Senin, 24 Juli 2017

Galis (Bangkalan) Punya BLB, Lho...!



Hah, BLB? Apaan tuh? Pasti penasaran kan? 


Begini, beberapa hari lalu aku kan upload foto di medsos? Nah, aku dapat banyak sekali pertanyaan tentang di mana lokasi foto tersebut. Berhubung setelah aku menjawab bahwa lokasi itu di BLB, tak sedikit yang minta nunjukin arah dan pertanyaan lanjutan ini itu yang membuatku harus menjawab berulang-ulang. Baiklah, melalui postingan kali ini, aku beri tahu deh, ya. Pertama, BLB itu kependekan dari Bukit Lampion Beramah. Pasti nggak banyak yang tahu kan? Yup, BLB memang tempat wisata baru di Madura. Masih baru banget, kira-kira tiga bulanan yang lalu gitu deh. Aku sih tahunya waktu akhir Ramadhan kemarin, itupun karena sepupu yang dari Bali berkunjung terlebih dahulu ke BLB. Hehehe, dan sejak itulah aku penasaran juga ingin tahu tempatnya seperti apa.


Nah, Kamis kemarin (tanggal 20 Juli 2017) waktu menghadiri resepsi pernikahan seorang sahabat, tiba-tiba di tengah acara salah satu sahabatku yang lain nyeletuk, "Abis ini mau ke mana? Mumpung libur, yuk, hunting ke mana, gitu."


Sontak banyak yang merespon, namun banyak juga yang masih galau antara mau ikutan atau nggak. Ya, biasalah. Nggak seperti dulu kalau ada rencana langsung go semua. Maklum, sekarang sudah banyak yang disibukkan dengan keluarga. Setelah mendengar ajakan itu, aku langsung ingat tentang lokasi BLB. Langsung saja kuusulkan kepada teman-teman dan ternyata mereka langsung setuju. Tanpa pikir panjang aku buka ponsel dan searching tentang lokasi BLB. Alhamdulillah ada. Tapi, begitu acara resepsi pernikahan itu selesai, yang lain membatalkan. Hanya aku dan seorang yang nyeletuk tadi yang masih semangat. Akhir cerita, aku ke BLB cuma berdua. Ya, berdua saja. Kamu pasti tau kan bagaimana perasaan kami saat itu? Yup, walau hanya berdua, rencana harus tetap jalan. Bukankah laki-laki itu yang dipegang adalah ucapannya? halaah apaan sih...

Oke lanjut. 


Pukul 10.30 pagi kami berdua tancap gas dengan berpedoman pada GoogleMap. Menurut Abang GoogleMap, jarak antara rumahku ke lokasi membutuhkan waktu 57 menit. Itu artinya kami bisa sampai di lokasi sebelum Adzan Dzuhur. Namun ternyata, kami berdua sempat nyasar. Arah yang ditunjukkan Abang googleMap melewati jalan kecil dan menanjak. Muter-muter juga. Aku coba mencari jalan alternatif, dan Alhamdulillah inilah jalan paling dekat, aman, dan cukup lebar. Oh iya, jika kamu mau melewati gang yang kami lewati, plang informasi BLB nyaris nggak terlihat. Hanya sebuah kayu kecil berukuran 10x20cm saja. Itu pun dipasang di samping gang yang nyaris tertutupi dedaunan. Jika dari arah timur jalan, jelas nggak kelihatan. Berbeda jika dari arah Barat, atau dari arah Surabaya, tanda itu cukup terlihat meski berukuran seadanya.


Jarak dari gang itu menuju lokasi nggak terlalu jauh, hanya sekitar 500-700 meter saja. Selama perjalanan jalan kecil itu, cukup banyak rumah warga, kok. Jadi insyaallah aman dari kasus-kasus yang mungkin terjadi diluar dugaan (misal: begal, perampokan, dan lain sebagaimanya). Di pertigaan jalan, nanti kita temukan sebuah banner berukuran besar tentang lokasi Bukit Lampion Beramah. Itu tandanya kita hampir sampai.


 Kebetulan pagi menjelang siang itu, kudapati beberapa motor terparkir di sebuah halaman rumah sederhana yang dijaga beberapa orang pemuda. Begitu selesai memarkir motor, petugas parkir mengarahkan kami kepada seorang gadis pemegang karcis. Cukup murah sih, cuma Rp.3000/orang. Iseng aku sedikit bertanya tentang nama Beramah. Dan aku baru tahu bahwa Beramah itu nama sebuah desa. Tepatnya desa Beramah, Kec. Galis, Kab. Bangkalan. Jika dari arah Sampang, pas di baratnya Gunung Ghighir, atau desa Peterongan. Jika dari arah Suramadu, di timur desa Tanah Merah. 

Untuk tiba di lokasi, kami perlu berjalan sekitar 150 meter dari lokasi parkir. Dan, kondisi jalan setapak yang harus kami lewati cukup menanjak, bisa menguras tenaga. Tapi tenang saja, selama perjalanan, ada banyak tiang yang dihiasi lampion-lampion aneka warna. Jika lelah, berdiamlah sejenak dan selingi dengan berfoto ria. Insyaallah lelahnya cepat berkurang. Hehehe... Dari jalan ini saja kita sudah bisa melihat sebuah pemandangan dari ketinggian meski hanya sedikit tertutupi pepohonan. 


Di atas, atau tepatnya di lokasi inti, ada banyak spot untuk berselfi ria bersama pasangan. Ada yang bertuliskan BLB, love, sayap malaikat, meja makan yang dikelilingi Lampion, gazebo, hingga beranda kayu yang sengaja dibuat di atas pohon. Cukup sederhana sih menurutku, tapi bagi kamu yang jago mengambil sudut pemotretan, ada spot-spot menarik yang sayang untuk dilewatkan. Oh iya, jika haus dan ingin membeli makanan, ada area khusus yang didirikan warga sekitar untuk menyediakan cemilan dan minuman. Masalah harga aku kurang tahu, yang jelas pasti nggak jauh berbeda seperti tempat wisata lainnyalah.



Mungkin itu saja informasi yang bisa aku bagi. Berikut beberapa foto yang sudah kuabadikan dari beberapa spot yang tersedia. Semoga bermanfaat ya, teman...!


Kamar Inspirasiku,

Sampang, 24 Juli 2017.

Menjelang Malam.

***









Kamis, 20 Juli 2017

Eksplore Kota Kediaman, Sampang...




Siluet Monumen Kota Sampang (koleksi pribadi)
Setiap sesuatu hal pasti memiliki sejarah, tanpa terkecuali sebuah tempat. Hal itulah yang menarik perhatianku tatkala secara tak sengaja berkunjung ke sebuah rumah teman di Jalan Kenanga, kota Sampang, Jumat sore yang lalu. Di tengah kunjungan itu, kunjungan yang benar-benar secara tak sengaja, pandanganku menemukan sebuah pemandangan unik tepat di depan rumah temanku. Yaitu gang kecil bernuansakan vintage, sejuk, dan menurutku berbeda dari biasanya. Entah mengapa aku merasa seperti sedang berada di sebuah perkampungan tempo dulu di masa penjajahan kolonial Belanda. (Hehehe, lebay nggak sih... :p) Nah, sejak itulah terbersit di benakku bahwa selepas kunjungan ke rumah temanku, aku ingin menyusuri sudut gang tersebut. Syukur-syukur kalau bisa dijadikan bahan tulisan di postingan blog, begitu pikirku. Dan, rupanya postingan inilah yang kusebut spesial, karena teryata tangan Tuhan membimbingku membuka mata untuk melihat sudut kota kediamanku dengan sudut pandang yang berbeda. Kusebut peristiwa sore itu sebagai Eksplore Kota Kediaman, Sampang.


  Benar saja! Ketika aku selesai dengan urusanku, buru-buru kutancap gas motor menyusuri lorong demi lorong gang Jalan Kenanga hingga ke ujungnya. Aku baru sadar bahwa ternyata jalan setapak yang kulalui tak seperti yang kupikirkan. Aku sudah lama tinggal di kota kecil Sampang, namun baru kali ini menyusuri gang di kawasan ini seorang diri. Ya, maksudnya dulu ketika masih kecil, aku pernah lari pagi bersama teman-teman melewati kawasan itu tanpa memperhatikan kanan-kiri. Maklum, mungkin karena masih anak-anak, yang dihiraukan cuma bercanda sembari berjalan. Kini, setelah beberapa tahun berselang, rupanya bangunan tua di kawasan ini sudah mulai hilang keasliannya karena sudah banyak yang direnovasi menjadi rumah modern meski masih juga ada beberapa bangunan yang masih menjaga keaslian bangunannya. Berikut beberapa bangunan yang terekam di mata kamera ponselku sore itu.






1. Kampung Tempo Dulu

Begitu menyusuri lorong Jalan Kenanga, rupanya motorku tembus ke arah Jalan Cempaka dan berujung di depan Jalan Pahlawan. Kutelisik lebih jauh, ternyata sepanjang Jalan Melati, Mawar, Kenanga, Cempaka, sampai Jalan Pahlawan adalah kawasan kota tua Sampang. Di sini (Jalan Kenanga dan Jalan Cempaka) beberapa rumah bergaya tempo dulu masih cukup banyak dan berjajar rapi. Ya, meski dari luar terlihat perawatannya kurang maksimal, namun di dalamnya masih tetap digunakan oleh pemiliknya. Sebut saja seperti rumah yang berada di Utara Masjid Agung Sampang ini. Lorong dan suasana masih terasa sepi meski beberapa sepeda terparkir asal di bibir pembatas rumah yang terlihat tak terpakai ini. Berbanding terbalik dengan suasana rumah yang kuabadikan selanjutnya. Walau yang bisa kupotret hanya sebatas jendela sampingnya saja, namun tak mengurangi pemikiran kita bahwa pemiliknya memang memperhatikan betul-betul tentang kondisi rumah mereka. Entah mengapa aku merasa sejuk melihat tatanan rumah yang masih menjaga keaslian bangunan serta perawatan dinding-dindingnya.
Utara Masjid Agung Sampang
Jalan Pahlawan
Jalan Panglima Sudirman

2. Kantor Pemerintahan
 
Selanjutnya motorku melaju ke arah Monumen kota yang jaraknya hanya sekitar dua ratus meter saja. Di sini, aku juga menemukan sebuah bangunan lama yang masih di gunakan. Yaitu, sebagai Kantor Pos. Perihal tempat ini, aku merasa nggak asing karena sudah sering berkunjung sejak masih remaja, untuk sekedar mengirim surat ke kakak yang tinggal di luar kota atau menerima kiriman wesel dari keluarga lainnya. Kantor pos ini terdiri dari dua bangunan bergaya khas Belanda. Bangunan pertama, berukuran besar memanjang dari barat ke timur namun menghadap ke Utara. Fungsinya sebagai Kantor sekaligus penempatan barang-barang yang akan dikirim ke luar kota. Dalam ruangan ini suasananya cukup asri karena ada beberapa tanaman hias dan dinding-dindingnya masih terawat rapi. Sementara bangunan kedua, juga menghadap ke Utara namun berukuran seperti rumah biasa. Sepertinya digunakan sebagai rumah dinas. Tapi, aku sendiri nggak begitu tahu apakah masih dihuni sampai saat ini atau hanya dibiarkan saja tanpa ditempati. Namun jika dilihat kondisi dari luar, masih cukup terawat walau sudah ada beberapa kerusakan di beberapa bagian dindingnya.
Kantor Pos Gedung Utama
Gedung Kedua


Beranjak dari kawasan Kantor Pos, tepatnya sebelah selatan bangunan itu, ada lagi sebuah Bangunan kuno yang sayang untuk dilewati. Yup, bangunan tersebut tak lain dan tak bukan adalah Kantor Pegadaian. Ah, ini yang menurutku paling seru dan harus dijaga keaslian bangunannya. Sebab, seperti yang kalian lihat, unsur zaman kolonial Belandanya masih terasa sekali. Dulu, sewaktu aku masih sekolah dasar, sepertinya aku pernah ikut orang tua ke tempat ini, tapi itu cuma satu kali. Entah sejak tahun berapa bangunan ini tidak digunakan lagi. Sehingga kondisinya terlihat seperti gambar di bawah ini. Saat ini Kantor Pegadaian pindah ke bangunan baru yang masih satu area dengan bangunan lama namun menghadap ke arah barat. Kupikir sayang sekali jika cagar budaya yang indah itu dibiarkan begitu saja. Cukup disayangkan jika nggak dirawat serta dilestarikan.
Bekas Kantor Pegadaian

Ketiga, sebuah bangunan yang mirip ruko, namun sepertinya zaman dulu bukanlah sebuah ruko. Bangunan ini terlihat jelas bahwa memiliki beranda di bagian atas. Menurut informasi, tempat ini dulu adalah gereja, namun entah sejak tahun berapa sudah nggak digunakan lagi. Bentuk bangunan bagian atas terlihat jelas bahwa desain Eropa mendominasi yang dapat sentuhan kayu di bagian jendela seperti beberapa rumah khas Belanda lainnya di masa itu. Oh iya, bangunan ini terletak di kawasan Jalan Panglima Sudirman, tepatnya sebelah barat Jalan Melati.
Bangunan kuno yang masih tersisa di Jalan Panglima Sudirman


3. Stasiun Kereta
 
Satu hal lagi yang menurutku paling disayangkan atas terbengkalainya bangunan-bangunan bersejarah di Sampang, yaitu potret kejayaan Madura yang terekam dalam sisa-sisa bangunan stasiun kereta api yang berada di Jalan Teuku Umar. Terakhir, perjalananku sore itu berujung di kawasan Jalan Teuku Umar. Melihat bangunan sisa stasiun kereta api ini membuatku trenyuh. Bagaimana nggak trenyuh, jika kondisi cagar budaya yang bernilai tinggi nyaris hilang hanya karena kepentingan beberapa warga yang tinggal di kawasan itu. Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, hanya merasa trenyuh saja melihatnya.

Sisa Bangunan Stasiun Kereta, Sampang.
Sisa bangunan stasiun Kereta, Sampang.

Menurut sejarah, dulu, Pulau Madura salah satu pulau atau daerah maju. Sejak tahun 1800an Pemerintah Kolonial Belanda sudah membangun transportasi kereta api yang mampu menghubungkan empat kabupaten dari ujung barat Bangkalan sampai ke ujung timur Sumenep. Namun sejak tahun 1987 pemerintah resmi menutup jalur transportasi ini hingga sekarang. Ah, sebagai generasi muda, aku hanya bisa melihat sisa-sisa kejayaan itu saja. Yang membuatku sedikit miris, sisa kejayaan itu sungguh tak dirawat dengan baik. Kalau terus-menerus dibiarkan seperti ini, bukan nggak mungkin jika semua bangunan sejarah itu akan terus rusak ditelan jaman. Dan akhirnya generasi muda masa depan nggak bisa menikmati atau memahami kejayaan tempat tinggal mereka sendiri.

Terima kasih. Mungkin itu saja catatan Eksplore Sampang kali ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Kamar Inspirasi,
Menjelang Pagi, 21 Juli 2017.
Tanah Garam.
***


Rabu, 05 Juli 2017

Kampung Sejuta Genting



(+) Tau nggak kalau ada kampung sejuta genting?
(-) Oh ya? Emangnya ada?
+) Ada dong! Kalian sudah pada tahu apa belum? Kalau belum tahu, sini kuberi tahu dulu. Letaknya di Sampang, Madura, loh. hehehe... cekidot...

Yup, postingan kali ini merupakan lanjutan dari postingan tentang Bimtek GS Bahasa Indonesia kemarin. Tapi yang ingin aku share bukan masalah kegiatan di bimtek tersebut, melainkan tentang sebuah desa yang banyak banget memproduksi genting tradisional di setiap halaman rumah para warganya. Nama desanya yaitu desa Tlambah, Karang Penang, Kabupaten Sampang. Lokasinya sekitar 30an KM ke utara dari kabupaten Sampang. Aku bersyukur bisa menjejakkan kedua kakiku di desa sejuk itu. Berkat dari kegiatan Bimtek Guru Sasaran 2017 itulah aku bisa terdampar di desa Tlambah selama 6 hari pada pekan kedua bulan Ramadhan 2017 ini.

Sepanjang jalan dari Utara desa Omben, terutama setelah melewati desa Blu'uran, aku sudah mulai bisa menemukan ratusan bahkan ribuan genting yang sedang di jemur oleh pemiliknya. Namun semakin memasuki kawasan desa Tlambah, pemandangan serupa semakin sering terlihat. Bahkan nyaris setiap rumah yang berjajar di sisi jalan kecil itu memiliki usaha atau bisnis yang sama dengan tetangga di sebelahnya.

Awalnya, ketika pertama kali aku melintasi kawasan desa itu pada hari Senin (6 Juni 2017), aku merasa kaget sekaligus heran. Jika biasanya warga Madura lebih banyak bertani di sawah atau membuat garam bagi warga pesisir, nah, kali ini aku melihat beberapa rumah yang sibuk membuat genting. Kebetulan pagi itu mereka sedang menjemur beberapa genting di sepanjang halaman rumah. Ada pula yang sibuk menata di rak-rak kayu yang di atasnya beratapkan genting. Mungkin itu genting yang sudah setengah kering dan perlu diangin-anginkan. Melihat kegiatan tersebut, langsung saja mata kameraku berbicara untuk mengabadikan sekilas kegiatan yang saat itu kulihat, meski aku sedang berada di atas motor bersama temanku.

Dari dulu warga Madura (terutama Sampang) jika ingin membeli genting, pasti yang mereka sebut pertama kali adalah desa Karang Penang. Karena memang genting di sana kualitasnya cukup bagus dan harganya murah. Bukan hanya itu, secara bentuk, jenis atau desainnya juga beragam. Ada genting Mantili, Gelombang Botol, Pentol, Press/Kripik, Ujung Pelur, dan Gelombang Garis. Tapi sayangnya aku nggak sempat mengabadikan setiap jenis genting yang kusebutkan tadi. :P

Sudah cukup lama desa yang satu ini terkenal akan produksi gentingnya. Bahkan bisa jadi sejak dari zaman penjajahan kolonial Belanda. ~Nggak percaya? Menurut informasi yang kudapat dari beberapa warga, dulu desa itu disebut sebagai pusat tengahnya pulau Madura. Alasannya karena dari desa tersebut jika ditarik arah ke utara atau selatan, jaraknya sama. Begitu pula jika diukur ke arah Barat maupun Timur pulau Madura, jaraknya juga sama. Dan dengan kondisi alam yang berbukit serta tekstur tanah yang berjenis tanah liat membuat warga kawasan ini harus berusaha kreatif memanfaatkan kekayaan alam tempat tinggal mereka sendiri. Jadi salah satu jalan terbaiknya mengolah tanah liat tadi menjadi potongan genting.



Jujur, selama tinggal di Madura, baru kali ini aku bisa menjejakkan kedua kakiku di desa ini. Dan, aku suka melihat beberapa warga yang setiap harinya sibuk bergelut dengan tanah. Untuk berkarya. Untuk mencari nafkah keluarga. Bahkan aku sempat terheran-heran dengan semangat kerja mereka. Mereka masih terus semangat mengolah tanah menjadi genting-genting berkualitas meski berada di tengah-tengah kemodernan zaman, yaitu tak sedikit warga mulai beralih dengan genting-genting modern pabrikan yang menawarkan kualitas lebih bagus dari genting-genting tradisional.

Oh iya, di kawasan ini juga melimpah sumber mata air, sehingga, air-air di desa Tlambah rasanya sejuk dan dingin. Bahkan ada yang diolah menjadi air minum kemasan dan dijual secara lokal. Berikut beberapa foto yang sempat kuabadikan melalui kamera ponsel.

Semoga bermanfaat...

Kamar Inspirasiku
Tanah Garam, Madura.
5 Juli 2017.
***