Minggu, 27 September 2015

Sumenep, Kota Yang Eksotik (Episode 1)

Siapa sih yang nggak suka jalan-jalan? Aku yakin semua orang suka dengan kegiatan yang satu ini. Selain dijadikan sebagai satu pengalaman yang menyenangkan, jalan-jalan juga bisa diagendakan sebagai cara merefreshkan otak dari kepenatan. Yup, itulah yang kurasakan kemarin, Rabu, 23 September 2015. Kali ini aku berkunjung ke kabupaten paling timur Madura, tepatnya ke beberapa tempat eksotik di kabupaten Sumenep.

Perjalanan kali ini sebenarnya rencana dadakan yang dicetuskan oleh siswa kelas XII yang akan memasuki liburan Idul Adha, dan hanya tercetus dalam dua hari sebelumnya. Kata mereka, selain untuk refreshing, kegiatan ini sekaligus untuk pemotretan album kenangan (kebetulan di sekolahku setiap tahun ada pembagian album kenangan untuk siswa yang lulus SMA, yang mana album itu berisi foto-foto mereka selama 3 tahun belajar di jenjang SMA). Setelah browsing dan berpikir matang-matang, akhirnya kami sepakat mengunjungi dua tempat saja, supaya tidak terburu-buru dan puas menikmati destinasi yang akan kami kunjungi nantinya.

Well, rombongan kami berangkat pukul 06.00 WIB dari Kabupaten Sampang. Kebetulan hari itu ada dua bus mini yang masing-masing membawa siswa laki-laki dan siswa perempuan secara terpisah. Sebenarnya perjalanan dari Sampang menuju Sumenep kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 2 jam, namun, karena hari itu adalah hari rabu (hari terakhir sebelum perayaan hari raya Idul Adha) maka ada beberapa celah jalan yang menimbulkan kemacetan. Terutama di beberapa pasar yang letaknya berada tepat di pinggir jalan. Alhasil, perjalanan kami semakin panjang sampai mencapai 3 jam. Aaggghhh...! Itulah yang menyebabkan waktu perjalanan semakin lama dan terhambat, walau sebenarnya sejauh ini, kami tetap menikmatinya sebagai kenangan yang terindah.






Tepat pukul 10.20 WIB rombongan kami tiba di pantai Lombang. Lombang adalah destinasi pertama yang akan menorehkan kenangan untuk kami. Baru menginjakkan kaki di halaman parkir yang dikelilingi pohon cemara, aku merasa ada yang berdesir di rongga dada. Ya, memori otakku menayangkan sebuah peristiwa yang sudah lama berselang, kurang lebih beberapa tahun silam ketika aku pertama kali berkunjung ke pantai ini bersama teman-teman.

Seperti yang kukatakan tadi, ini kali kedua aku berkunjung ke pantai Lombang, setelah 10 tahun yang lalu (tahun 2005), saat aku masih duduk di bangku SMA kelas X-4. Aku masih ingat betul bagaimana dulu berfoto ria bersama teman-teman alayku, aku bahkan masih ingat warna pakaian yang kupakai saat itu, kaos warna orange yang dibalut dengan kemeja warna coklat, serta bawahan celana jeans standar. Ah, kenangan itu.... :'( Sepuluh tahun yang lalu aku datang dalam status siswa, kali ini aku kembali datang dengan status sebagai guru siswa. Dunia memang mengajarkan sebuah perputaran yang tidak ada hentinya.

Setelah sepuluh tahun tak berkunjung ke Pantai Lombang, ternyata tak sedikit ada perubahan di sana. Secara panorama, pantai Lombang masih tetap sama seperti pertama kali menapakkan kaki dulu. Indah dan mengagumkan. Hanya ada beberapa tambahan sarana yang dibangun demi kenyamanan para wisatawan, seperti makin banyaknya tempat duduk, adanya tempat bilas, serta musholla. Oh iya, untuk masuk ke kawasan ini, tiket masuknya cukup murah. Sekitar Rp.2000 - Rp.3000an saja per kepala.

Jika kamu pikir pantai Lombang sama seperti pantai-pantai lainnya yang ada di Indonesia, ternyata pikiranmu salah besar. Seperti yang kita ketahui selama ini, setiap pantai identik sekali dengan pohon kelapa, maka di pantai Lombang sangatlah berbeda. Di sini, nyaris sekali tidak ada pohon kelapa sama sekali, melainkan ada ratusan pohon cemara udang sebagai ciri khas utamanya. Sudah kebayang kan bagaimana sejuknya berada di bawa pohon cemara udang, sambil menikmati keindahan pantai yang berombak sederhana? Luar biasa indah!

Selain berpagarkan pohon cemara udang, pantai Lombang dilengkapi oleh beberapa ekor kuda yang disewakan kepada pengunjung. Jadi, untuk pengunjung yang ingin menyusuri pantai dengan cara yang berbeda, bisa menyewa hewan ini sebagai teman menjelajahi celah-celah pantai Lombang. Sayangnya, aku belum bisa mencoba naik kuda, sebab, ada satu tugas yang harus kuselesaikan selama di Lombang, yaitu memotret setiap siswa untuk pembuatan album kenangan. Ah....

Pasir pantai Lombang itu berwarna putih kecoklatan. Halus. Untuk kebersihan pantai, aku harus acungi jempol. Kebersihan sepanjang pantai memang benar-benar bersih. Akan tetapi, beda sekali dengan kawasan pohon cemara udang, masih ada beberapa sampah plastik yang berserakan. Sampai siswa kami harus merapikan sampah itu sebelum melakukan pemotretan yang akan memakan waktu kurang lebih selama 2 jam.

Saat proses pemotretan selesai, aku mencoba beristirahat di sekitar pantai. Ah, meski cuaca siang itu begitu terik, aku masih bisa tersenyum menikmati segarnya angin pantai. Terlebih dengan ditemani sebuah minuman kelapa muda yang dicampur dengan satu sachet susu kental manis. Kalau sudah begitu, rasanya aku tidak ingin beranjak dari pantai. Mataku masih ingin dimanjakan suasana pantai yang tenang.

Namun, waktu terus berputar. Aku harus melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 13.20 WIB rombongan kami beranjak dari kawasan pantai Lombang menuju ke arah kota Sumenep, tepatnya menuju destinasi pemotretan selanjutnya. Kali ini kami memilih Keraton Sumenep sebagai lokasi kunjungan kedua.

Bagaimana kisah kunjungan kami ke Keraton Sumenep? Nanti ya, kutulis di bagian kedua. Simpan dulu rasa penasarannya...
Hahahaha...

Sampang, 25 September 2015
Menjelang senja
***

(ini sih gurunya pengen eksis. :D :D )



Rabu, 16 September 2015

Lelah Itu Pengalaman

Jika ditanya, kegiatan apa yang paling melelahkan selama pertengahan September 2015? Aku akan menjawab, proses pengakreditasian sekolah. Ya, persiapan menghadapi akreditasi benar-benar melelahkan gaeeess, melelahkan...!!! :D

Selama aku mengajar di SMA Islam Attaroqqi Tsani, ini pengalaman pertama mengikuti program Akreditasi sekolah. Bukan hanya aku dan para guru yang merasakan pengalaman pertama, namun sekolah tempatku mengajar pun mengalaminya, tentu saja pengalaman untuk mengejar sebuah pengakuan melalui jalan pengakreditasian.

Awal Juli 2015, kepala sekolah menugasiku sebagai salah satu tim yang termasuk 8 standar pendidikan yang akan dinilai. Mulai dari (1) Standar Isi, (2) Standar Proses, (3) Standar Kompetensi Lulusan, (4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Pembiayaan, dan terakhir (8) Standar Penilaian. Kebetulan aku kebagian Standar Lulusan, yang mana harus mengumpulkan berkas-berkas berupa kegiatan penting seperti upacara hari kenegaran, prestasi dalam lomba, pentas seni, sosialisasi masyarakat, serta hal-hal yang berkaitan dengan standar kelulusan. Mendengar kabar bahwa masuk tim 8 standar, aku sedikit shock. Benar-benar shock. Tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana.

Ketakutan akan ketidakmampuan menjalankan tugas selalu muncul di kepala. Begitulah yang kurasakan saat menerima kertas berisi puluhan pertanyaan yang harus kujawab dan kupertanggungjawabkan. Aku bahkan sempat merasa down ketika melihat sekilas halaman pembuktian yang akan berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan di halaman paling depan. Terlebih data-data yang harus dikumpulkan harus sesuai dengan syarat yang sudah ditentukan, yaitu selama 3 tahun terakhir. Mampus nih, berkas tiga tahun yang lalu udah nggak jelas ada di mana, pikirku risau seraya mengamati deretan pertanyaan yang tertera. Namun, setelah beberapa waktu berselang, pelan-pelan aku bisa melewatinya dengan lancar.

Standart Llusan itu berisi sekitar 35 pertanyaan, yang berkaitan dengan kelulusan dalam kegiatan belajar mengajar. Ada beberapa hal yang ditanyakan, namun lebih banyak mengarah pada kegiatan-kegiatan sosial siswa, seperti bagaimana cara siswa mendapatkan informasi selain melalui buku dan media massa? Bagimana prestasi yang diraih siswa dalam bidang olah raga, seni dan budaya? Serta, apa saja keahlian yang bisa dikembangkan setelah siswa lulus sekolah nantinya? Kurang lebih seperti itulah data-data yang harus kukumpulkan.

Dan kemarin, tepatnya pada hari Kamis, 10 September 2015, aku harus mempertanggungjawabkan apa yang menjadi tugasku kepada para assesor yang bertugas berkunjung ke sekolah.

Pukul 07.00 WIB, sebuah mobil warna putih masuk ke pelataran sekolahku. Keluarlah dua orang pria bertubuh kurus dari mobil itu. Satu memakai kemeja bermotif batik warna biru, yang akhirnya kukenal dengan nama Pak Nurali. Dan seorang lelaki dengan tinggi badan lebih tinggi dari Pak Nurali dengan memakai kemeja warna abu-abu dengan motif garis warna putih. Namanya Pak Abdullah Sidiq Notonegoro.

Pak Nurali berprofesi sebagai pengawas SMA di Bojonegoro, sedangkan Pak Sidiq sebagai dosen di salah satu universitas di kota Gresik. Keduanya pun menanyakan kepada kami, para guru yang bertugas menunjukkan bukti fisik sesuai tugas masing-masing, selama beberapa jam ke depan. Tak lupa, para assessor mengecek kendisi sekolah mulai dari ruang kelas, ruang guru, laboratorium, sampai kantin dan kamar mandi.

Aku bersyukur ketika Pak Sidiq mengangguk-angguk begitu melihat beberapa bukti fisik yang kusediakan. Aku juga bersyukut tatkala senyum sumringah muncul begitu aku selesai mempertanggungjwabkan semua pertanyaan. Beliau memberikan beberapa tips untuk melengkapi kekurangan tugasku dalam standar lulusan yang masih dianggap kurang, sebelum akhirnya aku tersenyum bahagia setelah beberapa pertanyaan terjawab lancar.

Inilah satu babak baru yang dialami sekolah tempatku mengajar. Semoga hasil dari visitasi kemarin, akan membawa kami ke perubahan yang lebih baik lagi. Tak lupa aku berdoa kepada Tuhan, semoga SMA Islam Attaroqqi Tsani menelurkan generasi-generasi muda yang kreatif. Yang selalu bermanfaat untuk pembangunan Indonesia. Bahkan untuk perkembangan agama, sosial dan budaya. Amin Ya robbal Alamin...

Kamar Inspirasiku,
12 September 2015
Tanah Garam, Madura,
Pukul 21.41 WIB

***
 Penandatanganan Berita Acara bersama Pak Nurali

 Kelas XII IPS


 Kelas XI IPS


 Kelas X



Hakikat Seorang Perempuan Bergelar Ibu

Setiap sore, kurang lebih sekitar pukul 16.30 WIB, sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga besarku untuk berkumpul di halaman rumah. Sepertinya bukan hanya keluargaku saja yang melakukan kegiatan itu, namun ada beberapa keluarga lainnya yang melakukan hal serupa di halaman rumah mereka. Bagiku kebiasaan ini cukup efektif mempererat hubungan komunikasi antar anggota keluarga. Selain menikmati suasana sore yang tenang, kegiatan rutin ini kami lakukan untuk bersenda gurau bersama sanak saudara atau sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja. Topik bahasannya pun bermacam-macam, yang penting ringan dan bisa dimengerti semua kalangan. Serta harus ada tawa untuk meregangkan otot-otot kami yang lelah setelah beraktifitas.

Di tengah obrolan, tiba-tiba mbakku datang dari acara pengajian dengan senyum penuh sumringah. Senyumnya semakin merekah saat mendapati putri bungsunya datang menghampiri. Dengan penuh telaten, Mbak Hanifa (nama samaran) membuka bungkus bherkat (istilah untuk makanan yang dibawa pulang setelah dari acara syukuran, pengajian, atau slametan) yang ia dapatkan dari pengajian, dan menyodorkannya kepada Tita, putri bungsunya.

"Mak, ini nasi rames ya?" tanya ponakanku yang masih berusia sepuluh tahun itu, membuat Mbak Hanifa mengangguk.

"Kenapa nggak dimakan di sana? Kenapa kok dibawa pulang, Mak?" tanya gadis itu lagi, sembari mencicipi sambal goreng kentang yang ada di atas nasi.

Mbak Hanifa tersenyum mendengar pertanyaan itu, "Nggak. Mamak nggak laper. Lagian Mamak nggak suka sama makanan itu," sahutnya enteng lalu duduk di kursi kayu bergabung bersama kami.

Ponakan perempuanku tersenyum sumringah, tampaknya ia senang melihat mamaknya membawa menu favoritnya, "Asik. Buat aku ya Mak!" serunya sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah mengambil piring dan sendok lalu melahapnya.

"Makanlah. Mamak sengaja membawanya pulang buat kamu, Ta."
***
Sejujurnya, peristiwa di atas membuatku tersenyum. Ya, benar-benar tersenyum sembari membayangkan wajah masa kecilku dan mbak Hanifa dulu. Sejak kapan mbakku nggak suka nasi rames? Padahal dulu, sewaktu dia masih remaja, dan aku duduk di bangku SD, Ibu sering memarahi Mbak Hanifa karena berebut nasi rames bersama adik-adiknya. Kenapa sekarang setelah memiliki putri malah mengaku nggak suka? Bukankah itu benar-benar aneh? Pikirku.

Ya, aku tahu betul bagaimana karakter mbak Hanifa selama ini. Bahkan sejak kami sama-sama masih kecil. Usia kami yang terpaut cukup jauh, membuat mbak Hanifa sering menjadikanku bulan-bulanannya. Itulah sebabnya mengapa aku sempat merasa curiga sore itu, tentang perubahan yang terjadi pada makanan favoritenya.

Sebenarnya, peristiwa yang dialami Tita pernah kualami sendiri saat masih duduk di bangku SMP, tepatnya saat ibuku baru datang membawa makanan dari acara pernikahan tetangga sebelah rumah. Sebagai seorang remaja, aku hanya menganggap hal itu biasa. Namun belakangan, saat aku mulai dewasa, aku paham betul mengapa Ibuku dan mbak Hanifa melakukan kebohongan yang sama kepada anak-anak mereka. Alasan utamanya semata-mata karena mereka memiliki gelar yang sama, sebagai Ibu bagi anak mereka.

Setelah peristiwa sore itu, aku memang sempat bertanya sama mbak Hanifa, kenapa dia jadi berubah tentang makanan kesukaannya. Cukup lama Mbak Hanifa terdiam untuk menjawab pertanyaanku. Akan tetapi, begitu mendengar jawaban Mbak Hanifa, aku merasa ditampar cukup keras. Pengakuannya membuatku bungkam seribu bahasa. Ya, bungkam sampai tidak bisa menyanggah dan berkata apa-apa.

"Aku bukan gadis remaja lagi, Dik. Aku sudah menjadi seorang ibu. Entahlah, semenjak kepergian kakak iparmu, setiap menghadiri acara selamatan atau pengajian, aku selalu kepikiran tentang Tita. Wajahnya begitu jelas berkelebat. Aku merasa nggak enak hati jika makan makanan enak, sementara anakku sendiri makan dengan lauk-pauk seadanya. Jadi, selama bherkat bisa dibawa ke rumah, lebih baik jatahku dibawa pulang saja. Biar bisa dimakan Tita dan kakaknya. Kalau aku sih makan pakai lauk seadanya nggak masalah, yang penting anakku makan enak!" jelasnya.

Aku sadar bahwa kalimat itu benar-benar tulus keluar dari bibir seorang ibu. Seorang ibu yang menyayangi anaknya dengan tulus. Sebagai seorang lelaki, aku telah melupakan satu poin penting itu, tentang tajamnya kasih sayang ibu kepada putra-putrinya.

Kata orang, pekerjaan seorang laki-laki lebih berat daripada pekerjaan perempuan. Jika ayah kerja di luar rumah untuk mencari nafkah, maka pekerjaan ibu hanya mengurusi rumah dan anak-anak saja. Sejujurnya, aku tidak setuju dengan anggapan seperti itu. Aku justru merasakan hal yang sebaliknya, bahwa pekerjaan laki-laki sedikit lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan perempuan. Mengapa begitu? Beginilah alasanku:

Menjadi seorang ibu itu tidaklah mudah. Pekerjaannya lebih banyak dari pekerjaan seorang ayah. Sejak bangun pagi, ia sudah disibukkan dengan kegiatan rumah tangganya. Mulai memasak untuk sarapan, ke pasar membeli bahan makanan yang akan digunakan untuk makan siang dan malam, sampai mengurus keperluan anak yang masih bersekolah. Terlebih jika sang anak masih dalam usia balita, semakin terlihat berat saja pekerjaannya.

Hakikat menjadi seorang ibu memanglah harus seperti itu. Harus berjuang menciptakan senyum di bibir putra-putrinya, meski ia sendiri rapuh dan nyaris jatuh. Bagi seorang ibu, kebahagiaannya adalah senyum di bibir anak-anak. Tak ada seorang ibu manapun yang rela melihat anaknya menangis, terlebih menangisi sesuatu yang tidak bisa ibu penuhi. Begitu pula sebaliknya, jika seorang ibu menangis, ia sama sekali tidak akan tega menunjukkan air matanya untuk anak dan suami. Ibu pasti akan selalu menjaga supaya putra putrinya tak menitikkan air mata sepertinya. Ia ingin anaknya selalu merasa bahagia.

“Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” itulah pepatah lama yang benar-benar berlaku sampai kapanpun. Berbahagialah bagi kita yang masih memiliki seorang ibu, sebab, selama beliau masih hidup, satu-satunya kasih sayang paling tulus adalah kasih sayang ibu kita. Bahagiakan mereka selama kita mampu membahagiakannya. Sesungguhnya, apa yang kita berikan kepada ibu, tidak akan pernah sebanding dengan jerih payahnya selama ini. Ibuku, adalah malaikatku!

Menjelang senja,
Tanah Garam,
16 September 2015.

***

Tulisan ini dibuat untuk berpartisipasi dalam tantangan Alumni Kampus Fiksi, dengan tema #MenulisIbu.

Kamis, 10 September 2015

Berbagi Itu Indah



Hakikat berbagi bukan hanya sekedar ikhlas memberi. Ada satu hal yang jauh lebih berarti dari ini, yaitu mengajarkan kita menjadi pribadi yang dipenuhi oleh kerendahan hati.

Semua ini berawal dari sebuah keisenganku mengikuti kuis di media sosial facebook. Ya, sebuah kuis sederhana (menurutku), yang diadakan oleh salah satu komunitas menulis di Surabaya bernama UNSA, kependekan dari Untuk Sahabat. Meski terdengar iseng, namun bukan berarti aku asal-asalan mengikutinya. Aku tumpahkan semua hal sesuai dengan kenyataan, apa adanya.

Kala itu, kalau tidak salah, tanggal 5 Juni 2015, aku tergelitik untuk ikut memberikan komentar di sebuah status facebook milik grup UNSA. Di sana, terdapat sebuah pertanyaan yang cukup menarik perhatian, "Mengapa Anda ingin membaca buku ini?" begitulah kira-kira kalimat yang terpampang pada sebuah gambar cover depan sebuah buku berwarna biru muda. Judulnya "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" yang ditulis oleh Ken Hanggara.

Usut punya usut, bagi 10 komentar terpilih, akan mendapatkan satu buku gratis yang terpampang di status yang kami komentari. Siapa pun pasti akan tertarik jika mendapatkan buku gratis, terlebih dengan cara yang mudah, hanya berdasarkan komentar jawaban yang tertera. Akhirnya, tanpa pikir panjang, aku pun mengikutinya, sampai suatu ketika, komentarku menjadi salah satu dari 10 pemenang. Yeeeeeyyyyy...!!!!

Dapat buku gratis? Seneng doong...! Begitulah yang kualami kala mendapat informasi sebagai salah satu penerima hadiah buku.

Memang sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali memiliki buku baru, aku selalu membawanya ke sekolah, tentu saja setelah kubaca terlebih dahulu. Aku sering membawa buku koleksiku untuk ditawarkan kepada siswa-siswi di sekolah, siapa tahu ada yang tertarik untuk membaca buku yang kubawa. Aku rela meminjamkannya dengan syarat "harus dibaca". Kalau tidak dibaca, lebih baik tidak usah pinjam karena masih banyak siswa lain yang mengantri untuk membaca. Dan sistem itu akan berlaku juga pada buku hasil menjadi pemenang kuis komentar di status facebook.

Waktu berlalu, belakangan ini, sekitar pertengahan bulan Agustus 2015, rupa-rupanya aku dikagetkan oleh sebuah pesan di kotak masuk media sosialku. Sebuah pesan singkat dari Mas Dang Aji Sidik, sang pendiri grup Untuk Sahabat. Di sana, aku mendapat pertanyaan tentang buku yang kudapat dari kuis beberapa bulan lalu. Bagaimana bukunya? Cocok nggak dibaca siswa siswi di sekilah? Kurang lebih seperti itu pertanyaan Mas Dang Aji. Kujawab saja apa adanya, bahwa buku itu cukup bagus dijadikan bahan bacaan para siswa-siswiku di sekolah. Tampaknya Mas Dang Aji senang membaca jawabanku, sehingga akhirnya ia pun mau menyumbang beberapa buku untuk dibagikan kepada siswa-siswi di sekolahku.

Senyum sumringah tergambar jelas dari wajah mereka, para pelajar di SMA Islam Attaroqqi Tsani Sampang, setelah mengetahui bahwa mereka mendapatkan buku baru. Terlebih setelah mengetahui bahwa buku-buku itu diberi dengan gratis. Saking girangnya, sampai-sampai mereka ingin mengabadikan momen itu bersama teman-teman dan para guru mereka. Terima kasih kuucapkan kepada Mas Dang Aji Sidik beserta keluarga UNSA lainnya. Semoga amal kalian semakin bertambah setelah membagikan ilmu melalui berbagi buku. Aku sadar bahwa tulisan ini cukup sederhana, namun aku berharap tulisan ini mampu menggerakkan hati para pembaca dan orang lain untuk lebih peka terhadap sesama. Berbagi itu indah kan teman-teman?

Kamar Inspirasi,
Sampang, Tanah Garam,
7 September 2015.
***




Rabu, 02 September 2015

Secuil Kenangan di Kampus Fiksi 13



"Punya teman seribu orang masih kurang, punya satu musuh sudah terlalu banyak."

Kalimat itu menyihirku, benar-benar menyihirku. Sebagai seorang pemuda yang lebih bahagia memiliki banyak teman, tak henti-hentinya aku berkelana. Ya, berkelana mencari teman, sekaligus mencari pengalaman. Termasuk pengalaman mengikuti acara Kampus Fiksi di kota Yogyakarta.

Bagi teman-teman yang belum tahu apa itu Kampus Fiksi, silakan searching di mbah Google ya, karena di sana sudah cukup banyak penjelasan tentang Kampus Fiksi. Intinya, Kampus Fiksi adalah pelatihan menulis yang diadakan oleh penerbit Diva Press yanng dilaksanakan selama 2 hari per 2 bulan sekali. :D

Tepat tanggal 28 Agustus 2015 kisahku pun dimulai mengikuti kegiatan keren ini. Sejak berangkat dari Sampang Madura saja aku sudah diajari tentang pentingnya perjuangan. Sebab, untuk bisa tiba di Yogyakarta, pagi-pagi sekali aku harus bisa berjuang menunggu kedatangan bis Patas yang akan mengantarku ke Surabaya.

Dua kali sudah aku berkunjung ke Yogyakarta. Dan dua-duanya pun berangkat malam hari dengan mengendarai bis ekonomi. Bedanya, untuk ketiga kalinya, aku memilih berangkat siang hari. FYI, perjalanan siang hari ternyata lebih panjang dan lebih melelahkan daripada perjalanan malam. Kalau malam membutuhkan waktu 6-7 jam perjalanan, maka kalau siang harus menempuh 9-10 jam dari kota Surabaya. Tepos juga nih pantat gara-gara duduk di bis kelamaan. #eh :P

Rasa lelahku pun terbayar ketika tiba di Stasiun Giwangan. Mas Kiki selaku tim penjemput langsung mengangkut kami menuju asrama. Di asrama, ternyata sudah ada beberapa teman yang sudah tiba lebih siang. Sambutan mereka membuatku semangat, malah tidur larut malam karena sibuk berceloteh ke mana-mana. #NggakAdaKerjaanBangetKan :P
oke fix!

Sabtu Pagi, kata mimin @KampusFiksi, kami keluarga #KampusFiksi13 cukup menuai rekor. Sebab, pagi-pagi sekali kami sudah siap di meja dengan kondisi badan wangi sekaligus bersih. Ini rekor karena biasanya para peserta angkatan lain masih mengantre sampai matahari beranjak tinggi. :D Semoga si mimin juga rajin mandi kayak peserta #KampusFiksi13 ya! (Kalimat terakhir abaikan saja! :D :D )
Materi pertama diisi oleh Mbak Rina dengan perkenalan, dan memberikan clue untuk praktek nulis 3 Jam. Selanjutnya diisi olek Pak Edi Akhiles, tentang Brainstorming. Kata Pak Edi, penulis itu pengetahuannya di atas rata-rata, bisa jadi seorang penafsir dan bisa juga mempengaruhi orang lain, terakhir bisa ngetop plus dapat income. Mantap banget nih penjelasannya. Yang paling aku ingat kata-kata beliau, sastra fiksi itu butuh dua pilar, pertama teknik / penyajian, kedua Imajinasi. Dan yang paling penting, penulis harus punya state of mind yang baik. :D

Sesi paling mendebarkan di hari pertama itu tak lain dan tak bukan adalah sesi menulis 3 jam. Bayangkan saja, kami harus bisa menyelesaikan satu cerpen dengan tema #SettingFavorite dalam waktu semepet itu. Harus sudah editing pula. Benar-benar pengalaman yang mendebarkan. Tapi alhamdulillah aku bisa menyelesaikan tantangan itu meski akhirnya cerpenku cukup hancur saat pengadilan naskah. Xixixixixi :D

Malam harinya, kami kedatangan alumni kampus fiksi angkatan 1, Kak Syaifullan. Dia memberikan tips dan pengalamannya dalam bidang menulis kepada kami. Orangnya kocak, sampai-sampai semua terbahak melihat kelakuannya. Ujung-ujungnya sih cara penyampaian materi Kak Syaifullan mirip stand up comedy jadinya. Haha, tapi thanks ya Kak, penulis itu emang harus selalu ceria kok, meski nyatanya hati sering nyeri. #eh

Hari kedua, kami pun diberi materi Keredaksian oleh Mbak Munal. Kami bisa tahu bagaimana proses masuknya naskah atau bagaimana perjalanan naskah setelah berada di meja redaksi. Selain itu kami juga mendapat ilmu dari Mas Aconk tentang ilmu marketing. Dan yang tak kalah spesial hadirnya narasumber tamu, Pak Joni Ariadinata sebagai redaktur majalah sastra Horison. Pengalaman beliau dalam menjadi penulis cukup memancing semangat kami untuk terus menulis dan menulis.

Terakhir, yang paling aku tunggu-tunggu, informasi dari Mbak Rina tentang bimbingan novel online. Di sesi itulah aku mulai membayangkan tentang bagaimana nerbitin novel. Hahaha.... Kampus Fiksi keren deh pokoknya.

Di luar kegiatan inti di Kampus Fiksi, aku bersyukur bisa masuk dalam keluarga Kampus Fiksi angkatan 13. Sebab, di sana aku kenal orang-orang baru, terutama peserta yang datang dari beberapa kota di Indonesia. Si Amin Sahri (Yogyakarta), Bening (Cilacap), Mas Danang (Wonogiri), Devy (Yogyakarta), Fareha (Jombang), Garin (Klaten), Bang Ginanjar (Magelang), Riana (Solo), Nunk (Lombok Barat), Iken (Salatiga), Ilham (Mojokerto), Irma (Jakarta), Moly (Banjar Baru, Kalimantan), Munawir (Kediri), Qoida (Wiyoro), Mila (Sumenep), Tika (Yogyakarta), Ovie (Jakarta Timur), Patrio (Tana Toraja), Rialita (Jombang), Riza (Mojokerto), Mita (Malang), Yuni (Bantul).

Kalian semua kereeeennnn deh pokoknyaaaa!!!

Harapanku, semoga kita tetap kompak ya temans, amin.

#KampusFiksi13, BISA!!!

Tengah Malam,
Sampang, 1 September 2015,
Tanah Garam Madura
***


 Oleh-oleh dari Pak Edi Akhiles

 Formasi 13 yang kata mimin Kampus Fiksi njiji'ie... :D

 Para peserta #KampusFiksi13 bersama Pak Edi Akhiles
 Bareng keluarga Kampus Fiksi