Sisa-sisa malam mulai memudar ditelan terang. Pagi pun
menjelang beriringan dengan kicauan burung dan merekahnya sisa embun.
Dingin masih terasa menyentuh kulitku, menyapa aliran darahku yang masih
segar, dan memberikan energi baru untuk perkembangan semangatku.
Pagi
itu aku masih terdiam di bibir tempat tidur. Sejak usai shalat Subuh
aku tetap duduk dengan tak mengubah posisiku. Pikiranku sedikit kalut,
Ramadhan akan datang beberapa hari lagi namun bebanku belum jua luruh
dari hatiku. Ingin rasanya aku segera menuntaskan beban ini. Tapi sampai
detik ini aku tidak tahu bagaimana cara menuntaskan semua itu.
Peristiwa
tempo lalu telah menyita sebagian pikiranku, menghilangkan semangat
dalam dadaku. Nyaliku pun pelan-pelan melemah, bak balon udara yang
menciut seketika dan lenyap ditelan ganasnya angkasa.
Aku
ingin jujur padanya, sejak peristiwa itu pikiranku terganggu kelu.
Peristiwa hari itu tak ubahnya lecutan cambuk yang memaksa hatiku untuk
terus mengevaluasi diri dari deretan-deretan kekhilafan yang telah lalu.
Dan pikiran itu tertuju pada kesalahan yang telah kuperbuat kepada dia.
Memang benar adanya, penyesalan tidak datang pada awal sebuah cerita,
melainkan pasti datang di akhir sebuah cerita. Itulah yang tengah
kualami saat ini.
Dulu, kurang lebih dua bulan yang lalu,
dia wanita yang telah kuanggap sebagai kakakku sendiri, Mbakyuku yang
penuh inspirasi, diam-diam mengajakku pergi ke Yogyakarta untuk
menghadiri acara kepenulisan yang diadakan seorang sahabat di Yogyakarta
sana. Dia menghubungiku melalui kotak pesan di facebook. Maklum,
persahabatan kami memang berawal dari sebuah jejaring sosial bernama
facebook. Dia dari kota Surabaya dan aku dari kota kecil pulau seberang,
Madura.
"Assalamualaikum. Adek, bener mau ikut ke Jogja?
Kalau adek mau, adek bisa bareng mbak. Ada orang yang memberiku
kendaraan, nah kalau mau, besok sore adek ke Surabaya ya. Ke kantor mbak
saja. Aku ngajak adek karena kakak-kakak disini sibuk semua dan biar
adek menemani driver, biar dia nggak sendirian. Nanti aku juga berusaha
ngajak temen cewek supaya bisa temenin mbak. Ditunggu ya kabar
selanjutnya," pesan singkat itu kubaca tepat sepulang dari kuliah.
Aku
merasa senang bukan kepalang setelah membaca pesan itu. Aku tidak
menyangka bisa diajak oleh orang yang selama ini kujadikan inspirasiku
dari dunia maya. Apalagi diajak ke kota Yogyakarta, kota yang menyimpan
banyak keajaiban dan kentalnya kebudayaan, wah makin riang saja hati ini
karena selama aku bernapas, aku belum pernah menapakkan kaki berkunjung
ke kota pelajar itu. Inilah kesempatanku untuk mengenal Jogja lebih
dekat, pikirku.
Kuiyakan saja ajakan Mbakyuku itu tanpa memikirkan apapun. Maklum, mungkin aku terlanjur bahagia.
"Wah, mendadak ya Mbak? Oh iya, boleh ngajak temen nggak Mbak? Hehehe, aku bersedia ikut deh Mbak." Balasku.
"Kalau ngajak temen lagi kurasa nggak bisa dek. Takut mobilnya nggak cukup. Maaf ya." Balas Mbakyuku dengan cepat.
"Oke deh. Insyaallah ya Mbak," kataku padanya sambil tersenyum bahagia.
“Baik dek. Mbak tunggu. ^_^”
"Oh iya mbak, berarti aku nanti sore harus sudah stanby di Surabaya ya? Ke Jogjanya berangkat jam berapa sih Mbak?"
"Iya sore sudah standby disini. Berangkatnya jam enam ba'da shalat Maghrib. Bisa kan?"
"Oke kalau begitu, mbak."
"Sipp!!"
Aku
mulai membayangkan bagaimana serunya perjalananku nanti jika di
Jogjakarta. Yang terlintas dalam benakku adalah candi-candi khas
Yogyakarta seperti candi Prambanan, Mendut, candi Borobudur dan
candi-candi eksotik lainnya. Tak lupa kemeriahan Jalan Malioboro dan
panorama Gunung Merapi juga ikut serta dalam kepingan bayang-bayangku
itu. Aku juga semakin penasaran bagaimana sebenarnya suasana kota Jogja
yang selama ini sering kulihat dari layar kaca. Apakah atmosfer disana
berbeda dengan kotaku di Madura? Atau mungkin sama saja. Ah,
angan-anganku pun melambung tinggi hingga tiba kota ke Yogyakarta meski
secara raga masih berada di Madura.
Hampir semalaman aku
tak bisa memejamkan kelopak mata. Mata dan otakku terlalu sibuk
menerawang belahan bumi pulau Jawa yang akan segera kupijak. Pukul dua
belas malam aku baru bisa tidur tanpa bayang-bayang Yogjakarta.
Keesokan
harinya, sebelum berangkat ke Surabaya, kusempatkan dulu pagi harinya
untuk kuliah. Namun, sesampainya di kampus, dosenku memberikanku tugas
mendadak yang harus kuselesaikan dalam jangka waktu sehari. Dan yang
membuatku sedikit geram adalah tugas tersebut harus dipresentasikan
lusa. Aku pun kelabakan.
Memang tak terduga.
Sebaik-baiknya manusia berencana, tetap saja Allah Azza Wa Jalla-lah
yang menentukan semuanya. Ini semua benar-benar diluar dugaanku. Sore
hari aku baru pulang dari kampus. Alhasil, aku tidak bisa ikut Mbakyuku
ke Yogyakarta.
Hatiku kecewa. Dengan perasaan sedih
kukirim pesan singkat yang berisikan kata maaf pada perempuan itu. Aku
berharap dia mau memaklumiku, coba mengerti posisiku sebagai seorang
pelajar. Namun smsku failed. Kucoba hubungi telepon genggamnya tapi tak
bisa tersambung karena nomor handphonenya ternyata nonaktif.
Seusai
Maghrib aku baru ingat bahwa aku memiliki akun facebook. Bergegas
kukayuh sepedaku menuju warnet berharap bisa meminta maaf walau jam
segitu Mbakyu telah berangkat ke Yogyakarta. Saat hendak mengirim pesan,
tiba-tiba Mbakyuku meng-up date sebuah status di wall akun facebook
miliknya. Tanpa sengaja, aku membaca kata-kata itu,
"Hari ini aku belajar adab dari orang yang tak memiliki adab. Belajar tersenyum dari orang yang tak pernah tersenyum."
DEGG...!! Jantungku berhenti berdegup.
Aku
tersadar dari kepanikanku. Walau aku belum tentu tulisan itu ditujukan
untukku, tapi rasanya aku telah dicambuk hebat dengan kalimat singkat
itu. Buru-buru aku meminta maaf pada Mbakyuku. Pesan maafku tidak
langsung di balas olehnya.
"Iya nggak apa-apa. Mbak nggak apa-apa kok." Balas Mbakyu beberapa hari kemudian.
Dari
rangkaian kata-kata elektronik itu, aku merasa ada sesuatu yang ganjil.
Jauh sisi hatiku berkata bahwa dia belum bisa secara ikhlas memberikan
maafnya untukku. Dan mungkin dia tidak akan pernah mau lagi memaafkanku.
Itu terbukti acapkali aku mencoba akrab dengan dia, dia malah
menanggapiku dingin. Ya, pelan-pelan dia berubah. Mbakyuku tak lagi
seakrab dulu padaku. Tak seceria dulu padaku. Satu pun apa yang
kulakukan di facebook, tak akan pernah mampu menarik perhatiannya.
Jangankan berkomentar, memberi tanda "Like" pun tak ada. Aku juga pernah
mencoba menghubungi telepon genggamnya, tetap saja tak ada tanggapan
dari Mbakyuku itu. Aku benar-benar bingung.
Peristiwa itu
satu-satunya peristiwa yang membuat silaturrahmi kami pelan-pelan
terputus. Benar-benar terputus! Seperti segelas air yang airnya tumpah
ruah akibat sang gelas penampung pecah berantakan. Aku bingung harus
bagaimana lagi menghadapi dia karena berbagai cara telah kulakukan untuk
mencoba menyambung silaturahmi kami. Sebagai manusia biasa aku pun
mulai lelah. Kata maaf darinya mungkin akan menjadi khayalan saja.
Ramadhan
tinggal menghitung hari, kuingin angin mampu menyampaikan salamku pada
Mbakku di Surabaya sana, sebuah kata maaf dari pulau seberang.
Oh,
Mbakyuku. Segitu burukkah aku sampai-sampai tak ada lagi pintu maafmu
untukku? Segitu hinakah aku sampai-sampai kau tak mau lagi bersahabat
denganku? Kalau semua itu benar adanya, sungguh kasihan sekali aku ini.
Aku pasti sedih karena kehilangan sahabat sepertimu wahai Mbakyuku.
Tidakkah kau tahu wahai Mbakyu, Allah saja mau memaafkan hamba-hambanya
yang telah tobat dari kekhilafannya. Pasti Mbakyu tahu akan hal itu.
Aduh
Mbakyu, aku sungguh takut. Takut kau tak memaafkanku. Aku takut Allah
mengazabku hanya gara-gara putusnya silaturahmi kita ini. Tidakkah
Mbakyu merasa takut sepertiku? Ku yakin Mbak juga takut kan?
Maka
dari itu marilah kita buang saja kesalahan masa lalu yang pernah
terjadi di antara kita. Gantilah kenangan buruk itu dengan keceriaan
yang baru, apalagi menjelang Ramadhan kali ini. Yakinlah bahwa tak ada
yang lebih indah dari perdamaian dan persahabatan Mbakyu.
Mbakyu,
dengarlah suara dari hatiku ini. Hati yang hampa dan penuh harap akan
sebuah satu kata saja. Ya! Hanya satu kata saja, yaitu "DIMAAFKAN".
Tidak hanya dibibir, tapi tulus dari hati Mbakyu.
Mbakyu, aku pernah mendengar sebuah kata bijak yang benar-benar mantap menurutku,
"Meminta
maaf tidak menjadikan seseorang lebih tinggi atau rendah. Dan orang
yang memberi maaf dengan ikhlas itu pasti berhati mulia."
Nah, hati Mbakyu mulia kan?
*Sampang, Tanah Garam Madura. 15 Juli 2012 menjelang siang.
***
Tentang Penulis
Aswary
Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987
ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah
diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011),
novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be
Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta
Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21
(nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus
(nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011),
antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long
Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat
juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin
berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com
serta www.aswarysampang.blogspot.com