Rabu, 16 September 2015

Hakikat Seorang Perempuan Bergelar Ibu

Setiap sore, kurang lebih sekitar pukul 16.30 WIB, sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga besarku untuk berkumpul di halaman rumah. Sepertinya bukan hanya keluargaku saja yang melakukan kegiatan itu, namun ada beberapa keluarga lainnya yang melakukan hal serupa di halaman rumah mereka. Bagiku kebiasaan ini cukup efektif mempererat hubungan komunikasi antar anggota keluarga. Selain menikmati suasana sore yang tenang, kegiatan rutin ini kami lakukan untuk bersenda gurau bersama sanak saudara atau sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja. Topik bahasannya pun bermacam-macam, yang penting ringan dan bisa dimengerti semua kalangan. Serta harus ada tawa untuk meregangkan otot-otot kami yang lelah setelah beraktifitas.

Di tengah obrolan, tiba-tiba mbakku datang dari acara pengajian dengan senyum penuh sumringah. Senyumnya semakin merekah saat mendapati putri bungsunya datang menghampiri. Dengan penuh telaten, Mbak Hanifa (nama samaran) membuka bungkus bherkat (istilah untuk makanan yang dibawa pulang setelah dari acara syukuran, pengajian, atau slametan) yang ia dapatkan dari pengajian, dan menyodorkannya kepada Tita, putri bungsunya.

"Mak, ini nasi rames ya?" tanya ponakanku yang masih berusia sepuluh tahun itu, membuat Mbak Hanifa mengangguk.

"Kenapa nggak dimakan di sana? Kenapa kok dibawa pulang, Mak?" tanya gadis itu lagi, sembari mencicipi sambal goreng kentang yang ada di atas nasi.

Mbak Hanifa tersenyum mendengar pertanyaan itu, "Nggak. Mamak nggak laper. Lagian Mamak nggak suka sama makanan itu," sahutnya enteng lalu duduk di kursi kayu bergabung bersama kami.

Ponakan perempuanku tersenyum sumringah, tampaknya ia senang melihat mamaknya membawa menu favoritnya, "Asik. Buat aku ya Mak!" serunya sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah mengambil piring dan sendok lalu melahapnya.

"Makanlah. Mamak sengaja membawanya pulang buat kamu, Ta."
***
Sejujurnya, peristiwa di atas membuatku tersenyum. Ya, benar-benar tersenyum sembari membayangkan wajah masa kecilku dan mbak Hanifa dulu. Sejak kapan mbakku nggak suka nasi rames? Padahal dulu, sewaktu dia masih remaja, dan aku duduk di bangku SD, Ibu sering memarahi Mbak Hanifa karena berebut nasi rames bersama adik-adiknya. Kenapa sekarang setelah memiliki putri malah mengaku nggak suka? Bukankah itu benar-benar aneh? Pikirku.

Ya, aku tahu betul bagaimana karakter mbak Hanifa selama ini. Bahkan sejak kami sama-sama masih kecil. Usia kami yang terpaut cukup jauh, membuat mbak Hanifa sering menjadikanku bulan-bulanannya. Itulah sebabnya mengapa aku sempat merasa curiga sore itu, tentang perubahan yang terjadi pada makanan favoritenya.

Sebenarnya, peristiwa yang dialami Tita pernah kualami sendiri saat masih duduk di bangku SMP, tepatnya saat ibuku baru datang membawa makanan dari acara pernikahan tetangga sebelah rumah. Sebagai seorang remaja, aku hanya menganggap hal itu biasa. Namun belakangan, saat aku mulai dewasa, aku paham betul mengapa Ibuku dan mbak Hanifa melakukan kebohongan yang sama kepada anak-anak mereka. Alasan utamanya semata-mata karena mereka memiliki gelar yang sama, sebagai Ibu bagi anak mereka.

Setelah peristiwa sore itu, aku memang sempat bertanya sama mbak Hanifa, kenapa dia jadi berubah tentang makanan kesukaannya. Cukup lama Mbak Hanifa terdiam untuk menjawab pertanyaanku. Akan tetapi, begitu mendengar jawaban Mbak Hanifa, aku merasa ditampar cukup keras. Pengakuannya membuatku bungkam seribu bahasa. Ya, bungkam sampai tidak bisa menyanggah dan berkata apa-apa.

"Aku bukan gadis remaja lagi, Dik. Aku sudah menjadi seorang ibu. Entahlah, semenjak kepergian kakak iparmu, setiap menghadiri acara selamatan atau pengajian, aku selalu kepikiran tentang Tita. Wajahnya begitu jelas berkelebat. Aku merasa nggak enak hati jika makan makanan enak, sementara anakku sendiri makan dengan lauk-pauk seadanya. Jadi, selama bherkat bisa dibawa ke rumah, lebih baik jatahku dibawa pulang saja. Biar bisa dimakan Tita dan kakaknya. Kalau aku sih makan pakai lauk seadanya nggak masalah, yang penting anakku makan enak!" jelasnya.

Aku sadar bahwa kalimat itu benar-benar tulus keluar dari bibir seorang ibu. Seorang ibu yang menyayangi anaknya dengan tulus. Sebagai seorang lelaki, aku telah melupakan satu poin penting itu, tentang tajamnya kasih sayang ibu kepada putra-putrinya.

Kata orang, pekerjaan seorang laki-laki lebih berat daripada pekerjaan perempuan. Jika ayah kerja di luar rumah untuk mencari nafkah, maka pekerjaan ibu hanya mengurusi rumah dan anak-anak saja. Sejujurnya, aku tidak setuju dengan anggapan seperti itu. Aku justru merasakan hal yang sebaliknya, bahwa pekerjaan laki-laki sedikit lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan perempuan. Mengapa begitu? Beginilah alasanku:

Menjadi seorang ibu itu tidaklah mudah. Pekerjaannya lebih banyak dari pekerjaan seorang ayah. Sejak bangun pagi, ia sudah disibukkan dengan kegiatan rumah tangganya. Mulai memasak untuk sarapan, ke pasar membeli bahan makanan yang akan digunakan untuk makan siang dan malam, sampai mengurus keperluan anak yang masih bersekolah. Terlebih jika sang anak masih dalam usia balita, semakin terlihat berat saja pekerjaannya.

Hakikat menjadi seorang ibu memanglah harus seperti itu. Harus berjuang menciptakan senyum di bibir putra-putrinya, meski ia sendiri rapuh dan nyaris jatuh. Bagi seorang ibu, kebahagiaannya adalah senyum di bibir anak-anak. Tak ada seorang ibu manapun yang rela melihat anaknya menangis, terlebih menangisi sesuatu yang tidak bisa ibu penuhi. Begitu pula sebaliknya, jika seorang ibu menangis, ia sama sekali tidak akan tega menunjukkan air matanya untuk anak dan suami. Ibu pasti akan selalu menjaga supaya putra putrinya tak menitikkan air mata sepertinya. Ia ingin anaknya selalu merasa bahagia.

“Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” itulah pepatah lama yang benar-benar berlaku sampai kapanpun. Berbahagialah bagi kita yang masih memiliki seorang ibu, sebab, selama beliau masih hidup, satu-satunya kasih sayang paling tulus adalah kasih sayang ibu kita. Bahagiakan mereka selama kita mampu membahagiakannya. Sesungguhnya, apa yang kita berikan kepada ibu, tidak akan pernah sebanding dengan jerih payahnya selama ini. Ibuku, adalah malaikatku!

Menjelang senja,
Tanah Garam,
16 September 2015.

***

Tulisan ini dibuat untuk berpartisipasi dalam tantangan Alumni Kampus Fiksi, dengan tema #MenulisIbu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar