Air mataku tertahan bila mendengar nama sosok lelaki yang sering
kupanggil "Bapak". Ya, gumpalan air mata itu seakan berhenti tersekat
menggenangi kelopak mataku ini. Entah mengapa hatiku pun bergetar pilu seiring
bayangan Bapak hadir di hadapanku. Dulu, ada tempat untuk mengadu kegamanganku.
Tapi kini tempat itu sudah semu bak angin lalu. Hal itu dikarenakan jasad Bapak
telah lama meninggalkanku dan terkubur di bumi Madura, 14 tahun yang lalu.
Akan tetapi, jika aku memutar kembali memori kenangan bersama Bapak,
pasti aku akan selalu bersemangat untuk terus maju dan merevolusikan darah
Bapakku yang mengalir di tubuhku, sehingga menjadi darah pejuang yang tak akan
pernah dilupakan oleh waktu.
Dulu saat aku masih dalam pangkuan Bapak, Bapak sempat bercerita
padaku tentang sejarah keluarga kami. Mengapa dan bagaimana latar belakang kami
bisa hidup di Kota Pahlawan Surabaya,
kota yang
suasananya jauh berbeda dengan kampung halaman kami di Madura.
Sebenarnya Bapakku pria asli Pulau Madura. Dia berasal dari keluarga
sederhana yang terletak di pedalaman desa. Jangankan melihat gedung tinggi
perkotaan yang menjulang, jalan beraspal pun rasanya tak pernah ia temui kala
itu. Yang ada hanyalah puluhan sawah dan pepohonan besar yang mengelilingi
pedesaan terpencilnya. Dan tak ketinggalan pula, ribuan pohon bambu yang sangat
lebat berdiri tegak mengelilingi seluruh desa terpencil bernama Desa Bhulang
itu. Makanan yang selalu Bapak makan bukanlah nasi putih seperti sekarang,
melainkan rebusan ubi dan singkong yang tumbuh liar di sekitar pekarangan desa.
Terkadang jika ada beras, terlebih dahulu beras yang akan dimasak tadi dicampur
dengan gilingan jagung. Itu pun dimakan tanpa lauk. Benar-benar tidak dapat
kubayangkan susahnya perekonomian Bapak saat itu.
Diam-diam Bapakku jenuh dengan kehidupan di desa terpencil tempat
kelahirannya. Tempat itu bagi Bapak tak ubahnya sebuah penjara nyata, tidak
menjanjikan kehidupan yang lebih layak untuk masa depannya. Bapak mulai bingung
harus berbuat apa untuk menghilangkan kejenuhannya tadi, terutama keinginan
untuk merubah hidupnya yang serba kekurangan menjadi ke arah yang lebih baik.
Bapak terus berpikir dan berpikir mencari jalan keluar terbaik dibalik
kegalauan hatinya yang kian hari kian berkecamuk.
Lama berpikir, akhirnya Bapakku bertekad ingin merubah hidupnya
dengan cara merantau ke suatu tempat. Ya, ia ingin merantau ke Kota Surabaya.
Yang membuat unik lagi, Bapak pergi ke Surabaya
bukan dengan cara naik kendaraan bermotor. Melainkan berjalan kaki dan tanpa
membawa bekal apapun. Bayangkan saja, di zaman modern seperti sekarang untuk
pergi ke Surabaya
dengan mengendarai angkutan umum, masih membutuhkan waktu kurang lebih tiga
atau empat jam, bagaimana kalau dilalui dengan jalan kaki? Percaya atau tidak,
ternyata waktu yang Bapak butuhkan untuk merantau ke Surabaya saat itu bukan hanya sehari dua
hari, namun satu pekan lamanya. Oh, aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya
kaki Bapak selama meniti jalan menuju kota
perantauannya.
Selama perjalanan, jika Bapak merasakan lapar, apapun pasti akan dia
makan. Mulai dari dedaunan sampai buah mengkudu yang jatuh dari pohon tepat
bersebelahan dengan kotoran sapi pun tetap Bapak makan.
"Apa pun akan bapak makan untuk mengisi perut yang kosong.
Walaupun itu hanya sebatas dedaunan saja, nak." Jelas Bapak sambil
menerawang kejadian yang dulu pernah ia alami.
Aku yang mendengar penuturan itu hanya bisa mengangguk pelan. Hm...
Andai saja aku berada dalam posisi Bapak, pasti aku tidak akan tahan dengan
keadaan tersebut, jalan kaki yang begitu jauh, makan seadanya, apalagi hanya
dedaunan saja. Pasti ketegaranku hilang sebelum tiba di tempat tujuan, pikirku
sambil ikut menerawang.
Sesampainya di Surabaya, Bapakku masih saja dilanda kesengsaraan.
Cahaya cinta dan bahagia belum berpihak padanya. Ia pun menggelandang menjadi
tukang pembersih sampah yang tergabung dengan anggota pasukan kuning Surabaya. Ya, Bapakku
adalah tukang sampah. Hampir semua jalan di Surabaya bagian utara Bapak lalui sambil
menarik gerobak sampah. Dan itu semua Bapak lalui dengan dua kata ajaib yang
selalu ia bawa berupa "ikhlas" dan "sabar".
Berhari-hari Bapak mengumpulkan upah yang ia terima dari sang mandor
untuk dijadikan modal usaha. Namun, untuk mendapatkan modal yang cukup sangatlah
terasa sulit. Maka dari itu, Bapak tidak hanya berpatokan pada pekerjaannya
memungut sampah saja, akan tetapi dia makin merambah menjadi tukang jual es
keliling. Jadi, jika pagi atau sore memungut sampah maka siang hari Bapak
keliling kampung membawa termos menjajakan es dagangannya. Kepingan demi
kepingan uang logam Bapak kumpulkan dengan bertumpu pada kesabaran yang ia
tanam lekat-lekat dalam dada.
Hidup tanpa cobaan, bagai sayur tanpa garam. Terasa tidak lengkap.
Mungkin seperti itu kata bijak mengatakan. Sesabar-sabarnya Bapak mengumpulkan
modal, pasti dia akan mendapatkan cobaan juga. Ya, menjelang impiannya
tercapai, tiba-tiba Bapak terserang penyakit Hernia. Hernia merupakan sebuah
penyakit yang disebabkan karena kelemahan otot dinding perut akibat bekerja
mengangkat barang-barang yang berat. Dan itu pun harus segera dioperasi.
Pelan-pelan Bapak syok dengan keadaannya. Habislah sudah tabungan Bapak yang
selama ini telah terkumpul untuk membiayai proses operasi.
Saat itu pula Bapak mulai putus asa dalam menghadapi hidupnya. Hasil
perjuangannya dalam perantauan telah habis terkuras hanya dalam waktu sehari
saja. Masih beruntung ada orang baik seperti Pak Bardi yang merupakan atasan
atau mandor para pekerja sampah. Pak Bardi mengatakan bahwa Bapak tidak perlu
khawatir masalah pekerjaan. Bahkan, selama berada di rumah sakit pun keluarga
Pak Bardi rela bantu menjaga Bapak yang hanya sebatangkara di Surabaya.
Begitu Bapakku keluar dari rumah sakit, Pak Bardi langsung
menempatkan Bapak sebagai mandor seperti dirinya. Hal itu dikarenakan agar
Bapak tidak lagi bekerja berat, melainkan hanya duduk memantau pekerjaan
bawahannya saja. Seperti itulah awal perjuangan Bapak sehingga akhirnya bisa
hidup bahagia seperti sekarang. Sungguh luar biasa dampak dari kata
"Sabar" dan "Ikhlas" tadi ya.
Bayangan sejarah Bapak selalu memberikan energi yang berbeda pada
diriku. Selepas kepergian Bapak empat belas tahun lalu yang membuatku menjadi
anak yatim benar-benar menyiksa batinku. Melakukan apapun terasa tidak lengkap
tanpa hadirnya Bapak. Aku kehilangan kasih sayang dari seorang Bapak. Akan
tetapi aku harus sadar diri bahwa kehidupan itu adalah sebuah misteri yang
harus tetap dilalui.
Lewat sejarah kehidupan ini, aku ingin menitipkan seuntai kata untuk
Bapak yang telah tenang di alam sana.
Sebuah kata-kata yang mungkin tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
perjuangan Bapak dalam melawan kesengsaraan dan mengubahnya menjadi sebutir
kebahagiaan hakiki.
Bapakku, kau adalah sejarah terbaik dalam hidupku. Yang dapat mengajariku
akan sebuah keikhlasan, kesabaran, keistiqomahan, ketegaran, dan perjuangan
dalam menjalani roda-roda kehidupan ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana
seandainya kala itu Kau tetap bersimpuh di desa terpencilmu. Mungkin saja kini
keluargamu akan tetap berada di garis kesengsaraan, yang hanya mengharapkan
makan dari tangan orang. Aku bangga menjadi bagian dari darahmu, dagingmu, dan
keluargamu, Bapak! Kenangan masa lalu itu membuatku rindu akan ragamu Bapakku,
sekaligus menanamkan sebuah semangat baru bahwa aku ingin menjadi pejuang hidup
sepertimu. Ya, sepertimu Bapakku!
***
Tentang Penulis
Aswary Agansya lahir di Surabaya pada
tanggal 4 Oktober 1987. Sejak kecil Aswary memang gemar sekali membaca dan
menulis. Sekarang dia tengah menempuh pendidikan di Universitas Madura jurusan
Bahasa Dan Sastra Indonesia. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah
Antologi Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), Antologi E-Love
Story #21 (Nulisbuku.com, 2011), Antologi Curhat Cinta Colongan #3
(Nulisbuku.com, 2011), Novel Imagination Of Love (LeutikaPrio, 2011), Novel
“Menari di Atas Tangan” (LeutikaPrio, 2011), Antologi Surat Terakhir Untuk
Penghuni Venus, dan Antologi Long Distance Friendship. Insyaallah akan
menyusul, karena masih dalam proses penerbitan adalah, Antologi Surat Untuk
Jodohku dan antologi Dear Someone. Jika ingin berinteraksi dengan Aswary
Agansya, bisa melalui facebook dan email: aswary.agansya@gmail.com atau melalui
blog www.aswarysampang.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar