Menjadi walikelas ternyata lumayan melelahkan. Setidaknya itulah yang kami rasakan selama kurang lebih lima bulan terakhir ini. Terlebih ketika memasuki ujian akhir semester yang harus mengurusi soal ujian dan rapor-rapor para siswa, semakin menambah kesibukan pekerjaan kami yang juga menguras pikiran. Maka dari itu, kami butuh sekali yang namanya "li bu ran".
"Teman-teman, liburan semester ini kita harus jalan-jalan ke luar kota. Entah ke Pamekasan, Sumenep ataupun Bangkalan. Atau mungkin kalau bisa ke luar pulau Madura. Asal jangan di Sampang aja. Tau nggak, otakku benar-benar butuh penyegaran nih, butuh refreshing!" Kata Lian seusai membagikan rapor siswa kelas X.
Aku, Fitroh dan Anas pun mengiyakan. Kupikir, aku juga membutuhkan penyegaran otak setelah hampir satu semester bekerja. Rasa-rasanya kepenatan yang ada di sekujur tubuh telah mencapai puncak kejenuhan. Memang sangat membutuhkan peremajaan. Maklum, kami berempat sama-sama menjadi seorang guru di tempat kerja yang sama pula. Jadi teringat ajakan seorang sahabat dari Surabaya bernama Januar yang hendak mentraktir kami nonton film "5cm", akhirnya kami menghubungi Januar dan memutuskan melakukan perjalanan ke Surabaya tepat tanggal 29 Desember tahun 2012.
Hari itu kami berencana berangkat pada pukul delapan pagi. Awal keberangkatan kami sedikit terlambat satu jam karena kondisi tubuh Anas yang tiba-tiba kurang fit. Entah mengapa tiba-tiba saja Anas mengalami gejala masuk angin. Perutnya sakit dan tubuhnya sedikit demam. Akan tetapi Anas tidak mengindahkan gejala-gejala yang ia rasakan itu. Dia malah khawatir karena sudah terlanjur berjanji pada Januar tiba di Surabaya sebelum jam dua belas siang. Anas pun coba memaksakan dirinya untuk segera berangkat mengendarai motornya bersama Lian.
Kesabaran kami benar-benar diuji oleh Tuhan. Lima belas menit berangkat dari Sampang, di ufuk barat terbayang sebuah keredupan. Pelan-pelan gumpalan awan hitam mendekati kami, menyelimuti sawah-sawah dan bukit-bukit sepanjang perjalanan. Tanpa terduga tetesan air berkah luruh menyirami seantero celah desa. Terpaksa kami harus berteduh di sebuah bengkel pinggir jalan karena tak membawa jas hujan.
Hujan itu tak begitu deras, tapi bisa membuat pakaian kami basah kuyup bila nekat menerobos jalan. Detik demi detik telah sirna seiring turunnya gerimis hari itu.
"Hujan ini nggak mungkin cepat reda. Kalau hanya berdiam diri di sini, waktu kita akan terbuang sia-sia," kata Muttaqin, teman kami yang sengaja ikut ke Surabaya karena berencana membeli tas di salah satu mall Surabaya.
"Tapi aku dan Fitroh lupa membawa jas hujan," seruku pada Muttaqin.
"Kasihan Januar yang menunggu lama di Surabaya. Kita khan janjinya tiba jam dua belas, jadi harus segera berangkat," tambah Anas.
"Tapi kan kamu juga kurang fit Nas..."
"Ah sudahlah. Ayo berangkat, yakinlah semua akan baik-baik saja,"
"Yakin?"
"Iya. Ayo." Kata Anas keukeuh. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Benar dugaanku. Tas dan celanaku basah kuyup terkena percikan hujan. Hujan rintik-rintik kini berubah deras. Langit semakin gelap karena tumpukan mendung-mendung yang tak beraturan. Untuk kali ini kami memang harus segera mencari tempat berteduh. Maklum, sepanjang perjalanan tak ada tempat yang cocok untuk dijadikan lokasi berteduh, yang ada hanyalah hamparan persawahan yang meluas beserta bukit-bukitnya yang menjulang. Pakaian kami pun semakin basah tak terelakkan. (Huffftt tak ada jalan lain selain sabarrr...)
Aha! Di depan jalan ada sebuah gubuk bambu. Walau kecil, tampaknya cocok untuk dijadikan tempat berteduh. Kusuruh Fitroh mempercepat laju motor yang kami tumpangi. Dan kami pun berteduh di gubuk bambu tua itu. Walaupun terbuat dari bambu, gubuk itu sangat bermanfaat bagi kami semua. Ada beberapa orang yang juga tengah berteduh di gubuk itu. Aku baru tahu kalau ternyata gubuk itu ternyata adalah sebuah warung. Terlihat dari beberapa orang yang membeli kopi hangat di dalam gubuk.
Aku berdiri di depan pintu menyaksikan alam sekitar yang tiba-tiba redup. Sawah yang menghijau menjadi satu-satunya pemandangan terindah yang kami nikmati pagi itu. Batas cakrawala yang tak terlihat serta gundukan bukit-bukit tampak suram karena guyuran hujan yang begitu deras. Kulihat ada beberapa ibu-ibu bercaping yang tengah melangkah cepat ke arah utara. Tampaknya mereka ingin segera pulang setelah gagal menggarap sawah yang kehujanan. Hal itu terbukti dari clurit dan cangkul yang mereka pegang. Aku sempat merinding melihat kondisi mereka yang berjalan ditengah derasnya hujan. Menurut mitos orang Madura, jika ada di persawahan sambil membawa clurit atau pisau dalam keadaan hujan, kemungkinan akan dengan mudah terkena halilintar. Sudah banyak bukti dari mitos tersebut sehingga secara tidak terencana aku juga mempercayainya. (Hehehe...)
"Sob, dah nyampe mana?" Sebuah SMS masuk ke telepon genggamku. Dari Januar.
Kutunjukkan pesan singkat itu pada teman-teman. Mereka hanya tersenyum menanggapinya.
"Jan, dsni msih ujan dras, kami lg brtduh d daerah Blega. g mgkin qta nyampe SBY jam 12" balasku.
"Dsni jg ujan. Ok qta cancel ja yg jam 12. Qta nonton jam 2 siang ja. Hti2 dsana y."
"Sip" balasku cepat.
***
Pukul 11.00 WIB
Hujan pelan-pelan mereda. Orang-orang yang sempat berteduh mulai bersiap diri beranjak dari gubuk bambu itu, termasuk aku dan keempat temanku. Kami melanjutkan perjalanan ke arah barat. Sapuan awan hitam masih menghantui alam sekitar dan pikiran kami. Tak henti-hentinya kami berdoa dalam hati agar hujan tidak turun lagi. Doa kami pun langsung diijabah Sang Ilahi.
Motor kami melewati kawasan Galis, Tanah Merah, Patemon sampai akhirnya memasuki akses kawasan Tangkek yang berlanjut ke jembatan Suramadu. Ada sesuatu yang membuatku senang, sesuatu itu tak lain dan tak bukan adalah celanaku yang sempat basah, kini telah kering seiring motor kami melewati jembatan Suramadu yang megah. Aku memang telah lupa sudah berapa kali melewati jembatan Suramadu. Namun aku tidak pernah lupa merasakan suatu hal yang berbeda dalam hati kecilku. Kembali aku merasakan sensasi berbeda acapkali menyeberangi jembatan itu. Pemandangan yang sangat kontras antara sisi Madura yang dipenuhi pepohonan dan sisi Surabaya yang berdiri gedung-gedung mewah, hamparan laut lepas, hingga perahu-perahu nelayan yang melintas di bawah jembatan terus membuatku terpesona akan keindahan semuanya. Aku merasa terbang di atas lautan selat Madura saat berada di bentang tengah jembatan.
Kulihat jam digital di handphoneku menunjukkan pukul dua belas pas. Kami pun berhenti sejenak untuk sholat Dzuhur di masjid dekat jalan menuju jembatan suramadu. Tak butuh waktu lama, seusai sholat kami langsung menuju monumen kapal selam di kawasan Jl. Gub. Suryo (kalau nggak salah sih, hehehe). Dan di sana telah berdiri dua orang pemuda bernama Januar dan Siwon menunggu kedatangan kami. Sambutan hangat seorang sahabat telah kami rasakan. Kini saatnya kami menyaksikan pemutaran film "5cm" yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Dhony Dhirgantoro di studio Sinema 21 Delta Plaza Surabaya tepat selepas makan siang.
Inilah yang aku tunggu selama ini. Tayangan demi tayangan dalam film itu membuatku semakin bangga dan mencintai Indonesia. Rasa nasionalismeku kembali membara menyaksikan kekayaan Indonesia. Tiap celah di bumi pertiwi ini memang mengandung sejuta keindahan. Keeksotisan tiada tara. Megahnya gunung Mahameru dan kisah perjuangan antar sahabat dalam proses pendakian untuk mencapai puncak tertinggi pulau Jawa itu membuatku terbakar emosi, kapan aku bisa berkunjung ke Mahameru? Kapan aku mampu membuat karya yang bisa difilmkan seperti itu? Ingin rasanya karyaku ditonton banyak orang, seperti yang kulakukan saat ini (hehe, mimpi boleh kan ya?).
Sungguh, aku tersenyum manakala menyingkapi kejadian-kejadian hari itu. Semua telah menjadi kisah baru dalam hidupku, yang tak akan pernah terlupa sepanjang hayatku. Satu pelajaran penting yang dapat kupetik hari itu, "Tak akan pernah ada jalan mulus untuk mencapai sebuah puncak. Semua pasti ada halangan dan rintangan yang mewarnai tiap perjalanan meski itu hanya berupa krikil-krikil kecil. Bila kita mampu melewati semua rintangan tersebut, niscaya menuju puncak akan dengan mudah kita capai. Harus tetap giat berusaha meraih cita-cita".
"Eh, karena lusa malam pergantian tahun, bagaimana jika kita nikmati momen itu di Yogyakarta...? Pasti seru ya?" usul Fitroh tiba-tiba selepas pemutaran film 5cm. Kami pun terbelalak tak percaya. Apaa????
(bersambung dalam episode "Selaksa Kenangan di Yogyakarta" Catatan Liburanku Episode 3).
***
Tentang Penulis
Aswary Agansya lulusan Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011), LDR (Goresan Pena Publishing, 2012), Pancaran hati Bunda (Goresan Pena Publishing, 2012). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar