“Selamat Hari Ayah Nasional…!”
Itulah kalimat yang kudengar pagi tadi (12/11/2013) dari sebuah acara di stasiun televisi. Sejujurnya aku tidak pernah tahu bahwa hari ini adalah hari spesial untuk kaum adam bergelar Ayah. Tapi setelah mendengar kalimat itu, aku tergerak untuk menulis sebuah catatan sederhana tentang sosok ayahku.
Bapak, begitulah aku memanggil Ayahku. Membayangkan keberadaan Bapak, aku harus kembali membuka berkas kenangan masa silam yang telah aku simpan dalam-dalam. Sudah 15 tahun lamanya aku memendam kenangan itu. Karena aku pikir pengalaman bersama Bapak hanyalah akan menjadi kenangan masa lalu kami saja. Tak perlu diungkit-ungkit lagi.
Dulu saat kami tinggal di Surabaya, Bapak bekerja sebagai pasukan kuning. Ia yang tengah mengenakan seragam kebanggaannya, yang serba kuning itu, berjalan di sepanjang sisi jalan Surabaya Utara. Menyapu jalan dan mengumpulkan sampah jalan perkotaan. Sambil membawa sebuah gerobak warna kuning bertuliskan gerobak sampah, Bapak dengan ikhlas melakukan semuanya. Ya, Bapakku adalah seorang pekerja kebersihan yang penuh dengan segudang kesabaran.
Aku tak tahu bagaimana cara Bapak bekerja kala itu. Karena aku memang masih dalam masa kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa apalagi urusan orang tua. Namun dari cerita Ibu, Bapak adalah lelaki gagah. Ia tak kenal lelah bekerja meski kulitnya terbakar sinar matahari yang membuatnya berwarna hitam legam. Keringat yang keluar hampir sama dengan semangat Bapak, semakin bercucuran semakin berkobar saja.
Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kerasnya perjuangan Bapak. Untuk menghidupi keluarga kecilnya. Seorang istri dan keempat anaknya. Sebuah kesuksesan jerih payah Bapak yang tampak adalah kakak pertamaku yang bisa lulus kuliah dan menjadi guru sekolah dasar. Aku pikir itu adalah sebuah contoh perjuangan besar bagi seorang lelaki yang bergelut dengan sampah-sampah dan gerobak sampahnya yang tak lepas dengan aroma tak sedap.
Aku memang belum merasakan perjuangan Bapak untukku. Karena sejak usiaku 9 tahun, Bapak buru-buru pergi dari keluargaku. Dia pulang ke rahmatullah dan menyisakan luka disetiap hati kakak dan Ibuku. Terlebih, Bapak mewariskan tugas kepada Ibu untuk menjadi kepala keluarga sejak kepergiannya itu. Bapak belum sepenuhnya mampu membawa anak lainnya sekolah setinggi pendidikan kakak pertamaku.
Tapi… ada satu hal yang tak dapat aku lupakan ketika masih bersama Bapak dulu. Aku ingat betul bagaimana Bapak menunjukkan kasih sayangnya padaku. Yaitu ketika Bapak mengajakku mudik ke Madura, menyeberang dengan mengendarai kapal ferry di pelabuhan Ujung -Kamal. Bapak coba bercerita tentang kapal-kapal yang bertengger di sisi pelabuhan. Jurusan Banjarmasin, kapal para angkatan laut sampai kapal pengangkut garam sekalipun. Tak lupa juga Bapak menceritakan mengapa ada patung besar seorang angkatan yang sering kami sebut patung sombong di pelabuhan Ujung. Aku yakin di masa mudanya, Bapak adalah pemuda yang cerdas mencari ilmu.
Ah, ternyata kenangan masa kecil itu tak mungkin bisa terulang kembali. Kenangan tetaplah kenangan. Bayangan tetaplah menjadi bayangan. Tak bisa dialihkan menjadi kenyataan yang berulang. Bapak telah pergi dan takkan mungkin kembali lagi. Hanya doalah yang bisa kusemaikan untuk Bapak di akhirat. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Tuhan. Amin ya robbal alamin.
… dan buat para ayah atau bapak diluar sana, aku ingin mengucapkan Selamat Hari Ayah Nasional …
Senja. Selasa,12112013. ***
Itulah kalimat yang kudengar pagi tadi (12/11/2013) dari sebuah acara di stasiun televisi. Sejujurnya aku tidak pernah tahu bahwa hari ini adalah hari spesial untuk kaum adam bergelar Ayah. Tapi setelah mendengar kalimat itu, aku tergerak untuk menulis sebuah catatan sederhana tentang sosok ayahku.
Bapak, begitulah aku memanggil Ayahku. Membayangkan keberadaan Bapak, aku harus kembali membuka berkas kenangan masa silam yang telah aku simpan dalam-dalam. Sudah 15 tahun lamanya aku memendam kenangan itu. Karena aku pikir pengalaman bersama Bapak hanyalah akan menjadi kenangan masa lalu kami saja. Tak perlu diungkit-ungkit lagi.
Dulu saat kami tinggal di Surabaya, Bapak bekerja sebagai pasukan kuning. Ia yang tengah mengenakan seragam kebanggaannya, yang serba kuning itu, berjalan di sepanjang sisi jalan Surabaya Utara. Menyapu jalan dan mengumpulkan sampah jalan perkotaan. Sambil membawa sebuah gerobak warna kuning bertuliskan gerobak sampah, Bapak dengan ikhlas melakukan semuanya. Ya, Bapakku adalah seorang pekerja kebersihan yang penuh dengan segudang kesabaran.
Aku tak tahu bagaimana cara Bapak bekerja kala itu. Karena aku memang masih dalam masa kanak-kanak yang tidak tahu apa-apa apalagi urusan orang tua. Namun dari cerita Ibu, Bapak adalah lelaki gagah. Ia tak kenal lelah bekerja meski kulitnya terbakar sinar matahari yang membuatnya berwarna hitam legam. Keringat yang keluar hampir sama dengan semangat Bapak, semakin bercucuran semakin berkobar saja.
Sejujurnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kerasnya perjuangan Bapak. Untuk menghidupi keluarga kecilnya. Seorang istri dan keempat anaknya. Sebuah kesuksesan jerih payah Bapak yang tampak adalah kakak pertamaku yang bisa lulus kuliah dan menjadi guru sekolah dasar. Aku pikir itu adalah sebuah contoh perjuangan besar bagi seorang lelaki yang bergelut dengan sampah-sampah dan gerobak sampahnya yang tak lepas dengan aroma tak sedap.
Aku memang belum merasakan perjuangan Bapak untukku. Karena sejak usiaku 9 tahun, Bapak buru-buru pergi dari keluargaku. Dia pulang ke rahmatullah dan menyisakan luka disetiap hati kakak dan Ibuku. Terlebih, Bapak mewariskan tugas kepada Ibu untuk menjadi kepala keluarga sejak kepergiannya itu. Bapak belum sepenuhnya mampu membawa anak lainnya sekolah setinggi pendidikan kakak pertamaku.
Tapi… ada satu hal yang tak dapat aku lupakan ketika masih bersama Bapak dulu. Aku ingat betul bagaimana Bapak menunjukkan kasih sayangnya padaku. Yaitu ketika Bapak mengajakku mudik ke Madura, menyeberang dengan mengendarai kapal ferry di pelabuhan Ujung -Kamal. Bapak coba bercerita tentang kapal-kapal yang bertengger di sisi pelabuhan. Jurusan Banjarmasin, kapal para angkatan laut sampai kapal pengangkut garam sekalipun. Tak lupa juga Bapak menceritakan mengapa ada patung besar seorang angkatan yang sering kami sebut patung sombong di pelabuhan Ujung. Aku yakin di masa mudanya, Bapak adalah pemuda yang cerdas mencari ilmu.
Ah, ternyata kenangan masa kecil itu tak mungkin bisa terulang kembali. Kenangan tetaplah kenangan. Bayangan tetaplah menjadi bayangan. Tak bisa dialihkan menjadi kenyataan yang berulang. Bapak telah pergi dan takkan mungkin kembali lagi. Hanya doalah yang bisa kusemaikan untuk Bapak di akhirat. Semoga amal ibadahnya diterima oleh Tuhan. Amin ya robbal alamin.
… dan buat para ayah atau bapak diluar sana, aku ingin mengucapkan Selamat Hari Ayah Nasional …
Senja. Selasa,12112013. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar