Hai saudara-saudara sekalian, apa kabar?
Kali ini aku punya cerita nih. Ceritanya begini, pada hari minggu aku ikut ayah
ke kota. Naik delman istimewa, dan ku duduk di muka. Ku duduk di samping pak
kusir yang sedang bekerja mengendali kuda supaya baik jalannya. Eit, kok
lama-lama seperti lagu anak-anak ya? Hm, sorry deh sorry, masa kanak-kanakku
kayaknya kurang bahagia kali ya. Oke deh cerita yang lain aja ya, kamu mau tahu
nggak? Lucu loh... Bener? Bener nih mau tahu?
Cekidot please...
Sore itu tepat hari kamis, seusai gerimis
menyapa kota Surabaya, aku dan Sarimin baru saja pulang dari nonton bioskop
yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Dengan santai kedua tangan kami
melenggang kangkung seperti penari profesional turun dari angkutan umum sambil
senyam-senyum. Senyuman kami pun mengembang penuh ceria bagai orang gila di
tengah jalan. Semua itu refleks kami lakukan sebagai ungkapan puas atas film
yang kami tonton.
Film yang telah kami tonton tak lain dan
tak bukan adalah film Indonesia bergenre horor yang tengah meledak di pasaran,
yang membuat film itu spesial adalah pemeran utamanya diperankan seorang artis
cantik bernama Dewi Berisik. Eh salah, maksudku Dewi Perssik (hehehe sorry
deh, lidahku keseleo gara-gara keenakan makan lolipop nih. Hemm nyamiiiy).
Hm, tahu nggak siiiiihhh????? kenapa aku
dan Sarimin ngebet banget nonton film horor yang serem tadi? Hayo pasti anda
saudara-saudara sekalian nggak ada yang tahu, atau malah heran bin penasaran
alasannya kenapa. Iya kan? Ngaku aja deh, aku nggak akan marah kok (Kikikikikiki...).
Kalau boleh aku bagi-bagi rahasia, aku
akan bagi rahasia tentang sahabatku yang bernama Sarimin itu. Hm, diam-diam
Sarimin ngefans banget loh sama si pemeran utama film "Tali Pocong
Perawan" tersebut. Maka dari itu, si Sarimin rela mati-matian mentraktirku
makan mie ayam dan bayarin tiket nonton sang idola. Bukan hanya itu, Sarimin
juga rela jalan kaki dan berangkat lebih awal dari jam penayangan demi artis
idolanya. Benar-benar sebuah pengorbanan besar untuk sang idola.
"Kemana... kemana.... kemana...."
kata Sarimin coba menirukan Ayu Ting Ting menyanyikan lagu dangdut berjudul
"Alamat Palsu".
Aha! Telingaku mulai mekar nih.
"Kesana kemari membawa alamat. Tetapi
mereka bilang tidak tau. Sayaaaaang mungkin diriku telah tertipuuu...."
Telingaku kembali mekar. Bahkan semakin
mekar saja. Bukan berarti terpesona dengan suara Sarimin, malah telingaku mekar
lantaran gerah mendengar suara itu, jelas sekali suara Sarimin sangat jauh
berbeda, nggak sama persis seperti suara si neng Ayu Ting Ting. Yang ada,
menurut komentator ajang pencarian bakat di televisi yang sering kulihat sih
suara Sarimin penuh dengan vibra kambing, benar-benar menyebalkan! Nggak pantas
sedikitpun untuk menjadi penyanyi dangdut! (hihihihihihi).
"Parmin, tahukah kau perasaanku
sekarang?" tanya Sarimin ketika menghentikan nyanyiannya dan berjalan
memasuki sebuah gang.
Eit, tunggu dulu. Sebelum melanjutkan
ceritaku, rasa-rasanya aku sampai lupa memperkenalkan siapa diriku. Kalau
begitu perkenalkan, namaku Parmin, lengkapnya Suparmin, lebih lengkapnya lagi
Suparmin Aja Gitcu loh, Sedangkan sahabatku bernama Sarimin, lengkapnya Sarimin
Bin Suhaimin. Hampir mirip kan nama kami berdua? (Ha ha ha, kayak Upin Ipin
saja ya pake mirip-miripan segala. Hufftt...).
Entahlah. Kalau boleh curhat sedikit sih,
aku nggak tau sejarah pemberian namaku itu. Padahal, jujur saja, aku nggak
begitu suka dan nggak akan pernah bangga memiliki nama Parmin. Nggak gaul
sih...!
Seandainya saja Ibu dulu memberiku nama
Lee. Ya kayak Lee personel "Hits" boyband Indonesia itu tuh...
Lumayan kan banyak cewek-cewek yang mengejarku. Buka baju aja udah diteriakin
cewek-cewek, apalagi senyum dan nyamperin mereka, pasti semua cewek
klepek-klepek melihat tampangku yang aduhai cucok ini. Dan tentunya aku juga
nggak akan menyendiri seperti saat ini kali ya (Hi hi hi, ngarep banget).
"Hei! Kau mendengar kata-kataku nggak
sih, Parmin?!" teriak Sarimin mengagetkanku. Saking kagetnya,
sampai-sampai permen yang kumakan tertelan begitu saja, membuatku batuk bak
orang tua yang mendekati uzurnya.
"Huk! Uhuk! Uhuk! Ahak!"
"Min, Parmin. Kenapa kau
batuk-batuk?" tanya Sarimin sambil mengelus-elus punggungku.
Aku tak sempat menjawab pertanyaan
Sarimin. Boro-boro mau menjawab, bau ketek Sarimin mulai beraksi menusuk
hidungku, sehingga mulutku mendadak batuk-batuk tak karuan. Aku heran, kenapa
sih Sarimin memelihara bau ketek yang super duper menyebalkan itu? Mendingan
memelihara ayam atau kambing seperti bapakku, kan lumayan tuh daripada bau tak
sedap di kedua keteknya. Kalau memelihara ayam bisa panen telurnya, atau kalau
memelihara kambing bisa laku keras saat musim Qurban tiba. Tapi kalau
memelihara bau ketek bisa panen apa? Panen bau busuk kali ya. Hiiii... Jijay
markijay bo!!
Sumpah! Bau ketek Sarimin memang sangat
menusuk hidungku. Kalau menyengat dengan aroma terapi sih nggak jadi masalah,
tapi ini, huh! Ada asem, kecut dan busuk. (Permen kali ya rasanya
campur-campur). Eh, tapi bener loh, kalau band Indonesia ada yang
menyanyikan lagu 'Cinta ini membunuhku' kali ini malah ketek Sarimin yang
hampir membunuhku.
Daripada mati berdiri, mending aku
istirahat saja dulu di sebuah warung, guna membeli sebuah minuman untuk
mendorong permen yang sempat nyangkut di tenggorokanku. Selain itu, ya siapa
tahu ketek Sarimin juga bisa dikeringkan sejenak dari genangan keringat
kotornya, sehingga bau bangkai busuk yang menempel pun hilang. Hiiii...
Uwekk!
"Duh Parmin, kenapa kau mampir ke
warung ini sih? Rumah kita kan udah deket banget." Kata Sarimin ketika
batukku sudah sedikit reda.
"Loh, gimana kau ini Saaarr, Sar!
Kalau aku minum di rumah, bisa-bisa aku mati berdiri tau," sahutku sambil
melirik Sarimin.
"Oyeah? Kenapa bisa mati berdiri?
Ibumu mau membunuhmu? Wah gawat tuh, siap-siap lapor polisi, kawan!"
"Aduh, kamu ini dodol banget ya Sar.
Mana mungkin seorang ibu akan membunuh anaknya sendiri? Ya nggak mungkinlah...
Apalagi anak seimut aku."
"Hah, imut dari mana? Yang sebenarnya
imut tuh aku, seperti pantun mengatakan, Ada Gula Ada Semut, gila gue imut."
"Ya kamu memang imut kayak marmut."
"Huuuuu..... Terus kenapa dong?"
tanya Sarimin sok lugu.
"Eh cumi, aku tuh minum di sini untuk
meredakan batuk akibat makan permen. Kalau harus menunggu minum di rumah,
bisa-bisa aku mati berdiri disini. Begitu, dodol..."
"Ah, cuma batuk biasa aja bisa mati.
Payah kau ini. Lebay" kata Sarimin enteng seakan-akan tak berdosa.
"Lebay apanya? Kamu tuh yang
lebay,"
"Yaiyalah. Mana ada orang tiba-tiba
mati berdiri akibat makan permen. Nggak ada sejarahnya tuh! Itu yang kumaksud
lebay."
"Ya bisalah, selain tertelan permen,
aku juga mual gara-gara... Ah sudahlah, ayo kita pulang. Aku mau mandi.
Gerah!" kataku mengalihkan pembicaraan.
Padahal, aku ingin sekali mengatakan bahwa
aku mual gara-gara bau bangkai busuk yang berasal dari kedua keteknya. Tapi
kuurungkan demi menjaga perasaan Sarimin. Maklum, dia adalah satu-satunya
sahabat yang masih setia bersamaku dan mendampingiku. Jadi aku harus
mempedulikan perasaannya walaupun sebenarnya aku tengah emosi mendengar
kata-katanya.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Sarimin
terperanjat dengan pandangan mata tertuju ke bawah. Kali ini aku yang keheranan
melihat gerak-gerik sahabatku itu. Mata Sarimin terbelalak hebat, seakan-akan
bertemu setan yang menakutkan. Secepat kilat Sarimin memungut sebuah kain
panjang berwarna putih kecoklatan. Ya kira-kira ukurannya empat puluh
sentimeter gitu deh. Pemuda itu pun loncat-loncat kegirangan seperti anak-anak
balita yang mendapatkan mainan.
Sebenarnya gerak-gerik Sarimin lebay dan
condong berlebihan deh. Bagaimana tidak, barang jelek, kusut, bau yang
ditemukan itu malah dipeluk dan dicium-cium seperti menemukan harta karun.
Andai ada orang yang melihat Sarimin, pasti aku akan merasa malu besar memiliki
teman lebay seperti dia. Untung saja tak ada satu orang pun yang melihat pemuda
itu lompat-lompat.
"Apa-apaan sih kau ini, Sar. Kain
jelek itu kok malah dicium-cium gitu, nggak jijik apa?" kataku.
"Tau nggak Parmin. Aku yakin kain ini
adalah tali pocong perawan yang terjatuh," jawab Sarimin dengan entengnya.
Aku terkejut bercampur geli. Sontak
mulutku tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Sarimin.
"Hahaha! Mana mungkin ada tali pocong
di perkotaan seperti ini? Kau terkontaminasi film tadi ya? Janganlah
mengada-ada kau Sarimin. Huahahaha,"
"Duh, percayalah Parmin. Percayalah
padaku. Aku yakin dengan tali pocong ini aku dapat menemukan belahan jiwaku.
Gadis cantik seperti Dewi Persik yang selama ini aku impikan. Percayalah
kawan," tegas Sarimin percaya diri. Bukannya yakin, malah aku semakin geli
mendengar kata-kata pemuda kurus itu. Sok puitis. Sok Narsis. Ah, sudahlah!
Kami pun pulang.
***
Malam harinya, aku mengajak Sarimin tidur
di rumahku. Sesampainya di rumah dari nonton bioskop, ternyata Ibu dan Bapakku
mendadak pergi ke Malang karena ada saudara yang sakit keras. Jadi di rumah
tinggal aku sendiri deh. Dan malam itu Sarimin kuajak tidur di kamarku. Aduh
tahukah anda saudara-saudara, malam itu aku tak bisa tidur dengan tenang. Ada
suara-suara aneh yang terus menghantui telingaku sehingga ketenangan malamku
terus terusik.
Dari manakah suara itu berasal? Bisakah
saudara-saudara sekalian menebaknya? Ting tung ting tung duaaarrr!!! Yup,
benar! Suara aneh itu berasal dari mulut si Sarimin yang tidur di sampingku.
Pemuda itu ngorok bagai babi ngepet yang lama tidak diberi makan majikannya.
Suaranya membahana ke seantero celah kamar. Mana mulut Sarimin juga bau. Uh
Sumpah! Lengkap banget ya penderitaan si Sarimin. Ketek bau, mulutnya pun
begitu. Ahay, kagak nahan baaaang...
"De.... Dewi. Aku suka kamu Dew.
Jadikanlah aku kekasihmu, oohh..." igau Sarimin, tiba-tiba, membuatku
terperanjat kaget. Kutatap lekat-lekat wajah pemuda di sampingku itu. Rupanya
Sarimin tengah memimpikan sang idola. Buset dah, secara tidak langsung Sarimin
telah menyiksaku. Menyiksa malam yang seharusnya tenang dan damai untuk
beristirahat.
Ya ampiiuuun, sampai subuh pun mulut
Sarimin belum juga berhenti berdering alias ngorok. Dan Sarimin tidak menyadari
perbuatannya sedikit pun. Benar-benar mengecewakan. Terpaksa aku beranjak
bangun dan sholat subuh. Tepat pukul enam pagi, Sarimin bangun dari tidurnya.
Aku memang sengaja tidak membangunkannya karena aku mau tidur di sofa ruang
tamu seusai sholat subuh. Eh, belum genap satu jam memejamkan mata, tiba-tiba
saja Sarimin datang membangunkanku.
"Hei ayo bangun! Jangan tidur melulu.
Daripada tidur, mendingan dengerin nih cerita tentang mimpiku tadi malem. Ayo
bangun Parmin, bangun!" Seru Sarimin menggoyang-goyangkan tubuhku. Aduh,
aku benar-benar kesal dengan kelakuan Sarimin! Aku tersiksa di rumahku sendiri.
"Aduh Sar! Aku baru tidur jam lima
pagi tau! Jangan ganggu aku ah,"
"Bangun dulu. Udah pagi nih. Coba kau
dengarkan dulu ceritaku. Tadi malem aku mimpi bertemu sama Dewi Persik. Sumpah,
dia cantik banget, Parmin." jelas Sarimin tak menghiraukan kekesalanku.
Aku hanya diam menanggapi kata-katanya. Mataku seakan tak bisa dibuka lagi.
"Aku yakin tali pocong yang kutemukan
kemarin sore itu akan memberikan kejutan sehingga mempertemukan aku dengan si
Dewi," lanjut Sarimin lagi.
"Wah Sar, jodoh itu ada di tangan
Tuhan. Bukan dari kain jelek yang kau pegang itu! Pagi-pagi jangan ngelantur
ah." sergahku dengan mata setengah tertutup. Belum sempat Sarimin
menjawab, tiba-tiba saja ada suara gaduh di depan rumahku. Pelan-pelan
kuperhatikan, sepertinya ada beberapa tetangga yang sedang ribut deh. Karena
rasa penasaran mulai muncul dan merasuki otakku, kami berdua pun keluar untuk
memperjelas apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.
Seorang wanita setengah baya memarahi ibu
tetangga depan rumah.
"Mana kain putih yang dicuri anakmu!
Kembalikan padaku. Itu sangat penting buat anakku si Dewi. Ayo mana kembalikan
bu," gertak perempuan setengah baya itu.
"Kain putih apa ya bu? Anak saya
nggak merasa mengambilnya, bentuk kainnya saja kami nggak tau tuh bu,"
bela ibu depan rumah.
Mendengar kata kain putih, aku jadi
teringat sesuatu. Otakku langsung tersambung dengan kain yang ditemukan Sarimin
kemarin sore. Secepat kilat aku merampas kain kotor yang dipegang Sarimin. Lalu
aku bergegas menemui segerombolan wanita yang tengah ribut tadi.
"Tunggu, tunggu, maaf mengganggu. Apa
yang kalian maksud kain ini?" tanyaku seolah-olah pahlawan yang membawa
kedamaian di pagi buta. Ya! Pahlawan tanpa tanda jasa.
"Oh jadi kamu yang mengambil kain
itu, Parmin?" kata wanita itu menatapku garang dan terbelalak.
Aku kaget.
Sarimin tergopoh-gopoh datang menghampiriku.
"Buu, bukan. Kemarin Sarimin yang
menemukan kain ini di depan warung bu Salma, memangnya buat apa kain busuk ini,
bu?" kataku mencoba menjelaskan.
"Ini kain kesayangan anakku tau. Kain
ini digunakan untuk menutup mulut Dewi kalau sariawan. Sini kembalikan,"
Gleeegggg!!!
Mendengar penjelasan wanita itu, sontak
aku tertawa lepas ke arah Sarimin. Sarimin yang tadinya girang berubah salah
tingkah, mukanya mulai pucat. Hahaha, rupanya kain yang dianggap tali pocong
perawan oleh Sarimin itu salah besar. Malah kain itu penutup bibir anak wanita
tadi, si Dewi Berisik. Maklum, gigi sang Dewi Berisik maju melewati batas bibir
atasnya. Jadi kain busuk itu sebagai penutup mulut Dewi Berisik saat sariawan.
Ha ha ha, pantesan kemarin baunya busuk
sekali, jadi itu dikarenakan bercampur ludah Dewi Berisik? Hiii...Sarimin pun
memerah dan pulang tanpa kata. Malu.
***
enggak bisa membaca karena mata jadi sakit melihat salju putih itu....
BalasHapushahaha, gak bisa kebaca ya??
BalasHapus