Jumat, 21 September 2012

Curahan Untuk Dinda


Wahai gadis pujaanku, apa kabarmu disana? Apakah kau tengah diselimuti kebahagiaan? Ataukah malah dirundung nestapa? Berikan secuil kabarmu untukku, karena detik ini bayanganmu menari di anganku.

Wahai gadis pujaanku, apakah kau tak menemukan bayanganku dalam benakmu? Apakah kau tak merindukan ragaku? Meski secuilpun itu?

Dinda, dinda. Lima tahun kujaga cinta yang bersemayam indah ini. Dalam kurun waktu yang tak sedikit itu kuhadapi berbagai liku hidup dengan penuh kesabaran. Pun kurasa kau juga mengalami macam rupa liku kehidupan itu. Namun yang membuatku tak mengerti, mengapa malah luka yang kudapat disaat kuyakinkan hatiku tentangmu?

Aku sadar,
aku bukan lelaki yang tangguh, dinda. Bukan lelaki pemberani dalam mengarungi samudera cinta seperti yang kau inginkan itu. Aku hanyalah pengecut yang bisu, yang selalu tidur dalam gubukku.

Aku sadar, aku tak sesempurna pemuda impianmu itu, aku tak setampan pemuda itu, aku juga tak seindah yang kau harapkan. Aku hanyalah aku, yang selalu kau abaikan hatinya.

Tapi satu hal yang perlu kau tau dindaku, aku mencintaimu dengan ketulusanku. Aku menyayangimu dengan kekuranganku. Serta kumengharapkanmu dibalik kesederhanaanku.

Oh dindaku, disini aku tertawan oleh bayanganmu. Aku terlampau lemah menepis lukisan senyumanmu. Apakah ini adil bagi pemuda yang tengah merindukan tulang rusuknya?

Wahai Dinda, kau boleh mengabaikanku seperti ini. Kuterima semua yang telah kau lakukan padaku. Semua itu tak akan membuatku berbalik membencimu, tapi justru makin menyayangimu. Kalau kau masih peduli padaku, kutunggu berita indahmu di dermaga hatiku.
***

#Kamar inspirasiku.
Sampang, 20-09-2012 Menjelang Malam. Tanah Garam, Madura.



Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Sabtu, 15 September 2012

Maaf Dari Pulau Seberang (Tulisanku Yang Gak Lolos Even)


Sisa-sisa malam mulai memudar ditelan terang. Pagi pun menjelang beriringan dengan kicauan burung dan merekahnya sisa embun. Dingin masih terasa menyentuh kulitku, menyapa aliran darahku yang masih segar, dan memberikan energi baru untuk perkembangan semangatku.

Pagi itu aku masih terdiam di bibir tempat tidur. Sejak usai shalat Subuh aku tetap duduk dengan tak mengubah posisiku. Pikiranku sedikit kalut, Ramadhan akan datang beberapa hari lagi namun bebanku belum jua luruh dari hatiku. Ingin rasanya aku segera menuntaskan beban ini. Tapi sampai detik ini aku tidak tahu bagaimana cara menuntaskan semua itu.

Peristiwa tempo lalu telah menyita sebagian pikiranku, menghilangkan semangat dalam dadaku. Nyaliku pun pelan-pelan melemah, bak balon udara yang menciut seketika dan lenyap ditelan ganasnya angkasa.

Aku ingin jujur padanya, sejak peristiwa itu pikiranku terganggu kelu. Peristiwa hari itu tak ubahnya lecutan cambuk yang memaksa hatiku untuk terus mengevaluasi diri dari deretan-deretan kekhilafan yang telah lalu. Dan pikiran itu tertuju pada kesalahan yang telah kuperbuat kepada dia. Memang benar adanya, penyesalan tidak datang pada awal sebuah cerita, melainkan pasti datang di akhir sebuah cerita. Itulah yang tengah kualami saat ini.

Dulu, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia wanita yang telah kuanggap sebagai kakakku sendiri, Mbakyuku yang penuh inspirasi, diam-diam mengajakku pergi ke Yogyakarta untuk menghadiri acara kepenulisan yang diadakan seorang sahabat di Yogyakarta sana. Dia menghubungiku melalui kotak pesan di facebook. Maklum, persahabatan kami memang berawal dari sebuah jejaring sosial bernama facebook. Dia dari kota Surabaya dan aku dari kota kecil pulau seberang, Madura.

"Assalamualaikum. Adek, bener mau ikut ke Jogja? Kalau adek mau, adek bisa bareng mbak. Ada orang yang memberiku kendaraan, nah kalau mau, besok sore adek ke Surabaya ya. Ke kantor mbak saja. Aku ngajak adek karena kakak-kakak disini sibuk semua dan biar adek menemani driver, biar dia nggak sendirian. Nanti aku juga berusaha ngajak temen cewek supaya bisa temenin mbak. Ditunggu ya kabar selanjutnya," pesan singkat itu kubaca tepat sepulang dari kuliah.

Aku merasa senang bukan kepalang setelah membaca pesan itu. Aku tidak menyangka bisa diajak oleh orang yang selama ini kujadikan inspirasiku dari dunia maya. Apalagi diajak ke kota Yogyakarta, kota yang menyimpan banyak keajaiban dan kentalnya kebudayaan, wah makin riang saja hati ini karena selama aku bernapas, aku belum pernah menapakkan kaki berkunjung ke kota pelajar itu. Inilah kesempatanku untuk mengenal Jogja lebih dekat, pikirku.

Kuiyakan saja ajakan Mbakyuku itu tanpa memikirkan apapun. Maklum, mungkin aku terlanjur bahagia.

"Wah, mendadak ya Mbak? Oh iya, boleh ngajak temen nggak Mbak? Hehehe, aku bersedia ikut deh Mbak." Balasku.

"Kalau ngajak temen lagi kurasa nggak bisa dek. Takut mobilnya nggak cukup. Maaf ya." Balas Mbakyuku dengan cepat.

"Oke deh. Insyaallah ya Mbak," kataku padanya sambil tersenyum bahagia.

“Baik dek. Mbak tunggu. ^_^”

"Oh iya mbak, berarti aku nanti sore harus sudah stanby di Surabaya ya? Ke Jogjanya berangkat jam berapa sih Mbak?"

"Iya sore sudah standby disini. Berangkatnya jam enam ba'da shalat Maghrib. Bisa kan?"

"Oke kalau begitu, mbak."

"Sipp!!"

Aku mulai membayangkan bagaimana serunya perjalananku nanti jika di Jogjakarta. Yang terlintas dalam benakku adalah candi-candi khas Yogyakarta seperti candi Prambanan, Mendut, candi Borobudur dan candi-candi eksotik lainnya. Tak lupa kemeriahan Jalan Malioboro dan panorama Gunung Merapi juga ikut serta dalam kepingan bayang-bayangku itu. Aku juga semakin penasaran bagaimana sebenarnya suasana kota Jogja yang selama ini sering kulihat dari layar kaca. Apakah atmosfer disana berbeda dengan kotaku di Madura? Atau mungkin sama saja. Ah, angan-anganku pun melambung tinggi hingga tiba kota ke Yogyakarta meski secara raga masih berada di Madura.

Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan kelopak mata. Mata dan otakku terlalu sibuk menerawang belahan bumi pulau Jawa yang akan segera kupijak. Pukul dua belas malam aku baru bisa tidur tanpa bayang-bayang Yogjakarta.

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke Surabaya, kusempatkan dulu pagi harinya untuk kuliah. Namun, sesampainya di kampus, dosenku memberikanku tugas mendadak yang harus kuselesaikan dalam jangka waktu sehari. Dan yang membuatku sedikit geram adalah tugas tersebut harus dipresentasikan lusa. Aku pun kelabakan.

Memang tak terduga. Sebaik-baiknya manusia berencana, tetap saja Allah Azza Wa Jalla-lah yang menentukan semuanya. Ini semua benar-benar diluar dugaanku. Sore hari aku baru pulang dari kampus. Alhasil, aku tidak bisa ikut Mbakyuku ke Yogyakarta.

Hatiku kecewa. Dengan perasaan sedih kukirim pesan singkat yang berisikan kata maaf pada perempuan itu. Aku berharap dia mau memaklumiku, coba mengerti posisiku sebagai seorang pelajar. Namun smsku failed. Kucoba hubungi telepon genggamnya tapi tak bisa tersambung karena nomor handphonenya ternyata nonaktif.

Seusai Maghrib aku baru ingat bahwa aku memiliki akun facebook. Bergegas kukayuh sepedaku menuju warnet berharap bisa meminta maaf walau jam segitu Mbakyu telah berangkat ke Yogyakarta. Saat hendak mengirim pesan, tiba-tiba Mbakyuku meng-up date sebuah status di wall akun facebook miliknya. Tanpa sengaja, aku membaca kata-kata itu,

"Hari ini aku belajar adab dari orang yang tak memiliki adab. Belajar tersenyum dari orang yang tak pernah tersenyum."

DEGG...!! Jantungku berhenti berdegup.

Aku tersadar dari kepanikanku. Walau aku belum tentu tulisan itu ditujukan untukku, tapi rasanya aku telah dicambuk hebat dengan kalimat singkat itu. Buru-buru aku meminta maaf pada Mbakyuku. Pesan maafku tidak langsung di balas olehnya.

"Iya nggak apa-apa. Mbak nggak apa-apa kok." Balas Mbakyu beberapa hari kemudian.

Dari rangkaian kata-kata elektronik itu, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Jauh sisi hatiku berkata bahwa dia belum bisa secara ikhlas memberikan maafnya untukku. Dan mungkin dia tidak akan pernah mau lagi memaafkanku. Itu terbukti acapkali aku mencoba akrab dengan dia, dia malah menanggapiku dingin. Ya, pelan-pelan dia berubah. Mbakyuku tak lagi seakrab dulu padaku. Tak seceria dulu padaku. Satu pun apa yang kulakukan di facebook, tak akan pernah mampu menarik perhatiannya. Jangankan berkomentar, memberi tanda "Like" pun tak ada. Aku juga pernah mencoba menghubungi telepon genggamnya, tetap saja tak ada tanggapan dari Mbakyuku itu. Aku benar-benar bingung.

Peristiwa itu satu-satunya peristiwa yang membuat silaturrahmi kami pelan-pelan terputus. Benar-benar terputus! Seperti segelas air yang airnya tumpah ruah akibat sang gelas penampung pecah berantakan. Aku bingung harus bagaimana lagi menghadapi dia karena berbagai cara telah kulakukan untuk mencoba menyambung silaturahmi kami. Sebagai manusia biasa aku pun mulai lelah. Kata maaf darinya mungkin akan menjadi khayalan saja.

Ramadhan tinggal menghitung hari, kuingin angin mampu menyampaikan salamku pada Mbakku di Surabaya sana, sebuah kata maaf dari pulau seberang.

Oh, Mbakyuku. Segitu burukkah aku sampai-sampai tak ada lagi pintu maafmu untukku? Segitu hinakah aku sampai-sampai kau tak mau lagi bersahabat denganku? Kalau semua itu benar adanya, sungguh kasihan sekali aku ini.  Aku pasti sedih karena kehilangan sahabat sepertimu wahai Mbakyuku. Tidakkah kau tahu wahai Mbakyu, Allah saja mau memaafkan hamba-hambanya yang telah tobat dari kekhilafannya. Pasti Mbakyu tahu akan hal itu.

Aduh Mbakyu, aku sungguh takut. Takut kau tak memaafkanku. Aku takut Allah mengazabku hanya gara-gara putusnya silaturahmi kita ini. Tidakkah Mbakyu merasa takut sepertiku? Ku yakin Mbak juga takut kan?

Maka dari itu marilah kita buang saja kesalahan masa lalu yang pernah terjadi di antara kita. Gantilah kenangan buruk itu dengan keceriaan yang baru, apalagi menjelang Ramadhan kali ini. Yakinlah bahwa tak ada yang lebih indah dari perdamaian dan persahabatan Mbakyu.

Mbakyu, dengarlah suara dari hatiku ini. Hati yang hampa dan penuh harap akan sebuah satu kata saja. Ya! Hanya satu kata saja, yaitu "DIMAAFKAN". Tidak hanya dibibir, tapi tulus dari hati Mbakyu.

Mbakyu, aku pernah mendengar sebuah kata bijak yang benar-benar mantap menurutku,

"Meminta maaf tidak menjadikan seseorang lebih tinggi atau rendah. Dan orang yang memberi maaf dengan ikhlas itu pasti berhati mulia."

Nah, hati Mbakyu mulia kan?


*Sampang, Tanah Garam Madura. 15 Juli 2012 menjelang siang.
***

Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Minggu, 02 September 2012

Oleh-Oleh Cerita dari Tanah Rasulullah

(Rabu, 29 Agustus 2012)


Siang itu, sekitar pukul 10:30 WIB aku dan dua sahabatku tengah berjuang mengayuh sepeda melewati lorong-lorong gang Jl. Rajawali II kota Sampang. Siang yang suhu panasnya mencapai derajat tertinggi itu, kami mencari sebuah rumah sahabat yang sedang melangsungkan pernikahan. Maklum, aku belum pernah berkunjung ke rumah gadis itu sebelumnya, walau sebenarnya dulu sewaktu SMA kami sudah saling kenal. Kota Sampang bukanlah kota besar seperti Surabaya yang memiliki jalan bercabang. Sampang adalah salah satu kota kecil yang ada di Madura (tapi kok kami bisa nyasar ya? Ya gitu deh. Takdir. Hehehe). Setelah lima belas menit berputar-putar dan sempat tersasar, akhirnya kami bisa bernapas lega. Kami menemukan juga rumah sang pemilik acara yang kebetulan rekan kerja sesama guru di sekolah yang menaungiku. Alunan musik dangdut modern menyambut kedatangan kami, pun tak lupa sang mempelai ikut serta melemparkan senyuman terindahnya begitu melihat kaki kami memasuki pelataran rumah mereka.

Aku menangkap rona bahagia di wajah pengantin muda itu, ya, rona bahagia yang menyiratkan kelegaan karena prosesi akad nikah mereka yang berjalan dengan lancar tanpa ada halangan. Kami berjabat tangan. Aku dan kedua sahabatku pun dipersilahkan duduk. Aku benar-benar diselimuti wajah-wajah bahagia, pikirku saat itu.

Tak begitu lama, tiba-tiba suatu hal membuatku terkejut. Pundak kananku ditepuk seseorang tanpa sepengetahuanku.

"Subahanallah...!!!" seruku tepat saat mengetahui siapa yang melayangkan tepukan ke pundakku. Dialah pemuda sekaligus sahabat yang baru saja pulang umroh di tanah suci Mekah. Pemuda itu bernama Fitroh.

"Waduh, ketemu disini rupanya," seru Fitroh padaku sembari tersenyum.

"Loh, kapan kau datang?" kataku balik bertanya.

"Aku datang malam Minggu. Kamu kemana kok tidak menyambut kedatanganku? Di rumah rame loh..."

"Apa? Malam Minggu? Kebetulan malam Minggu kemarin aku sakit Fit. Jadi nggak bisa keluar rumah."

"Waduh, ternyata di Sampang musim orang sakit ya,"

"Benar Fit, akibat cuaca yang tak menentu kali ya. Eh, kayaknya aku sekarang harus panggil pak haji deh," seruku sambil tertawa. Fitroh pun ikut tertawa mendengar ucapanku.

Pelan-pelan, kutatap wajah pemuda itu. Ada sesuatu yang berbeda yang membuat kedua mataku terus terpesona. Ya, kulit Fitroh tampak lebih putih, bersih dan halus. Wajahnya pun tampak bercahaya. Apa ya rahasianya? (hahaha, kayak iklan aja nih yeee...)

"Wajahmu bersinar Fit. Pasti kamu bahagia di sana. Cerita dong..."

"Ah, kapan-kapan kamu ke rumahku saja. Nanti kuceritakan semua. Di sini bukan tempat yang tepat." Timpal Fitroh membuatku penasaran.

"Baik. Hari Senin aku ada jadwal mengajar. Nanti aku mampir ke rumahmu ya."

***

(Jumat, 31 Agustus 2012)


Jika harus menunggu hari Senin tiba, aku rasa masih terlampau jauh untuk menyimpan lagi kepenasaranku. Sedangkan hatiku telah lama diselimuti rasa super penasaran ingin segera mendengar rangkaian cerita perjalanan religi seorang Fitroh di tanah Rasulullah. Tanpa ba bi bu lagi, kuputuskan saja Jumat pagi segera bersilaturahmi ke rumah Fitroh. Tak tanggung-tanggung, aku berangkat pukul tujuh pagi dan tak lupa pula kuajak kedua sahabatku, Lian serta Anas ikut berkunjung ke rumah Fitroh yang terletak di desa Pangelen, Sampang. Kami bertiga mengendarai angkutan umum dan benar-benar menikmati perjalanan kami. Pemandangan alam selama perjalanan berlangsung sangat indah menyejukkan mata. Kanan kiri jalan dikelilingi hijaunya persawahan.

Rasa penasaran yang memenuhi batinku tentang Baitullah telah membawaku hingga ke rumah sederhana kediaman Fitroh. Aku terlampau egois ingin mengetahui segala sesuatu yang belum pernah kuketahui, termasuk suasana di tanah suci sana.

"Aku tidak tahu harus cerita darimana, yang jelas menurutku kehidupan disana tidak bisa diukur dengan pikiran. Semua tergantung amal perbuatan kita di Indonesia," tutur Fitroh memandang kami bertiga.

"Kok kamu bisa bilang begitu?" tanyaku.

"Iya. Aku merasa Allah melindungiku selama aku berada disana. Pernah aku berangan-angan ingin makan ayam, eh ternyata ada seseorang yang mengetuk pintu apartemenku dan menyodorkan beberapa potong ayam goreng padaku. Pernah juga aku berangan-angan ingin mencicipi nasi bukhari, tiba-tiba ada seseorang yang memberiku sepiring nasi bukhari. Allah benar-benar mengetahui apa yang ada di benak hamba-hambaNya,"

"Ada satu hal yang membuatku semakin yakin bahwa Allah benar-benar Maha memberi," kata Fitroh dengan pandangan mata tampak menerawang. Aku, Lian, dan Anas masih terdiam tepat dihadapan pemuda bersarung dan berpeci itu.

"Kalian tahu sendiri kan kondisi keberangkatanku. Saat itu aku hanya membawa uang saku sebesar empat ratus riyal. Tapi subahanallah, aku benar-benar terharu,"

"Terharu kenapa? Kamu kecopetan?" celetukku.

"Bukan. Bukan itu. Saat aku sholat di Masjidil Haram, tiba-tiba ada orang asing menyelipkan beberapa lembar uang kesakuku. Tepat sekali di saat aku tengah melaksanakan sholat. Setelah kuketahui, ternyata uang itu berjumlah seratus riyal."

"Subahanallah... Kamu tau siapa orang itu Fit?" Lian tertegun. Fitroh pun menggelengkan kepalanya pertanda tidak mengetahui siapa orang pemberi uang itu.

"Aku benar-benar tidak tahu siapa orang asing itu..."

Belum sempat Fitroh melanjutkan ceritanya, tiba-tiba muncullah bibi Fitroh dari balik pintu yang tengah membawa nampan berisi dua piring penuh kurma dan tiga gelas air zamzam.

"Ini, silahkan diminum. Ini air zamzam asli. Aku sendiri yang mengambilnya spesial untuk sahabat-sahabatku."

Aku merogoh gelas itu, kuamati sekilas kemudian kuteguk isinya. Aku bersyukur bisa meminum air bersejarah itu. Menurut informasi yang pernah kubaca, air zam-zam merupakan air mineral terbaik di seantero celah dunia. Dan yang membuatku tersita sekaligus tercengang, meski sejak zaman Rasulullah hingga sekarang banyak masyarakat di dunia yang mengambil air zamzam tersebut, namun sumur zamzam tidak pernah merasakan kata "kekeringan". Inilah salah satu kebesaran Allah.

Fitroh kembali melanjutkan pengalamannya ketika berada di tanah suci sana, ketika ada rekan dari Sampang tiba-tiba bisa berlari setibanya di tanah suci, padahal sebelumnya jika berjalan harus memakai bantuan kursi roda. Cerita Fitroh semakin meluas mulai dari tawaf, mencium hajar aswad, berkunjung ke monumen pertemuan Adam dan Hawa, melihat jam tertinggi dan terbesar di dunia hingga pengalaman menitikkan air mata ketika hendak bertolak ke Indonesia. Bahkan Fitroh juga menunjukkan koleksi foto selama di tanah suci di komputer jinjing miliknya.

Sontak ada kecemburuan yang tiba-tiba muncul di hatiku. Kapan aku bisa berkunjung ke tanah Rasulullah? Tanah impian semua umat Islam di dunia? Ingin sekali aku mencium aroma kedamaian hati disana. Di tanah suci kelahiran para Nabi.

"Kudoakan semoga kalian bisa berkunjung ke Baitullah, merasakan bahagia seperti yang aku rasakan... Amin..." Kata pemuda itu mengakhiri ceritanya.

*Kamarku. Sampang, 31 Agustus 2012.
Tengah Malam.
Tanah Garam, Madura.


***



Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Antara Dingin dan Gelap Malam


Kian lama malamku kian larut. Senandung angin merebak dan meluas menyelimuti seluruh kota. Aroma tengah malam yang menyeruak dari balik kegelapan pelan-pelan menajam menyapaku. Hanya diamlah yang mampu kusemaikan dalam diriku.

Malam itu, saat semua merasa bahagia dengan ratusan kembang api menghiasi langit malam, aku masih saja duduk termenung diantara dingin dan gelap malamku. Anganku pun melayang tak tentu arah, merindukan sesuatu yang kini tak kurengkuh. Bagaimana bisa bahagia jika separuh hatiku tak ada disampingku??

Aku merasa dunia tak lagi berpihak padaku. Aku pun merasa indahnya malam itu bukan teruntuk diriku. Semua benar-benar tak peduli dengan keadaanku. Keadaan yang tak pernah kupikirkan sebelumnya di malam-malam lalu. Aku meringkuk di atas ubinku yang mulai mendingin itu.

Peristiwa sore telah membawaku pada dimensi ini, kesepian. Sore itu telah membuka dan menyadarkan batinku bahwa asmara yang selama ini kujaga tiba-tiba menusuk relungku. Pun merusak hidupku.

***
(catatan kesendirian) Kamarku, Sampang, 00:30 WIB, 25082012. Tanah Garam.



Tentang PenulisAswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com