Oleh : Ksatria Bulan
Siang itu cuaca sangat cerah sekali. Matahari bersinar dengan terik, menjilati kulit siapa pun yang berada dibawahnya. Hanya panas dan gerah yang terasa. Terlihat pohon-pohon pinggir jalan tak berkutik sedikit pun, mungkin mereka juga merasakan panasnya sengatan matahari itu. Orang-orang yang kebetulan berjalan dan beraktifitas di pinggir jalan itu juga tak kuasa menyerahkan kulitnya yang mulus ditampari sinar ultraviolet yang ganas tersebut. Kebanyakan dari mereka malah memakai payung atau berjaket demi melindungi jaringan kulit-kulitnya. Benar-benar cuaca yang sangat menyebalkan.
Aku termenung dalam angkutan umum yang melaju pelan menyusuri jalan. Kupandangi kegiatan sekitar dari balik jendela angkutan yang kunaiki. Meski dua mataku memandang keluar jendela, namun tak dapat kupungkiri bahwa pikiranku ini tak searah dengan apa yang kulihat. Entah mengapa otak ini terus mengingat kata-kata pemilik kios yang kudatangi tadi pagi.
"Maaf, lain kali saja ya Mas. Kami masih belum membutuhkan patung-patung milik Mas," seru salah satu pria pemilih kios patung.
Sebenarnya bukan pertama kalinya aku mendengar kalimat penolakan itu. Sampai hari ini saja aku sudah mendengar kalimat itu hampir ke seratus kalinya. Tak ada yang berubah. Tapi entah mengapa justu kalimat ke seratus inilah yang membuatku kepikiran sepanjang perjalanan pulang. Mungkin saja telingaku mulai jenuh dan lelah mendengar kalimat yang sama setiap hari.
Oh iya, perkenalkan, namaku Arman, lengkapnya Arman Al Hafsi. Tak ada yang istimewa pada diriku. Bisa dibilang, aku hanyalah seorang mahasiswa yang kerjanya hanya memahat patung. Karena hal itulah sebenarnya hobiku selama ini. Senang rasanya jika menuangkan apa yang ada dalam pikiranku ke dalam sesosok patung. Bagiku, pahat-memahat pada patung merupakan kreatifitas yang jarang dan bahkan mungkin tak pernah diminati bagi beberapa pemuda seumuranku. Aku senang dengan pekerjaan ini. Patung adalah gambaran isi hatiku yang tak dapat dipungkiri meski diriku sendiri. Dialah suasana hatiku yang berwujud sebuah patung.
"Kampung Barisan... Barisan... Barisan..." tiba-tiba saja suara kenek menyadarkanku dari lamunan. Kagetnya lagi, patung katak yang kupegang terjatuh dari genggaman tanganku. Untung saja tidak ada yang patah. Patung itu salah satu dari sekian karya-karyaku yang kubawa dan kutawarkan pada para pemilik kios di galeri yang kudatangi. Aku menghela napas lega.
Selanjutnya, aku terkesiap dan mulai mengamati daerah sekitar. Rupanya sudah saatnya aku turun dari angkutan berwarna biru itu. Akhirnya dengan tergesa-gesa aku turun. Kupijakkan kedua kaki ini di atas jalan beraspal yang panas dan berdebu serta berpolusi itu. Lalu berjalan menuju gang rumahku yang berjarak tak jauh dari tempatku berdiri. Jam menunjukkan pukul sebelas siang lewat lima belas menit. Begitu tiba dirumah, kulemparkan patung katak di atas tempat tidur. Begitu juga dengan tubuh ini, langsung menghambur bantal dan guling yang tergeletak di atas kasur bersprei warna coklat tua itu.
***
Sore itu aku terbangun karena telepon selulerku berdering sekeras-kerasnya di dekat telinga kananku. Tapi ketika kuamati layar seluler itu, tiba-tiba saja deringannya berhenti. Ternyata, kerjaan sahabatku yang memang kegemarannya menggangguku di kala aku sedang tidur. Aku mengucek kedua mataku, ternyata tidur tidak membuat kepalaku tenang, malah semakin membuat tak karuan. Pikiran terasa penat. Kepala pusing, pening tujuh keliling bak bola api yang hampir saja meledak. Darah mengalir deras dan bergemuruh hebat. Nafas seakan tergesa-gesa keluar masuk dari kedua lubang hidung yang melekat erat diwajahku. Rasanya ingin marah! Ingin berteriak! Bahkan ingin meronta sekeras-kerasnya! Itulah yang sedang aku alami sore itu. Padahal cuaca sangat dingin, tapi entah mengapa suhu tubuh ini terasa amat sangat panas membara, sehingga keringat yang awalnya malas keluar, terpaksa keluar menerobos pori-pori kulit dan mengalir membasahi tubuh ini. Aku tak mengerti dengan cuaca akhir-akhir ini. Tadi siang panas bak di neraka, kini malah mendung dan dingin bak di surga. Oh, bumi memang sudah tua.
Sesekali aku membolak-balikkan tubuh di atas kasur yang beralaskan sprei warna coklat tua itu. Tak cukup satu menit, kutarik tubuhku hingga posisi duduk. Keadaan kamar yang begitu usang dan berantakan membuat kepalaku semakin pusing dan terasa berat saja. Buku-buku berserakan di mana-mana, di kasur, di meja, bahkan ada pula di lantai. Baju-baju dan selimutku pun begitu, bertumpukan tak tentu arah. Kipas angin juga tak mau kalah, terus berputar sesukanya.
Masih saja terasa pusing meski dengan posisi duduk, aku pun berdiri dan menggerakkan kedua kaki ini kesana kemari. Aku melihat beberapa ekor kunang-kunang di atas kepalaku, mereka bersorak sorai mengelilingi batok kepala ini. Tampaknya mereka bahagia dan bangga dengan kondisiku. Mereka senantiasa berdendang bak para penari balet yang beraksi di atas panggung sandiwara. Sepertinya kedua tanganku merasa gatal dan gerah ingin sekali menampari kunang-kunang itu satu persatu. Ingin pula rasanya memusnahkan kebahagiaan mereka di atas penderitaan rasa pusing yang tengah kualami ini. Pokoknya sore itu keadaanku semakin parah saja.
Beberapa menit kemudian, kupegang kepala ini dengan jemariku. Kupejamkan pula kedua kelopak mata ini. Otakku benar-benar berada pada suhu tinggi. Mungkin saja bisa mencapai seratus derajat celcius, atau bahkan lebih dari itu.
Kuremas, kutekan-tekan pelan kulit kepalaku, lalu dengan sepenuh tenaga, kurebahkan kembali tubuhku ke atas kasur. Kulemparkan pandangan ke arah langit-langit kamar. Menerawang peristiwa-peristiwa beberapa hari yang lalu.
Entah mengapa bayangan itu semakin membuatku geram.
“Tidak! Tidak! Tidak…!!” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku seiring mata tertutup dan tangan meremas kuat alas tempat tidur.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di balik daun pintu kamar. Diiringi suara lembut panggilan namaku. Awalnya aku tak menghiraukan ketukan itu, karena aku merasa malas bangun dari posisi telentangku. Semakin lama ketukan itu terasa semakin kencang saja. Dengan berat hati, akhirnya kucoba beranjak dan tertatih-tatih menuju ke arah pintu.
“Arman! Kau baik-baik saja?!” suara seorang gadis bernama Nabila langsung menyambarku tatkala pintu kamar mulai terbuka. Alih-alih mau menjawab pertanyaannya, untuk menggerakkan bibirku saja aku merasa malas.
Aku pun tak merespon pertanyaan Nabila, dengan segera aku membalikkan tubuh ini melangkah ke tempat tidur. Nabila yang membuntutiku tercengang melihat keadaan kamar tidurku. Kedua bola matanya seakan menyorot ke seantero celah. Bahkan tak satu pun celah terlewatkan oleh pandangannya. Dia kaget. Sejenak gadis itu menggelengkan kepalanya seraya berkata,
“Mengapa buku-buku dan selimutmu berserakan bak tumpukan sampah Arman? Sebenarnya apa yang terjadi di kamar ini?”
Sekali lagi aku tak menghiraukan pertanyaan Nabila. Aku hanya diam, duduk di bibir tempat tidur sembari memegang kepalaku. Nabila memungut beberapa buku yang tergeletak di lantai dan meletakkannya di atas meja. Lalu gadis berwajah imut dengan bibir manis itu melangkah duduk disampingku,
“Cobalah kau bagi ceritamu padaku wahai sahabat. Masalah apa gerangan yang tengah kau hadapi ini? Tak biasanya kau seperti ini. Coba kau ceritakan padaku semua hal yang membuatmu berubah begini, Arman.” ucap Nabila pelan sambil merapatkan tangan kanannya di pundakku. Suaranya begitu lembut dan terdengar sangat perhatian padaku.
“Aku sudah gila, Nab! Gila!!” pekikku seraya menepis tangan Nabila dan berdiri membelakanginya.
“Gila? Gila bagaimana maksudmu Arman? Sungguh aku tak mengerti perkataanmu itu,”
“Memang kau tak akan pernah mengerti pikiranku. Aku benar-benar sudah gila! Gila! Gila!!” teriakku sekuat urat syarafku.
Sepertinya Nabila semakin tak mengerti maksud perkataanku. Terlihat jelas dari kerutan di dahinya. Seketika itu pula pandanganku mulai kabur, kepalaku semakin pening, kunang-kunang itu bersorai sambil bertepuk tangan kegirangan.
Tiba-tiba . . .
BRUUUK!!! Tubuhku jatuh tersungur ke lantai. Pingsan.
Nabila gemetar, panik melihat keadaanku. Hal tersebut jelas tergambar dari nafas dan keringat yang keluar dari tubuhnya. Mengalir bercucuran tanpa permisi dari pori-pori kulitnya.
***
Selang tiga jam berlalu, aku belum juga siuman dari ketidaksadaran itu. Rasa-rasanya tubuh ini menikmati betul ketenangan alam bawah sadarku. Akhirnya setelah tiga setengah jam kemudian aku terbuai dalam ketidaksadaran itu, secara tak sengaja kedua mata ini mulai terbuka, berkedip seiring berjalannya waktu. Aku menangkap sesosok bayangan gadis sedang duduk di sebelahku. Semakin tampak jelas saja wajah gadis yang menjadi sahabatku itu. Dialah Nabila yang ternyata masih setia menjagaku selama aku pingsan.
“Na...Nabila...?“ kataku pelan.
Nabila tersenyum melihat aku mulai sadar. Senyuman itu begitu teduh dan sejuk dipandang mata. Dia membantuku duduk bersandarkan bantal. Betapa herannya diriku setelah melihat keadaan kamar yang awalnya kotor dengan tumpukan-tumpukan buku dan selimut, kini menjadi bersih, rapi bahkan terasa wangi aroma terapi. Setelah puas melihat keadaan kamarku, kedua mataku pun beralih memandang sesosok gadis berbaju hijau di hadapanku.
“Si...siapa yang merapikan kamar ini?” tanyaku dengan suara sedikit terbata-bata karena rasa pening yang kualami masih tersisa.
Nabila pun kembali tersenyum.
“Aku benar-benar heran dengan keadaanmu, Man. Sepertinya sudah seminggu kamar ini tak kau bersihkan ya? Mengapa hal ini bisa terjadi padamu sobat? Padahal tak biasanya kau mengalami kejadian seperti ini,”
“Jadi kau yang merapikan semuanya?” tanyaku memastikan. Nabila mengangguk pelan. Betapa anggunnya gadis itu sehingga rasanya hati ini merasa tenang berada disampingnya.
“Aku rasa itulah tugasku sebagai sahabatmu, harus saling membantu.” tambah gadis itu seraya mengambilkan segelas air putih di atas meja.
"Coba kau minum air ini dulu, supaya kau bisa lebih segar" lanjut Nabila seraya menyodorkan gelas itu ke bibirku.
“Thanks ya Nabila atas semuanya, dengan keadaan kamarku yang seperti ini setidaknya lumayan membuat otakku terasa lebih tenang,”
“Sebenarnya apa yang sedang kau alami Man?” pertanyaan Nabila kali ini membuatku kembali teringat akan masalah-masalahku.
“Nggak, nggak ada kok Nabila,” elakku.
“Sudahlah Arman, aku sudah mengenalmu sejak lama. Aku juga tahu bila kondisimu dalam keadaan bahagia ataupun sedang banyak masalah. Kuharap jangan kau pungkiri lagi citra persahabatan kita. Lagi pula jika kau menceritakan masalahmu padaku, siapa tahu aku bisa membantu menyelesaikannya, bahkan siapa tahu pula pikiranmu jadi lebih tenang setelahnya.”
Aku terdiam mencoba mencerna kata-kata Nabila. Persahabatan kami memang sudah cukup lama. Dengan begitu, susah senang harus ditanggung bersama. Apalagi dalam sebuah persahabatan itu harus ada kejujuran. Kudongakkan kepalaku memandang Nabila yang sejak tadi tak melepaskan pandangannya padaku. Sepertinya gadis berhidung mancung itu berharap penuh aku segera menceritakan masalahku.
“Kepalaku pusing, pening memikirkan patung-patungku,” ucapku mengawali cerita.
“Aku sekarang sudah gila Nabila. Rasa-rasanya aku tak sanggup lagi menghadapi semua ini” lanjutku.
“Apa hubungannya patung-patungmu dengan semua kegilaan itu?” tanya Nabila lagi seraya menajamkan pandangannya. Aku tertunduk lesu mencoba menahan rasa pening di kepala. Kuhirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
“Aku sungguh tak mengerti di mana letak kekuangan patung yang kubuat, sehingga para penjual banyak yang menolaknya! Padahal patung itu kubuat dengan penuh rasa semangat yang menggebu-gebu. Kupahat dengan gairah yang membara. Dan kuukir dengan rasa suka yang tiada tara. Tapi, dari sekian banyak patung yang kutawarkan, tak satu pun yang bisa menembus kios impian di lorong-lorong itu. Aku hampir gila memikirkan semua ini, Nabila” ceritaku dengan suara sedikit serak.
Nabila diam, tak begitu lama gadis itu tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya benar-benar terdengar membahana di telingaku. Aku merasa geram, kesal dan ingin menamparnya saja, tapi kuurungkan niat itu.
“Hmm…!! Teman lagi kesusahan, malah ditimpali dengan tawa!” gumamku dalam hati.
Sekali lagi Nabila menertawaiku tanpa henti. Aku semakin geram. Kutundukkan kepalaku dengan muka masam. Akhirnya gadis di hadapanku itu menyadari kegeramanku, ia pun langsung menghentikan tawanya.
“He... sorry bro, terus bagaimana?” tanyanya kemudian seolah-olah tak bersalah. Aku memilih diam,
“Jadi kau kesal memikirkan patung-patungmu sampai merasa gila seperti ini?” lanjut Nabila. Aku tetap diam. Kesal.
“Ngomong-ngomong berapa kali karyamu ditolak mereka?” tanya Nabila lagi. Aku semakin kesal dengan deretan pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan kesal pula aku menjawab,
“Lebih dari seratus kali. Biarlah aku berhenti saja jadi pematung! Sepertinya aku tak berbakat dalam bidang ini,” gerutuku.
Nabila kembali tertawa setelah mendengar jawaban dariku. Kali ini tawanya membuatku kesal. Aku pun mulai naik pitam.
“Kalau kau datang kesini hanya untuk menertawaiku, lebih baik kau pulang saja jangan semakin memperkeruh suasana hatiku. Karena ini bukan sebuah lelucon Nabila!” bentakku pada gadis itu.
Sontak Nabila diam, sepertinya ia menyadari betul letak kesalahannya.
“Maafkan aku Arman, bukan maksudku begitu,” sahutnya kemudian.
“Lalu apa maksudmu menertawaiku?!!”
“Ku harap kau jangan marah, begini loh maksudku,” kata Nabila lagi. Dia terdiam sejenak. Gadis berbibir manis itu sedang memikirkan sesuatu. Kemudian ia pun berkata,
“Aku rasa perjuanganmu masih belum seberapa jika dibandingkan dengan seorang Thomas Alva Edison dan Alexander Graham Bell, Arman. Bukan aku bermaksud menciutkan semangatmu, tapi bukankah kamu tahu bahwa Thomas Alva Edison melakukan eksperimennya sebanyak sembilan ratus sembilan puluh sembilan kali, tapi semuanya gagal total. Meskipun semuanya gagal, namun dia tetap terus bersemangat menekuni eksperimen demi eksperimen sehingga pada eksperimen yang keseribu kalinya, dia mampu menyelesaikan dengan penuh keberhasilan. Bahkan keberhasilan itu masih terasa hingga sekarang, bumi kita ini terang benderang dengan cahaya lampu di waktu malam, kita bisa bermain musik bahkan bisa menonton televisi kapan saja,”
“Selain itu, tak jauh berbeda dengan Thomas, seorang Alexander Graham Bell juga mengalami hal yang sama. Dia terus memperjuangkan penemuannya meskipun banyak kalangan yang mencemooh hasil penemunnya itu. Dengan kesabaran yang teguh dan semangat yang tinggi pula, akhirnya sang Alexander Graham Bell mampu mewujudkan mimpi-mimpinya itu. Hasilnya juga masih terasa hingga sekarang loh, Man. Dia kan penemu kinerja telepon yang bisa digunakan berkomunikasi jarak jauh itu. Seperti ini, handphone kita. Jadi, aku rasa, kau masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka.” jelas Nabila dengan mata menatapku tajam. Aku diam seribu bahasa, mulutku seakan bungkam dan terkunci rapat mendengar penjelasan gadis berambut lurus sebahu itu.
“Ingatlah Arman, sahabatku. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Jika kau ingin merasakan kesuksesan, mau tidak mau kau harus merasakan yang namanya kegagalan. Bukankah seorang bayi tidak bisa langsung berjalan? Melainkan masih memasuki proses merangkak. Insyaallah suatu saat nanti kau pasti bisa berjalan, bisa menghadapi kesuksesan. Asal saja, kau terus berusaha dan berdoa kepadaNya. Ingat satu hal Arman, Allah tidak suka dengan orang yang mudah berputus asa. Dengan begitu, janganlah kau terpuruk begini wahai sahabatku, bangkitlah dan terus berkarya.” lanjut gadis itu menepuk pundakku beberapa kali.
Kembali aku mencerna kata-kata Nabila. Beberapa menit berlalu, aku pun menatap raut wajah sahabatku yang teduh itu. Wajahku terasa segar kembali, aku pun kembali sumringah di hadapan Nabila. Rasa pening di kepalaku sedikit mulai berkurang. Aku merasa mempunyai pencerahan melalui kata-katanya. Kata-kata semangat dari bibir Nabila yang diam-diam kukagumi.
“Nah....semangat dong... Jangan takut menghadapi kegagalan. Oke?” tambah Nabila menyunggingkan sebuah senyuman manisnya padaku. Kuterima senyuman itu dengan dada bergetar.
***
Perempuan itu, selalu saja bisa membuatku bangkit kembali, meski aku telah jatuh ke dasar samudra sekali pun. Nabila. Sahabat yang kukenal secara tak sengaja ketika hendak menawarkan hasil karyaku. Ketika itu, dia sedang mengantar sepupunya yang datang dari Serang membeli cendera mata untuk oleh-oleh. Dia yang melihatku tengah memegang patung, mengira aku sebagai pemilik toko. Panjang lebar dia bercerita tentang sepupunya yang menginginkan kesenian yang unik sebagai buah tangan untuk keluarganya di Serang, tak memberi kesempatan sedikit pun padaku untuk menyelanya. Penjaga toko itu sendiri, hanya diam mematung melihat tingkah Nabila yang seronok itu, memanggapku pemilik toko, padahal aku pun baru kali itu mampir di toko tersebut. Dasar! Ada-ada saja.
Setelah lama menceracau, akhirnya Nabila berhenti bicara juga, kehabisan kata.
“Maaf Mba, saya bukan pemilik toko ini. Saya sama-sama pengunjung kok. Itu pemilik tokonya.” tuturku sembari menunjuk sopan pada pemilik toko yang sejak tadi memperhatikan kami.
Lucu sekali jika ingat mimik wajah Nabila saat itu. Tersentak dan langsung memerah seperti kepiting rebus. Demi etika, kutahan sekuat tenaga tawa yang membuncah di dada. Padahal, jika dia telah benar-benar menjadi sahabatku, aku akan meledeknya habis-habisan, tertawa terbahak tiada henti.
Sejak itulah kami berkenalan. Dan secara kebetulan, ternyata ibuku adalah teman pengajian ibu Nabila. Dengan banyak sekali kebetulan-kebetulan lain, akhirnya aku menjadi sedekat sekarang dengan Nabila. Atau mungkin, ini semua memang takdir. Jalan Tuhan untuk mempertemukan kami, bukan hanya sekedar kebetulan. Mungkin saja.
Aku tersenyum ketika memoriku dengan Nabila tiba-tiba berderai begitu nyata dalam benakku, seperti menonton film, hanya saja, filmnya tak tampak oleh kedua mataku, tapi nampak oleh mata hatiku. Tuhan, mungkinkah dia jodohku? Semoga saja.
Nabila itu sempurna. Dia pintar. Dia ramah. Dan yang terpenting, dia cantik, baik secara fisik maupun kepribadian, yahh meski harus kuakui dia terkadang juga menyebalkan. Tak heran jika berlama-lama ada di dekatnya. Aku merasa, cinta mulai bersemi di hatiku. Dia mampu meretaskan dinding-dinding keangkuhan yang selama ini begitu kokoh terbentuk di hatiku. Memang cinta terkadang sulit dimengerti.
Tapi sejauh ini, Nabila tak mengetahui soal perasaan yang kupendam ini, bahkan mungkin dia tak terbayang sama sekali, bahwa seorang pematung buluk sepertiku, berani mencintai wanita sesempurna dirinya. Bisa menjadi sahabat pun sudah hebat. Entahlah, aku terlalu takut menyatakan perasaan ini pada Nabila, aku takut dia menolak cintaku.
“Arman…”
Sebuah suara yang sangat kukenal tiba-tiba berdengung di telingaku. Membuyarkan semua lamunanku. Kulihat Nabila berdiri di depan pintu yang terbuka. Masih dengan senyum jailnya, dia menghampiriku.
“Ngelamun apaan sih siang bolong begini? Serius amat! Lagi jatuh cinta ya?” goda Nabila sembari terkekeh.
“Jatuh cinta sama kingkong!” jawabku keki diledek seperti itu oleh Nabila. Andai Nabila tahu bahwa dialah satu-satunya perempuan yang telah merampas semua cinta yang kupunya saat ini.
“Ciee… Arman lagi falling in love nih, sama kingkong lagi. Hehehe…” Nabila terus meledekku, membuatku jengah.
Akhirnya ku putuskan untuk mengajaknya pergi, sebenarnya sih hanya berusaha mengalihkan pembicaraan. Aku takut Nabila bertanya terlalu jauh tentang siapa gadis yang kucintai itu.
***
Hari beranjak senja. Sepanjang siang tadi, aku dan Nabila menghabiskan waktu dengan berkeliling Bandung. Mencari kios-kios cendramata untuk menawarkan patungku. Siapa tahu ada yang berminat. Ya, bisa dibilang sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sambil usaha memasarkan patung, aku juga kencan dengan Nabila. Meski patungku tetap tak terjual satu pun, tapi menyenangkan sekali bisa menghabiskan banyak waktu dengannya.
Sore itu, kami sepakat untuk menyusuri sebuah jalan layang dengan berjalan kaki. Nabila yang mengajakku. Awalnya aku enggan, untuk apa juga menyusuri jalan layang yang jelas-jelas bukan untuk pejalan kaki, tapi kupikir, ada baiknya juga, agar aku tak segera berpisah dengan Nabila. Aku menyetujuinya.
Jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul 17.20. Sudah sore sekali.
“Man, di situ yuk?” tiba-tiba Nabila mengajakku menepi di salah satu sisi jembatan layang.
“Ada apa sih?” tanyaku heran.
Tanpa menjawab pertanyaanku, Nabila menarik paksa tangan kananku, membuatku harus mengikutinya. Lalu dia berhenti beberapa meter dari tempat kami berhenti tadi. Dia menyuruhku mengahadap ke barat. Meski aku bingung, ku ikuti saja kemauannya.
Astaga! Ternyata ini yang ingin diperlihatkan Nabila kepadaku. Pemandangan yang sangat indah tak terperi. Di hadapanku, terbentang langit jingga yang mempesona. Terkadang kawanan burung berlalu membelah langit, sembari bersenandung merdu melodi cinta. Matahari ku lihat jelas di ufuk barat menyampaikan salam perpisahan. Perlahan semakin rendah tenggelam menyelusup di antara deretan rumah kumuh di ujung pandang mata.
Kami terdiam menikmati matahari terbenam. Kulihat sekilas wajah cantiknya yang berhias senyum penuh kedamaian. Rambutnya sedikit berantakan terhempas angin yang semilir. Sungguh menakjubkan sore ini.
“Arman… maafkan aku ya, kalo selama ini aku banyak banget salah sama kamu, gak bisa jadi sahabat yang baik buat kamu. Kalo nanti aku gak ada, kamu gak usah cari aku. Karena sebenernya aku selalu ada di hati kamu.” tiba-tiba Nabila membuka suara, namun apa yang dibicarakannya, sungguh membuatku terkesiap. Apa maksudnya?
Aku menerka-nerka makna pembicaraan Nabila. Mungkinkah dia memiliki suatu penyakit dan usianya tak lama lagi? Itu tidak mungkin, karena selama ini Nabila justru sangat menjaga kesehatannya.
“Apa maksud kamu, Nab?” tanyaku dengan alis bertaut dan kening yang berkerut.
Bukannya menjawab pertanyaanku, Nabila hanya tersenyum penuh arti. Senyuman yang tak dapat ku terjemahkan. Lalu, dia melenggang meninggalkanku yang terpaku bingung di tempatku.
***
Sudah seminggu berlalu sejak hari itu, hari di mana aku menikmati senja berdua bersama Nabila. Nabila tak pernah lagi datang ke rumahku, tak juga menghubungiku. Dia hilang seperti ditelan bumi.
Beberapa kali aku mencoba menghubungi ponselnya, tapi selalu tidak aktif. Aku juga berusaha berkunjung ke rumahnya, tapi rumah itu selalu tertutup rapat seolah tak bertuan. Tak hanya itu, aku juga kerap kali bertanya pada ibuku soal ibu Nabila, tapi kata mama, ibu Nabila sudah lama tak mengikuti pengajian rutin. Kemana Nabila?
Aku bingung setengah mati memikirkan perginya Nabila yang tanpa pamit itu. Apakah ini yang dimaksud Nabila dengan kata-katanya sore itu? Tapi kemana Nabila sebenarnya? Kenapa dia tak berpamitan kepadaku?
Hatiku sibuk bertanya-tanya ketika seorang gadis dengan rambut sebahu menubrukku.
“Hei, pelan-pelan dong kalo jalan!” hardikku ketus.
“Maaf, saya buru-buru.” jawabnya sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, lalu berlalu tergesa.
Pikiranku kembali pada Nabila. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Apakah aku harus tetap berusaha untuk menemukannya? Atau tak perlu mencarinya seperti yang dia katakana tempo hari?
Tak terasa aku telah sampai di depan rumah. Padahal aku berjalan cukup jauh. Tapi aku tak merasa lelah sedikit pun. Mungkin karena sejak tadi pikiranku tersita oleh persoalan Nabila.
Ku jejakkan kakiku di teras rumah. Ku ucap salam perlahan kemudian melepas sepatu. Sepertinya di dalam sedang ada tamu.
Benar saja, ketika aku sampai di ruang tamu, mama tengah berbincang akrab dengan seorang perempuan. Perempuan itu! Perempuan yang tadi menabrakku. Ada apa dia di sini?
“Lho, kamu bukannya yang tadi nabrak saya?” cecarku penuh tanya.
“Oh iya, maaf soal yang tadi, Mas. Perkenalkan nama saya Nabila. Nabila Arisa Putri.” tuturnya ramah sekali, nyaris mengganti semua kesanku tentangnya saat pertama kali bertemu tadi. Tapi apa dia bilang? Nabila? Namanya Nabila? Apa maksudnya semua ini?
“Iya, Man. Dia ini murid papamu. Katanya mau minta bimbingan. Tapi sayang dia terlambat, karena papa baru saja pergi.” Mama menjelaskan kepadaku perihal kedatangan orang asing itu. Hmm… maksudku Nabila Arisa Putri.
Bertemu seorang Nabila lagi secara tak sengaja, ketika aku kehilangan Nabilaku yang ku cintai. Mungkinkah semua ini kebetulan saja?
“Ohh…” sahutku pendek, tak mampu menjawab lebih dari itu. Aku melenggang masuk kamar. Tidak sopan sih, tapi biar sajalah, dia juga tadi tidak sopan menabrakku seenaknya.
Aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Sekarang, pikiranku makin runyam dengan datangnya Nabila baru ini. Apa mungkin Tuhan hendak menggantikan perginya Nabila Shafira dengan kedatangan Nabila Arisa Putri?
Nabila Arisa Putri, jelas berbeda dengan sahabatku Nabila. Dia tak secantik Nabila yang selama ini kukenal. Lebih pendek, kulitnya lebih gelap, tapi ada sesuatu yang menarik, dia lebih ramah. Hanya itu yang bisa kuceritakan soal Nabila Arisa Putri, karena aku memang belum terlalu mengenalnya. Dan aku pikir aku tak perlu juga mengenalnya lebih jauh.
Setelah berjalan berkeliling Bandung mencari Nabila seharian ini, aku merasa persendianku serasa mau copot. Lelah sekali. Tak terasa aku pun terlelap.
***
Empat hari lagi Nabila berulang tahun, tapi tak juga ku dengar sedikit pun kabar tentang dirinya. Entah kemana dan kenapa, aku sama sekali tidak tahu. Seharusnya, dalam ulang tahunnya kali ini, aku bisa mengahabiskan waktu berdua dengannya. Memberikan kejutan-kejutan manis yang akan selalu dikenangnya. Tapi nyatanya, sampai detik ini pun, Nabila tak terlihat batang hidungnya.
Lama melamun soal Nabila, tak terasa aku berjalan terlalu jauh. Aku sama sekali tak mengenal wilayah ini. Sepanjang jalan hanya hutan dan pepohonan yang ku lihat. Kenapa aku bisa sampai di sini?
Ya Tuhan, memang ini semua kebodohanku. Aku berjalan tanpa memikirkan arah kakiku, yang ku pikirkan hanya Nabila, Nabila, dan Nabila terus, hingga sekarang aku tersesat di sini. Hendak mencari Nabila, malah terhempas di wilayah tak kuketahui.
Karena lelah aku pun akhirnya beristirahat di bawah sebuah pohon. Beberapa hari ini sepulang kuliah, aku sengaja berjalan kesana kemari, menyusuri jalanan, mencari keberadaan Nabila, tapi hasilnya selalu nihil.
Aku memandang berkeliling, berusaha menemukan sebuah petunjuk akan keberadaanku. Pandangan mataku berhenti pada sebuah kayu gelondongan yang cukup besar, tergeletak begitu saja di tanah. Ku dekati dan ku perhatikan sejenak. Tiba-tiba, di benakku muncul sebuah ide, ide yang hebat. Dilihat dari keadaan kayunya, nampaknya kayu itu tak ada yang memiliki. Maka aku memutuskan akan membuat sebuah maha karya dengan kayu itu. aku akan membuat sebuah patung untuk kado ulang tahun Nabila.
Aku tersenyum puas dengan pemikiranku. Sayangnya, kayu ini terlalu sulit kalau harus kubawa ke rumah. Tapi itu bukan akhir segalanya, kalau kayu itu memang tidak bisa dibawa ke rumah, maka aku yang akan datang ke sini. Ya, aku akan membuat patung ini di sini. Toh suasana di sini sangat nyaman, sepi dan tentram, hanya beberapa kendaraan berlalu di jalan raya yang membelah hutan tersebut.
Rasanya aku sudah tak sabar mewujudkan anganku itu. Bergegas aku kembali ke tepi jalan. Tadi aku datang dari arah barat, berarti aku harus kembali menyusuri jalan tersebut.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku menemukan kehidupan kota. Aku memberhentikan sebuah angkutan umum dan pulang ke rumah.
Ternyata di rumahku ada Abil. Abil itu adalah panggilanku untuk Nabila Arisa Putri, agar tak tertukar dengan Nabila sahabatku. Abil seperti biasanya tengah berbincang dengan papa dan mama dengan tumpukan kertas di tangan. Belakangan ini, Abil memang sering datang ke rumahku, kudengar dari papa sih katanya dia hendak meminta bimbingan pada papaku untuk menyusun skripsinya. Aku juga tak mengerti mengapa bimbingannya harus dilakukan di rumah, padahal sudah ada kampus.
Aku menyapanya ramah. Banyaknya intensitas pertemuan di antara kami, akhirnya membuat kami semakin dekat. Abil itu seusia denganku, tapi dia bisa lebih dulu menyusun skripsi, sedangkan aku, ada beberapa mata kuliah yang harus kuulang karena mendapat nilai D.
“Aku ke kamar dulu ya.” ujarku mohon undur diri seraya mengulas senyum pada Abil. Dia menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil.
***
Segala sesuatu sudah kupersiapkan mulai dari alat untuk memahat, hampelas, dan lain sebagainya. Semuanya ku masukan dalam ranselku. Hari ini tidak ada jadwal kuliah, jadi aku bisa pergi dari pagi.
Setelah semuanya siap, aku menyapa mama di ruang makan dan mengambil setangkup roti yang telah disiapkan mama.
“Ma, Arman mau pergi dulu ya. Ada urusan.” Pamitku pada mama.
Ya ampun, perempuan itu! pagi-pagi begini dia sudah bertengger di salah sofa ruang tamuku, menemui papa yang sepertinya baru bangun tidur. Sepenting apa sih urusannya sampai datang sepagi ini? Umpatku dalam hati.
“Pagi Arman…” sapanya bersemangat.
“Mau kemana?” sambungnya.
“Ada urusan, Bil.”
“Oh, kebetulan, aku juga sudah mau pulang. Kita bareng aja.” gumamnya. Padahal aku tidak bilang mau kemana, tiba-tiba dia mengajakku begitu saja. Terserah sajalah. Kemudian kami beranjak meninggalkan rumah setelah berpamitan pada papa.
“Mau kemana, Man?” tanyanya membuka perbincangan.
“Mau ke hutan, Bil.”
“Ke hutan? Tak salah? Mau apa ke hutan?”
Aku pun mulai bercerita tentang Nabila, juga tentang rencanaku hari itu. Lengkap dari A sampai Z. Tak tertinggal sedikit pun. Aku pikir, aku bisa mempercayainya, aku sudah penat menyimpan semua beban ini sendiri.
Kulihat Abil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin tanda mengerti.
“Kalau begitu, aku ikut ya?”
“Hah?” aku melongo dengan tanggapan Abil. Ini respon di luar dugaanku.
“Bolehkan?”
Akhirnya aku pun hanya mengangguk tanda setuju, tak enak kalau menolak, dia sudah mau mendengarkan ceritaku sejak tadi.
Aku sudah hafal betul jalan menuju hutan itu. Jarak dari tempat kami berhenti naik angkutan umum sampai ke tempat tergeletaknya kayu itu cukup jauh. Tapi kulihat tak ada rona lelah sedikit pun di wajah Abil. Dia terlihat sangat ceria dan bersemangat.
Sesampainya di sana, aku langsung mengeluarkan semua peralatanku. Pertama-tama aku memotong kayu itu secukupnya. Sekitar setengah meter panjangnya, itu cukup untuk membuat patung manusia setengah badan. Kemudian aku mulai memahat kayu tersebut perlahan. Mengukirnya hingga membentuk sebuah wajah yang sangat ku kenal.
Proses ini memakan waktu yang cukup lama. 3 jam aku menghabiskan waktu untuk memahatnya, tapi aku belum juga memperoleh bentuk yang ku inginkan. Aku bekerja sepenuh hati, menciptakan lekuk-lekuk wajah yang sempurna. Jujur ini pekerjaan yang sulit. Tapi aku melakukan ini dengan senang hati, dengan penuh cinta, dengan segenap cintaku pada Nabila.
Ku perhatikan selintas Abil yang tengah duduk di salah satu akar pepohonan yang mencuat ke permukaan tanah. Senyumnya tetap melekat anggun di bibirnya. Padahal dia sudah duduk di sana selama beberapa jam, memperhatikanku dengan seksama, tapi dia tak merasa bosan.
“Man, kamu hebat deh. Dari patungnya saja, aku sudah tahu bahwa Nabila sahabat kamu itu pasti cantik.” Puji Abil yang terdengar tulus di telingaku.
Aku hanya tersenyum simpul seraya melanjutkan kembali pekerjaanku. Aku hanya tinggal membuat lekuk pada rambutnya. Setelah itu menghaluskan permukaan kayu dengan hampelas dan terakhir mengecatnya.
***
Usai sudah. Sebuah patung yang mirip sekali dengan wajah Nabila terpampang di hadapanku. Aku tersenyum bangga sekaligus puas bisa menyelesaikan patung itu, bahkan dengan waktu yang terbilang singkat.
Aku tak menyangka sama sekali bahwa patung yang teronggok di atas mejaku itu adalah hasil karyaku. Mungkin ini terkesan narsis, tapi sugguh patung ini indah sekali. Mirip dengan aslinya. Inilah yang patut disebut maha karya.
Mungkin kekuatan cinta yang menggerakkan tanganku ketika memahat patung ini. Rasa rindu yang membuncah yang menjelma pada patung ini. Aku memberi nama hasil karyaku itu “Pahatan Cinta”. Manis sekali kedengarannya. Nab, lihatlah patung ini, untukmu, kado ulangtahunmu.
Hari ini, aku hendak membawa patung itu pada sebuah galeri yang kebetulan sedang mengadakan pameran seni karya, terutama patung. Aku dibantu Abil, beberapa hari yang lalu menawarkan patung itu. dan tanpa diduga, setelah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali karyaku ditolak mentah-mentah oleh sejumlah galeri, akhirnya galeri itu setuju untuk memasarkan patungku dalam pameran hari ini. Tepat pada ulang tahun Nabila.
***
Pukul sepuluh malam, pameran selesai. Ternyata banyak sekali penikmat seni yang tertarik pada karyaku. Senang sekali rasanya. Terima kasih Nabila, terima kasih karena kau menjadi inspirasiku.
Karena banyaknya peminat, akhirnya terpaksa pihak galeri mengadakan lelang untuk patungku. Ini semua seperti mimpi. Aku nyaris tidak percaya. Patungku, patung penuh cintaku itu, laku dengan nominal lima puluh juta rupiah. Dan uang sebesar itu kini ada di tanganku, dalam sebuah cek. Ahh, Nab, andai kau ada di sini. Tentu kau akan tersenyum melihat semua ini.
Aku berusaha menembus kaca jendela taksi yang ku naiki. Melihat keadaan di luar. Kudengar, kalau malam tempat ini berjejalan para pelacur tak berharga diri yang menjajakan kehormatannya. Benar saja, di sana tercecer perempuan-perempuan dengan busana yang sangat minim dan muka penuh polesan menebar senyum murahan. Berusaha mengajak para pria hidung belang untuk sekedar mampir.
Saat itulah aku tersentak kaget melihat seorang perempuan dengan gaun merah yang sangat menjiplak bentuk badannya tengah menggoda seorang pria paruh baya di sisi jalan. Seketika aku menghentikan taksi dan melonjak keluar. Kuhampiri perempuan itu dengan dada bergemuruh.
Jika ada saatnya manusia boleh tak percaya dengan pandangannya, maka aku menginginkan inilah saatnya. Aku sangat berharap aku salah mengenali orang, karena dalam hati aku mengingkari bahwa itu orang yang kucari selama ini. Perempuan rendah itu, tak mungkin sahabatku.
“Nabila…” aku sungguh berharap perempuan itu bergeming dan tak mempedulikan panggilanku, karena itu berarti dia bukan Nabila. Sayangnya…
“Arman…” sahutnya terkejut seterkejut aku saat melihatnya tadi.
Astaga! Ternyata itu Nabila, benar-benar Nabila, gadis yang kucintai. Aku tergesa menggenggam pergelangan tangannya ketika dia hendak berlalu meninggalkanku. Tanpa terasa, mataku mulai tergenang airmata. Sakit sekali rasanya.
“Nab, kenapa seperti ini? Aku mencarimu kemana-mana, tapi kenapa aku harus menemukanmu di tempat seperti ini?” cecarku meminta penjelasan Nabila.
“Aku sudah bilang, kamu tidak usah mencariku. Ini jalan yang kuambil, Arman. Mohon hargai, karena kamu tak mengerti keadaan yang sebenarnya…” jawab Nabila tertahan seolah memendam derita yang mendalam.
“Kenapa kamu berbuat seperti ini, Nab? Kamu butuh uang? Di tanganku ada cek senilai lima puluh juta, hasil menjual patung wajahmu. Tadinya patung itu memang akan kupersembahkan untukmu hari ini, di hari jadimu, sayangnya kau menghilang begitu saja. Uang ini akan kuberikan padamu, sebagai kado ulang tahun dariku, asalkan kau berhenti dari pekerjaan ini, Nab.” Tuturku panjang lebar.
“Tidak Arman, maaf. Kau bawa saja uangmu itu, simpan baik-baik untuk tabungan masa depanmu. Aku turut senang kalau akhirnya kamu sukses. Maaf Arman, aku tak bisa kembali. Pergilah…”
“Nab…!!”
“Baiklah, biar aku yang pergi. Kau baik-baik Arman…”
“Aku mencintaimu Nabila… Ku mohon jangan pergi…” ujarku lirih ketika Nabila berlalu di hadapanku dan menggandeng seorang pria hidung belang.
***
Novelet ini ditulis berkolaborasi antara Aswary Agansya dan Mutaminah Sang Penulis.
Identitas Penulis :
Nama Pena : Aswary Agansya
Tetala : Surabaya, 4 Oktober 1987
Alamat: Jl. Durian 52 Sampang-Madura
Email : aswary.agansya@gmail.com
Nama : Mutaminah
Tetala : Bandung, 26 April 1992
Alamat :Jl. Sukanegla 26 Bandung
Email : mutaminah.orangbaik@yahoo.com
eheheh.
BalasHapusmejeng di sini namaku :)
Hai Muty... Iya tuh, Namamu mejeng. hehehe....
BalasHapus