"Siapa yang menanam, pasti dia yang akan menuai hasilnya" begitulah
kata pepatah yang sering aku dengar. Aku sangat paham dengan kalimat
itu, tapi entah mengapa aku mengabaikan makna yang tersirat di dalamnya.
Aku sering melakukan hal-hal yang kuinginkan tanpa memikirkan dulu
manfaat dan akibatnya. Hm, mungkin karena darah mudaku masih bergelora
kala itu, sampai-sampai aku tak peduli pada siapa pun yang coba
menghalangi rasa ingin tahuku.
Terus terang saja, saat aku
masih SMA, aku bukanlah tergolong siswa yang nakal dan juga bukan
tergolong siswa pendiam. Bisa dibilang aku siswa yang biasa-biasa saja,
yang tidak mudah dikenal para guru karena tidak terlalu aktif di kelas.
Maklum masih pemalu. Namun begitu, sebagai seorang peserta didik,
tentunya aku memiliki sifat yang hampir sama seperti teman-temanku yang
lain dalam mengapresiasi seorang guru. Kalau memang guru itu asik dalam
mengajar, ya pasti kami menyayanginya. Begitu pula sebaliknya, kalau
dalam menjalani kegiatan belajar mengajar guru tersebut memakai sistem
super ketat dan membosankan, tentunya kami merasa sebal pada guru yang
bersangkutan.
Oke, aku sadar bahwa seorang guru itu
merupakan sesosok manusia yang patut digugu dan ditiru, guru apa pun
itu. Hal tersebut dikarenakan guru adalah orang tua kedua setelah ayah
dan ibu kandung kita di rumah. Jasa seorang guru memang begitu besar
dalam dunia pendidikan, karena gurulah yang mencetak siswa-siswa
berprestasi di nusantara ini.
Kalau mengingat-ingat jasa
seorang guru, aku tak dapat menjelaskannya dengan kata-kata. Bagiku
seorang guru bukanlah seseorang yang hanya mengajar di kelas, akan
tetapi guru bagaikan orang tuaku sendiri. Seperti sosok Bu Bandiyah yang
menganggapku seperti anaknya sendiri. Dialah guruku, yang tak hanya
cerdas tapi juga teliti dalam segala hal. Ada satu kejadian yang paling
aku ingat sampai saat ini. Kejadian itu membuatku tersadar akan karma
seorang guru. Ya, balasan yang kualami saat ini dalam profesiku sebagai
seorang guru pula.
Lima tahun yang lalu, ketika aku masih
duduk di bangku kelas 3 SMA, ada seorang guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Beliau sepertinya guru paling tua dan paling senior di
sekolah faforitku. Bayangkan saja, walau pun usianya sudah mendekati
senja, Bu guru yang sering disebut Bu Bandiyah itu memiliki semangat
mengajar layaknya para pemuda di medan perang. Penuh semangat. Ya, Bu
Bandiyah merupakan guru paling disiplin di kelasku, jangankan telat
masuk kelas, lupa mengerjakan tugas rumah pun diberi sanksi yang
setimpal. Berdiri satu kaki adalah hukuman paling ringan yang akan kami
dapatkan jika tidak mengerjakan tugas-tugas dari beliau.
Siang
itu Bu Bandiyah datang masuk kelas tepat setelah bel pergantian jam
pelajaran berbunyi. Kebetulan pelajaran Bahasa Indonesia berada pada jam
terakhir, hal itu membuat para penghuni kelas alias teman-teman
sekelasku merasa jenuh. Apalagi setelah mengetahui materi yang akan
diajarkan Bu Bandiyah siang itu adalah berpidato, kami pun mendengus
semakin merasa bosan. Andai saja aku punya sayap, pasti aku sudah
terbang meninggalkan kelas siang itu. Dan kuyakin teman-temanku
merasakan hal yang sama sepertiku.
"Assalamualaikum,"
ucapan salam mulai terdengar dari balik pintu masuk. Kami para peserta
didik termasuk aku terkesiap setelah mendengar salam tersebut,
"Waalaikumsaaalaaaaaam," sahut kami serempak.
Bu
Bandiyah duduk di kursinya. Selanjutnya ia mengabsen kami satu per
satu. Dan tanpa basa-basi, Bu Bandiyah langsung berdiri menuju papan
tulis.
"Buka halaman enam puluh satu, perhatikan materi tentang pidato!" Perintah Bu Bandiyah sambil menuliskan sesuatu di papan tulis.
Salah satu temanku yang kebetulan duduk di samping kanan tiba-tiba mencubit lenganku.
"Aw...!! Sakit tau!" bisikku seraya mengerutkan dahi ke arah pemuda di sampingku.
"Eh, coba deh kamu perhatikan sepatu Bu Bandiyah," katanya.
"Kenapa?" tanyaku lalu beralih memandang sepatu bu guru yang tengah menulis di papan tulis membelakangi kami.
"Tuh,
mentang-mentang sepatu baru. Sampe-sampe capnya belum sempat dilepas.
Hahaha..." temanku pun tertawa. Aku hanya tersenyum menanggapi
ucapannya.
Setelah puas tertawa, kemudian pemuda bertubuh
kurus itu mengeluarkan telepon genggam miliknya. Ia arahkan mata kamera
ke arah Bu Bandiyah.
"Eh iseng banget sih! Dosa tau," kataku mencoba mencegah pemuda di sampingku.
"Hahaha, buat seru-seruan aja kok. Nanti kita sebarin ke anak-anak lewat bluetooth. Hahaha..." dia malah makin terbahak.
Dan
benar, setelah memotret, pemuda itu menyebarkan foto Bu Bandiyah pada
teman-teman yang lain. Sontak seluruh kelas tertawa dengan ulah pemuda
bandel tersebut. Kuakui walau aku tidak begitu suka dengan perbuatan
dia, tapi entah mengapa aku juga malah ikut tertawa.
Kembali
aku teringat kata pepatah "Siapa yang menanam, pasti dia yang akan
menuai hasilnya". Sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan di dunia
ini pasti ada balasannya, karena itu sudah sunnatullah dari Sang
Pencipta. Kini, setelah lima tahun yang lalu aku menertawai guru mata
pelajaran Bahasa Indonesiaku, aku mendapatkan balasan dari apa yang
telah kuperbuat dulu. Aku yang telah menjadi guru pun harus mau
merasakan ujian seperti Bu Bandiyah dalam menghadapi peserta didikku.
Ya, beberapa bulan yang lalu, ketika aku sedang mengajar di depan kelas,
tiba-tiba seorang murid memotretku. Tentu saja tanpa sepengetahuanku.
Aku pun mengetahui peristiwa itu ketika siswa-siswa yang lain berebut
handphone berisi gambarku. Aku hanya tersenyum menghadapi peristiwa itu.
Sempat terlintas di benakku "Inikah balasan untukku??"
Sampang, Tanah Garam, 13 Juni 2012 kala senja.
***
Tentang Penulis
Aswary
Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar
sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan
adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di
Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3
(writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3
(nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011),
antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011),
antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna
Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship
(LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara
Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya
di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar