Dulu, saat aku masih remaja, tak sedikitpun aku mengetahui kawasan
wisata itu. Jangankan mengetahui, mendengar namanya saja aku belum
pernah. Bagiku semuanya masih sangat asing ditelinga. Akan tetapi, saat
telingaku mendengar namanya untuk pertama kalinya, sebuah keinginan
langsung terpatri dalam hati, bahwa aku juga ingin menginjakkan kaki di
tempat itu. Salah satu tempat terindah di negeriku. Gunung Bromo.
31 Agustus 2013...
Perbekalan
telah kami persiapkan dengan matang. Dari pakaian dingin, syal,
beberapa camilan dan obat-obatan, juga kaos kaki beserta sepatunya pun
telah aku masukkan dalam ransel warna hitam. Sabtu sore kami berangkat
dari Madura menuju kota pahlawan Surabaya. Sebenarnya niat hati ingin
beristirahat sejenak di rumah teman, namun mata dan keadaan tak lagi
sepaham. Kami tidak bisa tidur semudah itu. Akhirnya, untuk
mempertahankan mata supaya tetap terang kami sengaja menyeduh kopi
ginseng hampir sebanyak dua gelas.
Tepat pukul 22.00 WIB, kami
dan rombongan bertolak dari Surabaya menuju Probolinggo. Angin malam
adalah salah satu teman kami selama dalam perjalanan. Aku sempat
membayangkan bagaimana panorama yang akan disuguhkan alam kepadaku.
Apakah Bromo seindah yang kulihat di media cetak? Ataukah seeksotis
seperti cerita orang yang pernah kesana? Entahlah. Yang jelas motor
matik yang kutumpangi terus melaju cepat membelah jalan dan melintasi
malam.
Sempat ada beberapa peristiwa yang menguji kesabaran
rombongan kami, mulai dari bocornya ban, jatuhnya handphone teman di
tengah jalan hingga kehabisan bahan bakar bensin juga kami rasakan. Kami
menganggap semuanya sebagai rintangan dalam perjalanan. Dan beberapa
rintangan itu bisa kami lewati dengan penuh keikhlasan. Bukankan pepatah
mengatakan bahwa kesabaran dan keikhlasan itu akan berbuah surga?
Semoga.
Nongkojajar adalah salah satu tempat yang kami lewati
saat menuju Bromo. Sungguh diluar dugaan,ternyata perjalanan menuju
gunung Bromo benar-benar penuh dengan rintangan dan kejutan. Jalan yang
berkelok cukup curam menjadi sajian wajib untuk kami hadapi. Jurang yang
mengerikan pun tak luput dari berbagai hal yang harus dilalui. Ada satu
hal yang membuatku terkesan saat melintasi sepanjang jalan terjal itu.
Di tengah malam gelap aku merasa seperti berada di angkasa luar. Dekat
sekali dengan bulan, juga dengan ribuan bintang. Lampu rumah yang berada
di sekitar jurang memang tampak nyata seperti kedipan bintang-bintang.
Sangat sempurna ketika bintang-bintang di langit malam juga ikut
berkilauan. Sungguh pengalaman unik yang tak akan pernah terlupakan.
Minggu,
1 September 2013 Pukul 04.00 WIB kami tiba di kawasan puncak. Aku baru
sadar ternyata ratusan wisatawan asing dan wisatawan lokal juga telah
memadati kawasan itu, mempersiapkan diri mencari tempat yang paling pas
untuk menyambut matahari di awal pagi, sama seperti niat kami.
Kepadatan
wisatawan yang berlalu-lalang membuatku harus berjalan kaki sejauh tiga
ratus meter ke arah puncak. Aku harus melewati puluhan jeep, motor, dan
para pendaki lain. Hawa dingin terus menusuk ke dalam kulit, menembus
baju dinginku pagi itu. Rasanya aku perlu mempertebal pakaian dinginku.
Dan tepat pukul 05.00 pagi aku tiba di lokasi yang tepat untuk menyapa
kemunculan matahari di 1 Septemberku.
"Subhanallah...."
kalimat itu yang muncul dibibirku saat garis serangkaian warna muncul
di antara batas cakrawala sebelah timur. Sebuah perpaduan warna alam
yang nyata menakjubkan. Hebatnya, lukisan alam itu tak hanya
menghipnotis hati dan pandanganku, akan tetapi juga menghipnotis semua
mata wisatawan yang hadir di lokasi itu.
"Selamat datang matahari
satu september," teriak sahabatku sembari tersenyum. Ribuan mata kamera
mengarah ke titik timur, mengabadikan momen penting di awal pagi itu.
Begitu pula dengan kameraku, langsung mengambil gambar sesuka hatiku.
Saat
matahari muncul, sebuah kejutan kembali menyapaku. Ternyata di sebelah
kananku juga memiliki pemandangan yang luar biasa indah. Beberapa gunung
tampak berdiri disana, ada gunung Bromo, juga gunung Semeru. Hamparan
kabut putih seolah-olah menyelimuti gunung itu. Apalagi ada salah satu
titik dimana sebuah kawah mengeluarkan asap putih, membuat lukisan pagi
semakin terlihat lebih cantik nan eksotik. Meski tubuh dalam keadaan
dingin, aku tetap terpesona memandang semuanya. Mensyukuri diri bisa
menjadi bagian dari para penikmat ciptaan Tuhan di hari itu.
Tepat
pukul 07.00 WIB kami turun dari atas bukit. Perjalanan kami lanjutkan
menuju lereng gunung Bromo yang berpasir. Cuaca panas mulai menyapa
seantero celah, namun suhu sekitar tetap tidak berubah. Masih terasa
dingin menusuk ke sumsum tulang. Kurang lebih empat puluh lima menit
yang kami butuhkan untuk tiba di bawah bukit itu.
Hamparan pasir
siap menyambut kedatangan kami. Angin yang berhembus menerbangkan
butir-butir pasir hingga menerpa wajah dan masuk ke bibirku. Lautan
pasir halus itu pun juga membuat laju motor kami tak berjalan dengan
mulus. Kami harus mendorong kendaran kami masing-masing. Lelah itu
pasti, tapi aku menganggapnya sebagai pengalaman unik yang jarang
terjadi di perjalanan hidupku. Alhasil, kami menikmatinya dengan canda
tawa lepas. Canda tawa dalam persahabatan.
Namun, sayang sungguh
sayang. Kami semua tidak bisa mendaki ke bibir kawah karena membludaknya
antrian pengunjung di atas sana. Dengan rela kami harus mengurungkan
keinginan menghirup aroma belerang. Kami harus tetap bahagia karena bisa
menikmati semuanya. Dan saat pulang, tak lupa kami membawa sebuah
kenang-kenangan yang ada di sekitar kawasan Gunung Bromo. Cindera mata
itu berupa seikat bunga abadi yang sering kita kenal dengan nama latin
Edelweis.
Terima kasih kuucapkan kepada teman-teman yang telah
rela mengenalkanku dengan kecantikan Bromo. Aku tak akan pernah
melupakan sepenggal kisah ini sepanjang hidupku. Bahkan mungkin sampai
beranak cucu. The happiest moment in my life is when i'm with you, guys.
:)
Sampang, 02 September 2013
***