Selasa, 25 Agustus 2015

Pudarnya Kepercayaan Andra

Suatu sore, di pertengahan bulan Februari 2014.

"Percayalah, Tuhan selalu punya cara tersendiri untuk membahagiakan tiap hati hambaNya, dan cara Dia tak akan pernah bisa kita tebak, apalagi kita duga, sama sekali tidak bisa...!"

"Termasuk memberi kesempatan dia masuk dalam kehidupan kita?" tepis Andra meletakkan minuman di atas meja. Lagi-lagi dengan caranya yang kurang sopan. Sedikit kasar.

Bagai sekuntum bunga yang madunya dihirup tak bersisa oleh sang kumbang, begitulah yang ditampakkan perempuan itu pada Andra. Matanya terlihat lelah. Sisa make up yang ia poles tadi pagi, kini terlihat kusam, menambah kelayuan di wajahnya. Pikirannya kacau-balau setelah mendengar kalimat penolakan dari seorang Andra. Ia pun menghela napas panjang-panjang, dan menghembuskannya pelan. Perempuan itu berusaha berdamai dengan gejolak hatinya sendiri.

Dari balik jendela kamar, Andra melempar pandangannya keluar. Ada segumpal sesak di ruang hatinya, sebuah rasa yang akan muncul secara tiba-tiba acapkali bertemu dengan lelaki yang baru saja mengantarkan perempuan di belakangnya. Seorang lelaki tambun dan berkumis tebal. Om Osman.

"Jadi kamu akan tetap tidak menyetujui keputusan ibu?" tanya perempuan itu lagi.

Andra menoleh, "Ibu, cukup!" pekiknya, "sudah cukup aku berdebat dengan Ibu. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah setuju dengan rencana Ibu."

Perempuan itu terkejut. Ia mengangkat muka ke arah Andra. Seberkas raut wajah Andra tertangkap oleh pandangannya. Bola mata itu memerah, seakan menyimpan kekesalan yang kian memuncak. Perempuan itu tahu, bahwa Andra akan selalu marah acapkali melihat lelaki bertubuh tambun itu menginjakkan kaki di depan pintu. Itulah mengapa ia harus lebih bersabar dalam menghadapi pemuda yang masih berdiri di samping jendela kamar bercat putih salju itu.

"Baiklah. Ibu akan kembali mempertimbangkan keputusan ini. Besar harapanku, kau berubah pikiran, Andra," kata perempuan yang mengenakan atasan kemeja warna putih berenda dan bawahan celana bahan dengan warna sedikit lebih gelap.

Pelan tapi pasti, perempuan itu pun berdiri. Tak ubahnya seorang pejuang yang kalah dari peperangan, ia pun melangkah pergi dari kamar Andra. Mengalah bukan berarti kalah, itulah perinsipnya. Jauh dalam hatinya, ia masih berharap Andra akan berubah. Ya, berubah pikiran dan beralih menyetujui rencananya.

***

21 April 2004.

"Happy Birthday, Andraa...!!!" teriak Bu Rizma menyodorkan kue ulang tahun.

Andra pun tersenyum dan meniup lilin yang teronggok di atas kue berangka delapan itu. Senyumnya melebar, dengan tatapan mengarah kepada lelaki yang datang bersama Ibunya. Terlebih ke arah mobil beserta remote control yang ada dalam genggaman lelaki itu. Kebahagiaannya pun bertambah tatkala lelaki itu menyodorkan mobil mainan itu kepadanya. Sebagai ucapan terima kasih, Andra kecil memeluk lelaki itu erat.

Sebenarnya, sejak kepergian Pak Tiksan dua tahun lalu, Bu Rizma lebih sering murung. Bagai bunga yang kehilangan mataharinya, begitulah kondisi Bu Rizma kala itu. Hatinya belum bisa menerima kepergian belahan jiwa yang belum genap sepuluh tahun menemaninya. Walau setiap hari Bu Rizma berusaha membawa tubuh mungilnya ke tempat kerja, namun pikirannya masih terpaku pada sosok suami yang telah bahagia di surga sana.

Namun, kesedihan itu tak lama bersemayam di hati Bu Rizma. Senyumnya kembali merekah ketika teman lama suaminya hadir di kehidupannya dan Andra. Bukan hanya Rizma saja yang merasa bahagia, namun Andra pun bisa merasa bahagia bisa mengenal lelaki bernama Om Osman.

Kedekatan antara Om Osman dan Andra memang seperti ayah dan anak. Saking dekatnya, sampai-sampai Andra tidak canggung lagi bercanda sekaligus bergurau dengan sahabat ayahnya itu. Seperti pagi itu, sebagai hadiah paling spesial di hari ulang tahun Andra, Om Osman mengajaknya jalan-jalan keliling kota Batu, berdua. Sebab, Bu Rizma tidak bisa ikut karena ada pekerjaan penting di tempat kerjanya. Perempuan itu percaya Andra akan baik-baik aja saat bersama dengan lelaki tambun berkumis tebal itu.

***

Akhir Februari 2014.

"Tampan itu bukan dari wajah. Apalagi secara fisiknya, sama sekali bukan! Yang dinamakan lelaki tampan itu jika hatinya bersih, sebersih hati malaikat..." gumam Andra pelan.

"Jadi, jadi kamu pikir Om Osman memiliki hati yang kotor, gitu ya?" emosi Bu Rizma mulai tersulut mendengar penuturan putra semata wayangnya.

"Bukan hanya kotor Bu! Tapi busuk!" Pekik Andra sambil melempar pandangannya dari sang Ibu.

Perdebatan ini sudah kesekian kalinya terjadi. Sebagai seorang pemuda yang mulai beranjak dewasa, Andra sudah cukup geram dengan bujukan ibunya.

"Jaga ucapanmu, Andra!" potong Bu Rizma.

"Bu, segitu besarkah cinta Ibu sama Om Osman? Sampai-sampai bisa teriak sekeras ini sama anak sendiri?" susul Andra. Ia menatap wajah Ibunya dengan penuh keharuan.

Bu Rizma diam. Ia sadar baru pertama kalinya membentak Andra. Perempuan bertubuh mungil itu pun terpekur.

"Baiklah, Bu. Mungkin inilah saatnya aku jujur sama Ibu. Sebagai lelaki dewasa sekaligus anak semata wayang, aku punya tanggung jawab untuk menjaga Ibu. Ya, Ibu yang telah melahirkan sekaligus merawatku selama ini. Aku memang belum genap dua puluh tahun, tapi bukan berarti aku belum dewasa. Pasti Ibu paham maksudku," jelas Andra meraih tangan ibunya.

"Aku paham Ibu butuh cinta dan kasih sayang semenjak kepergian Ayah. Sebagai manusia aku pun merasa kesepian bila tanpa pasangan hidup selama di dunia..." kata Andra menatap bola mata Bu Rizma, "tapi jangan sama Om Osman, Bu. Jangan..."

Kepala Bu Rizma mendongak, "Tapi kenapa? Bukankah Om Osman bukan orang asing di keluarga kita?" timpalnya.

"Iya, aku tau, Bu."

"Lantas, mengapa kamu masih meragukan Om Osman, Andra? Bukankah antara kamu dan Om Osman sudah ada ikatan yang cukup dekat? Lagi pula Om Osman siap menerima Ibu apa adanya..."

Genggaman Andra lepas dari tangan Ibunya, "Tapi aku yang nggak siap, Bu. Aku nggak rela Ibuku sendiri menikah dengan orang yang memiliki kelainan jiwa seperti Om Osman itu! Dia Pedofilia, Bu. Pe-do-fi-lia!"

"Andra...! Jaga..."

"Tolong Ibu diam dulu. Aku punya alasan mengapa aku berkata seperti itu," potong Andra cepat, "Ingatakah Ibu waktu aku diajak jalan-jalan keliling Batu dulu? Ibu ingat peristiwa itu kan?"

Bu Rizma diam dan berusaha membuka memori otaknya. Berbagai kenangan ia putar ulang di batok kepalanya, terutama peristiwa puluhan tahun silam saat ulang tahun Andra yang ke delapan tahun.

"Aku hilang keperjakaan karena disodomi Om Osman, Bu!" aku Andra bergidik membayangkan peristiwa yang ia alami kala itu.

Bu Rizma tercenung.
***

Cerpen ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @KampusFiksi dengan tema #TentangHilang