control yang ada dalam genggaman lelaki itu. Kebahagiaannya pun bertambah tatkala lelaki itu menyodorkan mobil mainan itu kepadanya. Sebagai ucapan terima kasih, Andra kecil memeluk lelaki itu erat.

Sebenarnya, sejak kepergian Pak Tiksan dua tahun lalu, Bu Rizma lebih sering murung. Bagai bunga yang kehilangan mataharinya, begitulah kondisi Bu Rizma kala itu. Hatinya belum bisa menerima kepergian belahan jiwa yang belum genap sepuluh tahun menemaninya. Walau setiap hari Bu Rizma berusaha membawa tubuh mungilnya ke tempat kerja, namun pikirannya masih terpaku pada sosok suami yang telah bahagia di surga sana.

Namun, kesedihan itu tak lama bersemayam di hati Bu Rizma. Senyumnya kembali merekah ketika teman lama suaminya hadir di kehidupannya dan Andra. Bukan hanya Rizma saja yang merasa bahagia, namun Andra pun bisa merasa bahagia bisa mengenal lelaki bernama Om Osman.

Kedekatan antara Om Osman dan Andra memang seperti ayah dan anak. Saking dekatnya, sampai-sampai Andra tidak canggung lagi bercanda sekaligus bergurau dengan sahabat ayahnya itu. Seperti pagi itu, sebagai hadiah paling spesial di hari ulang tahun Andra, Om Osman mengajaknya jalan-jalan keliling kota Batu, berdua. Sebab, Bu Rizma tidak bisa ikut karena ada pekerjaan penting di tempat kerjanya. Perempuan itu percaya Andra akan baik-baik aja saat bersama dengan lelaki tambun berkumis tebal itu.

***

Akhir Februari 2014.

"Tampan itu bukan dari wajah. Apalagi secara fisiknya, sama sekali bukan! Yang dinamakan lelaki tampan itu jika hatinya bersih, sebersih hati malaikat..." gumam Andra pelan.

"Jadi, jadi kamu pikir Om Osman memiliki hati yang kotor, gitu ya?" emosi Bu Rizma mulai tersulut mendengar penuturan putra semata wayangnya.

"Bukan hanya kotor Bu! Tapi busuk!" Pekik Andra sambil melempar pandangannya dari sang Ibu.

Perdebatan ini sudah kesekian kalinya terjadi. Sebagai seorang pemuda yang mulai beranjak dewasa, Andra sudah cukup geram dengan bujukan ibunya.

"Jaga ucapanmu, Andra!" potong Bu Rizma.

"Bu, segitu besarkah cinta Ibu sama Om Osman? Sampai-sampai bisa teriak sekeras ini sama anak sendiri?" susul Andra. Ia menatap wajah Ibunya dengan penuh keharuan.

Bu Rizma diam. Ia sadar baru pertama kalinya membentak Andra. Perempuan bertubuh mungil itu pun terpekur.

"Baiklah, Bu. Mungkin inilah saatnya aku jujur sama Ibu. Sebagai lelaki dewasa sekaligus anak semata wayang, aku punya tanggung jawab untuk menjaga Ibu. Ya, Ibu yang telah melahirkan sekaligus merawatku selama ini. Aku memang belum genap dua puluh tahun, tapi bukan berarti aku belum dewasa. Pasti Ibu paham maksudku," jelas Andra meraih tangan ibunya.

"Aku paham Ibu butuh cinta dan kasih sayang semenjak kepergian Ayah. Sebagai manusia aku pun merasa kesepian bila tanpa pasangan hidup selama di dunia..." kata Andra menatap bola mata Bu Rizma, "tapi jangan sama Om Osman, Bu. Jangan..."

Kepala Bu Rizma mendongak, "Tapi kenapa? Bukankah Om Osman bukan orang asing di keluarga kita?" timpalnya.

"Iya, aku tau, Bu."

"Lantas, mengapa kamu masih meragukan Om Osman, Andra? Bukankah antara kamu dan Om Osman sudah ada ikatan yang cukup dekat? Lagi pula Om Osman siap menerima Ibu apa adanya..."

Genggaman Andra lepas dari tangan Ibunya, "Tapi aku yang nggak siap, Bu. Aku nggak rela Ibuku sendiri menikah dengan orang yang memiliki kelainan jiwa seperti Om Osman itu! Dia Pedofilia, Bu. Pe-do-fi-lia!"

"Andra...! Jaga..."

"Tolong Ibu diam dulu. Aku punya alasan mengapa aku berkata seperti itu," potong Andra cepat, "Ingatakah Ibu waktu aku diajak jalan-jalan keliling Batu dulu? Ibu ingat peristiwa itu kan?"

Bu Rizma diam dan berusaha membuka memori otaknya. Berbagai kenangan ia putar ulang di batok kepalanya, terutama peristiwa puluhan tahun silam saat ulang tahun Andra yang ke delapan tahun.

"Aku hilang keperjakaan karena disodomi Om Osman, Bu!" aku Andra bergidik membayangkan peristiwa yang ia alami kala itu.

Bu Rizma tercenung.
***

Cerpen ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @KampusFiksi dengan tema #TentangHilang

Selasa, 21 Juli 2015

Kemudi Cinta Fia


"Fia, sini. Akan kutunjukkan sesuatu yang lebih indah dari ini...!" cetus Wardi coba menarik pergelangan tangan perempuan di sampingnya.

"Tunggu! Fotoin aku dulu ya, sambil pura-pura cium bunga ini," tepis Fia menarik pergelangan tangannya, dan meraih sekuntum bunga yang berada tepat di sampingnya.

Wardi tersenyum. Lesung pipit di pipi kirinya begitu manis, menunjukkan bahwa ia sabar menuruti kemauan gadis pujaannya. Ia langsung mengarahkan kamera digital yang ada di saku celananya, dan dengan cekatan ia pun membidik mata kamera itu untuk Fia.

Fia, dia gadis berbibir tipis dan bermata bulat. Seorang gadis yang nyaris mendekati kata sempurna di mata Wardi. Wardi mengenal Fia sejak ia pertama kali masuk ke ruang perpustakaan kampus, tepatnya, saat pukul sepuluh pagi di hari Selasa awal Juni tahun 2014 lalu.

Wardi bukanlah seorang sastrawan dan pujangga, apalagi seorang pemuda penyuka film Korea, sama sekali bukan. Wardi adalah seorang pemuda sederhana yang hanya menyukai rujak khas Madura. Namun, sejak menyukai Fia, Wardi pun berubah. Ia sibuk mencari cara untuk bisa memberikan kesan romantis, termasuk mengajak gadis itu jalan-jalan menikmati keindahan alam.

Sebenarnya Wardi sudah berkali-kali mengajak Fia jalan-jalan, namun jika disamakan dengan istilah perbandingan, maka ajakannya tak jauh berbeda dengan angka 10:1. Artinya, dari sepuluh kali ajakan, baru sekali saja ia akan menerima jawaban "iya" dari bibir manis Fia. Dan pagi itu adalah jalan-jalan ketigakalinya bagi Wardi dan Fia. Hebatnya, Wardi bisa mengajak Fia keluar kota, tepatnya ke sebuah air terjun di kawasan Batu Malang. Sebagai seorang pencinta, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada Fia.

"Sip. Gimana, aku cantik kan kalau foto sambil pegang bunga ini?" tanya Fia dengan sedikit manja, setelah mata kamera Wardi menjepretnya.

"Apapun yang menempel di tubuhmu akan semakin membuatmu cantik, Fia. Tanpa terkecuali bunga itu..." jawab Wardi.

Bulan sabit pun muncul di bibir Fia begitu mendengar pujian Wardi. Wardi tahu Fia akan tersipu malu bila ia memujinya. Terlebih bila Wardi mengiyakan semua ucapan Fia, gadis itu pasti semakin terlihat manja dan manja.

"Oke. Kalau begitu sekarang kamu ikut aku," ajak Wardi menggerakkan kepalanya, "ada sesuatu yang jauh lebih indah dari taman ini," sambungnya.

"Oya? Di mana? Thanks ya, udah ngajak aku ke sini..." timpal Fia melangkah sambil memutar-mutar bunga yang ia pegang.

"Ah biasa aja, Fia. Aku hanya ingin mengekspresikan bisikan hatiku saja," balas Wardi sesekali melirik wajah Fia dari arah samping. Keduanya berjalan cukup pelan, melewati beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di kanan kiri jalan. Pohon pinus dan pohon cemara.

"Tapi, aku kan merasa nggak enak gitu sama kamu, Wardi."

"Selama aku bisa melakukannya untukmu, dan kamu menyukainya, maka jangan sekali-kali mengatakan kalimat nggak enak lagi ya, Fia."

"Tap, tapi..."

"Cukup!" potong Wardi meraih tangan Fia, "tolong jangan bahas apa yang sudah kulakukan sama kamu. Lebih baik kita nikmati saja apa yang kita jalani hari ini," lanjutnya menarik tangan fia.

Fia mengangguk pelan. Langkahnya pun mengiringi langkah pemuda di sampingnya.
***
"Gimana, di sini jauh lebih indah kan?" tanya Wardi mengamati binar di mata Fia.

Sambil menyungging senyum, Fia pun menjawab di dekat telinga Wardi, "Iya. Aku suka banget sama air terjun ini. Kereeennn....!!!"

Bersama hembusan angin yang ditimbulkan oleh air terjun, Wardi pun tertawa sumringah. Baginya, tak ada hal yang lebih indah selain melihat senyum di bibir Fia. Ia melihat kedamaian di sana. Buru-buru ia menarik lagi pergelangan tangan Fia untuk mendekati area air terjun. Awalnya Fia bergeming, namun setelah Wardi memaksa, akhirnya ia pun rela berbasah-basahan menikmati genangan dan cipratan air yang ditimbulkan oleh desiran air.

"Oke Fia, kuharap kamu bisa merekam semua ini!" teriak Wardi di samping telinga Fia, sebab suara air terjun mengalahkan suaranya, "dengarkan aku, air terjun ini jadi saksi bahwa aku sayang kamu. Maukah kamu mendampingi hidupku?" cetusnya tak melepas pandangan dari Fia.

Fia sedikit terkejut dengan tatapan tajam di bola mata pemuda itu. Lagi-lagi, bulan sabit muncul di bibirnya. Kaku.
***
Beberapa minggu kemudian...

"Cukup, Wardi. Jangan teruskan!" pekik Fia enggan mendengar alasan Wardi. Ia memalingkan mukanya ke arah depan.

"Tapi kenapa? Apa aku salah jatuh cinta sama kamu? Apakah aku juga salah sudah mengungkapkan perasaanku di bawah air terjun?" balas Wardi tak melepaskan pandangannya pada gadis berponi itu.

Fia mendengus, menarik napasnya dalam-dalam, sambil mengamati ujung daun pohon di seberang lapangan. Setelah beberapa detik berselang, dia pun menimpali pertanyaan Wardi, "Nggak ada yang salah dalam kasus ini. Hanya saja, keadaan yang nggak bisa kita hindari. Aku yakin kisah kita nggak akan pernah terjalin seperti keinginanmu, Wardi."

"Bagaimana kamu bisa tau kalau kita belum mencobanya?" tegas Wardi cepat.

Kali ini Fia memutar kepalanya memandang Wardi.

"Tuh, kamu pasti nggak bisa menjawabnya kan, Fia?" susul Wardi mulai geram.

"Nggak. Aku nggak bisa. Kamu terlalu baik buat aku," timpalnya. Kali ini Fia jelas tidak berani menatap wajah Wardi.

"Apa? Terlalu baik? Kamu ini lucu sekali, Fia. Lucu..."

Fia menoleh, "Apanya yang lucu?"

Wardi beranjak dari kursi duduknya, "Iya. Ucapanmu benar-benar lucu," kata Wardi lalu menoleh ke wajah Fia, "kalau begitu aku harus jadi penjahat dulu ya untuk menyayangimu?"

Fia diam. Ucapan Wardi bagaikan pukulan tajam untuknya. Baginya, diam adalah jalan terbaik untuk berdamai dengan keadaan. Juga berdamai dengan rasa malu karena salah berbicara.

"Sudahlah Fia. Jangan banyak alasan untuk mengelak perasaan di hatimu. Aku tahu kalau kamu juga sayang sama aku..." lanjut Wardi masih menatap wajah gadis di depannya.

"Cukup, Wardi. Cukup!" teriak Fia berdiri dari duduknya, "oke, aku akan jujur sama kamu. Pertama, aku ucapin terima kasih karena kamu satu-satunya pemuda baik yang pernah kutemui. Dua, aku salut karena sampai detik ini, kamu masih bertahan memperjuangkan cintamu. Aku hargai usahamu itu. Tapi sebanyak apapun usahamu, maaf, tak satupun yang bisa menumbuhkan rasa sayang di hatiku. Selama ini aku hanya menganggapmu teman biasa War, nggak lebih dari itu..."

