Selasa, 21 Juli 2015

Kemudi Cinta Fia


"Fia, sini. Akan kutunjukkan sesuatu yang lebih indah dari ini...!" cetus Wardi coba menarik pergelangan tangan perempuan di sampingnya.

"Tunggu! Fotoin aku dulu ya, sambil pura-pura cium bunga ini," tepis Fia menarik pergelangan tangannya, dan meraih sekuntum bunga yang berada tepat di sampingnya.

Wardi tersenyum. Lesung pipit di pipi kirinya begitu manis, menunjukkan bahwa ia sabar menuruti kemauan gadis pujaannya. Ia langsung mengarahkan kamera digital yang ada di saku celananya, dan dengan cekatan ia pun membidik mata kamera itu untuk Fia.

Fia, dia gadis berbibir tipis dan bermata bulat. Seorang gadis yang nyaris mendekati kata sempurna di mata Wardi. Wardi mengenal Fia sejak ia pertama kali masuk ke ruang perpustakaan kampus, tepatnya, saat pukul sepuluh pagi di hari Selasa awal Juni tahun 2014 lalu.

Wardi bukanlah seorang sastrawan dan pujangga, apalagi seorang pemuda penyuka film Korea, sama sekali bukan. Wardi adalah seorang pemuda sederhana yang hanya menyukai rujak khas Madura. Namun, sejak menyukai Fia, Wardi pun berubah. Ia sibuk mencari cara untuk bisa memberikan kesan romantis, termasuk mengajak gadis itu jalan-jalan menikmati keindahan alam.

Sebenarnya Wardi sudah berkali-kali mengajak Fia jalan-jalan, namun jika disamakan dengan istilah perbandingan, maka ajakannya tak jauh berbeda dengan angka 10:1. Artinya, dari sepuluh kali ajakan, baru sekali saja ia akan menerima jawaban "iya" dari bibir manis Fia. Dan pagi itu adalah jalan-jalan ketigakalinya bagi Wardi dan Fia. Hebatnya, Wardi bisa mengajak Fia keluar kota, tepatnya ke sebuah air terjun di kawasan Batu Malang. Sebagai seorang pencinta, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada Fia.

"Sip. Gimana, aku cantik kan kalau foto sambil pegang bunga ini?" tanya Fia dengan sedikit manja, setelah mata kamera Wardi menjepretnya.

"Apapun yang menempel di tubuhmu akan semakin membuatmu cantik, Fia. Tanpa terkecuali bunga itu..." jawab Wardi.

Bulan sabit pun muncul di bibir Fia begitu mendengar pujian Wardi. Wardi tahu Fia akan tersipu malu bila ia memujinya. Terlebih bila Wardi mengiyakan semua ucapan Fia, gadis itu pasti semakin terlihat manja dan manja.

"Oke. Kalau begitu sekarang kamu ikut aku," ajak Wardi menggerakkan kepalanya, "ada sesuatu yang jauh lebih indah dari taman ini," sambungnya.

"Oya? Di mana? Thanks ya, udah ngajak aku ke sini..." timpal Fia melangkah sambil memutar-mutar bunga yang ia pegang.

"Ah biasa aja, Fia. Aku hanya ingin mengekspresikan bisikan hatiku saja," balas Wardi sesekali melirik wajah Fia dari arah samping. Keduanya berjalan cukup pelan, melewati beberapa pohon yang tumbuh tinggi menjulang di kanan kiri jalan. Pohon pinus dan pohon cemara.

"Tapi, aku kan merasa nggak enak gitu sama kamu, Wardi."

"Selama aku bisa melakukannya untukmu, dan kamu menyukainya, maka jangan sekali-kali mengatakan kalimat nggak enak lagi ya, Fia."

"Tap, tapi..."

"Cukup!" potong Wardi meraih tangan Fia, "tolong jangan bahas apa yang sudah kulakukan sama kamu. Lebih baik kita nikmati saja apa yang kita jalani hari ini," lanjutnya menarik tangan fia.

Fia mengangguk pelan. Langkahnya pun mengiringi langkah pemuda di sampingnya.
***
"Gimana, di sini jauh lebih indah kan?" tanya Wardi mengamati binar di mata Fia.

Sambil menyungging senyum, Fia pun menjawab di dekat telinga Wardi, "Iya. Aku suka banget sama air terjun ini. Kereeennn....!!!"

Bersama hembusan angin yang ditimbulkan oleh air terjun, Wardi pun tertawa sumringah. Baginya, tak ada hal yang lebih indah selain melihat senyum di bibir Fia. Ia melihat kedamaian di sana. Buru-buru ia menarik lagi pergelangan tangan Fia untuk mendekati area air terjun. Awalnya Fia bergeming, namun setelah Wardi memaksa, akhirnya ia pun rela berbasah-basahan menikmati genangan dan cipratan air yang ditimbulkan oleh desiran air.

"Oke Fia, kuharap kamu bisa merekam semua ini!" teriak Wardi di samping telinga Fia, sebab suara air terjun mengalahkan suaranya, "dengarkan aku, air terjun ini jadi saksi bahwa aku sayang kamu. Maukah kamu mendampingi hidupku?" cetusnya tak melepas pandangan dari Fia.

Fia sedikit terkejut dengan tatapan tajam di bola mata pemuda itu. Lagi-lagi, bulan sabit muncul di bibirnya. Kaku.
***
Beberapa minggu kemudian...

"Cukup, Wardi. Jangan teruskan!" pekik Fia enggan mendengar alasan Wardi. Ia memalingkan mukanya ke arah depan.

"Tapi kenapa? Apa aku salah jatuh cinta sama kamu? Apakah aku juga salah sudah mengungkapkan perasaanku di bawah air terjun?" balas Wardi tak melepaskan pandangannya pada gadis berponi itu.

Fia mendengus, menarik napasnya dalam-dalam, sambil mengamati ujung daun pohon di seberang lapangan. Setelah beberapa detik berselang, dia pun menimpali pertanyaan Wardi, "Nggak ada yang salah dalam kasus ini. Hanya saja, keadaan yang nggak bisa kita hindari. Aku yakin kisah kita nggak akan pernah terjalin seperti keinginanmu, Wardi."

"Bagaimana kamu bisa tau kalau kita belum mencobanya?" tegas Wardi cepat.

Kali ini Fia memutar kepalanya memandang Wardi.

"Tuh, kamu pasti nggak bisa menjawabnya kan, Fia?" susul Wardi mulai geram.

"Nggak. Aku nggak bisa. Kamu terlalu baik buat aku," timpalnya. Kali ini Fia jelas tidak berani menatap wajah Wardi.

"Apa? Terlalu baik? Kamu ini lucu sekali, Fia. Lucu..."

Fia menoleh, "Apanya yang lucu?"

Wardi beranjak dari kursi duduknya, "Iya. Ucapanmu benar-benar lucu," kata Wardi lalu menoleh ke wajah Fia, "kalau begitu aku harus jadi penjahat dulu ya untuk menyayangimu?"

Fia diam. Ucapan Wardi bagaikan pukulan tajam untuknya. Baginya, diam adalah jalan terbaik untuk berdamai dengan keadaan. Juga berdamai dengan rasa malu karena salah berbicara.

"Sudahlah Fia. Jangan banyak alasan untuk mengelak perasaan di hatimu. Aku tahu kalau kamu juga sayang sama aku..." lanjut Wardi masih menatap wajah gadis di depannya.

"Cukup, Wardi. Cukup!" teriak Fia berdiri dari duduknya, "oke, aku akan jujur sama kamu. Pertama, aku ucapin terima kasih karena kamu satu-satunya pemuda baik yang pernah kutemui. Dua, aku salut karena sampai detik ini, kamu masih bertahan memperjuangkan cintamu. Aku hargai usahamu itu. Tapi sebanyak apapun usahamu, maaf, tak satupun yang bisa menumbuhkan rasa sayang di hatiku. Selama ini aku hanya menganggapmu teman biasa War, nggak lebih dari itu..."

Wardi tertegun, "Apa?"

"Iya!" potong Fia cepat, "kuharap kamu paham dengan ucapanku!" lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi dari hadapan Wardi.

"Oh iya, satu hal lagi," setelah beberapa langkah, Fia berbalik sejenak, "janganlah suka mengumbar janji, sebab akan menimbulkan kecewa jika tak kau tepati. Umbarlah senyum termanismu untuk orang lain, karena itu akan jauh lebih baik!" lalu pergi tanpa menunggu tanggapan dari Wardi.

Wardi mendengus mengamati punggung gadis yang kian menjauh itu. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari bibir Lutfia. Wardi pikir, Fia adalah gadis baik sebaik parasnya.

"Baiklah, kuikuti keinginanmu. Kali ini aku akan pulang, Fia. Pulang ke tempat asalku, sebagaimana aku belum mengenalmu dulu. Sudah cukup aku berjuang membuktikan kebesaran cintaku sama kamu. Kan kujadikan kegagalan ini sebagai pelajaran terbaik dalam perjalanan cintaku selanjutnya. Jaga baik-baik hatimu, serahkan saja kepada pemuda yang kau mau, karena aku, sudah lepas kemudi mengejarmu!" bisik Wardi lirih.

Menjelang senja,
20 Juli 2015,
Pulau Garam, Madura.

***

Cerpen ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @KampusFiksi dengan tema #KisahPulang