Minggu, 18 September 2011

(#1) Seperti Dalam Novel Laskar Pelangi (Kisah Nyata)


Wahai sahabat seperjuangan. Lama tidak membuat tulisan rasanya sangat membosankan ya. Hampir 2 bulan aku vakum dalam dunia tulis menulis. Nah, mungkin ini sebagai semangat baru yang akan kubangun kembali setelah istirahat panjang. Insyaallah. Dibaca ya pengalamanku ini.
***

Subahanallah, mungkin ini yang dimaksudkan Ibu padaku tempo hari. Aku baru ingat kata-kata Ibu yang sempat kuabaikan beberapa hari terakhir ini.

"Nak, kamu harus sabar dalam mengajar. Menjadi guru itu tidaklah mudah. Jangan sampai kamu memarahi anak orang, apalagi sampai memukulnya. Sama sekali jangan. Tahan emosi dan kesabaranmu. Itulah cobaan seorang guru kala menghadapi murid-muridnya," tutur Ibu.

Jujur, saat Ibu menyampaikan petuah itu, aku ogah mau mempedulikannya. Justru dengan santainya kumasukkan kata-kata itu dari telinga kanan dan tanpa kuendapkan dalam pikiran langsung kukeluarkan melalui telinga kiri. Hal itu semata-mata bukan tanpa alasan. Petuah Ibu kuabaikan karena kupikir aku belum mengalaminya (baca: menjadi guru). Ah sudahlah, apa kata nanti saja, pikirku kala itu.

Akan tetapi, kata-kata Ibu tadi mulai berlaku pada hari ini. Ya! Pada hari kamis 15 September 2011 ini, ketika hari pertama aku mengajar di sebuah SMA pedesaan. Menurut jadwal yang aku terima dari pihak sekolah, aku harus mengajar mulai pukul 07.30 WIB. Sejak semalam dadaku bergoncang gugup memikirkan apa yang akan terjadi di hari pertamaku menjadi guru. Apalagi ini bukan lagi praktek atau tugas dari kampus, melainkan benar-benar terjun ke dunia pendidikan yang sebenarnya.

Walaupun di SMA Attaroqqi Tsani ini aku mengajar kesenian yang jelas-jelas di luar jurusan yang aku tempuh di Universitas Madura, aku tetap merasa gugup kelas atas. Malah semakin terasa gugup karena selama ini aku mendalami ilmu Bahasa dan Sastra Indonesia, bukan kesenian. Tapi apa boleh buat, inilah tantangan menarik yang harus aku hadapi untuk saat ini.

Tepat pukul 07.15 WIB aku tiba di sekolah. Sambil berdiri di pintu ruang guru, kuperhatikan daerah sekitar. Banyak sekali siswa SMP yang berlalu lalang, maklum di sekolah ini siswa SMP dan SMA berada dalam satu halaman saja. Akan tetapi saat aku perhatikan, kok siswa SMA hanya segelintir saja yang berkeliaran? Apa mungkin yang lain telah masuk dalam kelas? Pikiranku pun kembali penasaran.

"Teng! Teng! Teng!" Suara bel membahana di halaman sekolah. Dadaku kembali bergetar. Gugup. Bisakah aku mengajar kesenian? Mampukah aku menghadapi siswa? Oh Tuhan, berikanlah kekuatan pada hambamu ini, gumamku dalam hati.

Setelah melihat jam dinding, aku bergegas menuju kelas XI dimana tempatku mengawali pelajaran. Jarak antara kantor dan ruang kelas XI tak begitu jauh. Kira-kira hanya 50 meter saja. Akan tetapi degup jantungku seakan bergetar hebat bak telah berlarian puluhan kilometer. Tak tahu apa yang akan kulakukan pertama kali di ruang kelas nanti.

"Assalamualaikum," ucapku sambil berdiri di pintu kelas XI.

"Waalaikumsalam..." suara balasan terdengar dari dalam kelas.

DEGG!
Tiba-tiba saja jantungku seakan berhenti sejenak dari aktivitasnya. Perasaan gugup yang tadi menghantuiku luntur secara tiba-tiba. Pemandangan di hadapankulah yang membuat perasaan gugup itu hilang. Aku heran sekaligus tak percaya dengan apa yang kuhadapi. Jangan-jangan aku salah masuk kelas! Pikirku dalam hati. Akhirnya, untuk memastikan sebuah kebenaran, aku coba bertanya kembali,

"Apakah betul ini kelas XI?" suaraku agak sedikit ragu.

"Betul Pak," sahut seisi kelas, kompak.

Wah, aku tidak salah kelas rupanya, pikirku lagi sambil melangkah masuk dalam ruangan itu. Jujur, aku tidak pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Tahukah mengapa aku berkata seperti itu? Bayangkan saja, dari daftar absen yang kupegang, jumlah siswa kelas XI sebenarnya berada kurang lebih 15 orang. Akan tetapi pada hari ini, hari kamis, 15 September 2011 tepat pertama kali aku mengajar, siswa yang datang hanya segelintir saja. Jelasnya hanya 3 orang saja.

Ditambah lagi, ketiga siswa tersebut tidak ada yang memakai sepatu. Jangankan meja guru, papan tulis pun belum tersedia di kelas tersebut. Bagaimana aku tidak kaget melihat keadaan seperti itu? Hatiku menjadi miris.

"Kemana meja guru dan papan tulisnya?!" tanyaku sambil menatap ketiga siswa tersebut.

Mereka hanya tertunduk. Entah merasa takut atau malu, yang jelas sesekali di antara mereka ada yang pelan-pelan berani menatapku.

"Anu Pak, selama bulan puasa khan pondok kami libur. Nah, ruangan ini tidak ada yang mengurusnya. Mungkin saja papan tulisnya masih berada di kelas sebelah." Jelas salah satu siswa bernama Marsum.

"Lantas kemana teman-teman kamu? Kok yang datang hari ini hanya tiga orang saja?"

"Hm, anu. Teman-teman banyak yang bekerja di sawah, membantu orang tua mereka Pak. Mungkin sebentar lagi ada yang datang Pak." Jelas Marsum lagi.

Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kegugupanku berubah jadi simpati mendengar penuturan salah satu siswa itu. Sambil menanyakan nama siswa, aku menunggu kedatangan siswa-siswa yang lain. Dalam hati aku berharap ada yang datang namun tak satu pun dari siswa tersebut yang menunjukkan batang hidungnya. Aku jadi teringat akan kisah yang ditulis Andrea Hirata dalam novel Laskar Pelangi. Mungkin beginilah rasanya Ibu Muslimah yang menjadi tokoh guru dalam cerita tersebut saat menunggu kedatangan siswa-siswanya. Sedih, miris dan penuh harap.

Dalam diam pula aku sempat berpikir bahwa di zaman yang semodern ini, masih saja ada sekolah yang belum maju seperti tempat kerjaku. Rupanya pendidikan di negara yang kaya nan permai ini masih belum juga merata. Masih saja ada anak bangsa yang belum menyadari bahwa pendidikan itu sebenarnya dibutuhkan dalam kehidupan. Betapa mirisnya negeri ini ya Tuhan.
***

Eit, pengen tau kisah selanjutnya? Bagaimana aku mengajar di hari pertama dengan dihadiri hanya 3 orang siswa? Tunggu aja kisah selanjutnya. Dan harap diingat, ini bukanlah kisah rekaan. Akan tetapi kisah nyata yang kualami sendiri. Mohon doanya ya....

Rabu, 07 September 2011

Ya, Itu Aku! (Curahan Hati Sang Perindu)

Oleh: Aswary Agansya

Itu aku,
Pemuda yang malam Minggu lalu menemuimu dengan penuh rindu. Ya, terpaksa menemuimu di kala hati tak mau lagi menunggu karena tak sabar ingin segera bersua denganmu. Harap kau maklumi itu karena benar kita telah lama tak bertemu.

Itu aku,
Pemuda yang tanpa malu menerobos pagar rumahmu yang terbuat dari besi perunggu. Jujur aku tidak tahu lagi bagaimana cara melewati pagar besi raksasa itu selain menerobosnya tanpa ragu. Maklumilah, di istanaku tak ada pagar sebagus itu.

Itu aku,
Pemuda yang meniti halamanmu sambil menuntun sepeda butut. Ya! Sepeda yang selama ini setia menemaniku. Yang apabila kukayuh, mengeluarkan suara menderu. Wahai kekasih, aku telah lupa bahwa tak pantas sepeda bututku melewati pagar besimu. Pun aku telah lupa betapa sandal jepitku tak layak meniti marmermu. Aku juga telah lupa bahwa mutiara tidak boleh bersatu dengan debu. Sungguh aku telah lupa akan semua itu!

Itu aku,
Pemuda lugu yang tak tahu adat menyerukan kata "Rindu" di balik damainya istanamu. Yang kutahu, aku hanya ingin mengobati rinduku padamu. Dan satu-satunya jalan adalah menemuimu. Walau itu hanya sebatas melihat pesonamu dari celah-celah lubang pintu.

Ya! Itu aku, wahai kekasihku!
Pemuda yang hidupnya terpaut jauh dari hidupmu. Pemuda yang hanya tahu bahwa hatinya telah lama rindu padamu. Kalau begitu, kutitipkan saja rindu ini pada angin yang berhembus, berharap bisa menembus pagar-pagar istanamu, tembok-tembok altar kamarmu hingga menyapa hatimu.

Aku telah merindukanmu kekasihku...!

Sampang, Tanah Garam. 11 Agustus 2011
***
Tulisan sederhana ini kupersembahkan untuk sahabat dan kawan yang pernah berbagi inspirasi denganku. Termasuk kamu.