Jumat, 27 April 2012

Cerpen komedi: Kepincut Idola (Naskah yang gak lolos lomba)



Hai saudara-saudara sekalian, apa kabar? Kali ini aku punya cerita nih. Ceritanya begini, pada hari minggu aku ikut ayah ke kota. Naik delman istimewa, dan ku duduk di muka. Ku duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja mengendali kuda supaya baik jalannya. Eit, kok lama-lama seperti lagu anak-anak ya? Hm, sorry deh sorry, masa kanak-kanakku kayaknya kurang bahagia kali ya. Oke deh cerita yang lain aja ya, kamu mau tahu nggak? Lucu loh... Bener? Bener nih mau tahu?

Cekidot please...

Sore itu tepat hari kamis, seusai gerimis menyapa kota Surabaya, aku dan Sarimin baru saja pulang dari nonton bioskop yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku. Dengan santai kedua tangan kami melenggang kangkung seperti penari profesional turun dari angkutan umum sambil senyam-senyum. Senyuman kami pun mengembang penuh ceria bagai orang gila di tengah jalan. Semua itu refleks kami lakukan sebagai ungkapan puas atas film yang kami tonton.

Film yang telah kami tonton tak lain dan tak bukan adalah film Indonesia bergenre horor yang tengah meledak di pasaran, yang membuat film itu spesial adalah pemeran utamanya diperankan seorang artis cantik bernama Dewi Berisik. Eh salah, maksudku Dewi Perssik (hehehe sorry deh, lidahku keseleo gara-gara keenakan makan lolipop nih. Hemm nyamiiiy).

Hm, tahu nggak siiiiihhh????? kenapa aku dan Sarimin ngebet banget nonton film horor yang serem tadi? Hayo pasti anda saudara-saudara sekalian nggak ada yang tahu, atau malah heran bin penasaran alasannya kenapa. Iya kan? Ngaku aja deh, aku nggak akan marah kok (Kikikikikiki...).

Kalau boleh aku bagi-bagi rahasia, aku akan bagi rahasia tentang sahabatku yang bernama Sarimin itu. Hm, diam-diam Sarimin ngefans banget loh sama si pemeran utama film "Tali Pocong Perawan" tersebut. Maka dari itu, si Sarimin rela mati-matian mentraktirku makan mie ayam dan bayarin tiket nonton sang idola. Bukan hanya itu, Sarimin juga rela jalan kaki dan berangkat lebih awal dari jam penayangan demi artis idolanya. Benar-benar sebuah pengorbanan besar untuk sang idola.

"Kemana... kemana.... kemana...." kata Sarimin coba menirukan Ayu Ting Ting menyanyikan lagu dangdut berjudul "Alamat Palsu".

Aha! Telingaku mulai mekar nih.

"Kesana kemari membawa alamat. Tetapi mereka bilang tidak tau. Sayaaaaang mungkin diriku telah tertipuuu...."

Telingaku kembali mekar. Bahkan semakin mekar saja. Bukan berarti terpesona dengan suara Sarimin, malah telingaku mekar lantaran gerah mendengar suara itu, jelas sekali suara Sarimin sangat jauh berbeda, nggak sama persis seperti suara si neng Ayu Ting Ting. Yang ada, menurut komentator ajang pencarian bakat di televisi yang sering kulihat sih suara Sarimin penuh dengan vibra kambing, benar-benar menyebalkan! Nggak pantas sedikitpun untuk menjadi penyanyi dangdut! (hihihihihihi).

"Parmin, tahukah kau perasaanku sekarang?" tanya Sarimin ketika menghentikan nyanyiannya dan berjalan memasuki sebuah gang.

Eit, tunggu dulu. Sebelum melanjutkan ceritaku, rasa-rasanya aku sampai lupa memperkenalkan siapa diriku. Kalau begitu perkenalkan, namaku Parmin, lengkapnya Suparmin, lebih lengkapnya lagi Suparmin Aja Gitcu loh, Sedangkan sahabatku bernama Sarimin, lengkapnya Sarimin Bin Suhaimin. Hampir mirip kan nama kami berdua? (Ha ha ha, kayak Upin Ipin saja ya pake mirip-miripan segala. Hufftt...).

Entahlah. Kalau boleh curhat sedikit sih, aku nggak tau sejarah pemberian namaku itu. Padahal, jujur saja, aku nggak begitu suka dan nggak akan pernah bangga memiliki nama Parmin. Nggak gaul sih...!

Seandainya saja Ibu dulu memberiku nama Lee. Ya kayak Lee personel "Hits" boyband Indonesia itu tuh... Lumayan kan banyak cewek-cewek yang mengejarku. Buka baju aja udah diteriakin cewek-cewek, apalagi senyum dan nyamperin mereka, pasti semua cewek klepek-klepek melihat tampangku yang aduhai cucok ini. Dan tentunya aku juga nggak akan menyendiri seperti saat ini kali ya (Hi hi hi, ngarep banget).

"Hei! Kau mendengar kata-kataku nggak sih, Parmin?!" teriak Sarimin mengagetkanku. Saking kagetnya, sampai-sampai permen yang kumakan tertelan begitu saja, membuatku batuk bak orang tua yang mendekati uzurnya.

"Huk! Uhuk! Uhuk! Ahak!"

"Min, Parmin. Kenapa kau batuk-batuk?" tanya Sarimin sambil mengelus-elus punggungku.

Aku tak sempat menjawab pertanyaan Sarimin. Boro-boro mau menjawab, bau ketek Sarimin mulai beraksi menusuk hidungku, sehingga mulutku mendadak batuk-batuk tak karuan. Aku heran, kenapa sih Sarimin memelihara bau ketek yang super duper menyebalkan itu? Mendingan memelihara ayam atau kambing seperti bapakku, kan lumayan tuh daripada bau tak sedap di kedua keteknya. Kalau memelihara ayam bisa panen telurnya, atau kalau memelihara kambing bisa laku keras saat musim Qurban tiba. Tapi kalau memelihara bau ketek bisa panen apa? Panen bau busuk kali ya. Hiiii... Jijay markijay bo!!

Sumpah! Bau ketek Sarimin memang sangat menusuk hidungku. Kalau menyengat dengan aroma terapi sih nggak jadi masalah, tapi ini, huh! Ada asem, kecut dan busuk. (Permen kali ya rasanya campur-campur). Eh, tapi bener loh, kalau band Indonesia ada yang menyanyikan lagu 'Cinta ini membunuhku' kali ini malah ketek Sarimin yang hampir membunuhku.

Daripada mati berdiri, mending aku istirahat saja dulu di sebuah warung, guna membeli sebuah minuman untuk mendorong permen yang sempat nyangkut di tenggorokanku. Selain itu, ya siapa tahu ketek Sarimin juga bisa dikeringkan sejenak dari genangan keringat kotornya, sehingga bau bangkai busuk yang menempel pun hilang. Hiiii... Uwekk!

"Duh Parmin, kenapa kau mampir ke warung ini sih? Rumah kita kan udah deket banget." Kata Sarimin ketika batukku sudah sedikit reda.

"Loh, gimana kau ini Saaarr, Sar! Kalau aku minum di rumah, bisa-bisa aku mati berdiri tau," sahutku sambil melirik Sarimin.

"Oyeah? Kenapa bisa mati berdiri? Ibumu mau membunuhmu? Wah gawat tuh, siap-siap lapor polisi, kawan!"

"Aduh, kamu ini dodol banget ya Sar. Mana mungkin seorang ibu akan membunuh anaknya sendiri? Ya nggak mungkinlah... Apalagi anak seimut aku."

"Hah, imut dari mana? Yang sebenarnya imut tuh aku, seperti pantun mengatakan, Ada Gula Ada Semut, gila gue imut."

"Ya kamu memang imut kayak marmut."

"Huuuuu..... Terus kenapa dong?" tanya Sarimin sok lugu.

"Eh cumi, aku tuh minum di sini untuk meredakan batuk akibat makan permen. Kalau harus menunggu minum di rumah, bisa-bisa aku mati berdiri disini. Begitu, dodol..."

"Ah, cuma batuk biasa aja bisa mati. Payah kau ini. Lebay" kata Sarimin enteng seakan-akan tak berdosa.

"Lebay apanya? Kamu tuh yang lebay,"

"Yaiyalah. Mana ada orang tiba-tiba mati berdiri akibat makan permen. Nggak ada sejarahnya tuh! Itu yang kumaksud lebay."

"Ya bisalah, selain tertelan permen, aku juga mual gara-gara... Ah sudahlah, ayo kita pulang. Aku mau mandi. Gerah!" kataku mengalihkan pembicaraan.

Padahal, aku ingin sekali mengatakan bahwa aku mual gara-gara bau bangkai busuk yang berasal dari kedua keteknya. Tapi kuurungkan demi menjaga perasaan Sarimin. Maklum, dia adalah satu-satunya sahabat yang masih setia bersamaku dan mendampingiku. Jadi aku harus mempedulikan perasaannya walaupun sebenarnya aku tengah emosi mendengar kata-katanya.

Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba Sarimin terperanjat dengan pandangan mata tertuju ke bawah. Kali ini aku yang keheranan melihat gerak-gerik sahabatku itu. Mata Sarimin terbelalak hebat, seakan-akan bertemu setan yang menakutkan. Secepat kilat Sarimin memungut sebuah kain panjang berwarna putih kecoklatan. Ya kira-kira ukurannya empat puluh sentimeter gitu deh. Pemuda itu pun loncat-loncat kegirangan seperti anak-anak balita yang mendapatkan mainan.

Sebenarnya gerak-gerik Sarimin lebay dan condong berlebihan deh. Bagaimana tidak, barang jelek, kusut, bau yang ditemukan itu malah dipeluk dan dicium-cium seperti menemukan harta karun. Andai ada orang yang melihat Sarimin, pasti aku akan merasa malu besar memiliki teman lebay seperti dia. Untung saja tak ada satu orang pun yang melihat pemuda itu lompat-lompat.

"Apa-apaan sih kau ini, Sar. Kain jelek itu kok malah dicium-cium gitu, nggak jijik apa?" kataku.

"Tau nggak Parmin. Aku yakin kain ini adalah tali pocong perawan yang terjatuh," jawab Sarimin dengan entengnya.

Aku terkejut bercampur geli. Sontak mulutku tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Sarimin.

"Hahaha! Mana mungkin ada tali pocong di perkotaan seperti ini? Kau terkontaminasi film tadi ya? Janganlah mengada-ada kau Sarimin. Huahahaha,"

"Duh, percayalah Parmin. Percayalah padaku. Aku yakin dengan tali pocong ini aku dapat menemukan belahan jiwaku. Gadis cantik seperti Dewi Persik yang selama ini aku impikan. Percayalah kawan," tegas Sarimin percaya diri. Bukannya yakin, malah aku semakin geli mendengar kata-kata pemuda kurus itu. Sok puitis. Sok Narsis. Ah, sudahlah! Kami pun pulang.

***

Malam harinya, aku mengajak Sarimin tidur di rumahku. Sesampainya di rumah dari nonton bioskop, ternyata Ibu dan Bapakku mendadak pergi ke Malang karena ada saudara yang sakit keras. Jadi di rumah tinggal aku sendiri deh. Dan malam itu Sarimin kuajak tidur di kamarku. Aduh tahukah anda saudara-saudara, malam itu aku tak bisa tidur dengan tenang. Ada suara-suara aneh yang terus menghantui telingaku sehingga ketenangan malamku terus terusik.

Dari manakah suara itu berasal? Bisakah saudara-saudara sekalian menebaknya? Ting tung ting tung duaaarrr!!! Yup, benar! Suara aneh itu berasal dari mulut si Sarimin yang tidur di sampingku. Pemuda itu ngorok bagai babi ngepet yang lama tidak diberi makan majikannya. Suaranya membahana ke seantero celah kamar. Mana mulut Sarimin juga bau. Uh Sumpah! Lengkap banget ya penderitaan si Sarimin. Ketek bau, mulutnya pun begitu. Ahay, kagak nahan baaaang...

"De.... Dewi. Aku suka kamu Dew. Jadikanlah aku kekasihmu, oohh..." igau Sarimin, tiba-tiba, membuatku terperanjat kaget. Kutatap lekat-lekat wajah pemuda di sampingku itu. Rupanya Sarimin tengah memimpikan sang idola. Buset dah, secara tidak langsung Sarimin telah menyiksaku. Menyiksa malam yang seharusnya tenang dan damai untuk beristirahat.

Ya ampiiuuun, sampai subuh pun mulut Sarimin belum juga berhenti berdering alias ngorok. Dan Sarimin tidak menyadari perbuatannya sedikit pun. Benar-benar mengecewakan. Terpaksa aku beranjak bangun dan sholat subuh. Tepat pukul enam pagi, Sarimin bangun dari tidurnya. Aku memang sengaja tidak membangunkannya karena aku mau tidur di sofa ruang tamu seusai sholat subuh. Eh, belum genap satu jam memejamkan mata, tiba-tiba saja Sarimin datang membangunkanku.

"Hei ayo bangun! Jangan tidur melulu. Daripada tidur, mendingan dengerin nih cerita tentang mimpiku tadi malem. Ayo bangun Parmin, bangun!" Seru Sarimin menggoyang-goyangkan tubuhku. Aduh, aku benar-benar kesal dengan kelakuan Sarimin! Aku tersiksa di rumahku sendiri.

"Aduh Sar! Aku baru tidur jam lima pagi tau! Jangan ganggu aku ah,"

"Bangun dulu. Udah pagi nih. Coba kau dengarkan dulu ceritaku. Tadi malem aku mimpi bertemu sama Dewi Persik. Sumpah, dia cantik banget, Parmin." jelas Sarimin tak menghiraukan kekesalanku. Aku hanya diam menanggapi kata-katanya. Mataku seakan tak bisa dibuka lagi.

"Aku yakin tali pocong yang kutemukan kemarin sore itu akan memberikan kejutan sehingga mempertemukan aku dengan si Dewi," lanjut Sarimin lagi.

"Wah Sar, jodoh itu ada di tangan Tuhan. Bukan dari kain jelek yang kau pegang itu! Pagi-pagi jangan ngelantur ah." sergahku dengan mata setengah tertutup. Belum sempat Sarimin menjawab, tiba-tiba saja ada suara gaduh di depan rumahku. Pelan-pelan kuperhatikan, sepertinya ada beberapa tetangga yang sedang ribut deh. Karena rasa penasaran mulai muncul dan merasuki otakku, kami berdua pun keluar untuk memperjelas apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.

Seorang wanita setengah baya memarahi ibu tetangga depan rumah.

"Mana kain putih yang dicuri anakmu! Kembalikan padaku. Itu sangat penting buat anakku si Dewi. Ayo mana kembalikan bu," gertak perempuan setengah baya itu.

"Kain putih apa ya bu? Anak saya nggak merasa mengambilnya, bentuk kainnya saja kami nggak tau tuh bu," bela ibu depan rumah.

Mendengar kata kain putih, aku jadi teringat sesuatu. Otakku langsung tersambung dengan kain yang ditemukan Sarimin kemarin sore. Secepat kilat aku merampas kain kotor yang dipegang Sarimin. Lalu aku bergegas menemui segerombolan wanita yang tengah ribut tadi.

"Tunggu, tunggu, maaf mengganggu. Apa yang kalian maksud kain ini?" tanyaku seolah-olah pahlawan yang membawa kedamaian di pagi buta. Ya! Pahlawan tanpa tanda jasa.

"Oh jadi kamu yang mengambil kain itu, Parmin?" kata wanita itu menatapku garang dan terbelalak.

Aku kaget.

Sarimin tergopoh-gopoh datang menghampiriku.

"Buu, bukan. Kemarin Sarimin yang menemukan kain ini di depan warung bu Salma, memangnya buat apa kain busuk ini, bu?" kataku mencoba menjelaskan.

"Ini kain kesayangan anakku tau. Kain ini digunakan untuk menutup mulut Dewi kalau sariawan. Sini kembalikan,"
Gleeegggg!!!

Mendengar penjelasan wanita itu, sontak aku tertawa lepas ke arah Sarimin. Sarimin yang tadinya girang berubah salah tingkah, mukanya mulai pucat. Hahaha, rupanya kain yang dianggap tali pocong perawan oleh Sarimin itu salah besar. Malah kain itu penutup bibir anak wanita tadi, si Dewi Berisik. Maklum, gigi sang Dewi Berisik maju melewati batas bibir atasnya. Jadi kain busuk itu sebagai penutup mulut Dewi Berisik saat sariawan.

Ha ha ha, pantesan kemarin baunya busuk sekali, jadi itu dikarenakan bercampur ludah Dewi Berisik? Hiii...Sarimin pun memerah dan pulang tanpa kata. Malu.
***

Kamis, 05 April 2012

Peristiwa 100 Hari Yang Lalu



Seratus hari yang lalu, jika aku mengingat peristiwa di hari itu, pasti akan menjadikan hatiku kembali sembilu. Mimpi, harapan dan gairah meniti kehidupan seakan terhenti sejak seratus hari yang lalu. Tak ada canda dan tawa yang menemaniku. Tak ada lagi tempat kuberbagi cerita bahagia, dan tak akan ada lagi keunikan yang selama ini selalu kulihat setiap waktu. Semua itu terhenti sejak seratus hari yang lalu.

Ya! Seratus hari yang lalu air mataku mengaliri pipi dan kemejaku. Aku tak akan pernah melupakan hari yang menyedihkan itu, hari kematian sahabat terbaikku, Agung Wisnu Saputra. Sebuah nama yang sempat terselip di nama penaku (AGANSYA - AGung, liAN, alfianSYA). Sejujurnya aku masih tak percaya bahwa pemuda itu telah pergi. Hal tersebut dikarenakan aku belum sempat melihat wajah terakhirnya, terutama pusara tempat ia bersemayam untuk selamanya. Aku benar-benar belum sempat melihat batu nisan itu dengan mata kepalaku sendiri, sama sekali belum pernah!

Memang benar kata sebuah pepatah, sebaik-baik manusia berencana masih ada Allah yang akan menentukan segalanya. Andai saja Agung masih hidup, aku akan menunjukkan novel yang kutulis beberapa tahun lalu, novel yang terinspirasi akan dirinya, akan keunikannya, dan akan kesabarannya menghadapi susahnya kehidupan. Kuingin memberikan seberkas buku cerita itu pada Agung. Namun, sepekan sebelum pertemuanku dengannya, malah dia pergi untuk selamanya. Bahkan dia pergi tanpa menemuiku terlebih dahulu. Hanya kabar kematianlah yang kudengar jauh dari kota Kediri itu.

Aku tak menyangkal bahwa setiap rencana Tuhan pasti terselip hikmah yang dapat kupelajari. Namun, hingga kini kepergian seorang Agung menyisakan sejumput pertanyaan yang terus menghiasi pikiranku, secepat itukah Allah memanggil Agung? Disaat semua yang kurencanakan belum bisa kutunaikan?

Mungkin aku harus terima tentang perjalanan hidup ini. Seratus hari yang lalu aku merindukan sahabatku, dan sampai detik ini pun rasa itu masih menghiasi relung hatiku. Puluhan gambar Agunglah tempatku mengenang sahabat terbaikku. Untaian do'a-lah penghubungku dengan pemuda itu. Banyak orang menganggap kepergian Agung dengan cara tragis. Tapi aku yakin Agung telah tenang di alam sana. Aku harus pasrah akan kepergiannya dari hidupku, dari hidup kami semua. Semoga kau tenang di alam sana wahai saudaraku! Amin.

Sampang, 31 Maret 2012
Menjelang Pagi
***