Wardi tertegun, "Apa?"

"Iya!" potong Fia cepat, "kuharap kamu paham dengan ucapanku!" lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi dari hadapan Wardi.

"Oh iya, satu hal lagi," setelah beberapa langkah, Fia berbalik sejenak, "janganlah suka mengumbar janji, sebab akan menimbulkan kecewa jika tak kau tepati. Umbarlah senyum termanismu untuk orang lain, karena itu akan jauh lebih baik!" lalu pergi tanpa menunggu tanggapan dari Wardi.

Wardi mendengus mengamati punggung gadis yang kian menjauh itu. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari bibir Lutfia. Wardi pikir, Fia adalah gadis baik sebaik parasnya.

"Baiklah, kuikuti keinginanmu. Kali ini aku akan pulang, Fia. Pulang ke tempat asalku, sebagaimana aku belum mengenalmu dulu. Sudah cukup aku berjuang membuktikan kebesaran cintaku sama kamu. Kan kujadikan kegagalan ini sebagai pelajaran terbaik dalam perjalanan cintaku selanjutnya. Jaga baik-baik hatimu, serahkan saja kepada pemuda yang kau mau, karena aku, sudah lepas kemudi mengejarmu!" bisik Wardi lirih.

Menjelang senja,
20 Juli 2015,
Pulau Garam, Madura.

***

Cerpen ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @KampusFiksi dengan tema #KisahPulang

Senin, 29 Juni 2015

Realita


"Tuhan, ada apa ini?" rutuknya seorang diri, saat melihat Ray membuka pintu kamar dan mulai pergi, "ada apa dengan hatiku kali ini?" imbuhnya lagi, sambil meremas kepala dan mengacak-acak rambutnya. Saat-saat seperti inilah, Levin, selalu merasa berada dalam lingkaran titik lemahnya, tepatnya setelah  mergumul dengan seorang Ray di dalam kamar apartemennya.

"Loh, masih di situ?" kata Ray kembali menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar, membuat Levin terkejut dari kegalauan hatinya.

"Eh iya, tunggu sebentar," kikuk Levin sambil meraih kemeja kotak-kotak yang tergeletak di lantai samping ranjang. Hembusan pendingin ruangan pun menyapa kulit kekarnya. Dan tanpa bercermin, Levin pun berdiri mengenakan kemejanya, merapikan rambutnya, dan melangkah keluar setelah mengenakan sepasang sepatu sneakers warna merah.

Malam itu, adalah malam minggu. Tepatnya malam minggu ke sepuluh sejak Levin memutuskan tinggal bersama Ray di sebuah apartemen sederhana kawasan Surabaya Timur. Bagi Levin, Ray adalah sosok lelaki yang paling mengerti keadaanya. Apa pun akan Ray penuhi, asal Levin mau melayani rekannya itu kapanpun hasrat mendera mereka.

"Jadi kita mau ke mana nih," kata Ray begitu mobil keduanya bergelut dan berbaur dengan keramaian kota Surabaya.

Levin masih terdiam dan menatap jalan kota yang begitu padat oleh kendaraan, "Terserah kamu, Ray. Bukannya kamu yang mau memberiku kejutan?" timpalnya.

Dari balik kemudi, Ray pun tersenyum simpul, "Kamu kenapa sih Lev, kok akhir-akhir ini kayak nggak semangat gitu."

Levin diam. Sesekali ia melirik wajah pemuda di sampingnya, dan kembali melempar pandangannya ke depan jalan. Levin sadar kegundahan hatinya kali ini mulai terbaca oleh Ray. Levin pikir, Ray akan sangat marah bila ia mengetahui pangkal masalah di hatinya. Sehingga, untuk menyembunyikan perasaan itu,  buru-buru Levin tersenyum dan mengelus pundak Ray yang masih sibuk mengemudikan mobil, "Ah, santai saja. Aku nggak apa-apa kok, Ray. Cuma sedikit kelelahan aja," keliknya.

Ray balik melirik wajah Levin, "Jadi kamu lagi nggak enak badan? Tau gitu kita nggak pergi sekalian. Istirahat di kamar."

"Nggak. Aku masih bisa nemein kamu jalan-jalan kok. Tenang aja," potong Levin cepat seraya menyungging senyumnya lebar-lebar.
***

"Pokoknya kamu harus makan yang banyak. Jangan sampai kamu lemas karena kurang makan. Apalagi sampai sakit segala, jangan sampai deh ya," kata Ray saat duduk di foodcourt mall yang dipadati puluhan pengunjung.

"Siapa yang sakit. Aku baik-baik aja kok, Ray."

"Kalau kamu sakit, ntar siapa dong yang layanin aku kalau lagi 'pengen'?" timpal Ray nakal.

Levin hanya menimpali ucapan Ray dengan sebuah senyuman, dan berharap tidak ada seorang pun yang mendengarnya.

"Halo, Kawan!" tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundak Levin.

Suara itu membuat Levin terjengah, "Edi?" gumamnya.

Edi pun tersenyum simpul sambil melirik wajah Ray. Untuk menjaga berbagai kemungkinan, buru-buru Levin beranjak dan menjabat tangan Edi, teman semasa SMAnya di Madura.

"Apa kabar kamu," kata Edi mengamati Levin dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Ba, baik. Kamu sendiri gimana, udah kerja?"

"Aku ngajar di sekolah swasta di Bangkalan," jawab Edi kembali melirik Ray yang duduk sambil memainkan ponselnya, "eh, ngomong-ngomong, katanya kamu mau nikah ya, Fin. Masih sama calonmu yang dulu itu ya?"

Levin tersentak mendengar pertanyaan itu, namun ia berusaha menyembunyikan kekagetannya. Begitu juga sebaliknya, Ray jauh lebih tersentak saat mengetahui Levin memiliki seorang tunangan yang berjenis kelamin perempuan. Dia shock di atas tempat duduknya.

"Ayo jangan lama-lama. Nikah itu enak loh, Kawan. Huahaha..." canda Edi lalu tertawa.

Levin merasa kikuk dibuatnya. Dia tidak tahu harus merespon apa untuk pertanyaan teman lamanya. Di satu sisi ia ingin menjawab pertanyaan itu, namun di sisi lain ia pun harus menjaga perasaan Ray, teman terdekatnya saat ini.

"Atau kamu masih patah hati sama Reina ya? Udahlah, Reina kan masa abu-abu kamu. KUBUR semua sakit hatimu, dan carilah cinta yang baru. Huahahaha..." Edi kembali tertawa. Semakin lebar.

"Hm, doakan yang terbaik aja ya," timpal Levin sekenanya, "eh, nggak mau makan bareng kami Ed?"

"Oh, makasih-makasih. Istriku sudah menunggu lama di ujung sana. Jangan lupa ya, aku tunggu undangannya," kata Edi lalu pamit dari meja Levin dan Ray.

Selepas kepergian Edi, Ray mulai menunjukkan muka masamnya. Levin tahu dari mana hal itu berasal. Belum sempat ia memperbaiki suasana, tiba-tiba Ray beranjak dan mengajaknya pulang. Tak ada kata penolakan, selain mengikuti Ray dari belakang.

***

"Kupikir, perasaan itu TUMBUH hanya untukku!" rutuk Ray setibanya di kamar apartemen. Perdebatan di mobil tak membuatnya cukup untuk memahami apa yang tengah Levin rasakan akhir-akhir ini.

"Apa maksudmu, Ray. Nggak ada kebohongan apa pun di hatiku. Aku tulus menyayangimu. Tapi..."

"Tapi apa? Bohong maksudmu?" potong Ray sinis, "atau karena uangku?"

"Cukup Ray, cukup!" pekik Levin, "aku nggak tau harus ngomong apa lagi sama kamu. Yang aku tau, aku sangat sayang sama kamu," aku Levin sendu.

"Nggak. Kamu nggak sesayang itu sama aku," tepis Ray, melihat aktivitas kota Surabaya dari balik jendela kamarnya.

"Kamu boleh nggak mempercayai kata-kataku. Tapi, kamu harus mempercayai kesetiaanku sama kamu..."

Ray diam.
Tak ada yang bisa ia lontarkan untuk melawan ucapan kekasihnya. Bagaimanapun Levin adalah lelaki sederhana yang memiliki keluarga besar, jauh berbeda dengannya yang sudah ditinggalkan keluarga cukup lama. Hanya rasa kecewa yang kian REKAH di hatinya. Bagi Ray, kesetiaan itu bullshit!

Ray pun berdiri. Dia mengambil setumpuk uang di laci lemari, dan menyodorkannya kepada Levin. Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulutnya. Langkah kakinya langsung berayun keluar apartemen. Entah ke arah mana.

Di ujung tempat tidur, Levin menekuri uang itu, uang pesangon dari seorang Ray untuknya. Levin semakin bingung, menolak atau menerima uang itu. Yang jelas Ray sudah kecewa padanya.

Buru-buru Levin mencari secarik kertas dan bolpoin,

"Maafkan aku Ray. Sampai kapanpun, kamulah orang yang bisa melepaskanku dari rasa kesepian. Cuma kamulah orang yang bisa menciptakan kebahagiaan di hatiku. Tapi, Edi benar, realita tetaplah realita, sampai kapanpun aku terlahir sebagai laki-laki biasa, dan akan tetap seperti itu selamanya..." tulisnya.

Levin meletakkan uangnya di atas lembaran kertas itu. Walau berat, ia harus tetap pergi dari apartemen yang pernah menciptakan kenangan bersama Ray. Sesekali ia mengamati suasana kamarnya,

"Kalau nanti aku tak bahagia, aku akan mencarimu, Ray..." desisnya pelan.
***

[Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @kampusfiksi tema #FiksiLGBT]

Kamis, 04 Juni 2015

Batu Lagi, Lagi-Lagi Batu [Catatan Perjalanan]

Tak ada kata bosan bila membahas tentang Malang, iya, tepatnya kota Batu, Malang. Sebab, aku telah jatuh cinta sama kota berhawa dingin itu. Benar-benar jatuh cinta deh pokoknya! Sudah kesekiankalinya aku berkunjung ke Batu, sudah kesekian kali pula aku merasakan indahnya rasa bahagia itu. Aku sama sekali tidak merasa bosan apalagi jenuh. Pokoknya aku selalu suka deh sama yang namanya kota Batu...

Salah satu hal yang paling kusuka saat ke kota Malang adalah udaranya yang segar. Aku merasa berada di surga ketika menghirup udara segar di bentang alam yang dikelilingi pegunungan. Sepertinya aku ingin setiap hari berada di kota itu, sampai-sampai ada seorang teman yang nyeletuk, "Nyari aja istri orang Malang, Kawan!" katanya sembari tertawa renyah. Benar juga ya, Huahaha...

Beneran deh, yang namanya kota Batu itu emang luar biasa. Banyak destinasi wisata di sana. Salah satunya wisata Paralayang dan Omah Kayu di kawasan puncak Gunung Banyak. Berada di lokasi wisata ini, serasa berada di atas awan. Benar-benar indah!

Sebenarnya, Minggu kemarin, tanggal 31 Mei 2015, aku ikut rombongan para siswa jalan-jalan ke kota Batu. Ada beberapa tempat yang menjadi tujuan liburan kami, pertama Air terjun Coban Rondo, kedua Wisata Paralayang beserta Omah Kayu, dan terakhir Selecta. Namun karena ada beberapa hal akhirnya Selecta dicoret dari daftar destinasi rombongan kami. Tapi aku yakin meski satu tempat telah dicoret, tak akan mengurangi kebahagiaanku saat menikmati sejuknya kota yang terkenal akan apelnya itu.

Well, pagi-pagi sekali kami tiba di Air Terjun Coban Rondo. Kurang lebih sekitar pukul 8 pagi. Tiket masuk pun masih sama seperti tahun kemarin, cukup Rp.15.000 saja per orang. Ini kali ke empat aku berkunjung ke air terjun setinggi 84 meter itu, dan lagi-lagi aku sama sekali belum mampu menyematkan kata 'BOSAN' untuk tempat yang dikelilingi pohon pinus itu. Suasana dingin dan sejuknya air di Coban Rondo telah membuatku terlena. Aku bahkan masih suka berendam di air super dingin itu. Terlebih saat kicauan burung, kera-kera, serta hewan lain yang beradu dengan suara air terjun, sama sekali membuat pikiranku terasa syahdu.



Pukul 10.30 pagi kami beranjak dari kawasan air terjun itu. Alasannya karena tempat itu sudah mulai ramai oleh pengunjung. Memang benar adanya, semakin siang wisatawan semakin membludak. Tempat parkir kendaraan pun mulai dipenuhi bis-bis pariwisata. Sarana outbond juga dipadati para anak-anak yang ingin menguji adrenalin. Tak sedikit pula yang mulai memadati jalan dan sudut-sudut air terjun. Itulah alasan mengapa rombongan kami memutuskan keluar dari kawasan air terjun.

Destinasi selanjutnya adalah wisata Paralayang. Ini nih yang paling aku tunggu. Sejak masih di Madura aku sudah membayangkan bagaimana keindahan tempat penerjun itu. Aku sempat melihat di Youtube tentang suasana di kawasan itu, dan sukses membuatku penasaran.

Sebenarnya wisata Paralayang ini masih satu arah dengan lokasi Air Terjun Coban Rondo, bedanya di pertigaan patung sapi depan gang, kami pun harus belok kiri. Dan perjalanan menuju tempat Paralayang pun tak kalah curam dari tempat air terjun.

Untuk masuk kawasan Paralayang kami harus membeli tiket Rp 5000 saja. Dari lokasi parkir menuju spot pun tidak terlalu jauh, sekitar dua ratus meter saja, tapi sedikit menanjak. Dan satu hal yang membuatku senang saat berada di lokasi itu. Baru menginjakkan kaki di puncak, aku disuguhkan oleh pemandangan alam yang luar biasa indah, panorama kota Batu dari ketinggian. Ratusan rumah tampak seperti sampah yang berserakan di bawah lembah raksasa. Ya, kurang lebih seperti itulah yang kulihat.

Bukan hanya itu, aku pun bergegas gabung dengan kurumunan orang-orang yang berjajar melingkar di atas lahan seluas empat sampai lima meter persegi itu. Usut punya usut, ternyata mereka tengah menyaksikan seorang pemuda yang hendak melakukan paralayang. Sebagai momen pertama, aku pun mengarahkan mata kamera ke arah pemuda itu. Aku ingin mengabadikan momen keren itu.

Menurut informasi yang kudapatkan, ternyata untuk melakukan paralayang perlu mengeluarkan uang sekitar Rp 350.000an. Itu untuk penerjun tendem, yang ditemani oleh pemandu. Dan bukan hanya itu saja, si penerjun pun mendapat fasilitas merekam momen terjun mereka dengan memakai tongsis. Jangankan ikutan terjun, membayangkan melayang di atas ketinggian Gunung Banyak pun aku bergidik. Hehehe... meski suka panorama alam dari atas gunung, aku tetap takut ketinggian loh. Hehehehe... *tutup muka karena malu.

Cukup lama juga aku dan rombongan berada di kawasan itu. Kami sempat duduk menghadap jurang dan menikmati indahnya panorama alam yang diciptakan Tuhan. Aku bahkan sempat berpikir betapa kayanya Indonesia.


Selanjutnya kami beralih ke Omah Kayu. Tempat ini tidak terlalu jauh dari lokasi paralayang, bahkan bisa dibilang satu kawasan saja. Jaraknya hanya sekitar 150 meter saja dari arah penerjunan. Namun, untuk memasuki Omah Kayu kami masih perlu membeli tiket 5ribu rupiah lagi.

Seperti namanya, tempat ini hanya menyuguhkan sebuah rumah kayu yang dibangun di atas pohon pinus yang cukup tinggi. Rumah kayunya pun masih cukup sedikit, kurang lebih sekitar 6 rumah saja. Rumah kayu ini bisa disewa untuk menginap dengan tarif sekitar 300 - 350ribuan per malam. Dan siapa pun yang menginap, pasti diharuskan menanam pohon di kawasan itu. Unik juga, sambil liburan masih peduli terhadap alam, pikirku.

Panorama alam dari tempat ini cukup unik, masih dengan padatnya kota Batu, namun kali ini ada beberapa tirai alam berupa deretan pohon pinus yang berukuran cukup besar. Aku sempat membayangkan bagaimana jika malam hari tiba, pasti pemandangan di tempat ini indah sekali. Pasti pengunjung pun serasa berada di atas langit.


Wah, ternyata panjang juga ya ceritaku. Hehehe... udah ah, pokoknya kota Batu Malang luar biasa deh. Semoga liburan selanjutnya aku bisa ke kota Batu lagi. Amin...  Lanjut kapan-kapan lagi ya... bye!

Kamarku,
Sampang, 3 Juni 2015,
Tanah Garam, Madura.
***