Senin, 23 Mei 2011

Lomba Dunia Maya - Don't Judge The Book By Cover Ya!

Oleh : Aswary Agansya

Menjalin persahabatan itu sangatlah indah. Apalagi saat hati sedang goyah, banyak masalah dan butuh akan sebuah sandaran. Tak ada yang bisa kita lakukan selain mencari sahabat yang rela menjadi wadah untuk segala keluh dan kesah yang kita hadapi. Pasti sahabat yang baik akan memberikan solusi sebagai obat dan pereda masalah yang tengah kita hadapi. Ya, itulah hakikat dalam sebuah persahabatan.

Namun, bagaimana jika dalam persahabatan itu tidak pernah ada tatap muka antara keduanya? Akankah persahabatan itu dapat terjadi sesuai hakikat tadi? (Nah lho...) Seperti itulah yang aku alami selama kurang lebih setahun terakhir ini. Jangankan berjabat tangan, melihat wajahnya saja, aku belum pernah. Tapi bagaimana persahabatan kami bisa terjalin dengan indah? Ah, itulah yang dinamakan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa.

Aku mengenal dia dari dunia maya. Dia seorang gadis bernama Eros Rosita. Aku tidak ingat betul, bagaimana pertama kali kita berkenalan. Yang jelas, kami dipertemukan di sebuah ruang maya bernama jejaring sosial facebook. Ya, di facebook-lah awal persahabatanku dengan Rose terbentuk.

Yang kutahu, Eros Rosita adalah seorang gadis penulis berdomisili di Madiun. Usianya terpaut dua tahun lebih muda dari usiaku. Pekerjaan yang ia tekuni adalah sebagai penjaga warung internet di kota tempat tinggalnya. Sering kulihat, berbagai karya Rose yang berbentuk tulisan terpampang di beberapa situs termasuk facebook dan blog pribadi miliknya. Bahkan aku memiliki buku antologi yang berisi salah satu dari tulisannya. Hm... Kalau dilihat dari karya yang ditulis Rose, aku menarik kesimpulan bahwa gadis itu berhati lembut, suka yang syahdu-syahdu, melankolis, dan yang paling pasti, dia gadis pemalu. Hehehe, bagaimana tidak, acapkali aku membaca tulisan Rose, aku merasakan apa yang ia rasakan. Tulisannya benar-benar syahdu dan mendayu-dayu. Menurutku rangkaian kata-kata itu keluar dari hati Rose yang melankolis.

Akhirnya, melalui dunia maya, kami pun saling bertukar pikiran dan saran. Tak jarang pula aku dan Rose saling memberi dukungan dan semangat saat keputusasaan mendera. Madiun dan Sampang, Madura, terasa lebih dekat saja berkat dunia maya. Namun, satu hal yang aneh pada diri kami. Selama bersahabat, aku belum pernah melihat wajah Rose. Sedangkan Rose mengenali wajahku. Hal itu dikarenakan, Eros Rosita tidak pernah memajang foto pribadinya di dunia maya. Alhasil, aku pun penasaran ingin segera mengetahui bagaimana sesosok gadis yang melankolis itu.

Rasanya sulit bisa bertemu dengan Rose. Setidaknya itu yang sempat terselip di benakku. Akan tetapi, pertengahan bulan Maret lalu, ada seorang teman yang mengajakku untuk menghadiri peluncuran buku di salah satu restoran di Surabaya. Kupikir-pikir, daripada liburan berdiam diri di rumah, mendingan kuikuti saja ajakan temanku tadi. Ya, selain untuk menambah pengalaman, di acara itu aku juga berharap dapat menambah teman.

Pagi-pagi sekali aku berangkat dari Madura menuju kota Surabaya. Sesampainya di Surabaya, temanku menyambutku dengan suka cita. Aku bahagia bisa menghadiri acara peluncuran buku itu. Dan yang paling membahagiakan lagi, ada seorang gadis berperawakan tomboy tengah duduk di kursi paling pojok. Tampaknya gadis itu menatapku erat dan sesekali berbisik pada teman gadis yang duduk di sampingnya. Aku sempat melirik gadis itu, tapi tiba-tiba ia memalingkan mukanya dariku.

Aku berbincang-bincang dengan temanku. Pelan-pelan, aku pun berkenalan dengan beberapa orang yang hadir termasuk pada gadis tomboy yang memandangku tadi. Begitu bersalaman dan menyebutkan nama, aku pun berubah shock karena kaget sekaligus tak percaya. Bagaimana tidak, gadis itu menyodorkan tangan sambil berkata,

"Hai, aku Eros Rosita."

Deg!!
Jantungku seakan berhenti seketika. Aku masih tidak percaya gadis di hadapanku itu adalah Eros Rosita, gadis yang kukenal di dunia maya. Jujur, aku shock bukan karena kecewa. Tapi aku shock karena apa yang kusimpulkan selama ini, ternyata jauh dari angan-angan yang ada.

Penampilan Eros Rosita ternyata tomboy. Ia memiliki rambut pendek yang trendy. Pakaian yang ia kenakan pun menunjukkan bahwa ia adalah orang yang simpel dan cuek. Dahsyatnya lagi, ternyata gadis itu gemar menyaksikan tayangan sepak bola yang kebanyakan disaksikan kaum pria.Wah, benar-benar jauh dari perkiraanku.

"Hahaha, kau kaget kan?" tanya Rose padaku.

"Wah, bukan hanya kaget. Tapi aku tak percaya kau ini adalah Rose yang kukenal di dunia maya. Kok tulisan dan wujud berbeda ya?" aku tersenyum dengan rasa heran.

"Hahaha, makanya, don't judge the book by cover ya..." sahut Rose lugu.

Aku tesenyum.
Aku bahagia, karena tak menyangka akan bertemu sahabat maya yang selama ini hanya kulihat tulisannya saja. Tidak rugi aku jauh-jauh datang dari Madura dalam acara peluncuran itu.

Ternyata, benar kata pepatah. Dalamnya lautan masih bisa diukur, namun dalamnya hati seseorang tak akan pernah ada yang mengetahuinya. Aku percaya dibalik penampilan tomboy dan sporty itu, ada sebuah kelembutan yang tersimpan. Yang bisa menyejukkan hati seseorang, yaitu hatiku. Terima kasih kau telah menjadi sahabatku Rose.

***

Diikutkan dalam lomba Lomba Cerita Nyata "Dunia Maya" yang diadakan mbak Aulia Zahro.
INFO LOMBA :
- http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/05/14/lomba-menulis-kisah-nyata-dunia-maya/
- http://liya715.blogspot.com/2011/05/lomba-menulis-kisah-nyata-dunia-maya.html
- http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150190287595982

Pengalaman Pertamaku Menjadi Guru

"Pak, kok soal-soalnya nggak jelas sih? Jelasin dong pak, yang nomor dua belas..!" Celetuk salah satu siswa yang duduk di depanku.

Aku tertegun sekaligus tak percaya dengan apa yang dikatakan siswa laki-laki itu. Wow, benarkah aku dipanggil bapak? Tidakkah aku salah mendengarnya? Masih muda begini kok malah dipanggil bapak sih? Apa tampangku sudah seperti bapak-bapak ya? Wah wah wah, harus segera diperbaiki nih. Pikirku penuh tanya. Tapi kata-kata siswa tadi juga membuatku geli sendiri. Aku malah tersenyum simpul sambil menatap siswa itu.

"Wah, jangan panggil bapak dong dek. Panggil saja kak Arik. Kan saya masih muda, apalagi belum berkeluarga. Lebih enak di dengar kan?" sahutku kemudian dengan senyuman masih mengembang. Aku pun menghampiri siswa itu dan mengamati apa yang ia tanyakan.

Jujur, rasanya baru kemarin sore aku menjadi siswa seperti mereka. Duduk di bangku dan menatap papan tulis serta menyimak penjelasan guru pembimbing. Kupikir, sikap kekanak-kanakan yang melekat pada diriku masih belum juga sempat kubuang jauh-jauh. Bahkan, cara bicaraku pun seakan masih belum menunjukkan bahwa aku adalah calon guru yang akan dijadikan panutan para peserta didik. Tapi sadar atau tidak, hari ini aku justru berdiri di depan kelas sebagai seorang guru. Ya, sebagai guru yang mengemban tanggung jawab untuk membimbing, membina dan memotivasi peserta didiknya agar menjadi generasi yang lebih baik. Oh, aku benar-benar tak percaya akan kejadian hari ini.

Rupanya menjadi seorang guru itu tidaklah mudah. Harus benar-benar memiliki kesabaran yang kuat dalam menghadapi peserta didik yang dibimbing. Buktinya saja aku, baru hari pertama masuk ruangan saja, seisi kelas riuh tak terkendalikan. Bayangkan saja, para peserta didik itu tak henti-hentinya mengolokku dengan gaya bahasa remaja mereka.

"Kak, kakak itu berasal dari Jepang yang tiba-tiba nyasar ke Madura ya?"

"Duh kak, suara kakak nggak jelas banget. Kakak bicaranya pakai bahasa Jepang ya?"

"Kak, karena saya tidak ingat nomor induk, maka di kolom nomor induk ini diganti nomor hape ya kak. Atau nomor rumah dan sepatu. Kakak pilih yang mana?"

Begitulah kata-kata yang dilontarkan sebagian siswa padaku dan teman-temanku. Bahkan ketika aku menyodorkan lembar hadir siswa yang harus ditandatangani, seorang gadis bertubuh subur berkata,

"Kak, kalau mau minta tanda tangan jangan begini dong caranya. Langsung aja bilang sama saya. Pasti saya kasih kok. Hehehe..." katanya sambil nyengir kuda seakan tak memiliki dosa.

Huuuftt...
Aku mencoba sabar menerima celoteh-celoteh mereka. Pikirku, wajar kalau mereka memiliki sikap seperti itu. Kelas yang kubimbing adalah kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jelas saja mereka clometan. Lain halnya saat aku memasuki kelas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), suasana riuh seakan tak pernah ada. Mereka diam dan tertib sebagaimana para siswa yang berpendidikan. Jadi aku menarik kesimpulan bahwa seorang guru harus lebih sabar lagi untuk menghadapi peserta didik yang beraneka ragam sifat. Karena dengan kesabaran dan kasih sayang yang tulus itulah, insyaallah ilmu yang disampaikan terealisasikan sesuai harapan.

Meski sedikit kesal, aku harus tetap sabar. Jangan sampai amarahku meluap akibat lisan peserta didik yang clometan. Toh, aku hanya melaksanakan tugas dari kampus saja. Bukan guru tetap mereka. Jadi, aku harus tetap melatih kesabaran buat dijadikan bekal kalau aku benar-benar menjadi guru kelak.

Tapi, kuingin mengucapkan terima kasih kepada adik-adik yang kudatangi kemarin. Adik-adik kelas X-2, XI IPS 1, dan XI IPA 2 Madrasah Aliyah Negeri 1 Pamekasan. Kalian telah memberikan warna baru bagi sejarah hidupku. Benar-benar seru dan lucu.

Sampang, 24 Mei 2011.
***

Senin, 02 Mei 2011

Cerpen: Anugerah Yang Hilang (Juara 3 Di Lomba Cipta Cerpen UNIRA 2011)

Oleh: Aswary Agansya

Aku tak menyangka dunia begitu cepat berputar. Padahal aku masih merasa baru kemarin hujan itu reda dalam kehidupanku. Belum sempat juga aku melupakan deru angin yang memporakporandakan kehidupan ini, eh malah pelangi itu muncul menyeringai ke arahku. Jujur, aku tak menyesal dengan perubahanku saat ini. Malah aku bangga dan bersyukur atas semua hal yang kudapatkan hari ini. Hanya saja, ada sedikit kekecewaan yang menyelinap karena orang yang juga ikut andil dalam perubahanku malah pergi dari sisiku. Dia yang rela mendorong semangatku untuk segera bangkit dari keterpurukan dunia.

Dia adalah Mutia, gadis jelita bermata indah. Raut wajah Mutia memang seindah dan sebanding dengan nama lengkap yang digelarnya. Ya, nama lengkap gadis itu tak lain dan tak bukan adalah Mutiara Nindita. Sungguh aku kecewa karena untuk saat ini, dipuncak kesuksesan ini, aku tak dapat berbagi kebahagiaan dengan Mutia.

Aku ingat betul saat pertama kali Mutia menyuntikkan kata semangat dalam hatiku. Dia yang membuatku bangkit dari keterpurukan dan memperkenalkan aku dengan roda kesuksesan. Saat itu, Mutia tengah memergokiku sedang berpesta narkoba bersama teman-teman sekampusku.

"Subhanallah..! Apa yang kau lakukan ini, Yusuf?!" teriak Mutia saat mendapatiku terkulai lemas di atas lantai. Aku tak menjawab pertanyaan Mutia. Menurutku, pertanyaan itu tidaklah penting bagiku. Daripada menjawab, mendingan kunikmati saja apa yang tengah kuperbuat.

Mutia terbelalak saat melihat serbuk putih di tangan kiriku. Sontak, gadis itu menarik tanganku dan menyeretku secara paksa keluar dari ruangan panas tersebut. Dengan susah payah Mutia dan seorang teman laki-lakinya membopongku masuk ke dalam mobil Avanza warna silver yang terparkir depan rumah.

"Hei gadis kuper..! Kau mau membawaku kemana hah..!" tanyaku ditengah-tengah ketidaksadaran. Aku ingin sekali memberontak, tapi aku tak kuasa karena tubuhku terasa melayang ringan.

"Kuharap kamu diam. Jangan banyak bicara..!" bentak Mutia tanpa menatapku.

Mobil pun melaju menjauhi lokasi pesta itu. Entah ke arah mana aku tak tahu. Ternyata, setelah menyusuri beberapa belokan dan lampu merah, Mutia menghentikan mobil silvernya di sebuah gedung rehabilitasi. Saat itu pun aku tak sadarkan diri.

***

Selang beberapa jam kemudian, aku bangun dari ketidaksadaran itu. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba berada di sebuah kamar yang mirip sekali dengan rumah sakit. Belum sempat semua pertanyaan dalam benakku terjawab, muncullah seorang gadis yang wajahnya sudah tak asing lagi dari balik pintu. Ya, sambil membawa nampan berisi segelas air dan sepiring nasi, Mutia menghampiriku. Senyumnya yang manis terus tersungging ke arahku.

"Mutia, tempat apaan ini?" tanyaku dengan suara sedikit parau.

"Ini adalah tempat rehabilitasi. Nih, makan dulu nasinya. Pasti kamu sudah lapar," jawab Mutia seraya duduk di bibir tempat tidur.

"Hah! Rehabilitasi?! Buat apa kau bawa aku kesini? Ah, lebih baik aku mau pulang saja."

"Yusuf, aku yakin kau butuh tempat ini. Ayo, dimakan dulu nasinya." Ujar Mutia sambil menyodorkan piring putih itu ke arahku.

Tanpa menerima sodorannya, aku malah beranjak dari tempat tidur. Dan tanpa sengaja, aku menyenggol piring yang dipegang Mutia sehingga jatuh ke atas lantai.

Praanngggg!!!

Mutia kaget.

"Yusuf..!! Mau kemana kau..!"

"Aku nggak suka dengan caramu ini Mutia..! Buat apa aku berada di tempat yang sama sekali nggak kusukai ini. Jangan kau urusi aku lagi. Ngertii?!"

"Heh Suf..! Berapa kali aku harus menjelaskan ini untuk menyadarkanmu? Berapa kali aku harus sabar melihat kelakuan burukmu ini? Berapa kali Suf?!!" kata Mutia mencegahku keluar dari ruangan itu. Mutia menghadangku dengan berdiri membelakangi pintu.

"Kamu nggak perlu melakukan apa-apa, tolol. Aku nggak butuh semua perhatianmu karena semua itu nggak akan pernah penting bagiku. Sudah, sana pergi, aku mau keluar dari tempat ini..!"

"Ingatlah Suf, semua hal yang kau perbuat saat ini telah menyakiti ibumu sendiri. Kuharap sekarang kau buka kedua matamu. Lihatlah ibumu Suf, lihatlah..!"

"Hei, kita ini nggak ada hubungan apa-apa loh ya. Jadi jangan campuri urusanku. Karena aku bener-bener nggat suka!!"

"Aku memang bukan siapa-siapamu Suf. Tapi aku masih punya hati melihat ibumu tersakiti. Ingatlah, semenjak kematian ayahmu, ibumu mulai sakit-sakitan. Dan itu semua gara-gara kamu. Kamu yang telah membuat ibu terbaring sakit Suf. Kamu!!" kali ini Mutia terbelalak membentakku. Aku kaget melihat raut wajah itu. Sejauh aku mengenal Mutia, rasa-rasanya baru detik itu aku melihat wajah jelita Mutia tegang. Aku memilih diam.

"Kau ini sudah dewasa Suf. Kau sudah nggak pantas lagi berkelakuan seperti para remaja. Bagaimana tidak? Ibu yang telah melahirkanmu sedang merintih kesakitan, membutuhkan belaian tangan putra semata wayangnya. Tegakah kamu meninggalkan dia sementara kamu sendiri bersenang-senang dengan berpesta narkoba? Tidakkah kau punya hati, Suf? Ingatlah satu hal, Yusuf. Kau ini anak laki-laki. Kau harus tunjukkan bahwa kau mampu menjadi ksatria yang gagah bagi ibumu. Jadi pelipur lara bagi kesedihan ibumu. Dan jadi sandaran bagi kehampaan hati ibumu."

Aku tetap diam. Pelan-pelan hatiku tersentuh mendengar penjelasan Mutia. Kutatap erat wajah jelita Mutia yang tengah diselimuti amarah.

"Dengan susah payah ibu membiayai kuliahmu. Dengan susah payah pula ibu berjuang membanting tulang berharap nanti kau akan menjadi laki-laki sukses dan berilmu. Apakah kau tak memikirkan jerih payah ibumu itu? Ayolah Yusuf, berubah. Berubahlah demi ibu dan masa depanmu. Aku yakin kau bisa melakukannya,"

"Nggak. Aku nggak akan bisa, Muti. Nggak akan..!"

"Asal kau mau berubah dan berusaha, insyaallah semua itu akan bisa Yusuf.."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan...? Mendengar penjelasanmu tadi, aku merasa tak pantas untuk hidup bersama ibu. Lebih baik aku mati saja, Muti," lirihku kelu sambil merembeskan air mata.

"Hush..! Jangan berkata seperti itu. Mati bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan sebuah masalah. Justru itu adalah perbuatan seorang pengecut. Apalagi bagi lelaki sepertimu"

"Tapi sampai kapan aku bisa merubah hidupku?" lirihku lagi.

"Jangan kau pikirkan dulu kapan kau bisa sukses keluar dari kesalahan ini. Yang jelas, kau harus meninggalkan barang haram itu mulai dari sekarang. Ya, sekaranglah waktu yang tepat mengakhiri keburukanmu ini, kawan." Kata Mutia dengan antusias. Aku pun pasrah di atas tempat tidur berspraikan putih itu. Merembeskan air mata penyesalan yang telah lama beku dalam benakku.

***

Sejak hari itu, aku tinggal di kamar rehabilitasi. Disana, selain mengikuti serangkaian terapi penyembuhan, aku juga diberikan keterampilan membuat lukisan. Sungguh luar biasa, aku baru sadar bahwa hidup normal itu ternyata lebih menyenangkan.

Begitu keluar dari tempat rehabilitasi, aku kembali melanjutkan kuliahku yang sempat terbengkalai. Bahkan, sebagai pekerjaan sampingan, aku selalu meluangkan waktu untuk membuat berbagai macam lukisan. Melukis adalah media terbaik untuk menuangkan isi hatiku. Itulah yang kulakukan demi membuang waktu luangku. Dan alhasil, aku sukses menggelar pameran lukisan tepat sepekan dari hari kelulusanku.

Yang sangat mencengangkan lagi, lukisan wajah jelita sang Mutia yang sempat kupajang di ruangan khusus, ada seorang pembeli yang ingin melelang lukisan itu. Kagetku pun tak terbendung. Ternyata lukisan sederhana raut jelita Mutiara Nindita laku terjual hingga ratusan juta. Hati siapa yang tak bahagia mendapatkan keuntungan sebesar itu?

Tapi kini, saat bisnis yang kurintis telah mencapai level tertinggi, malah sang penyemangat itu pergi dari sisiku. Dan tak pernah muncul di celah-celah kehidupanku. Andai saja ia tahu bahwa kesuksesan ini sebagian dari semangat yang ia suntikkan pada jiwaku dulu. Pasti gadis itu akan tersenyum bahagia seperti diriku.

Pernah kucoba mencari Mutia seorang diri. Tapi usahaku itu tak pernah membuahkan hasil sedikitpun. Di tempat rehabilitasi ia tiada, di kampusnya pun tak ada, bahkan setiap hari kudatangi rumah kontrakan gadis itu pun katanya sudah pindah. Oh, setahun sudah aku melakukan pencarian ini tanpa membuahkan hasil sedikitpun. Aku sungguh tak mengerti mengapa Mutia menghilang begitu saja dalam kehidupanku. Kehadiran dan kepergian gadis jelita itu benar-benar tak dapat kuprediksi.

Sepenggal kata yang pantas kusemaikan padamu wahai Mutiaku,

"Bertemu dirimu adalah indah. Mengenalmu adalah anugerah. Dan bersamamu adalah berkah. Terima kasih karena kau telah mengangkatku dari keterpurukan. Terima kasih, Mutiara."
***


Data Penulis

Aswary Agansya adalah nama pena dari Mohammad Aswari. Ia lahir di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1987. Sejak kecil Aswary memang gemar sekali membaca dan menulis. Sekarang dia tengah menempuh pendidikan di Universitas Madura jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah Antologi Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), Antologi E-Love Story 21 (Nulisbuku.com, 2011), Antologi Curhat Cinta Colongan #3 (Nulisbuku.com, 2011) dan Novel Imagination Of Love (LeutikaPrio, 2011). Insyaallah akan menyusul, karena masih dalam proses penerbitan adalah Antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus, Antologi Surat Untuk Jodohku dan Antologi Long Distance Friendship. Aswary juga tengah menggarap novel keduanya yang berjudul “Menari Di Atas Tangan”. Jika ingin berinteraksi dengan Aswary Agansya, bisa melalui facebook dan email: aswary_coolboy410@yahoo.co.id atau melalui blog :
www.aswarysampang.blogspot.com



















Data Penulis

Aswary Agansya adalah nama pena dari Mohammad Aswari. Ia lahir di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1987. Sejak kecil Aswary memang gemar sekali membaca dan menulis. Sekarang dia tengah menempuh pendidikan di Universitas Madura jurusan Bahasa Dan Sastra Indonesia. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah Antologi Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), Antologi E-Love Story 21 (Nulisbuku.com, 2011), Antologi Curhat Cinta Colongan #3 (Nulisbuku.com, 2011) dan Novel Imagination Of Love (LeutikaPrio, 2011). Insyaallah akan menyusul, karena masih dalam proses penerbitan adalah Antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus, Antologi Surat Untuk Jodohku dan Antologi Long Distance Friendship. Aswary juga tengah menggarap novel keduanya yang berjudul “Menari Di Atas Tangan”. Jika ingin berinteraksi dengan Aswary Agansya, bisa melalui facebook dan email: aswary_coolboy410@yahoo.co.id atau melalui blog :
www.aswarysampang.blogspot.com


Nama Asli : Mohammad Aswari
Nama Pena : Aswary Agansya
Alamat: Jl. Durian 52 Sampang-Madura
No. HP : 087866116936
Kampus: Universitas Madura Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia semester VI