Senin, 29 Juni 2015

Realita


"Tuhan, ada apa ini?" rutuknya seorang diri, saat melihat Ray membuka pintu kamar dan mulai pergi, "ada apa dengan hatiku kali ini?" imbuhnya lagi, sambil meremas kepala dan mengacak-acak rambutnya. Saat-saat seperti inilah, Levin, selalu merasa berada dalam lingkaran titik lemahnya, tepatnya setelah  mergumul dengan seorang Ray di dalam kamar apartemennya.

"Loh, masih di situ?" kata Ray kembali menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar, membuat Levin terkejut dari kegalauan hatinya.

"Eh iya, tunggu sebentar," kikuk Levin sambil meraih kemeja kotak-kotak yang tergeletak di lantai samping ranjang. Hembusan pendingin ruangan pun menyapa kulit kekarnya. Dan tanpa bercermin, Levin pun berdiri mengenakan kemejanya, merapikan rambutnya, dan melangkah keluar setelah mengenakan sepasang sepatu sneakers warna merah.

Malam itu, adalah malam minggu. Tepatnya malam minggu ke sepuluh sejak Levin memutuskan tinggal bersama Ray di sebuah apartemen sederhana kawasan Surabaya Timur. Bagi Levin, Ray adalah sosok lelaki yang paling mengerti keadaanya. Apa pun akan Ray penuhi, asal Levin mau melayani rekannya itu kapanpun hasrat mendera mereka.

"Jadi kita mau ke mana nih," kata Ray begitu mobil keduanya bergelut dan berbaur dengan keramaian kota Surabaya.

Levin masih terdiam dan menatap jalan kota yang begitu padat oleh kendaraan, "Terserah kamu, Ray. Bukannya kamu yang mau memberiku kejutan?" timpalnya.

Dari balik kemudi, Ray pun tersenyum simpul, "Kamu kenapa sih Lev, kok akhir-akhir ini kayak nggak semangat gitu."

Levin diam. Sesekali ia melirik wajah pemuda di sampingnya, dan kembali melempar pandangannya ke depan jalan. Levin sadar kegundahan hatinya kali ini mulai terbaca oleh Ray. Levin pikir, Ray akan sangat marah bila ia mengetahui pangkal masalah di hatinya. Sehingga, untuk menyembunyikan perasaan itu,  buru-buru Levin tersenyum dan mengelus pundak Ray yang masih sibuk mengemudikan mobil, "Ah, santai saja. Aku nggak apa-apa kok, Ray. Cuma sedikit kelelahan aja," keliknya.

Ray balik melirik wajah Levin, "Jadi kamu lagi nggak enak badan? Tau gitu kita nggak pergi sekalian. Istirahat di kamar."

"Nggak. Aku masih bisa nemein kamu jalan-jalan kok. Tenang aja," potong Levin cepat seraya menyungging senyumnya lebar-lebar.
***

"Pokoknya kamu harus makan yang banyak. Jangan sampai kamu lemas karena kurang makan. Apalagi sampai sakit segala, jangan sampai deh ya," kata Ray saat duduk di foodcourt mall yang dipadati puluhan pengunjung.

"Siapa yang sakit. Aku baik-baik aja kok, Ray."

"Kalau kamu sakit, ntar siapa dong yang layanin aku kalau lagi 'pengen'?" timpal Ray nakal.

Levin hanya menimpali ucapan Ray dengan sebuah senyuman, dan berharap tidak ada seorang pun yang mendengarnya.

"Halo, Kawan!" tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundak Levin.

Suara itu membuat Levin terjengah, "Edi?" gumamnya.

Edi pun tersenyum simpul sambil melirik wajah Ray. Untuk menjaga berbagai kemungkinan, buru-buru Levin beranjak dan menjabat tangan Edi, teman semasa SMAnya di Madura.

"Apa kabar kamu," kata Edi mengamati Levin dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Ba, baik. Kamu sendiri gimana, udah kerja?"

"Aku ngajar di sekolah swasta di Bangkalan," jawab Edi kembali melirik Ray yang duduk sambil memainkan ponselnya, "eh, ngomong-ngomong, katanya kamu mau nikah ya, Fin. Masih sama calonmu yang dulu itu ya?"

Levin tersentak mendengar pertanyaan itu, namun ia berusaha menyembunyikan kekagetannya. Begitu juga sebaliknya, Ray jauh lebih tersentak saat mengetahui Levin memiliki seorang tunangan yang berjenis kelamin perempuan. Dia shock di atas tempat duduknya.

"Ayo jangan lama-lama. Nikah itu enak loh, Kawan. Huahaha..." canda Edi lalu tertawa.

Levin merasa kikuk dibuatnya. Dia tidak tahu harus merespon apa untuk pertanyaan teman lamanya. Di satu sisi ia ingin menjawab pertanyaan itu, namun di sisi lain ia pun harus menjaga perasaan Ray, teman terdekatnya saat ini.

"Atau kamu masih patah hati sama Reina ya? Udahlah, Reina kan masa abu-abu kamu. KUBUR semua sakit hatimu, dan carilah cinta yang baru. Huahahaha..." Edi kembali tertawa. Semakin lebar.

"Hm, doakan yang terbaik aja ya," timpal Levin sekenanya, "eh, nggak mau makan bareng kami Ed?"

"Oh, makasih-makasih. Istriku sudah menunggu lama di ujung sana. Jangan lupa ya, aku tunggu undangannya," kata Edi lalu pamit dari meja Levin dan Ray.

Selepas kepergian Edi, Ray mulai menunjukkan muka masamnya. Levin tahu dari mana hal itu berasal. Belum sempat ia memperbaiki suasana, tiba-tiba Ray beranjak dan mengajaknya pulang. Tak ada kata penolakan, selain mengikuti Ray dari belakang.

***

"Kupikir, perasaan itu TUMBUH hanya untukku!" rutuk Ray setibanya di kamar apartemen. Perdebatan di mobil tak membuatnya cukup untuk memahami apa yang tengah Levin rasakan akhir-akhir ini.

"Apa maksudmu, Ray. Nggak ada kebohongan apa pun di hatiku. Aku tulus menyayangimu. Tapi..."

"Tapi apa? Bohong maksudmu?" potong Ray sinis, "atau karena uangku?"

"Cukup Ray, cukup!" pekik Levin, "aku nggak tau harus ngomong apa lagi sama kamu. Yang aku tau, aku sangat sayang sama kamu," aku Levin sendu.

"Nggak. Kamu nggak sesayang itu sama aku," tepis Ray, melihat aktivitas kota Surabaya dari balik jendela kamarnya.

"Kamu boleh nggak mempercayai kata-kataku. Tapi, kamu harus mempercayai kesetiaanku sama kamu..."

Ray diam.
Tak ada yang bisa ia lontarkan untuk melawan ucapan kekasihnya. Bagaimanapun Levin adalah lelaki sederhana yang memiliki keluarga besar, jauh berbeda dengannya yang sudah ditinggalkan keluarga cukup lama. Hanya rasa kecewa yang kian REKAH di hatinya. Bagi Ray, kesetiaan itu bullshit!

Ray pun berdiri. Dia mengambil setumpuk uang di laci lemari, dan menyodorkannya kepada Levin. Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulutnya. Langkah kakinya langsung berayun keluar apartemen. Entah ke arah mana.

Di ujung tempat tidur, Levin menekuri uang itu, uang pesangon dari seorang Ray untuknya. Levin semakin bingung, menolak atau menerima uang itu. Yang jelas Ray sudah kecewa padanya.

Buru-buru Levin mencari secarik kertas dan bolpoin,

"Maafkan aku Ray. Sampai kapanpun, kamulah orang yang bisa melepaskanku dari rasa kesepian. Cuma kamulah orang yang bisa menciptakan kebahagiaan di hatiku. Tapi, Edi benar, realita tetaplah realita, sampai kapanpun aku terlahir sebagai laki-laki biasa, dan akan tetap seperti itu selamanya..." tulisnya.

Levin meletakkan uangnya di atas lembaran kertas itu. Walau berat, ia harus tetap pergi dari apartemen yang pernah menciptakan kenangan bersama Ray. Sesekali ia mengamati suasana kamarnya,

"Kalau nanti aku tak bahagia, aku akan mencarimu, Ray..." desisnya pelan.
***

[Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @kampusfiksi tema #FiksiLGBT]

Kamis, 04 Juni 2015

Batu Lagi, Lagi-Lagi Batu [Catatan Perjalanan]

Tak ada kata bosan bila membahas tentang Malang, iya, tepatnya kota Batu, Malang. Sebab, aku telah jatuh cinta sama kota berhawa dingin itu. Benar-benar jatuh cinta deh pokoknya! Sudah kesekiankalinya aku berkunjung ke Batu, sudah kesekian kali pula aku merasakan indahnya rasa bahagia itu. Aku sama sekali tidak merasa bosan apalagi jenuh. Pokoknya aku selalu suka deh sama yang namanya kota Batu...

Salah satu hal yang paling kusuka saat ke kota Malang adalah udaranya yang segar. Aku merasa berada di surga ketika menghirup udara segar di bentang alam yang dikelilingi pegunungan. Sepertinya aku ingin setiap hari berada di kota itu, sampai-sampai ada seorang teman yang nyeletuk, "Nyari aja istri orang Malang, Kawan!" katanya sembari tertawa renyah. Benar juga ya, Huahaha...

Beneran deh, yang namanya kota Batu itu emang luar biasa. Banyak destinasi wisata di sana. Salah satunya wisata Paralayang dan Omah Kayu di kawasan puncak Gunung Banyak. Berada di lokasi wisata ini, serasa berada di atas awan. Benar-benar indah!

Sebenarnya, Minggu kemarin, tanggal 31 Mei 2015, aku ikut rombongan para siswa jalan-jalan ke kota Batu. Ada beberapa tempat yang menjadi tujuan liburan kami, pertama Air terjun Coban Rondo, kedua Wisata Paralayang beserta Omah Kayu, dan terakhir Selecta. Namun karena ada beberapa hal akhirnya Selecta dicoret dari daftar destinasi rombongan kami. Tapi aku yakin meski satu tempat telah dicoret, tak akan mengurangi kebahagiaanku saat menikmati sejuknya kota yang terkenal akan apelnya itu.

Well, pagi-pagi sekali kami tiba di Air Terjun Coban Rondo. Kurang lebih sekitar pukul 8 pagi. Tiket masuk pun masih sama seperti tahun kemarin, cukup Rp.15.000 saja per orang. Ini kali ke empat aku berkunjung ke air terjun setinggi 84 meter itu, dan lagi-lagi aku sama sekali belum mampu menyematkan kata 'BOSAN' untuk tempat yang dikelilingi pohon pinus itu. Suasana dingin dan sejuknya air di Coban Rondo telah membuatku terlena. Aku bahkan masih suka berendam di air super dingin itu. Terlebih saat kicauan burung, kera-kera, serta hewan lain yang beradu dengan suara air terjun, sama sekali membuat pikiranku terasa syahdu.



Pukul 10.30 pagi kami beranjak dari kawasan air terjun itu. Alasannya karena tempat itu sudah mulai ramai oleh pengunjung. Memang benar adanya, semakin siang wisatawan semakin membludak. Tempat parkir kendaraan pun mulai dipenuhi bis-bis pariwisata. Sarana outbond juga dipadati para anak-anak yang ingin menguji adrenalin. Tak sedikit pula yang mulai memadati jalan dan sudut-sudut air terjun. Itulah alasan mengapa rombongan kami memutuskan keluar dari kawasan air terjun.

Destinasi selanjutnya adalah wisata Paralayang. Ini nih yang paling aku tunggu. Sejak masih di Madura aku sudah membayangkan bagaimana keindahan tempat penerjun itu. Aku sempat melihat di Youtube tentang suasana di kawasan itu, dan sukses membuatku penasaran.

Sebenarnya wisata Paralayang ini masih satu arah dengan lokasi Air Terjun Coban Rondo, bedanya di pertigaan patung sapi depan gang, kami pun harus belok kiri. Dan perjalanan menuju tempat Paralayang pun tak kalah curam dari tempat air terjun.

Untuk masuk kawasan Paralayang kami harus membeli tiket Rp 5000 saja. Dari lokasi parkir menuju spot pun tidak terlalu jauh, sekitar dua ratus meter saja, tapi sedikit menanjak. Dan satu hal yang membuatku senang saat berada di lokasi itu. Baru menginjakkan kaki di puncak, aku disuguhkan oleh pemandangan alam yang luar biasa indah, panorama kota Batu dari ketinggian. Ratusan rumah tampak seperti sampah yang berserakan di bawah lembah raksasa. Ya, kurang lebih seperti itulah yang kulihat.

Bukan hanya itu, aku pun bergegas gabung dengan kurumunan orang-orang yang berjajar melingkar di atas lahan seluas empat sampai lima meter persegi itu. Usut punya usut, ternyata mereka tengah menyaksikan seorang pemuda yang hendak melakukan paralayang. Sebagai momen pertama, aku pun mengarahkan mata kamera ke arah pemuda itu. Aku ingin mengabadikan momen keren itu.

Menurut informasi yang kudapatkan, ternyata untuk melakukan paralayang perlu mengeluarkan uang sekitar Rp 350.000an. Itu untuk penerjun tendem, yang ditemani oleh pemandu. Dan bukan hanya itu saja, si penerjun pun mendapat fasilitas merekam momen terjun mereka dengan memakai tongsis. Jangankan ikutan terjun, membayangkan melayang di atas ketinggian Gunung Banyak pun aku bergidik. Hehehe... meski suka panorama alam dari atas gunung, aku tetap takut ketinggian loh. Hehehehe... *tutup muka karena malu.

Cukup lama juga aku dan rombongan berada di kawasan itu. Kami sempat duduk menghadap jurang dan menikmati indahnya panorama alam yang diciptakan Tuhan. Aku bahkan sempat berpikir betapa kayanya Indonesia.


Selanjutnya kami beralih ke Omah Kayu. Tempat ini tidak terlalu jauh dari lokasi paralayang, bahkan bisa dibilang satu kawasan saja. Jaraknya hanya sekitar 150 meter saja dari arah penerjunan. Namun, untuk memasuki Omah Kayu kami masih perlu membeli tiket 5ribu rupiah lagi.

Seperti namanya, tempat ini hanya menyuguhkan sebuah rumah kayu yang dibangun di atas pohon pinus yang cukup tinggi. Rumah kayunya pun masih cukup sedikit, kurang lebih sekitar 6 rumah saja. Rumah kayu ini bisa disewa untuk menginap dengan tarif sekitar 300 - 350ribuan per malam. Dan siapa pun yang menginap, pasti diharuskan menanam pohon di kawasan itu. Unik juga, sambil liburan masih peduli terhadap alam, pikirku.

Panorama alam dari tempat ini cukup unik, masih dengan padatnya kota Batu, namun kali ini ada beberapa tirai alam berupa deretan pohon pinus yang berukuran cukup besar. Aku sempat membayangkan bagaimana jika malam hari tiba, pasti pemandangan di tempat ini indah sekali. Pasti pengunjung pun serasa berada di atas langit.


Wah, ternyata panjang juga ya ceritaku. Hehehe... udah ah, pokoknya kota Batu Malang luar biasa deh. Semoga liburan selanjutnya aku bisa ke kota Batu lagi. Amin...  Lanjut kapan-kapan lagi ya... bye!

Kamarku,
Sampang, 3 Juni 2015,
Tanah Garam, Madura.
***