Senin, 14 Januari 2013

Selaksa Kenangan (menggembel) di Yogyakarta [Catatan Liburanku Episode 3]


Yogyakarta, kota istimewa bersejarah dan penuh akan budaya. Siapa pun yang berkunjung kesana, pasti akan merasakan aroma yang berbeda dari biasanya. Setidaknya, itulah yang kuketahui saat pertama kali berkunjung kesana tahun 2011 lalu. Dan kini, setelah dua tahun berselang, aku akan kembali memijakkan kaki di Yogyakarta menyambung pengalaman petualanganku bersama para sahabat di akhir tahun 2012.

Fitroh keukeuh ingin pergi ke Yogyakarta. Ini benar-benar diluar rencana kami sebelumnya. Sejak awal aku, Lian, Anas, Fitroh dan Muttaqin memang ke Surabaya untuk liburan sekaligus menikmati momen pergantian tahun. Ajakan ke Yogyakarta ini telah membuat kami terbelalak dan tak percaya. Kulihat isi dompetku, ternyata hanya berisi dua lembar ratusan, tak kurang dan tak lebih. (hehehe :D)

"Ayolah, aku belum tau nih yang namanya Yogyakarta, kalian sih enak udah pernah kesana,"

"Yang benar aja dong, coba kau lihat isi dompetku. Mana cukup untuk kesana?" kataku protes.

"Ah cukup kok. Tenang saja."

"Enak saja bilang tenang. Kalau kekurangan uang beneran gimana?"

"Ya tetap tenang. Tinggal gesek aja, hahaha..."

"Gesek? Apanya yang digesek?" kataku lagi pura-pura tak mengerti.

"Ah ayolah. Terserah di sana. Besok kita berangkat saja ya. Ok?" Kata Fitroh memutuskan tanpa persetujuan kami.

"Kalau kau, Muttaqin? Punya uang lebih atau nggak?" tanyaku lagi. Muttaqin hanya tersenyum dan menjawab,

"Ada. Aku bawa lebih kok."

"Tuh kan, besok sepakat ya." Fitroh bersikukuh lagi.

***

30 Desember 2012 pukul 22.00 WIB.

Aku, Fitroh, Lian, Anas, dan Muttaqin berada di terminal Bungurasih, Surabaya. Kami sibuk mencari tempat parkir motor kami supaya jika hujan menyapa, motor kami tidak akan kebasahan karena ada di tempat yang aman. Kurang lebih lima belas menit kami mengatur motor kami sedemikian rupa.

Cuaca malam itu memang cukup cerah. Seusai memarkir sepeda motor kami melangkah ke dalam terminal dengan tergesa-gesa. Kami berlima langsung menuju tempat bis jurusan Yogyakarta. Di sana tampak banyak penumpang yang bersiap-siap masuk bis angkutan.

Seorang kondektur segera menyuruh kami naik ke dalam bis karena bis tersebut akan segera berangkat. Benar, begitu kaki kami menginjak lantai bis, bis tersebut langsung berangkat tanpa menunggu penumpang lain. Kamilah penumpang terakhir yang naik di terminal Bungurasih tersebut.

Duuaarr!!!!
Satu hal yang membuat kami terkejut seketika. Semua kursi penumpang penuh.
Kami tak kebagian tempat duduk. Kami berlima harus rela berdiri sambil berpegangan ke atap tempat barang-barang penumpang berada. Alamaaakk!!

"Waduh, apa kita akan berdiri seperti ini sampai Jogja? Bakalan patah nih kaki...!" Seruku pada keempat sahabatku. Mereka hanya tersenyum.

"Inilah perjalan kita sesungguhnya!" celetuk Fitroh sembari tersenyum coba menghiburku.

"Iya. Tapi pegel kaki kita." Tambahku.

Untuk menuju Yogyakarta membutuhkan waktu perjalanan kurang lebih 7 jam. Dan aku tak habis pikir akan berdiri selama perjalanan berlangsung.

"Waduh, kalau begini terus mana bisa aku tidur malam ini? Apalagi besok kita akan jalan-jalan seharian. Terus malemnya pasti tidurnya larut malam karena momen pergantian tahun. Waahh, apa aku nggak akan tidur selama dua hari?? Nggak mungkin!" ceracauku pada Anas. Anas tampak lesu. Hanya ucapan singkat yang keluar dari bibirnya,

"Ya begitulah As,"

Sumpah, aku gregetan malam itu. Geram, kesal campur aduk semuanya. Di saat aku khawatir tidak bisa tidur, eh malah Lian asik makan burger yang dibelikan oleh Januar. Tak tanggung-tanggun, dua porsi burger masuk ke perut Lian malam itu. Sekaligus. Tanpa ada sisa. (kecuali bungkusnya aja, hehehe...)

Satu jam telah berlalu. Dua jam pun telah berlalu. Kakiku mulai lelah. Tubuhku mulai letih. Mataku semakin tak kuat menahan kantuk hingga memasuki putaran jam ketiga. Tepat pukul 02.30 WIB ada beberapa penumpang yang turun. Aku dan Anas langsung menggantikan kursi kosong itu. Ahh, lega. Setidaknya tubuhku pun bisa beristirahat untuk beberapa jam. Kulihat Lian, Fitroh, dan Muttaqin juga telah duduk. Kami pun terlelap selama dua setengah jam hingga tiba di terminal Giwangan, Yogyakarta.

***

Pukul 08.00 WIB di Terminal Giwangan, Yogyakarta.

Aroma pagi di Yogyakarta telah kami cium. Sebenarnya kami tiba di terminal Giwangan pukul setengah enam pagi, namun antrian kamar mandi membuat kami harus bersabar menunggu giliran untuk mandi.

Begitu siap, tepat jam delapan pagi kami pun langsung kembali bertualang. Tujuan pertama adalah Candi Prambanan. Untuk ke sana, kami harus menaiki bis TransJOGJA terlebih dahulu. Ada beberapa kejadian lucu selama kami menaiki TransJOGJA. Dari terminal Giwangan, kami (khusus penumpang tujuan Prambanan) akan diturunkan di halte JEC untuk transit transJOGJA jurusan Prambanan. Kami pun menurut saja apa kata petugas bis itu.

Lucunya, setelah di halte JEC, kami berlima terbagi dalam tiga kubu (Nah lho...). Kami harus terpisah dalam tiga TransJOGJA!! (hahaha, kok bisa? kayak orang udik aja). Sebenarnya kami ingin bersama-sama, namun karena para penumpangnya penuh, akhirnya kami pun berpisah dalam 3 bis TransJOGJA (Aku dan Fitroh bis pertama, Lian dan Anas bis kedua, dan Muttaqin bis ketiga. Sendirian). Inilah yang membuat waktu kami terbuang sia-sia. Fiuhh...
 


Di lokasi wisata Candi Prambanan perjalanan kami berjalan seperti biasa. Adem ayem lancar bin tak ada halangan apa-apa. Kami menikmati keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Seluruh celah kami nikmati dengan hati bahagia.

"Ini masih buatan manusia, bagaimana jikalau buatan Tuhan? Pasti makin indah ya," celetuk Anas.

***

Pukul 17.00 WIB.

Kami tiba di samsat. Ternyata bis TransJOGJA tidak boleh beroperasi di Jl. Malioboro karena ramai oleh wisatawan. Alhasil, dari lokasi samsat kami berlima harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 1,5 kilometer menuju Malioboro. Ah, makin pegel kedua kakiku ini, pikirku.

Masjid Gede, itulah tempat singgah kami. Di sana kami sholat Maghrib dan Isya (mandi juga, hehe). Masjid berarsitektur jawa kuno dengan tiang penyangga seperti dalam kerajaan islam jaman dulu tampak masih sangat kokoh. Di bagian depan terdapat mimbar berukiran khas Jawa dengan cat warna emas menambah suasana masjid semakin kental kesan keunikannya. Masjid raya Yogyakarta ini seakan tak pernah sepi karena banyak jamaah yang datang silih berganti untuk melakukan ibadah. Kebetulan malam itu ada ceramah keagamaan tentang malam pergantian tahun 2012 menuju 2013. Aku pun terlarut dalam suasana di altar masjid raya kota Yogyakarta. Seakan-akan aku berada di masa sejarah dahulu kala. Tiba-tiba hujan turun sangat deras.Dan hebatnya, tanpa sadar aku tertidur kelelahan sampai pukul sebelas malam. Alhamdulillah...

Begitu bangun, kami langsung berjalan sejauh 1 kilometer menuju Jl. Malioboro. Jalanan sangat ramai. Ratusan kembang api menghiasi langit tempat kami berpijak. Riuh terompet membahana dimana-mana. Benar-benar malam yang meriah.


Mungkin ini rencana Tuhan membuatku terlelap di Masjid Raya sampai jam 11 malam. Seusai pesta kembang api yang meriah, kami baru sadar bahwa tidak ada tempat untuk menginap. Masjid Raya telah ditutup rapat-rapat. Apalagi masjid di Jl. Malioboro, dijaga oleh para satpam sangat ketat. Alhasil, kami pun duduk di pelataran kios penjual batik dan souvenir sepanjang Jl. Malioboro. (ngegembel juga akhirnya, hehehe)

Pelan, punggungku mulai lelah. Ingin rasanya tidur telentang di kasur yang lapang nan empuk. Tapi malam itu aku harus terima kenyataan tidur di jalan. Tempat orang berlalu lalang.

"Baiklah, sekarang kita akan lanjutkan ceritanya..."

Setelah 20 menit berlalu, sayu-sayu kami dengar suara itu. Kami penasaran dan coba mencari suara itu berasal. Ternyata suara itu tak jauh dari tempat kami tadi, berasal dari suara dalang dalam acara pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Kami pun beralih tempat menyaksikan pagelaran wayang kulit semalam suntuk bertajuk "Lakon Aji Norontoko".

Yang membuat kami takjub, selain pertama kali menjadi penonton, malam itu juga sang dalang kedatangan tamu spesial. Dia seorang gadis dari Osaka, Jepang bernama Yuri Shang. Hebatnya, dia bisa nyinden persis seperti orang Jawa asli. Aku benar-benar terpukau melihat penampilan Yuri Shang itu.

"Orang Jepang aja antusias mempelajari budaya Indonesia, kenapa kita nggak? Siapa lagi yang akan melestarikan budaya Indonesia kalau bukan kita?" Gumamku dalam hati.

Hari itu, pertama kalinya aku menyaksikan acara wayang kulit sampai selesai. Sampai pagi. Dan itulah akhir perjalananku di Yogyakarta. Pagi-pagi sekali aku kembali ke Surabaya dan berlanjut ke Sampang Madura, melakukan aktivitas kami seperti biasa. Petualangan yang indah.

SELESAI
***




Tentang Penulis
Aswary Agansya lulusan Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011), LDR (Goresan Pena Publishing, 2012), Pancaran hati Bunda (Goresan Pena Publishing, 2012). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

1 komentar:

  1. waduh hujan saljunya bikin enggak jadi baca...udah pusing duluan...

    BalasHapus