Sabtu, 15 September 2012

Maaf Dari Pulau Seberang (Tulisanku Yang Gak Lolos Even)


Sisa-sisa malam mulai memudar ditelan terang. Pagi pun menjelang beriringan dengan kicauan burung dan merekahnya sisa embun. Dingin masih terasa menyentuh kulitku, menyapa aliran darahku yang masih segar, dan memberikan energi baru untuk perkembangan semangatku.

Pagi itu aku masih terdiam di bibir tempat tidur. Sejak usai shalat Subuh aku tetap duduk dengan tak mengubah posisiku. Pikiranku sedikit kalut, Ramadhan akan datang beberapa hari lagi namun bebanku belum jua luruh dari hatiku. Ingin rasanya aku segera menuntaskan beban ini. Tapi sampai detik ini aku tidak tahu bagaimana cara menuntaskan semua itu.

Peristiwa tempo lalu telah menyita sebagian pikiranku, menghilangkan semangat dalam dadaku. Nyaliku pun pelan-pelan melemah, bak balon udara yang menciut seketika dan lenyap ditelan ganasnya angkasa.

Aku ingin jujur padanya, sejak peristiwa itu pikiranku terganggu kelu. Peristiwa hari itu tak ubahnya lecutan cambuk yang memaksa hatiku untuk terus mengevaluasi diri dari deretan-deretan kekhilafan yang telah lalu. Dan pikiran itu tertuju pada kesalahan yang telah kuperbuat kepada dia. Memang benar adanya, penyesalan tidak datang pada awal sebuah cerita, melainkan pasti datang di akhir sebuah cerita. Itulah yang tengah kualami saat ini.

Dulu, kurang lebih dua bulan yang lalu, dia wanita yang telah kuanggap sebagai kakakku sendiri, Mbakyuku yang penuh inspirasi, diam-diam mengajakku pergi ke Yogyakarta untuk menghadiri acara kepenulisan yang diadakan seorang sahabat di Yogyakarta sana. Dia menghubungiku melalui kotak pesan di facebook. Maklum, persahabatan kami memang berawal dari sebuah jejaring sosial bernama facebook. Dia dari kota Surabaya dan aku dari kota kecil pulau seberang, Madura.

"Assalamualaikum. Adek, bener mau ikut ke Jogja? Kalau adek mau, adek bisa bareng mbak. Ada orang yang memberiku kendaraan, nah kalau mau, besok sore adek ke Surabaya ya. Ke kantor mbak saja. Aku ngajak adek karena kakak-kakak disini sibuk semua dan biar adek menemani driver, biar dia nggak sendirian. Nanti aku juga berusaha ngajak temen cewek supaya bisa temenin mbak. Ditunggu ya kabar selanjutnya," pesan singkat itu kubaca tepat sepulang dari kuliah.

Aku merasa senang bukan kepalang setelah membaca pesan itu. Aku tidak menyangka bisa diajak oleh orang yang selama ini kujadikan inspirasiku dari dunia maya. Apalagi diajak ke kota Yogyakarta, kota yang menyimpan banyak keajaiban dan kentalnya kebudayaan, wah makin riang saja hati ini karena selama aku bernapas, aku belum pernah menapakkan kaki berkunjung ke kota pelajar itu. Inilah kesempatanku untuk mengenal Jogja lebih dekat, pikirku.

Kuiyakan saja ajakan Mbakyuku itu tanpa memikirkan apapun. Maklum, mungkin aku terlanjur bahagia.

"Wah, mendadak ya Mbak? Oh iya, boleh ngajak temen nggak Mbak? Hehehe, aku bersedia ikut deh Mbak." Balasku.

"Kalau ngajak temen lagi kurasa nggak bisa dek. Takut mobilnya nggak cukup. Maaf ya." Balas Mbakyuku dengan cepat.

"Oke deh. Insyaallah ya Mbak," kataku padanya sambil tersenyum bahagia.

“Baik dek. Mbak tunggu. ^_^”

"Oh iya mbak, berarti aku nanti sore harus sudah stanby di Surabaya ya? Ke Jogjanya berangkat jam berapa sih Mbak?"

"Iya sore sudah standby disini. Berangkatnya jam enam ba'da shalat Maghrib. Bisa kan?"

"Oke kalau begitu, mbak."

"Sipp!!"

Aku mulai membayangkan bagaimana serunya perjalananku nanti jika di Jogjakarta. Yang terlintas dalam benakku adalah candi-candi khas Yogyakarta seperti candi Prambanan, Mendut, candi Borobudur dan candi-candi eksotik lainnya. Tak lupa kemeriahan Jalan Malioboro dan panorama Gunung Merapi juga ikut serta dalam kepingan bayang-bayangku itu. Aku juga semakin penasaran bagaimana sebenarnya suasana kota Jogja yang selama ini sering kulihat dari layar kaca. Apakah atmosfer disana berbeda dengan kotaku di Madura? Atau mungkin sama saja. Ah, angan-anganku pun melambung tinggi hingga tiba kota ke Yogyakarta meski secara raga masih berada di Madura.

Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan kelopak mata. Mata dan otakku terlalu sibuk menerawang belahan bumi pulau Jawa yang akan segera kupijak. Pukul dua belas malam aku baru bisa tidur tanpa bayang-bayang Yogjakarta.

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke Surabaya, kusempatkan dulu pagi harinya untuk kuliah. Namun, sesampainya di kampus, dosenku memberikanku tugas mendadak yang harus kuselesaikan dalam jangka waktu sehari. Dan yang membuatku sedikit geram adalah tugas tersebut harus dipresentasikan lusa. Aku pun kelabakan.

Memang tak terduga. Sebaik-baiknya manusia berencana, tetap saja Allah Azza Wa Jalla-lah yang menentukan semuanya. Ini semua benar-benar diluar dugaanku. Sore hari aku baru pulang dari kampus. Alhasil, aku tidak bisa ikut Mbakyuku ke Yogyakarta.

Hatiku kecewa. Dengan perasaan sedih kukirim pesan singkat yang berisikan kata maaf pada perempuan itu. Aku berharap dia mau memaklumiku, coba mengerti posisiku sebagai seorang pelajar. Namun smsku failed. Kucoba hubungi telepon genggamnya tapi tak bisa tersambung karena nomor handphonenya ternyata nonaktif.

Seusai Maghrib aku baru ingat bahwa aku memiliki akun facebook. Bergegas kukayuh sepedaku menuju warnet berharap bisa meminta maaf walau jam segitu Mbakyu telah berangkat ke Yogyakarta. Saat hendak mengirim pesan, tiba-tiba Mbakyuku meng-up date sebuah status di wall akun facebook miliknya. Tanpa sengaja, aku membaca kata-kata itu,

"Hari ini aku belajar adab dari orang yang tak memiliki adab. Belajar tersenyum dari orang yang tak pernah tersenyum."

DEGG...!! Jantungku berhenti berdegup.

Aku tersadar dari kepanikanku. Walau aku belum tentu tulisan itu ditujukan untukku, tapi rasanya aku telah dicambuk hebat dengan kalimat singkat itu. Buru-buru aku meminta maaf pada Mbakyuku. Pesan maafku tidak langsung di balas olehnya.

"Iya nggak apa-apa. Mbak nggak apa-apa kok." Balas Mbakyu beberapa hari kemudian.

Dari rangkaian kata-kata elektronik itu, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Jauh sisi hatiku berkata bahwa dia belum bisa secara ikhlas memberikan maafnya untukku. Dan mungkin dia tidak akan pernah mau lagi memaafkanku. Itu terbukti acapkali aku mencoba akrab dengan dia, dia malah menanggapiku dingin. Ya, pelan-pelan dia berubah. Mbakyuku tak lagi seakrab dulu padaku. Tak seceria dulu padaku. Satu pun apa yang kulakukan di facebook, tak akan pernah mampu menarik perhatiannya. Jangankan berkomentar, memberi tanda "Like" pun tak ada. Aku juga pernah mencoba menghubungi telepon genggamnya, tetap saja tak ada tanggapan dari Mbakyuku itu. Aku benar-benar bingung.

Peristiwa itu satu-satunya peristiwa yang membuat silaturrahmi kami pelan-pelan terputus. Benar-benar terputus! Seperti segelas air yang airnya tumpah ruah akibat sang gelas penampung pecah berantakan. Aku bingung harus bagaimana lagi menghadapi dia karena berbagai cara telah kulakukan untuk mencoba menyambung silaturahmi kami. Sebagai manusia biasa aku pun mulai lelah. Kata maaf darinya mungkin akan menjadi khayalan saja.

Ramadhan tinggal menghitung hari, kuingin angin mampu menyampaikan salamku pada Mbakku di Surabaya sana, sebuah kata maaf dari pulau seberang.

Oh, Mbakyuku. Segitu burukkah aku sampai-sampai tak ada lagi pintu maafmu untukku? Segitu hinakah aku sampai-sampai kau tak mau lagi bersahabat denganku? Kalau semua itu benar adanya, sungguh kasihan sekali aku ini.  Aku pasti sedih karena kehilangan sahabat sepertimu wahai Mbakyuku. Tidakkah kau tahu wahai Mbakyu, Allah saja mau memaafkan hamba-hambanya yang telah tobat dari kekhilafannya. Pasti Mbakyu tahu akan hal itu.

Aduh Mbakyu, aku sungguh takut. Takut kau tak memaafkanku. Aku takut Allah mengazabku hanya gara-gara putusnya silaturahmi kita ini. Tidakkah Mbakyu merasa takut sepertiku? Ku yakin Mbak juga takut kan?

Maka dari itu marilah kita buang saja kesalahan masa lalu yang pernah terjadi di antara kita. Gantilah kenangan buruk itu dengan keceriaan yang baru, apalagi menjelang Ramadhan kali ini. Yakinlah bahwa tak ada yang lebih indah dari perdamaian dan persahabatan Mbakyu.

Mbakyu, dengarlah suara dari hatiku ini. Hati yang hampa dan penuh harap akan sebuah satu kata saja. Ya! Hanya satu kata saja, yaitu "DIMAAFKAN". Tidak hanya dibibir, tapi tulus dari hati Mbakyu.

Mbakyu, aku pernah mendengar sebuah kata bijak yang benar-benar mantap menurutku,

"Meminta maaf tidak menjadikan seseorang lebih tinggi atau rendah. Dan orang yang memberi maaf dengan ikhlas itu pasti berhati mulia."

Nah, hati Mbakyu mulia kan?


*Sampang, Tanah Garam Madura. 15 Juli 2012 menjelang siang.
***

Tentang Penulis
Aswary Agansya mahasiswa Universitas Madura (UNIRA) jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pemuda kelahiran kota Surabaya, pada 4 Oktober 1987 ini gemar sekali membaca dan menulis. Karya-karya Aswary yang pernah diterbitkan adalah novel Imagination of Love (LeutikaPRIO, 2011), novel Menari di Atas Tangan (LeutikaPRIO, 2011), antologi bersama Be Strong Indonesia #3 (writers4indonesia, 2010), antologi Curhat Cinta Colongan #3 (nulisbuku.com, 2011), antologi E-Love Story #21 (nulisbuku.com, 2011), antologi Surat Terakhir Untuk Penghuni Venus (nulisbuku.com, 2011), antologi Dear Someone (nulisbuku.com, 2011), antologi Selaksa Makna Ramadhan (LeutikaPRIO, 2011), antologi Long Distance Friendship (LeutikaPRIO, 2011). Aswary juga pernah mendapat juara 3 dalam Sayembara Cipta Cerpen UNIRA 2011. Jika ingin berinteraksi, bisa menghubunginya di email: aswary.agansya@gmail.com serta www.aswarysampang.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar