"Tuhan, ada apa ini?" rutuknya seorang diri, saat melihat Ray membuka pintu kamar dan mulai pergi, "ada apa dengan hatiku kali ini?" imbuhnya lagi, sambil meremas kepala dan mengacak-acak rambutnya. Saat-saat seperti inilah, Levin, selalu merasa berada dalam lingkaran titik lemahnya, tepatnya setelah mergumul dengan seorang Ray di dalam kamar apartemennya.
"Loh, masih di situ?" kata Ray kembali menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar, membuat Levin terkejut dari kegalauan hatinya.
"Eh iya, tunggu sebentar," kikuk Levin sambil meraih kemeja kotak-kotak yang tergeletak di lantai samping ranjang. Hembusan pendingin ruangan pun menyapa kulit kekarnya. Dan tanpa bercermin, Levin pun berdiri mengenakan kemejanya, merapikan rambutnya, dan melangkah keluar setelah mengenakan sepasang sepatu sneakers warna merah.
Malam itu, adalah malam minggu. Tepatnya malam minggu ke sepuluh sejak Levin memutuskan tinggal bersama Ray di sebuah apartemen sederhana kawasan Surabaya Timur. Bagi Levin, Ray adalah sosok lelaki yang paling mengerti keadaanya. Apa pun akan Ray penuhi, asal Levin mau melayani rekannya itu kapanpun hasrat mendera mereka.
"Jadi kita mau ke mana nih," kata Ray begitu mobil keduanya bergelut dan berbaur dengan keramaian kota Surabaya.
Levin masih terdiam dan menatap jalan kota yang begitu padat oleh kendaraan, "Terserah kamu, Ray. Bukannya kamu yang mau memberiku kejutan?" timpalnya.
Dari balik kemudi, Ray pun tersenyum simpul, "Kamu kenapa sih Lev, kok akhir-akhir ini kayak nggak semangat gitu."
Levin diam. Sesekali ia melirik wajah pemuda di sampingnya, dan kembali melempar pandangannya ke depan jalan. Levin sadar kegundahan hatinya kali ini mulai terbaca oleh Ray. Levin pikir, Ray akan sangat marah bila ia mengetahui pangkal masalah di hatinya. Sehingga, untuk menyembunyikan perasaan itu, buru-buru Levin tersenyum dan mengelus pundak Ray yang masih sibuk mengemudikan mobil, "Ah, santai saja. Aku nggak apa-apa kok, Ray. Cuma sedikit kelelahan aja," keliknya.
Ray balik melirik wajah Levin, "Jadi kamu lagi nggak enak badan? Tau gitu kita nggak pergi sekalian. Istirahat di kamar."
"Nggak. Aku masih bisa nemein kamu jalan-jalan kok. Tenang aja," potong Levin cepat seraya menyungging senyumnya lebar-lebar.
***
"Pokoknya kamu harus makan yang banyak. Jangan sampai kamu lemas karena kurang makan. Apalagi sampai sakit segala, jangan sampai deh ya," kata Ray saat duduk di foodcourt mall yang dipadati puluhan pengunjung.
"Siapa yang sakit. Aku baik-baik aja kok, Ray."
"Kalau kamu sakit, ntar siapa dong yang layanin aku kalau lagi 'pengen'?" timpal Ray nakal.
Levin hanya menimpali ucapan Ray dengan sebuah senyuman, dan berharap tidak ada seorang pun yang mendengarnya.
"Halo, Kawan!" tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundak Levin.
Suara itu membuat Levin terjengah, "Edi?" gumamnya.
Edi pun tersenyum simpul sambil melirik wajah Ray. Untuk menjaga berbagai kemungkinan, buru-buru Levin beranjak dan menjabat tangan Edi, teman semasa SMAnya di Madura.
"Apa kabar kamu," kata Edi mengamati Levin dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ba, baik. Kamu sendiri gimana, udah kerja?"
"Aku ngajar di sekolah swasta di Bangkalan," jawab Edi kembali melirik Ray yang duduk sambil memainkan ponselnya, "eh, ngomong-ngomong, katanya kamu mau nikah ya, Fin. Masih sama calonmu yang dulu itu ya?"
Levin tersentak mendengar pertanyaan itu, namun ia berusaha menyembunyikan kekagetannya. Begitu juga sebaliknya, Ray jauh lebih tersentak saat mengetahui Levin memiliki seorang tunangan yang berjenis kelamin perempuan. Dia shock di atas tempat duduknya.
"Ayo jangan lama-lama. Nikah itu enak loh, Kawan. Huahaha..." canda Edi lalu tertawa.
Levin merasa kikuk dibuatnya. Dia tidak tahu harus merespon apa untuk pertanyaan teman lamanya. Di satu sisi ia ingin menjawab pertanyaan itu, namun di sisi lain ia pun harus menjaga perasaan Ray, teman terdekatnya saat ini.
"Atau kamu masih patah hati sama Reina ya? Udahlah, Reina kan masa abu-abu kamu. KUBUR semua sakit hatimu, dan carilah cinta yang baru. Huahahaha..." Edi kembali tertawa. Semakin lebar.
"Hm, doakan yang terbaik aja ya," timpal Levin sekenanya, "eh, nggak mau makan bareng kami Ed?"
"Oh, makasih-makasih. Istriku sudah menunggu lama di ujung sana. Jangan lupa ya, aku tunggu undangannya," kata Edi lalu pamit dari meja Levin dan Ray.
Selepas kepergian Edi, Ray mulai menunjukkan muka masamnya. Levin tahu dari mana hal itu berasal. Belum sempat ia memperbaiki suasana, tiba-tiba Ray beranjak dan mengajaknya pulang. Tak ada kata penolakan, selain mengikuti Ray dari belakang.
***
"Kupikir, perasaan itu TUMBUH hanya untukku!" rutuk Ray setibanya di kamar apartemen. Perdebatan di mobil tak membuatnya cukup untuk memahami apa yang tengah Levin rasakan akhir-akhir ini.
"Apa maksudmu, Ray. Nggak ada kebohongan apa pun di hatiku. Aku tulus menyayangimu. Tapi..."
"Tapi apa? Bohong maksudmu?" potong Ray sinis, "atau karena uangku?"
"Cukup Ray, cukup!" pekik Levin, "aku nggak tau harus ngomong apa lagi sama kamu. Yang aku tau, aku sangat sayang sama kamu," aku Levin sendu.
"Nggak. Kamu nggak sesayang itu sama aku," tepis Ray, melihat aktivitas kota Surabaya dari balik jendela kamarnya.
"Kamu boleh nggak mempercayai kata-kataku. Tapi, kamu harus mempercayai kesetiaanku sama kamu..."
Ray diam.
Tak ada yang bisa ia lontarkan untuk melawan ucapan kekasihnya. Bagaimanapun Levin adalah lelaki sederhana yang memiliki keluarga besar, jauh berbeda dengannya yang sudah ditinggalkan keluarga cukup lama. Hanya rasa kecewa yang kian REKAH di hatinya. Bagi Ray, kesetiaan itu bullshit!
Ray pun berdiri. Dia mengambil setumpuk uang di laci lemari, dan menyodorkannya kepada Levin. Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulutnya. Langkah kakinya langsung berayun keluar apartemen. Entah ke arah mana.
Di ujung tempat tidur, Levin menekuri uang itu, uang pesangon dari seorang Ray untuknya. Levin semakin bingung, menolak atau menerima uang itu. Yang jelas Ray sudah kecewa padanya.
Buru-buru Levin mencari secarik kertas dan bolpoin,
"Maafkan aku Ray. Sampai kapanpun, kamulah orang yang bisa melepaskanku dari rasa kesepian. Cuma kamulah orang yang bisa menciptakan kebahagiaan di hatiku. Tapi, Edi benar, realita tetaplah realita, sampai kapanpun aku terlahir sebagai laki-laki biasa, dan akan tetap seperti itu selamanya..." tulisnya.
Levin meletakkan uangnya di atas lembaran kertas itu. Walau berat, ia harus tetap pergi dari apartemen yang pernah menciptakan kenangan bersama Ray. Sesekali ia mengamati suasana kamarnya,
"Kalau nanti aku tak bahagia, aku akan mencarimu, Ray..." desisnya pelan.
***
[Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @kampusfiksi tema #FiksiLGBT]
"Pokoknya kamu harus makan yang banyak. Jangan sampai kamu lemas karena kurang makan. Apalagi sampai sakit segala, jangan sampai deh ya," kata Ray saat duduk di foodcourt mall yang dipadati puluhan pengunjung.
"Siapa yang sakit. Aku baik-baik aja kok, Ray."
"Kalau kamu sakit, ntar siapa dong yang layanin aku kalau lagi 'pengen'?" timpal Ray nakal.
Levin hanya menimpali ucapan Ray dengan sebuah senyuman, dan berharap tidak ada seorang pun yang mendengarnya.
"Halo, Kawan!" tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundak Levin.
Suara itu membuat Levin terjengah, "Edi?" gumamnya.
Edi pun tersenyum simpul sambil melirik wajah Ray. Untuk menjaga berbagai kemungkinan, buru-buru Levin beranjak dan menjabat tangan Edi, teman semasa SMAnya di Madura.
"Apa kabar kamu," kata Edi mengamati Levin dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ba, baik. Kamu sendiri gimana, udah kerja?"
"Aku ngajar di sekolah swasta di Bangkalan," jawab Edi kembali melirik Ray yang duduk sambil memainkan ponselnya, "eh, ngomong-ngomong, katanya kamu mau nikah ya, Fin. Masih sama calonmu yang dulu itu ya?"
Levin tersentak mendengar pertanyaan itu, namun ia berusaha menyembunyikan kekagetannya. Begitu juga sebaliknya, Ray jauh lebih tersentak saat mengetahui Levin memiliki seorang tunangan yang berjenis kelamin perempuan. Dia shock di atas tempat duduknya.
"Ayo jangan lama-lama. Nikah itu enak loh, Kawan. Huahaha..." canda Edi lalu tertawa.
Levin merasa kikuk dibuatnya. Dia tidak tahu harus merespon apa untuk pertanyaan teman lamanya. Di satu sisi ia ingin menjawab pertanyaan itu, namun di sisi lain ia pun harus menjaga perasaan Ray, teman terdekatnya saat ini.
"Atau kamu masih patah hati sama Reina ya? Udahlah, Reina kan masa abu-abu kamu. KUBUR semua sakit hatimu, dan carilah cinta yang baru. Huahahaha..." Edi kembali tertawa. Semakin lebar.
"Hm, doakan yang terbaik aja ya," timpal Levin sekenanya, "eh, nggak mau makan bareng kami Ed?"
"Oh, makasih-makasih. Istriku sudah menunggu lama di ujung sana. Jangan lupa ya, aku tunggu undangannya," kata Edi lalu pamit dari meja Levin dan Ray.
Selepas kepergian Edi, Ray mulai menunjukkan muka masamnya. Levin tahu dari mana hal itu berasal. Belum sempat ia memperbaiki suasana, tiba-tiba Ray beranjak dan mengajaknya pulang. Tak ada kata penolakan, selain mengikuti Ray dari belakang.
***
"Kupikir, perasaan itu TUMBUH hanya untukku!" rutuk Ray setibanya di kamar apartemen. Perdebatan di mobil tak membuatnya cukup untuk memahami apa yang tengah Levin rasakan akhir-akhir ini.
"Apa maksudmu, Ray. Nggak ada kebohongan apa pun di hatiku. Aku tulus menyayangimu. Tapi..."
"Tapi apa? Bohong maksudmu?" potong Ray sinis, "atau karena uangku?"
"Cukup Ray, cukup!" pekik Levin, "aku nggak tau harus ngomong apa lagi sama kamu. Yang aku tau, aku sangat sayang sama kamu," aku Levin sendu.
"Nggak. Kamu nggak sesayang itu sama aku," tepis Ray, melihat aktivitas kota Surabaya dari balik jendela kamarnya.
"Kamu boleh nggak mempercayai kata-kataku. Tapi, kamu harus mempercayai kesetiaanku sama kamu..."
Ray diam.
Tak ada yang bisa ia lontarkan untuk melawan ucapan kekasihnya. Bagaimanapun Levin adalah lelaki sederhana yang memiliki keluarga besar, jauh berbeda dengannya yang sudah ditinggalkan keluarga cukup lama. Hanya rasa kecewa yang kian REKAH di hatinya. Bagi Ray, kesetiaan itu bullshit!
Ray pun berdiri. Dia mengambil setumpuk uang di laci lemari, dan menyodorkannya kepada Levin. Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulutnya. Langkah kakinya langsung berayun keluar apartemen. Entah ke arah mana.
Di ujung tempat tidur, Levin menekuri uang itu, uang pesangon dari seorang Ray untuknya. Levin semakin bingung, menolak atau menerima uang itu. Yang jelas Ray sudah kecewa padanya.
Buru-buru Levin mencari secarik kertas dan bolpoin,
"Maafkan aku Ray. Sampai kapanpun, kamulah orang yang bisa melepaskanku dari rasa kesepian. Cuma kamulah orang yang bisa menciptakan kebahagiaan di hatiku. Tapi, Edi benar, realita tetaplah realita, sampai kapanpun aku terlahir sebagai laki-laki biasa, dan akan tetap seperti itu selamanya..." tulisnya.
Levin meletakkan uangnya di atas lembaran kertas itu. Walau berat, ia harus tetap pergi dari apartemen yang pernah menciptakan kenangan bersama Ray. Sesekali ia mengamati suasana kamarnya,
"Kalau nanti aku tak bahagia, aku akan mencarimu, Ray..." desisnya pelan.
***
[Tulisan ini dibuat untuk mengikuti tantangan mimin @kampusfiksi tema #FiksiLGBT]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar