Senin, 23 Mei 2011

Pengalaman Pertamaku Menjadi Guru

"Pak, kok soal-soalnya nggak jelas sih? Jelasin dong pak, yang nomor dua belas..!" Celetuk salah satu siswa yang duduk di depanku.

Aku tertegun sekaligus tak percaya dengan apa yang dikatakan siswa laki-laki itu. Wow, benarkah aku dipanggil bapak? Tidakkah aku salah mendengarnya? Masih muda begini kok malah dipanggil bapak sih? Apa tampangku sudah seperti bapak-bapak ya? Wah wah wah, harus segera diperbaiki nih. Pikirku penuh tanya. Tapi kata-kata siswa tadi juga membuatku geli sendiri. Aku malah tersenyum simpul sambil menatap siswa itu.

"Wah, jangan panggil bapak dong dek. Panggil saja kak Arik. Kan saya masih muda, apalagi belum berkeluarga. Lebih enak di dengar kan?" sahutku kemudian dengan senyuman masih mengembang. Aku pun menghampiri siswa itu dan mengamati apa yang ia tanyakan.

Jujur, rasanya baru kemarin sore aku menjadi siswa seperti mereka. Duduk di bangku dan menatap papan tulis serta menyimak penjelasan guru pembimbing. Kupikir, sikap kekanak-kanakan yang melekat pada diriku masih belum juga sempat kubuang jauh-jauh. Bahkan, cara bicaraku pun seakan masih belum menunjukkan bahwa aku adalah calon guru yang akan dijadikan panutan para peserta didik. Tapi sadar atau tidak, hari ini aku justru berdiri di depan kelas sebagai seorang guru. Ya, sebagai guru yang mengemban tanggung jawab untuk membimbing, membina dan memotivasi peserta didiknya agar menjadi generasi yang lebih baik. Oh, aku benar-benar tak percaya akan kejadian hari ini.

Rupanya menjadi seorang guru itu tidaklah mudah. Harus benar-benar memiliki kesabaran yang kuat dalam menghadapi peserta didik yang dibimbing. Buktinya saja aku, baru hari pertama masuk ruangan saja, seisi kelas riuh tak terkendalikan. Bayangkan saja, para peserta didik itu tak henti-hentinya mengolokku dengan gaya bahasa remaja mereka.

"Kak, kakak itu berasal dari Jepang yang tiba-tiba nyasar ke Madura ya?"

"Duh kak, suara kakak nggak jelas banget. Kakak bicaranya pakai bahasa Jepang ya?"

"Kak, karena saya tidak ingat nomor induk, maka di kolom nomor induk ini diganti nomor hape ya kak. Atau nomor rumah dan sepatu. Kakak pilih yang mana?"

Begitulah kata-kata yang dilontarkan sebagian siswa padaku dan teman-temanku. Bahkan ketika aku menyodorkan lembar hadir siswa yang harus ditandatangani, seorang gadis bertubuh subur berkata,

"Kak, kalau mau minta tanda tangan jangan begini dong caranya. Langsung aja bilang sama saya. Pasti saya kasih kok. Hehehe..." katanya sambil nyengir kuda seakan tak memiliki dosa.

Huuuftt...
Aku mencoba sabar menerima celoteh-celoteh mereka. Pikirku, wajar kalau mereka memiliki sikap seperti itu. Kelas yang kubimbing adalah kelas Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jelas saja mereka clometan. Lain halnya saat aku memasuki kelas Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), suasana riuh seakan tak pernah ada. Mereka diam dan tertib sebagaimana para siswa yang berpendidikan. Jadi aku menarik kesimpulan bahwa seorang guru harus lebih sabar lagi untuk menghadapi peserta didik yang beraneka ragam sifat. Karena dengan kesabaran dan kasih sayang yang tulus itulah, insyaallah ilmu yang disampaikan terealisasikan sesuai harapan.

Meski sedikit kesal, aku harus tetap sabar. Jangan sampai amarahku meluap akibat lisan peserta didik yang clometan. Toh, aku hanya melaksanakan tugas dari kampus saja. Bukan guru tetap mereka. Jadi, aku harus tetap melatih kesabaran buat dijadikan bekal kalau aku benar-benar menjadi guru kelak.

Tapi, kuingin mengucapkan terima kasih kepada adik-adik yang kudatangi kemarin. Adik-adik kelas X-2, XI IPS 1, dan XI IPA 2 Madrasah Aliyah Negeri 1 Pamekasan. Kalian telah memberikan warna baru bagi sejarah hidupku. Benar-benar seru dan lucu.

Sampang, 24 Mei 2011.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar