Kamis, 12 September 2019

Catatan Kegiatan Lomba Baca Puisi Pemuda-Pemudi Wibawa Sampang




Aura persaingan kembali menggema dalam aula kantor satpol PP kota Sampang tanggal 10 September 2019. Tentu saja perihal lomba baca puisi yang diadakan pada hari itu. Sejumlah kurang lebih 51 peserta dari berbagai lembaga pendidikan tingkat SMP dan SMA mengikuti acara tersebut, salah satunya sekolah tempat saya mengajar, yaitu MA Nurudz Dholam.

Sebenarnya sehari sebelumnya, tanggal 9 September di lokasi yang sama juga diadakan lomba pembacaan UUD 1945 namun peserta dari MA Nurudz Dholam belum beruntung meraih juara.
Lomba baca puisi ini cukup menarik. Sebab, tema yang diambil adalah puisi perjuangan. Sejak ditunjuk oleh kepala sekolah untuk memilih siswa yang akan diikutkan, saya sibuk memutar otak memilih puisi apa yang akan dilombakan nanti. Kebetulan panitia memberikan kebebasan untuk peserta memilih puisi yang mau ditampilkan, sehingga setelah dipikir dan ditimbang secara matang, akhirnya puisi karya Sutardji Calzoum Bahri yang berjudul "Tanah Air Mata" yang saya pilih untuk siswi tingkat SMA dan "Lagu Seorang Gerilya" karya WS. Rendra untuk tingkat SMP. Kebetulan di sekolah kami selain ada jenjang MA, ada pula jenjang SMP. Dengan kata lain saya harus mengajari keduanya dengan teknik yang berbeda dalam waktu satu Minggu saja. Hehehe bismillah....

Lomba baca puisi dimulai pada pukul 08.00 wib. Siswi MA Nurudz Dholam mendapatkan nomor undian 30, dan siswi SMP nomor undian 15. Saya beberapa kali melihat data sekolah yang mengikuti perlombaan dan sempat menandai beberapa nama sekolah yang patut dijadikan acuan persaingan. Ada beberapa teman seperjuangan yang saya kenal dalam ruangan itu, tentu saja mereka juga mendampingi peserta didiknya masing-masing.

Penampilan pertama dibuka oleh peserta didik dari desa Camplong, dan berlanjut ke sekolah-sekolah lainnya. Nur Fadila (peserta didik dari MA Nurudz Dholam yang saya pilih) berkali-kali berbisik kepada saya bahwa dia deg-degan, sehingga beberapa kali harus pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil. Saya hanya bisa tertawa melihat tingkah lakunya itu.

"Kamu sudah pernah melewati ajang yang levelnya lebih besar dari ini, jadi berusahalah tenang," bisikku ketika dia berdiri dari kursinya untuk pergi ke kamar mandi.

Sementara peserta didik saya yang dari jenjang SMP (namanya Yuliana Dewi) lebih banyak diam memperhatikan peserta lain yang sedang tampil di panggung dan tak lupa banyak-banyak berdoa. Sebab, ini adalah momen pertamanya mengikuti lomba setingkat kabupaten.
Singkat cerita, pasca tampil, Nur Fadila merasa puas dengan hasil yang ia capai. Kebetulan dalam perlombaan ini, skor langsung terpampang di layar dekat panggung ketika peserta selesai menampilkan puisinya, dan dapat dilihat oleh seluruh penonton yang hadir. Skor yang didapat Nur Fadila untuk sementara 580, yang secara kebetulan berada di peringkat ke-2 (sementara) namun setelah acara selesai, ternyata ada 2 skor kembar dengan skor Nur Fadila. Alhasil Nur Fadila harus diadu kembali untuk memperebutkan juara 3. Hal yang sama terjadi pada peserta saya yang dari jenjang SMP, yaitu Yuli mendapatkan skor kembar dan harus diadu kembali untuk memperebutkan antara juara 2 dan 3.

Dalam penampilan ulang ini, kedua peserta nomor kembar diberi 1 buah puisi baru yaitu karya Chairil Anwar yang berjudul "aku". 15 belas menit adalah waktu yang diberikan panitia untuk belajar. Tapi sayang, Nur Fadila harus bertahan di juara harapan.

Di lain sisi, Yuli (peserta tingkat SMP Nurudz Dholam) juga mengalami hal yang sama dengan Nur Fadila yaitu memiliki nilai kembar dengan peserta lain. Beda., Yuli hanya memperebutkan antara juara 2 dan 3. Beruntung dia masuk sebagai juara 3.

Lepas dari sisi itu semua, tiba-tiba saya mendapat kabar dari pesan WhatsApp bahwa peserta Nurudz Dholam yang mengikuti lomba pencak silat (lokasi dan acara Porseni di tempat yang lain namun di hari yang sama dengan lomba baca puisi) mendapat juara 2 dan 3.

Nur  Fadila juara harapan 1 lomba baca puisi.
Yuli SMP Nurudz Dholam juara 3 lomba baca puisi.
Riski Dimas juara 2 lomba pencak silat.
Azizah juara 3 lomba pencak silat.

Kecewa? Tidak! Masih ada kesempatan lain untuk bisa meraih kesuksesan tertinggi.
***






 





Sabtu, 07 September 2019

Lomba Baca Puisi D. Zawawi Imron



Tulisan ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya. Kalau ingin membaca klik di sini supaya bisa nyambung. Hehehe...

Hari kedua.


Minggu, April 2019.

Acara lomba baca puisi digelar. Kami peserta dari sekolah MA Nurudz Dholam berangkat sekitar pukul 06.00 wib menuju kota Pamekasan, Madura. Latihan selama seminggu kami jadikan harapan untuk meraih kemenangan. Mungkin memang itulah yang ada dalam benak kami sepanjang perjalanan, yaitu menang dan menang.

Hari itu, aku kembali bertemu dengan orang-orang lama di kampus. Mulai dari dosen, penjual makanan di kantin atau toko depan kampus, serta teman-teman yang juga mengantarkan peserta didiknya mengikuti lomba puisi yang diadakan pada hari itu. Satu hal yang paling spesial pagi itu, aku bertemu dengan dosen Satra sekaligus pembimbing skripsiku dulu, yaitu Bapak Tauhed Supratman. Kami pun mengobrol banyak hal, salah satunya tentang pendidikan. Pak Tauhed sempat bercerita tentang perkembangan proses menulis beliau sebagai sastrawan. Jujur, aku merasa malu melihat semangat beliau dalam menulis. Walau usia beliau sudah tidak muda lagi, semangat berkarya sama sekali tidak padam dalam benak beliau. Pak Tauhed adalah salah satu Inspirasiku di kampus untuk mendalami dunia literasi.



Momen mendebarkan bagi kami adalah saat menunggu giliran tampil sesuai urutan yang telah kami terima. Terlebih jika melihat peserta nomer muda yang penampilannya bagus-bagus dan memukau para penonton yang ada di ruangan itu. Namun aku berusaha menenangkan hati peserta didik supaya tetap tenang dan percaya diri, bahwa setiap peserta memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kemenangan.

Hingga pukul 12.00 wib peserta MA Nurudz Dholam belum juga tampil. Panitia memberikan waktu satu jam untuk istirahat sejenak. Kami menggunakan waktu sesingkat itu untuk berdiskusi, berhubung jam 13.00 wib nanti, nomor peserta kami kebagian tampil pertama kali (pasca waktu ishoma).

... dan aku bangga melihat ke-empat peserta MA Nurudz Dholam saat menampilkan puisi karya D. Zawawi Imron itu!

***

Pengumuman lomba akan dilaksanakan satu jam pasca penampilan semua peserta lomba. Untuk mengisi kekosongan waktu setelah tampil, kami beralih dari kampus Universitas Madura menuju kawasan kota Pamekasan. Tentu saja untuk menenangkan pikiran serta mengisi perut di salah satu tempat makan. Menu pedas jadi pilihan utama saat itu, :D aku lupa menu apa saja yang dibeli, namun aku lebih memilih mie ayam + baso pedas siang itu. :D kebetulan kami semua menyukai aneka makanan pedas, jadi tidak perlu heran dengan makanan yang kami makan siang itu.
Setelah makan siang, kami menuju masjid jami’ kota Pamekasan sekaligus bersih-bersih badan dan menunggu sholat Ashar tiba. Lelah mulai terasa, namun dapat dinetralisir oleh guyuran air segar saat mandi di masjid. Setidaknya untuk menambah semangat menunggu pengumuman pemenang lomba nanti sore.


Waktu menunjukkan pukul 15.30 wib ketika kami selesai berbenah dan hendak kembali ke Universitas Madura. Cukup 15 menit saja waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan dari Masjid Jami’ menuju kawasan kampus Universitas Madura. Rupanya setibanya di lokasi, perlombaan masih tersisa sekitar sepuluh orang saja, dan setelah itu membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk para juri berunding menentukan pemenang. Singkat cerita, waktu tunggu yang cukup lama itu sukses mengutak-atik jantung kami semua. Beruntung aku bertemu dengan teman lama, sehingga kualihkan masa tunggu itu sambil mengobrol banyak hal yang secara tidak langsung mengurangi rasa deg-degan di dadaku.

Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Dan peserta kami tak ada satupun yang masuk menjadi juara.
Kecewa? Tentu saja. Tapi sebagai pendidik, saya harus bisa lebih tabah dari peserta didik yang secara raut muka jelas merasakan kecewa. Dengan penuh kesabaran kami coba memberikan pemahaman kepada mereka bahwa setiap perlombaan pasti ada yang kalah dan menang. Mungkin MA Nurudz Dholam belum beruntung dalam perlombaan kali ini. Kalau terus semangat dan tanpa patah arang, bukan tidak mungkin suatu saat akan kembali meraih juara seperti ketika mengikuti lomba sebelum-sebelumnya.

Begitulah sepenggal kisah kami selama mengikuti lomba baca puisi Piala D. Zawawi Imron. Semoga menginspirasi....
***

foto-foto kami...




Jumat, 05 Juli 2019

Sebongkah kenangan di Universitas Madura

Lokasi Depan Kampus Universitas Madura

Yup, jika dilihat dari judulnya, postingan kali ini tidak begitu jauh dari hal bernama "kenangan". Hehehe, bagaimanapun kehidupan ini berjalan, pasti yang namanya kenangan akan selalu ada di setiap sudut kehidupan kita. Sebuah kenangan tak akan pernah bisa dihapus, karena pada dasarnya kenangan itulah yang membawa kita berada di zona kehidupan yang kita jalani sekarang. Ya, tanpa adanya kenangan, mungkin kehidupan kita tidak akan seperti sekarang.

Selang 2 hari setelah pulang dari Surabaya mengantarkan peserta didik mengikuti lomba baca puisi di kampus Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) sekitar bulan Maret lalu, sebuah pesan di WhatsApp pak kepala sekolah mengagetkanku. Beliau memerintahkanku untuk kembali membimbing peserta didik untuk mengikuti lomba baca puisi lagi. Tapi kali ini hanya punya waktu berlatih hanya 10 hari saja, nah loohhh... Hehe. Bedanya, jika lomba puisi sebelumnya tingkat Jawa Timur, kali ini tingkat Madura saja. Itu pun memperebutkan piala penyair Madura bernama Zawawi Imron. Berhubung masih menggebu-gebu walau tidak meraih juara di kampus UWKS, aku harus bisa menerima tantangan ini sembari memberi semangat baru untuk peserta didik yang (masih) kecewa atas kekalahan lomba di Surabaya kemarin.

Yup, akhirnya aku kembali mencari tahu informasi lomba tersebut dan mendaftarkan keempat peserta didik untuk mengikuti perlombaan tersebut. Tentu saja tidak ada yang berubah, yaitu Elsa Mayori, Maulidia, Nur Fadilah, dan Hofifah. Tentu saja kali ini harus menggunakan puisi karya Zawawi Imron yang telah dipilih oleh panitia lomba.

Uniknya, sehari sebelum acara lomba berlangsung, Pendamping harus menghadiri acara technical meeting di aula Universitas Madura. Dan sebagai pendamping, mau tidak mau aku harus menghadiri acara tersebut. Aha, dalam hati aku sungguh merasa kegirangan lantaran aku punya kesempatan kembali mengunjungi kampus tempatku menempuh pendidikan sarjana silam. Dengan kata lain aku bisa mengobati rasa rinduku kepada tempat yang dulu pernah menampungku selama 4 tahun menuntut ilmu.

Berbagai momen mengingatkanku  kala itu. Mulai dari naik angkutan umum, hingga sudut-sudut kenangan di masa kuliahku. Ada satu kejadian cukup menggelikan ketika aku tiba di depan kampus. Begitu turun dari bis, aku sengaja duduk di salah satu kursi toko depan kampus. Ketika pemilik toko keluar, ia tersenyum melihatku. Aku pun reflek membalas senyuman lelaki itu.

"Dek, kuliahnya belum kelar juga ya?" Tanyanya sembari dengan wajah heran.

"Sudah lama lulus pak," jawabku sembari tersenyum, "emangnya bapak inget sama saya?" Lanjutku.

"Ya ingetlah, dulu kan kamu sering beli roti di sini," tukasnya, "saya kira kamu nggak lulus-lulus kuliah. Jangan kelamaan, nanti malah nggak nikah-nikah," ia pun tersenyum sembari berjalan masuk toko kembali.
Aku pun tertawa geli mendengarnya.

Aku sengaja mengunjungi tempat-tempat favoritku dulu, mulai dari taman depan kampus, perpustakaan, dan musholla. Ah, suasana di ketiga tempat tersebut masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah. Di taman masih tetap sejuk dan asri, tempat favoritku membaca buku saat menunggu jam kuliah. Di perpustakaan juga begitu, masih dipadati mahasiswa yang haus ilmu ataupun yang memburu referensi buku untuk memenuhi tugas-tugas yang diberikan dosen masing-masing, semuanya masih sama seperti dulu. Mungkin bedanya ada pada rak peletakan buku serta koleksi buku-bukunya saja. Ah, melihat suasana semacam itu membuatku bergumam, "jadi ingin kuliah lagi ya," begitulah kira-kira. Wkwkwkwkwk...

salah satu lokasi favorit saat membaca buku di sela kuliah
Acara technical meeting dilaksanakan di gedung aula lantai 3. Di sana lagi-lagi aku berkutat dengan sebuah kenangan yang mengingatkanku pada momen yudisium. Yup, di sanalah saksi bisu saat aku pertama kali mendengar kabar lulus kuliah bersama keempat teman sekelasku yang lain. Yup, tahun 2012 itu, dari sejumlah 30 mahasiswa di kelas B pagi, hanya 5 orang saja yang mengikuti yudisium tahap pertama sekitar bulan Agustus 2012. Sisanya masih belum bisa ACC skripsi. Duh, kalian pasti bisa membayangkan bagaimana kami berlima menikmati momen yudisium diantara kakak tingkat lainnya.
Tak ada yang bisa menggantikan momen-momen itu semua.
Technical Meeting
***

Hari kedua.
Minggu, April 2019.

Acara lomba baca puisi digelar. Kisahnya akan aku posting selanjutnya ya... thanks sudah mampir...




Selasa, 25 Juni 2019

Jejak di UWKS


Setiap pengalaman pasti menorehkan kenangan di hati kita. Setiap tempat pasti menyimpan seribu cerita tatkala kita datang mengunjunginya. Seperti itulah kira-kira yang aku rasakan ketika mengunjungi sebuah tempat yang akan aku ceritakan dalam postingan kali ini.

Nama tempatnya adalah Kampus UWKS alias Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Lho? Kok UWKS? Memangnya ada apa di sana? Hihihihi.....

Oke-oke, sebenarnya aku ke UWKS itu atas dasar sebuah ketidaksengajaan. hah? Yup, Sekitar bulan Maret 2019 lalu aku menemukan informasi tentang lomba baca puisi di media sosial. Tanpa membaca secara detail, kubagikan info itu di grup whatsapp sekolah tempatku mengajar (MA Nurudz Dholam Kedungdung), dan saat itu tidak ada satu anggota pun yang merespon kiriman tersebut. Aku juga tidak menanggapinya secara serius. Toh, membagikan informasinya saja cuma iseng, pikirku. Akan tetapi setelah beberapa hari berlalu, kepala sekolah memintaku memilih beberapa orang siswa untuk diikutkan dalam lomba tersebut. Tak pelak aku terkejut mendengarnya  dan mengecek lokasi lomba yang ternyata di kota Surabaya.

Aku coba memberikan pertimbangan kepada kepala sekolah tentang lokasi dan biaya yang akan dikeluarkan. Namun tampaknya pak kepala sekolah sudah yakin dan akan membiayai semua akomodasinya. Maklum, kupikir karena sekolah kami letaknya di tengah pedesaan. Serta masih kategori "sekolah baru" pula. Namun aku salut dengan semangat pihak sekolah yang ingin memajukan lembaga pendidikan ini. Sehingga singkat cerita terpilihlah 4 orang siswi bernama Elsa Mayori, Nur Fadila, Hofifah, dan Maulidia yang akan kami kirim ke Surabaya mengikuti lomba baca puisi tingkat Jawa Timur. FYI, kebetulan pada bulan Desember lalu Elsa Mayori pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat kabupaten Sampang (acara Aksioma) juara 2. Atas dasar itulah kami berharap lomba di UWKS bisa meraih keberuntungan yang sama seperti pengalaman sebelumnya.

Lomba dilaksanakan pada tanggal 9 April 2019. Yang paling mencengangkan, kami harus berada di lokasi lomba tepat pukul 07.15 WIB. Di sinilah kisah kami dimulai... Sebuah perjuangan (cukup) panjang kami lalui sebagai pengalaman baru sekolah kami...

Sebelumnya, FYI lagi, sekolah kami terletak di pedalaman desa Kedungdung, Sampang. Tepatnya di daerah dusun Bejuh yang jika pembaca mau ke sana butuh perjuangan karena selain jalannya berbatu (saat tulisan ini dibuat), dan terkadang tanjakan serta turunan. Kanan-kiri perpaduan sawah dan ladang dengan dihiasi pohon-pohon liar. Tapi meski begitu, sekali lagi semangat peserta didik untuk menuntut ilmu perlu diacungi jempol alias tak perlu diragukan lagi. Semangat yang membara dari lubuk hati terdalam, insyaallah. Maka dari itu, untuk tiba di Surabaya pagi hari, tepat pada tanggal 9 April 2019 kami perlu berangkat pukul 3 pagi dari Sampang. Ketika sang matahari pagi belum benar-benar keluar dari peraduannya.

Perjalanan di pagi buta menuju Surabaya itu cukup lancar, tidak seperti yang kami khawatirkan sebelumnya yaitu macet di beberapa titik jalan. Tepat setelah adzan Subuh berkumandang, kami tiba di kawasan Surabaya Utara, dan untuk sholat Subuh kami mampir di masjid As-Shiddiq Jl. Kedung Cowek yang lokasinya kurang lebih hanya 1,5 kilometer dari jembatan Suramadu. Sesekali ada beberapa orang yang mandi pagi dan mempersiapkan diri di sana. Begitu selesai, kami langsung menuju lokasi perlombaan.

Foto di kawasan Islamic Center Surabaya
Rupanya pukul 6.30 kami tiba di sebuah kawasan Islamic Center Surabaya. Berhubung perut kami sudah lapar, kami memutuskan untuk singgah di Islamic Center Surabaya untuk sarapan sekaligus mengganti pakaian bagi peserta didik yang ikut lomba baca puisi. Kami mengisi perut di halaman luar gedung layaknya pengungsi duduk lesehan dekat parkiran. Walau dalam kesederhanaan, kami tetap semangat mengisi perut dan menambah pengetahuan. Yup, seusai makan, sesekali kami keliling lokasi Islamic Center sembari mengabadikan momen tersebut dalam mata kamera ponsel. Kami baru tahu ternyata gedung tersebut bukan hanya gedung serbaguna, tapi juga tersedia penginapan. Hanya 15-20 menit saja kami singgah di sana, karena kami harus kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi kampus UWKS secepatnya.

Bersyukur kami tiba sesuai perkiraan, yaitu 15 menit sebelum pukul 07.30 wib. Panitia memberikan arahan untuk daftar ulang dan mengambil nomer undian tampil. Saat itu kami tahu bahwa peserta berjumlah sekitar 110 orang dari berbagai sekolah se-Jawa Timur. Ada yang dari Malang, Banyuwangi, Sidoarjo, dan tentu saja Surabaya. Jika dari Madura, sepertinya hanya sekolah kami saja. Sebuah doa terbersit di benak saya selaku guru pendamping, semoga anak didik kami masuk jadi juara. Amin.

Aula Kampus UWKS


Keikutsertaan kami dalam lomba baca puisi tersebut sebenarnya untuk mengasah rasa percaya diri untuk tampil di depan umum. Selain itu juga ingin mendapatkan pengalaman lebih dari sebelum-sebelumnya. Jika Allah memberi rezeki kami bisa meraih juara, itu adalah bentuk hadiah terindah dari-Nya. Intinya, kalau menang Alhamdulillah, kalah juga harus tetap semangat. Alias harus tetap bersyukur alhamdullilah juga. hehehe...

Elsa sebagai penampil pertama dari keempat keempat peserta yang kami bawa, yaitu dengan nomer dada 18. Nur Fadila kebagian nomer dada 24, Maulidia 34 dan Hofifah di nomer 44. Keseluruhan penampilan mereka bagus. Sungguh diluar dugaan, karena ternyata mereka lebih percaya diri jika dibandingkan saat latihan. Mungkin karena dalam aula tersebut berkumpul para pesaing, sehingga muncul aura-aura persaingan di hati peserta didik yang berefek memompa semangat peserta didik kami untuk menampilkan yang terbaik.

Dari 110 peserta dipilih sekitar 20 orang untuk tampil di babak kedua, dan harus menampilkan pembacaan puisi pilihan. Peserta didik kami harus bisa berlapang dada karena tidak bisa masuk ke babak 20 besar. Kecewa? Mungkin iya. Tapi seperti yang saya katakan tadi, kalah menang harus tetap semangat. Kami keluar ruangan dengan senyuman terukir di wajah. Sebuah pengalaman baru telah terekam di benak kami semua. Sebelum bertolak ke Sampang, kami sempatkan keliling halaman kampus untuk menambah inspirasi dan pengetahuan, karena secara kebetulan hujan turun dengan begitu lebat. Kami menganggap hujan itu adalah Rahmat dari Allah.

Ziarah ke makam Sunan Ampel adalah penutup perjalanan kami hari itu, tentu saja sebelum benar-benar kembali ke Sampang Madura. Inti dari perjalanan kami hari itu, pengalaman adalah pelajaran berharga dalam hidup kita. Pengalaman tak bisa tergantikan oleh uang. Tak tergantikan dengan apapun. Tekad kami saat dalam perjalanan pulang, "Semoga tahun depan kami bisa membawa piala kejuaraan lomba puisi tersebut ke Madura!".
Amin.

Sampang, Juni 2019.
***

Depan pintu masuk Aula UWKS
 
Depan kampus UWKS
Kawasan Islamic Center Surabaya
Kawasan Islamic Center Surabaya


Senin, 13 Mei 2019

Unsa Ambassador 2019 with MA Nurudz Dholam (Latepost)



Hai, apa kabar? Duh betapa rindunya aku karena sudah lebih dari setahun nggak pernah posting tulisan di blog. Hehehe, maklum, sok sibuk 😥 Eh tapi beneran sibuk loh. Sibuk sama tunangan, nikah dan berduaan dengan kekasih halal, hehehe... Yup, bisa jadi inilah postingan pertamaku setelah aku menikah. Duh, padahal nikahnya udah 10 bulan lalu 😒 Alhamdulillah bulan ini (April) putri pertamaku lahir. Ah sudahlah, malah curhat... 😝

By the way, kali aku (lagi-lagi) mau share pengalaman perjalanan akhir Januari 2019 lalu nih. Haha, telat banget ya postingnya. tapi nggak apa-apa deh daripada nggak ada sama sekali khan? ngeles. Tepatnya perjalanan menemani beberapa siswaku yang hendak menghadiri acara kepenulisan di Surabaya. FYI, perjalanan kali ini aku bersama siswa kelas X di MA Nurudz Dholam Kedungdung-Sampang, tempat kerja baruku sejak awal tahun ajaran baru 2018-2019 lalu. Tahun ini aku mengajar di dua sekolah sekaligus dengan pembagian jadwal yang rapi, teratur, serta tidak mengganggu satu dan lainnya. Kakakakakakakakak detail banget kan jelasinnya😙

Kegiatan menghadiri acara kepenulisan ini sebenarnya sudah direncanakan cukup lama, sekitar bulan November 2018 lalu. Tapi berhubung tidak semua siswa bisa diajak, maka kami selaku guru mencoba menyaring beberapa siswa dengan mengadakan lomba cerpen antar kelas. Penulis cerpen terbaik akan diberi reward menghadiri acara kepenulisan tahunan di Surabaya yang diselenggarakan oleh grup menulis UNTUK SAHABAT. Dan terpilihlah enam orang tersebut yang bernama Elsa Mayori, Maisaroh, Nafila, Nur Fadilah, Hofifah, serta Wasilah.

Tepat pukul 6 pagi, Minggu 27 Januari 2019 kami berangkat dari Sampang Madura menuju Surabaya. Sebelum menuju lokasi acara yang kebetulan diadakan di salah satu mall Surabaya yaitu BG Junction, aku dan beberapa guru mencoba berkunjung ke suatu tempat yang ada hubungannya dengan perbukuan. Yaitu, ke sebuah kawasan bernama Kampung Ilmu Surabaya. Seperti yang sudah pernah saya posting sebelumnya, bahwa Kampung Ilmu Surabaya adalah sebuah pusat pelapak buku bekas di Surabaya dan sekaligus tempat untuk beberapa kegiatan kesenian lainnya.

Foto saat siswa mewawancarai salah satu pelapak
foto saat siswi Nurudz dholam mewawancarai salah satu pelapak buku di Kampung Ilmu Surabaya

Kami tiba di lokasi sekitar pukul 8 pagi. Kebetulan para pelapak sudah banyak yang membuka kios buku dagangannya. Aku mengajak siswa mengunjungi aula terlebih dahulu, karena dari tempat parkir aku melihat sebuah tulisan tentang adanya kegiatan pameran lukisan di sana. Mungkin ini salah satu keberuntungan kami karena ternyata hari itu adalah hari terakhir pameran lukisan itu digelar. Bersyukur kami bisa meliput serta bisa mewawancarai salah satu pelukis untuk dijadikan bahan Mading sekolah kami. Bahkan kami bisa berfoto bersama semua pelukis yang terlibat dalam acara tersebut.

Foto bareng para pelukis
Pengetahuan bisa kita dapat dari melihat karya seni seperti lukisan, kerajinan tangan, bahkan dari berbagai jenis tulisan alias buku. Right, begitu selesai mewawancarai para pelukis muda tersebut, kami beralih menuju kios buku-buku. Tentu saja untuk membeli beberapa eksemplar dan mewawancarai penjualnya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09.40 wib. Bagaimanapun juga, aku harus mengingatkan peserta didik untuk mengakhiri safari  buku demi mengejar waktu untuk menghindari acara inti.
Rupanya kedatangan kami disambut dengan senyum kerinduan dari beberapa sahabat yang sudah cukup lama tak bersua. Teman-teman seperjuangan kami dalam dunia literasi tampak bahagia karena acara tahunan itu rupanya bisa mempertemukan kami kembali. FYI, aku tergabung dalam grup kepenulisan UNTUK SAHABAT sejak tahun 2011 lalu. Itulah mengapa kami merasa bahagia karena bisa bertemu dengan sahabat-sahabat lama. Dengan kata lain, acara ini bisa dijadikan sebagai reuni tahunan bagi keluarga grup UNTUK SAHABAT.

Acara kepenulisan itu dilaksanakan secara tahunan di salah satu mall Surabaya yang digabung dengan acara grand final pemilihan duta menulis versi grup menulis UNTUK SAHABAT. Nominator tahun ini ada dua orang yang berasal dari daerah berbeda. Pertama bernama Ansar Siri yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan, dan yang kedua bernama Anggi Putri W, berasal dari Jombang, Jawa Timur. 

Ada yang spesial untukku di momen unsam kali ini, yakni aku menjadi salah satu juri. bangga dikitlah Alhamdulillah bisa menjadi bagian dari acara itu kembali setelah tahun 2016 lalu menjadi salah satu juri.
Salah satu siswaku yang bernama Elsa Mayori menjadi pembuka acara dengan pembacaan puisinya yang menusuk hati. Judulnya "Teguran Kalam Ilahi". Puisi itu pernah dibawakan dalam lomba baca puisi se-Kabupaten Sampang dan meraih juara 2. Semua peserta yang hadir terpukau melihat penampilan Elsa, yang bisa ditandai dengan hujan tepuk tangan yang ditujukan untuk Elsa begitu puisi itu selesai dibacakan. Sebagai guru bahasa Indonesia-nya, aku bangga bisa melihat peserta didikku bisa memberikan penampilan itu.


foto dari paparazi saat aku memperkenalkan diri sebagai Juri

Berlanjut ke acara penjurian, suasana menjadi tegang ketika grand finalis diberi pertanyaan oleh juri. Beruntung kedua grand finalis bisa menjawab pertanyaan dengan lancar dan memuaskan. Jujur, saya pribadi sudah punya pilihan siapa yang pantas menjadi pemenang tahun ini. Namun, berhubung keputusan bukan hanya tanggung jawabku saja, melainkan masih ada 4 juri lainnya, maka harus dimusyawarahkan dan mengambil suara terbanyak.

Beruntung sebelum pengumuman pemenang, peserta yang hadir diberi hiburan dengan hadirnya seniman yang menampilkan musikalisasi puisi dan diluncurkannya buku baru kumpulan cerpen grup UNTUK SAHABAT. Kira-kira pukul 14.30 wib para juri mengumumkan pemenang Unsa ambassador 2019. Pemenang utama diraih oleh Ansar Siri sementara rivalnya harus rela berada di posisi kedua yaitu Anggi Putri W. sekali lagi kami bersyukur bisa mengabadikan momen bersama para pemenang. Begitu acara selesai, kami langsung balik ke kampung halaman di Sampang Madura.

Harapanku, semoga dengan mengikuti acara seperti ini bisa memotivasi peserta didik untuk belajar dunia literasi. Semoga acara ini bisa menjadi agenda tahunan sekolah kami untuk menambah ilmu pengetahuan. Amin.


April, 2019.
***


Keluarga MA Nurudz Dholam berfoto bersama para pemenang dan owner grup UNSA